PERTIGAAN Sukodadi Lamongan; tukang ojek saling berebut penumpang. Setiap orang yang baru turun dari bus adalah obyek yang jadi sasaran pengojek. Salah satunya saya. Tapi saya cuek saja. Terus berjalan, seakan telah ada yang menjemput. Padahal itu hanya trik. Agar saya dapat memilih ojek dengan motor paling anyar. Rugi kan, kalau tawar menawar di pinggir jalan dengan tukang ojek yang kita tidak tahu dia pakai motor dari spesies apa dengan usia motor kelahiran tahun berapa.
Di bawah pohon kersen di sebelah toko buah saya menuju. Disitu ada tukang ojek yang pasif saja. Tak ikutan berebut penumpang di pinggir jalan. Mungkin dia berpikir, 'kalau sudah rejeki gak bakal lari'. Saya kira pengojek yang satu ini punya nilai kecerdasan spiritual lebih baik dari yang lain, yang saling rebutan penumpang. Nilai plusnya lagi, ia berdiri sambil menyandarkan pantatnya di jok motor keluaran terbaru yang masih kinyis-kinyis catnya.
Tawar menawar harga pas tancap gas, kata Iwan Fals. Tukang ojek yang saya pilih masih setengah baya.
"Dari mana, pak?," tukang ojek bertanya, mungkin sebagai pengakraban saja, sebelum tancap gas betulan.
"Dari Surabaya," jawab saya.
"Di Surabaya kerja apa?" tanyanya lagi.
Lhadalah...., sejujurnya saya sebenarnya lagi males ngomong. Sekaligus sejujurnya saya juga tak biasa bicara tak jujur. Maka, dengan kadar kejujuran penuh, "Kerja nguli di bangunan...," jawab saya.
Tukang ojek malah tertawa, suara tawa yang nyaris mengalahkan suara deru motor yang sliwar-sliwer di jalan ini.
"Batas antara kuli dan majikan tipis sekali, pak," katanya. "Di Surabaya atau di tempat lain boleh jadi bapak adalah kuli. Tapi sekarang, saat ini, sayalah kuli bapak. Dan bapaklah majikan saya...."
Oh? Tidak salah, ia tukang ojek yang cerdas, batin saya.
"Ayo kita jalan, agar tak kesorean sampai di Mayong," ajak saya sambil menyebut nama desa mertua saya di kecamatan Karangbinangun.
"Mari," katanya sambil mengajak saya berjalan.
"Lho, kok jalan?!"
"Iya. Itu motor saya disana," katanya sambil menunjuk motor tua renta dengan penampilan yang sudah nelangsa.
"Lha motor yang tadi sampeyan sandari itu punya siapa?" tanya saya menunjuk motor anyar di bawah pohon kersen.
"Oh, itu punya orang yang lagi belanja buah di toko sebelah."
Ah, sekali lagi saya tidak salah; ia sungguh tukang ojek yang cerdas. Buktinya, trik saya kalah cantik dibanding punya dia.*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar