Rabu, 25 Mei 2011

Tin

Tin sudah bercerai lima bulan yang lalu. Sam nikah lagi. Sal di Bali. Dia sukses sekarang. Salonnya ramai. Sekarang dia sudah jadi ‘perempuan’, baru operasi,” tulis Rin dalam pesan singkatnya.


Nyaris dua puluh tahun sudah semua berlalu.

Bisa kontak lagi dengan Rin setelah sekian lama lost contact, membuatku merasa hampir dua puluh tahun lebih muda. Dan kota yang panas dan angkuh ini, kemudian menjadi berbaik hati untuk sejenak memberiku waktu berhenti menjadi sejenis robot. Lalu, kubiarkan langkah hati ini berlari riang menemui nama-nama.

Tin, kamu hebat.”

Diminum,” ia meletakkan segelas es jeruk di meja di depanku.

Kamu tegar,” pujiku lagi.

Mendengar itu ia menatap tepat bola mataku, membuatku tahu ada bendungan yang nyaris runtuh di matanya.

Maaf...”

Kenapa?”

Itu, kata-kataku barusan,” rasa bersalah kupersalahkan sebagai penyebab kegagapanku ini.
Tin tersenyum. Ah, gingsul itu...

Kunikmati seteguk es jeruk melewati tengorokanku. Dinginnya berhenti sejenak tepat di dadaku. Menimbulkan rasa aneh yang tiba-tiba hadir. Rasa yang juga pernah kurasakan dulu. Dulu sekali. Ketika suatu sore Rin menemuiku.

Dengan pipi yang kemudian bersungai-sungai kecil, berbaris kata mengiringinya. Kata yang perlu diperam semalaman untuk ditetaskan di depanku sore itu.

Kamu awet muda,” Tin mengagetkanku.

Sekaligus juga menamparku. Empat puluh tahun lebih dia bilang aku muda?! Oo, biarlah. Seperti aku yang tetap membiarkan diriku masih saja sendiri. Dan itu tentu Tin juga tahu. Walau tak bertanya. Karenanya pula aku tak perlu bertanya mengapa ia masih memajang potret pernikahannya dengan Sam di ruang ini.

Seharusnya dulu kau nikahi saja Rin.”

Aku terkesiap. Buru-buru melumuri bibirku dengan senyum setengah matang. Menikahi Rin? Dengan modal apa waktu itu? Secuil keberanianpun aku tak punya. Lantas aku hanya mengumpulkan kata-kata yang kudewasa-dewasakan untuk kusuguhkan kepada Rin. Cih!

Rin menunduk. Tapi, aku menebak, dari bibirnya yang mengatup itu, ada banyak kata yang ingin ia ucap.

Sudahlah,” kataku kemudian. ”Mana ada sih orang tua yang ingin anaknya tidak bahagia?”

Tapi aku kecewa. Sangat kecewa.”

Untuk apa kamu kecewa pada orang tuamu?”

Bukan,” timpal Rin. ”Aku kecewa sama kamu.”

Aku?!”

Ya”

Karena?”

Kamu penakut!”

Duaarrr! Serasa ada petir menyambar. Menghentak. Melemparkan seorang lelaki atas kelelakiannya. Lalu lunglai.

Kulirik wajah Rin. Dingin. Aku tak perlu membalas melempar petir untuk menghangatkannya. Kalaulah benar yang dikatakan Rin aku penakut, tak perlulah kuberani-beranikan diri diri menerima tantangannya; kawin lari!

Pertemuanku dengan Rin sore yang hambar itu, menjadi pertemuan terakhirku. Belakangan, setelah rentang waktu yang kubilang di atas, kudengar ia telah bahagia dengan lelaki pilihan orang tuanya. Lelaki yang tepat, yang telah memberinya sepasang buah hati. Sementara aku tetaplah lelaki yang sendiri.

Hari-hari berikutnya adalah saat aku menyemai benih keberanian. Agar tak ada yang mengatakan aku ini makhluk penakut. Tidak juga kamu, Rin. Tidak juga siapapun. Berbilang minggu, berbilang bulan, berbilang tahun, tak juga tumbuh benih yang kusemai itu. Sampai aku membiarkannya, melupakannya.

Sampai kemudian, angin mengantarkau menemui Tin di suatu malam. Tin sahabat lamaku, juga sahabat Rin. Janda tanpa anak, mantan istri kakak kelasku, Sam. Hm, bumi memang berputar. Namun sepertinya aku hanya berkutat pada putaran yang sempit belaka.

Kamu serius?” tanya Tin ketika kuutarakan niatku untuk mengikatnya dalam hubungan yang sakral.

Aku ingin berhenti, Tin.”

Dari?”

Dari kesendirian yang panjang, juga dari gunjingan keluarga besarku atas kesendirianku itu.”

Hanya karena itu?”

Lebih,” kataku sambil bola mataku menelan bulat-bulat bola matanya. Aku ingin ia membaca kesungguhanku di dalamnya.

Walau statusku begini?”

Apapun adanya dirimu,” ujarku.

Tapi beri aku waktu.”

Untuk?,” tanyaku. ”Tin, rasanya bukan baru kemarin sore kamu kenal aku.”

Setelah kekandasanku itu,” ucap Tin. ”...aku ingin mengenal diriku sendiri lebih dalam.”

Berapa lama?”

Tergantung seberapa lama kamu benar-benar yakin akan keputusanmu.”

“Saat ini pun aku telah selesai,” kataku mantap.

Sam pun dulu juga begitu. Bodohnya, aku saat itu seperti sudah tak punya waktu lagi untuk menimbang...”

Kata-kata Tin barusan, tentu juga tertuju padaku. Ikatan sakral harus pula dipintal dengan kesungguhan yang dalam. Karena kesakralan itu harus abadi, tidak sekadar seumur jagung. Untuk itu memang butuh kesabaran. Sedangkan Sam, kuduga, kurang sabar menunggu Tin memberinya keturunan setelah sekian lama berumah tangga.

Aku terhenyak sendiri. Bukankah yang sudah sekian lama dirindui ibuku adalah kehadiran anak-anakku? Bagaimana pula bila Tin juga tak segera memberiku keturunan? Oh, tidak, tidak. Jangan sampai aku menjadi Sam kedua dalam hidup Tin. Aku percaya, harus percaya, ada sendiri yang mengatur jodoh dan segalanya. Juga keturunan. Aku harus yakin itu.

Anggukan Tin, setelah sekian waktu aku menunggu dengan segala kecamuk kegelisahannya, adalah kabar gembira yang harus segera kusampaikan kepada ibu. Sama seperti waktu kecil dulu, saat aku berlari memegang buku matematika yang tidak kumasukkan ke dalam tas, hanya ingin agar ibu segera tahu, aku dapat nilai sembilan hari itu.
-=**oOo**=-
Aku ingin segera menikah, bu.”

Sebaris kalimat yang barangkali sudah begitu lama ibu ingin mendengarnya. Dalam sekali ibu menatapku. Lalu ibu memelukku. ”Katakan sekali lagi, Di...” bisiknya.

Aku sungguh-sungguh, bu.”

Ibu menarik nafas dalam sekali. Sorot mata teduhnya menyiratkan kebahagiaan yang mengharukan. Sorot mata itu, membuatku merasa bersalah, karena aku telah membuatnya berlama-lama menunggu.

Kan sudah ada Rio, Za, Ve dan Na...” kataku selalu menyebut nama anak adik-adikku setiap ibu bilang, ”Alangkah lengkap keceriaan ini dengan kehadiran anak-anakmu”.

Semoga kamu tak ingin ibu menyusul ayahmu sebelum sempat menimang anakmu,” itu kalimat yang terasa menyayat gendang telingaku tembus ke nadi-nadiku. ”Ibu pikir, setelah kamu mampu mengentas adik-adikmu sepeninggal ayahmu, kamu akan segera menikah. Eh, kok malah keterusan membujang...”

Ibu pula yang selalu bilang, ”Masih belum ingin, pastilah suatu hari nanti ia akan berhenti hidup sendiri,” ketika bude dan bulik-bulikku ngomongin aku pada acara temu keluarga tiga bulanan. Saat yang lain datang bersama pasangan dan anak-anaknya, bertahun-tahun tetaplah aku hanay datang bersama ibu saja.

Kupikir, tak lama lagi pemandangan itu akan berubah. Tak lagi berdua bersama ibu saja. Tapi juga bersama Tin. Aku yakin, tak mungkinlah Tin tak menyayangi ibuku sebagai mertuanya seperti menantu yang tak tahu diri dalam sinetron-sinetron murahan di televisi.

Dia janda, Di?!”

Entah siapa yang bercerita kepada bude Sus tentang Tin, ketika aku masih mencari waktu yang tepat untuk mengatakannya pada ibu. Aku ingin menutup rapat-rapat telinga ibuku ketika bude Sus melanjutkan kalimatnya, ”Bertahun-tahun mencari eh dapatnya cuma janda.”

Dalam tarikan nafas panjang ibu, aku tak mampu memahami apa yang ingin beliau pendam. Menyayangkanku, atau menyayangkan keusilan kata-kata bude Sus. Selanjutnya, beliau malah mengajakku ke dalam kamarnya. Bicara empat mata. Ketika ibu menutup pintu pelan-pelan, aku merasa Rin ada benarnya; aku penakut. Disini, di depan ibuku sendiri, aku merasakan ada ketakutan yang menusuk-nusuk. Sebentuk ketakutan yang teramat asing. Takut tiba-tiba ibu tak menyetujui rencanaku, sekaligus takutku akan kehilangan Tin.

Tin?! Ah, sudah sedemikian pentingkah seorang Tin bagiku? Padahal, seperti kata bude Sus, dia hanya seorang janda, mantan istri temanku. Yang setelah sekian belas tahun tak bertemu baru sekian bulan yang lalu kembali kuakrabi. Keakraban yang kemudian bermakna lain. Mungkin karena memang sudah berjodoh, batinku. Atau jangan-jangan sekadar lampias yang bias? Tiba-tiba ada gamang membayang samar-samar.

Kalau memang kamu sudah mantap, untuk apa kamu dengar omongan budemu,” kata ibu. ”kamu sudah lebih dari cukup untuk menentukan pilihanmu sendiri. Ajaklah dia kesini kapan-kapan, ibu ingin kenal...”

-=**oOo**=-

Dengan segenggam restu ibu, serasa matahari, bulan dan bintang bersama-sama menyinariku. Menerangi langkahku menjemput cintaku. Agak terlambat, mungkin, aku merasakan gila yang indah ini. Di usia segini aku tiba-tiba merasa terlempar ke masa lalu. Masa ketika Tin hanyalah teman biasaku. Seperti halnya Rin.
Rin lagi, Rin lagi. Kenapa nama itu muncul lagi selalu. Nama yang dulu pernah menantangku melebihi keberanianku. Herannya, ketika aku semakin dekat saja dengan Tin, semakin dekat pula bayangan Rin 
 mengikutiku.

Kamu serius ingin menikahi Tin?!,” belum sempat aku berkata ‘hallo’, malam-malam suara dari seberang itu serasa menyeruduk kupingku.

Kamu dengar dari siapa?” sahutku.

Ada yang lebih penting dari sekadar jawaban dari siapa aku tahu rencanamu.”

Tentang?”

Tin,” jawab Rin pendek saja.

Ah, apa pula ini. Sebegitu pentingkah yang akan dikatakan Rin sampai-sampai larut malam begini ia meneleponku.

Di, kamu pernah memberiku petunjuk jalan dan ketika itu kuikuti memang tidak keliru,” kata Rin kemudian. 
”Sekarang, ijinkan aku melakukannya untukmu.”

Aku tak mengerti maksudmu.”

Tapi kamu mengerti mengapa Sam menceraikan Tin?”

Karena Tin belum memberinya keturunan.”

Bukan, Di,” sahut Rin. ”Kamu salah. Dan aku sangat tidak rela kamu dijadikan Sam kedua oleh Tin. Kamu terlalu baik untuk disakiti.”

Aku makin tak mengerti maksudmu, Rin.”

Tin tak akan pernah menjadi istri yang baik bagimu.”

Lalu?!”

Batalkan saja rencanamu,” jawab Rin tanpa ragu.

Ini gila. Benar-benar gila. Bude Sus, budeku sendiri saja, kuabaikan, apalagi ini Rin yang orang luar. Aku telah menggenggam restu ibu, itu yang penting. Tapi tunggu. Kalau yang dikatakan Rin tentang Tin benar bagaimana? Juga jangan-jangan, selama ini diam-diam aku telah dianggap sebagai orang dalam di dalam hati Rin.

Bagaimana, Di?” tanya Rin.

Tak tahu aku harus menjawab bagaimana. Menuruti Rin, berarti aku harus mengecewakan ibu. Dan entah untuk berapa lama lagi. Menyenangkan ibu, dengan menikahi Tin, jangan-jangan Tin memang seperti yang dibilang Rin tadi.

Di...” suara Rin menagih jawaban.

Aku bingung, Rin.”

Rin diam. Aku juga diam. Malam yang hening terasa makin bisu.

Aku mohon, Di,” kata Rin kemudian. ”Jangan kau teruskan.”

Kalau aku jalan terus?”

Rasanya lebih baik kau nikahi Sal daripada Tin,” suara Rin barusan disambung bunyi tut, tut, tut. Rin menutup teleponnya.

Sal? 'Perempuan baru’ itu?!...

Tengah malam, kupandangi langit yang terasa hampa. Jangankan bulan, secuil bintang pun bersembunyi entah kemana. Haruskah malam-malam seperti ini kulalui lagi dalam kesendirian yang panjang. Yang bisa jadi lebih panjang dari sebelumnya.

Sepertinya aku memang telah gagal. Gagal dalam satu hal. Gagal menjadi diri sendiri. *****

Rumah Matahari, November 2005.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar