SEBAGAI
orang, saya terlalu sering khawatir. Hampir setengah kilometer
berangkat dari rumah, di jalan tiba-tiba saya mengkhawatirkan kompor
atau kran air apakah sudah dimatikan, lampu atau televisi dan radio
apakah masih menyala, atau pintu sudah terkunci atau belum. (Istri
sudah berangkat pagi-pagi dan anak-anak telah pula berangkat sekolah,
saya menjadi penghuni terakhir yang berangkat.) Walau ketika saya
balik lagi ke rumah semua baik-baik saja (baca: sudah dimatikan dan
pintu juga sudah terkunci), namun ia laksana hobi yang seringkali
saya ulangi. Iya, saya memang payah.
Saya
termasuk agak telaten (telat jadi manten) juga akibat dari sifat itu.
Sanggupkah menjadi suami yang baik, mampukah kelak menjadi ayah yang
bisa momong dan membiayai anak-anak mendapat pendidikan yang bagus.
Oh, belum-belum sudah takut pada kekhawatiran memang sontoloyo!
Para
jomblowan-jomblowati yang sampai hampir pecah perang dunia ketiga
sekarang ini belum juga nekad memilih gandengan, bukan tidak mungkin
juga karena penyakit khawatir ini. Jangan-jangan yang disetiai tak
menyetiai, jangan-jangan si dia belum seratus persen bisa move
on
dari sang mantan. Berhentilah, hai para jomblo, dari mendengarkan
lagu i'm
single and very happy!
Ya, itu lagu sontoloyo
yang menyesatkanmu menjadi jomblo abadi.
Maaf,
mBlo, kamu harus punya nyali baja. Jangan karena kalimat yang saya
tulis di atas kamu langsung mewek.
Jomblo kok gembeng,
nangisan. Jomblo harus kuat. Bukan hanya kuat dan pandai mengalihkan
topik kala ditanya 'kapan kamu menyusul?' saat menghadiri resepsi
pernikahan sahabatmu, tapi kuat pula menyimpan rahasia kalau
sebenarnya tiap malam kamu membasahi bantalmu dengan air mata. Di
saat orang lain terpingkal menyaksikan Walikota Bandung, Ridwan
Kamil, ber-stand
up comedy
di Mata
Najwa
dengan berpantun, “Berakit-rakit ke hulu, berenang ke tepian.
Teman-temanmu sudah ke penghulu, kenapa kamu masih sendirian,”
engkau hanya sanggup meringis.
Masih
tuna asmara pada lawan jenis, semoga tak kehilangan cinta pada ibu
pertiwi yang sedang bersusah hati. Air matanya tak lagi berlinang
karena sudah kering kerontang. Kekhawatirannya makin mendekati
kenyataan; makin kesini wakil rakyat makin mengkhawatirkan. Bahkan
pada sang ketuanya. Bila nanti kekhawatiran kita terbukti bahwa dia
hanya memikirkan perutnya sendiri dan sama sekali tak mengkhatirkan
perut rakyat yang diwakilinya, tunggu saja pembalasan kuda lumping!
Mari
secara koor menyanyikan lagu lama dari Swami.
Lantangkan suara seperti Iwan atau Sawung Jabo. Suara kita samakan;
paaa...Sekali
lagi: paaa.....
Satu, dua, tiga: ”.♪♫...para
penipu tunggu saatmu, kuda lumping menginjak mulutmu♫♪...”
Di
negeri ini stok orang baik yang jujur tentu masih banyak. Tetapi,
yang tak kalah mengkhawatirkan, mereka-mereka ini kalah canggih
dibanding yang sontoloyo!
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar