“Tin
sudah bercerai lima bulan yang lalu. Sam nikah lagi. Sal di Bali. Dia
sukses sekarang. Salonnya ramai. Sekarang dia sudah jadi ‘perempuan’,
baru operasi,” tulis Rin dalam pesan singkatnya.
Nyaris dua puluh tahun
sudah semua berlalu.
Bisa kontak lagi dengan Rin
setelah sekian lama lost contact, membuatku merasa hampir dua
puluh tahun lebih muda. Dan kota yang panas dan angkuh ini, kemudian
menjadi berbaik hati untuk sejenak memberiku waktu berhenti menjadi
sejenis robot. Lalu, kubiarkan langkah hati ini berlari riang menemui
nama-nama.
“Tin, kamu hebat.”
“Diminum,” ia
meletakkan segelas es jeruk di meja di depanku.
“Kamu tegar,” pujiku
lagi.
Mendengar itu ia menatap
tepat bola mataku, membuatku tahu ada bendungan yang nyaris runtuh di
matanya.
“Maaf...”
“Kenapa?”
“Itu, kata-kataku
barusan,” rasa bersalah kupersalahkan sebagai penyebab kegagapanku
ini.
Tin tersenyum. Ah, gingsul
itu...
Kunikmati seteguk es jeruk
melewati tengorokanku. Dinginnya berhenti sejenak tepat di dadaku.
Menimbulkan rasa aneh yang tiba-tiba hadir. Rasa yang juga pernah
kurasakan dulu. Dulu sekali. Ketika suatu sore Rin menemuiku.
Dengan pipi yang kemudian
bersungai-sungai kecil, berbaris kata mengiringinya. Kata yang perlu
diperam semalaman untuk ditetaskan di depanku sore itu.
“Kamu awet muda,” Tin
mengagetkanku.
Sekaligus juga menamparku.
Empat puluh tahun lebih dia bilang aku muda?! Oo, biarlah. Seperti
aku yang tetap membiarkan diriku masih saja sendiri. Dan itu tentu
Tin juga tahu. Walau tak bertanya. Karenanya pula aku tak perlu
bertanya mengapa ia masih memajang potret pernikahannya dengan Sam di
ruang ini.
“Seharusnya dulu kau
nikahi saja Rin.”
Aku terkesiap. Buru-buru
melumuri bibirku dengan senyum setengah matang. Menikahi Rin? Dengan
modal apa waktu itu? Secuil keberanianpun aku tak punya. Lantas aku
hanya mengumpulkan kata-kata yang kudewasa-dewasakan untuk kusuguhkan
kepada Rin. Cih!
Rin menunduk. Tapi, aku
menebak, dari bibirnya yang mengatup itu, ada banyak kata yang ingin
ia ucap.
“Sudahlah,” kataku
kemudian. ”Mana ada sih orang tua yang ingin anaknya tidak
bahagia?”
“Tapi aku kecewa. Sangat
kecewa.”
“Untuk apa kamu kecewa
pada orang tuamu?”
“Bukan,” timpal Rin.
”Aku kecewa sama kamu.”
“Aku?!”
“Ya”
“Karena?”
“Kamu penakut!”
Duaarrr! Serasa ada
petir menyambar. Menghentak. Melemparkan seorang lelaki atas
kelelakiannya. Lalu lunglai.
Kulirik wajah Rin. Dingin.
Aku tak perlu membalas melempar petir untuk menghangatkannya.
Kalaulah benar yang dikatakan Rin aku penakut, tak perlulah
kuberani-beranikan diri diri menerima tantangannya; kawin lari!
Pertemuanku dengan Rin sore
yang hambar itu, menjadi pertemuan terakhirku. Belakangan, setelah
rentang waktu yang kubilang di atas, kudengar ia telah bahagia dengan
lelaki pilihan orang tuanya. Lelaki yang tepat, yang telah memberinya
sepasang buah hati. Sementara aku tetaplah lelaki yang sendiri.
Hari-hari berikutnya adalah
saat aku menyemai benih keberanian. Agar tak ada yang mengatakan aku
ini makhluk penakut. Tidak juga kamu, Rin. Tidak juga siapapun.
Berbilang minggu, berbilang bulan, berbilang tahun, tak juga tumbuh
benih yang kusemai itu. Sampai aku membiarkannya, melupakannya.
Sampai kemudian, angin
mengantarkau menemui Tin di suatu malam. Tin sahabat lamaku, juga
sahabat Rin. Janda tanpa anak, mantan istri kakak kelasku, Sam. Hm,
bumi memang berputar. Namun sepertinya aku hanya berkutat pada
putaran yang sempit belaka.
“Kamu serius?” tanya
Tin ketika kuutarakan niatku untuk mengikatnya dalam hubungan yang
sakral.
“Aku ingin berhenti, Tin.”
“Dari?”
“Dari kesendirian yang
panjang, juga dari gunjingan keluarga besarku atas kesendirianku
itu.”
“Hanya karena itu?”
“Lebih,” kataku sambil
bola mataku menelan bulat-bulat bola matanya. Aku ingin ia membaca
kesungguhanku di dalamnya.
“Walau statusku begini?”
“Apapun adanya dirimu,”
ujarku.
“Tapi beri aku waktu.”
“Untuk?,” tanyaku.
”Tin, rasanya bukan baru kemarin sore kamu kenal aku.”
“Setelah kekandasanku
itu,” ucap Tin. ”...aku ingin mengenal diriku sendiri lebih
dalam.”
“Berapa lama?”
“Tergantung seberapa lama
kamu benar-benar yakin akan keputusanmu.”
“Saat ini pun aku telah selesai,” kataku mantap.
“Sam pun dulu juga
begitu. Bodohnya, aku saat itu seperti sudah tak punya waktu lagi
untuk menimbang...”
Kata-kata Tin barusan,
tentu juga tertuju padaku. Ikatan sakral harus pula dipintal dengan
kesungguhan yang dalam. Karena kesakralan itu harus abadi, tidak
sekadar seumur jagung. Untuk itu memang butuh kesabaran. Sedangkan
Sam, kuduga, kurang sabar menunggu Tin memberinya keturunan setelah
sekian lama berumah tangga.
Aku terhenyak sendiri.
Bukankah yang sudah sekian lama dirindui ibuku adalah kehadiran
anak-anakku? Bagaimana pula bila Tin juga tak segera memberiku
keturunan? Oh, tidak, tidak. Jangan sampai aku menjadi Sam kedua
dalam hidup Tin. Aku percaya, harus percaya, ada sendiri yang
mengatur jodoh dan segalanya. Juga keturunan. Aku harus yakin itu.
Anggukan Tin, setelah
sekian waktu aku menunggu dengan segala kecamuk kegelisahannya,
adalah kabar gembira yang harus segera kusampaikan kepada ibu. Sama
seperti waktu kecil dulu, saat aku berlari memegang buku matematika
yang tidak kumasukkan ke dalam tas, hanya ingin agar ibu segera tahu,
aku dapat nilai sembilan hari itu.
-=**oOo**=-
“Aku ingin segera
menikah, bu.”
Sebaris kalimat yang
barangkali sudah begitu lama ibu ingin mendengarnya. Dalam sekali ibu
menatapku. Lalu ibu memelukku. ”Katakan sekali lagi, Di...”
bisiknya.
“Aku sungguh-sungguh,
bu.”
Ibu menarik nafas dalam
sekali. Sorot mata teduhnya menyiratkan kebahagiaan yang mengharukan.
Sorot mata itu, membuatku merasa bersalah, karena aku telah
membuatnya berlama-lama menunggu.
“Kan sudah ada Rio, Za,
Ve dan Na...” kataku selalu menyebut nama anak adik-adikku setiap
ibu bilang, ”Alangkah lengkap keceriaan ini dengan kehadiran
anak-anakmu”.
“Semoga kamu tak ingin
ibu menyusul ayahmu sebelum sempat menimang anakmu,” itu kalimat
yang terasa menyayat gendang telingaku tembus ke nadi-nadiku. ”Ibu
pikir, setelah kamu mampu mengentas adik-adikmu sepeninggal ayahmu,
kamu akan segera menikah. Eh, kok malah keterusan membujang...”
Ibu pula yang selalu
bilang, ”Masih belum ingin, pastilah suatu hari nanti ia akan
berhenti hidup sendiri,” ketika bude dan bulik-bulikku ngomongin
aku pada acara temu keluarga tiga bulanan. Saat yang lain datang
bersama pasangan dan anak-anaknya, bertahun-tahun tetaplah aku hanay
datang bersama ibu saja.
Kupikir, tak lama lagi
pemandangan itu akan berubah. Tak lagi berdua bersama ibu saja. Tapi
juga bersama Tin. Aku yakin, tak mungkinlah Tin tak menyayangi ibuku
sebagai mertuanya seperti menantu yang tak tahu diri dalam
sinetron-sinetron murahan di televisi.
“Dia janda, Di?!”
Entah siapa yang bercerita
kepada bude Sus tentang Tin, ketika aku masih mencari waktu yang
tepat untuk mengatakannya pada ibu. Aku ingin menutup rapat-rapat
telinga ibuku ketika bude Sus melanjutkan kalimatnya, ”Bertahun-tahun
mencari eh dapatnya cuma janda.”
Dalam tarikan nafas panjang
ibu, aku tak mampu memahami apa yang ingin beliau pendam.
Menyayangkanku, atau menyayangkan keusilan kata-kata bude Sus.
Selanjutnya, beliau malah mengajakku ke dalam kamarnya. Bicara empat
mata. Ketika ibu menutup pintu pelan-pelan, aku merasa Rin ada
benarnya; aku penakut. Disini, di depan ibuku sendiri, aku merasakan
ada ketakutan yang menusuk-nusuk. Sebentuk ketakutan yang teramat
asing. Takut tiba-tiba ibu tak menyetujui rencanaku, sekaligus
takutku akan kehilangan Tin.
Tin?! Ah, sudah sedemikian
pentingkah seorang Tin bagiku? Padahal, seperti kata bude Sus, dia
hanya seorang janda, mantan istri temanku. Yang setelah sekian belas
tahun tak bertemu baru sekian bulan yang lalu kembali kuakrabi.
Keakraban yang kemudian bermakna lain. Mungkin karena memang sudah
berjodoh, batinku. Atau jangan-jangan sekadar lampias yang bias?
Tiba-tiba ada gamang membayang samar-samar.
“Kalau memang kamu sudah
mantap, untuk apa kamu dengar omongan budemu,” kata ibu. ”kamu
sudah lebih dari cukup untuk menentukan pilihanmu sendiri. Ajaklah
dia kesini kapan-kapan, ibu ingin kenal...”
-=**oOo**=-
Dengan segenggam restu ibu,
serasa matahari, bulan dan bintang bersama-sama menyinariku.
Menerangi langkahku menjemput cintaku. Agak terlambat, mungkin, aku
merasakan gila yang indah ini. Di usia segini aku tiba-tiba merasa
terlempar ke masa lalu. Masa ketika Tin hanyalah teman biasaku.
Seperti halnya Rin.
Rin lagi, Rin lagi. Kenapa
nama itu muncul lagi selalu. Nama yang dulu pernah menantangku
melebihi keberanianku. Herannya, ketika aku semakin dekat saja dengan
Tin, semakin dekat pula bayangan Rin
mengikutiku.
“Kamu serius ingin
menikahi Tin?!,” belum sempat aku berkata ‘hallo’,
malam-malam suara dari seberang itu serasa menyeruduk kupingku.
“Kamu dengar dari siapa?”
sahutku.
“Ada yang lebih penting
dari sekadar jawaban dari siapa aku tahu rencanamu.”
“Tentang?”
“Tin,” jawab Rin pendek
saja.
Ah, apa pula ini. Sebegitu
pentingkah yang akan dikatakan Rin sampai-sampai larut malam begini
ia meneleponku.
“Di, kamu pernah
memberiku petunjuk jalan dan ketika itu kuikuti memang tidak keliru,”
kata Rin kemudian.
”Sekarang, ijinkan aku melakukannya untukmu.”
“Aku tak mengerti
maksudmu.”
“Tapi kamu mengerti
mengapa Sam menceraikan Tin?”
“Karena Tin belum
memberinya keturunan.”
“Bukan, Di,” sahut Rin.
”Kamu salah. Dan aku sangat tidak rela kamu dijadikan Sam kedua
oleh Tin. Kamu terlalu baik untuk disakiti.”
“Aku makin tak mengerti
maksudmu, Rin.”
“Tin tak akan pernah
menjadi istri yang baik bagimu.”
“Lalu?!”
“Batalkan saja
rencanamu,” jawab Rin tanpa ragu.
Ini gila. Benar-benar gila.
Bude Sus, budeku sendiri saja, kuabaikan, apalagi ini Rin yang orang
luar. Aku telah menggenggam restu ibu, itu yang penting. Tapi tunggu.
Kalau yang dikatakan Rin tentang Tin benar bagaimana? Juga
jangan-jangan, selama ini diam-diam aku telah dianggap sebagai orang
dalam di dalam hati Rin.
“Bagaimana, Di?” tanya
Rin.
Tak tahu aku harus menjawab
bagaimana. Menuruti Rin, berarti aku harus mengecewakan ibu. Dan
entah untuk berapa lama lagi. Menyenangkan ibu, dengan menikahi Tin,
jangan-jangan Tin memang seperti yang dibilang Rin tadi.
“Di...” suara Rin
menagih jawaban.
“Aku bingung, Rin.”
Rin diam. Aku juga diam.
Malam yang hening terasa makin bisu.
“Aku mohon, Di,” kata
Rin kemudian. ”Jangan kau teruskan.”
‘Kalau aku jalan terus?”
“Rasanya lebih baik kau
nikahi Sal daripada Tin,” suara Rin barusan disambung bunyi tut,
tut, tut. Rin menutup teleponnya.
Sal? 'Perempuan baru’
itu?!...
Tengah malam, kupandangi
langit yang terasa hampa. Jangankan bulan, secuil bintang pun
bersembunyi entah kemana. Haruskah malam-malam seperti ini kulalui
lagi dalam kesendirian yang panjang. Yang bisa jadi lebih panjang
dari sebelumnya.
Sepertinya aku memang telah
gagal. Gagal dalam satu hal. Gagal menjadi diri sendiri. *****
Rumah Matahari, November
2005.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar