Selasa, 19 Januari 2016

Sang Penakluk, Anjing ke Baghdad dan Dewa Mabuk

Judul Buku: Biografi Gus Dur
(Judul asli: The Autohorized Biography of Abdurrahman Wahid,
diterbitkan pertama kali oleh Equinox Publishing)
Penulis: Greg Barton
Penerjemah: Lie Hua
Penerbit dalam Bahasa Indonesia: Saufa bekerjasama dengan IRCiSoD dan LKiS
Cetakan Pertama: Januari 2016
Halaman: xxvi + 514


 DUA orang pemuda dari Indonesia --satu asal Rembang, satunya lagi asal Jombang-- melanjutkan pendidikan ke Kairo, Mesir. Untuk urusan makanan, tugas pun dibagi; satu bagian belanja, satunya lagi bagian memasak untuk kemudian setelah matang disantap bersama. Menu favorit si juru masak adalah jeroan sapi, yang kalau di Mesir bagian itu oleh tempat pemotongan hewan tidak dimanfaatkan. Sebuah karunia bagi dua pemuda itu karena, dengan hanya mengambil secara cuma-cuma jeroan di tempat penjagalan sapi, tentu saja bisa menghemat biaya sebagai mahasiswa yang jauh dari orang tua.

“Untuk apa sih setiap hari ambil jeroan?” iseng salah satu pegawai pemotongan hewan itu bertanya ketika si pemuda Rembang mengambil jeroan.

“Untuk makanan anjing,” asal saja si Rembang menjawab.

Waktu terus berjalan dan suplai jeroan untuk bahan makanan tak pernah kehabisan. Sampai kemudian si mahasiswa asal Jombang yang pinter masak dan kutu buku itu melanjutkan studi ke Baghdad, Irak. Jadilah si mahasiswa Rembang itu tak ada lagi yang memasakkan jeroan sapi dan ketika suatu waktu ia berpapasan dengan pemilik rumah potong sapi, ia ditanya, “Hei, kok sudah lama ente gak ambil jeroan di tempat ane kenapa?”

“Anjingnya sudah pindah ke Bagddad,” jawab si Rembang dengan enteng sekali.

Ya, pemuda Rembang itu namanya Ahmad Mustofa Bisri dan lelaki asal Jombang itu namanya Abdurrahman ad-Dakkil (Abdurahman sang Penakluk) Siapa Abdurrahman Ad-Dakkil? Dialah Abdurrahman Wahid. Siapa Abdurrahman Wahid? Dialah Gus Dur. Siapa Gus Dur?

Ada banyak tulisan mengenai tokoh yang satu ini, tetapi sebagian di antaranya adalah ditulis oleh orang yang sangat mencintainya. Dengan posisi sangat cinta, orang sering tegelincir pada sikap yang tidak obyektif dalam menulis atau bertindak. Seperti kelakuan seorang cendekiawan Prancis, namanya Andee Feillard, yang langsung masuk ke gereja dan lalu berdoa ketika mendengar Gus Dur, sahabat yang dicintainya, dikabarkan telah berpulang, padahal ia 'hanya' menderita stroke akut dan sedang dirawat di RS.

Sesaat setelah melewati masa kritis, Greg masuk ke kamar tempat Gus Dur dirawat dan menceritakan sahabat Prancisnya itu, “Anda tahu hal ini tidak lazim, bukan? Andrre adalah seorang cendekiawan Prancis – cendekiawan Prancis tidak ke gereja, apalagi berdoa.”

Sambil tersenyum Gus Dur menjawab,”Di Prancis, semua orang terbaik adalah seperti itu.” (hal. 9)

Presiden Indonesia paling fotogenic adalah Soekarno. Sampai sekarang, tak sedikit orang memajang gambar Si Bung itu di rumahnya dengan aneka pose. Ya, dipotret dari sudut mana saja Bung Karno memang memancarkan kharisma, walau (zaman itu ia telah sadar betul kekuatan sebuah gambar) mesti dipilih dulu mana yang layak dipublikasikan, mana yang tidak. Jadi, yang beredar sekarang ini adalah foto-foto hasil seleksi dan benarlah adanya, semua fotonya tampak punya aura lebih. Lha Gus Dur?

Dengan perut gendut (menurut Greg Barton seperti perut Budha), berbaju batik murahan dengan kancing yang nyaris tidak bisa dikancingkan, kacamata tebal, rambut tak rapi dengan kopiah model sedemikian, dari sudut mana saja ia kurang bagus untuk difoto. Satu-satunya foto terbaik adalah ketika ia sedang tertawa. Itu pun dengan gigi tak rapi dan agak kuning pula.

Tempat ia ngantor pun setali tiga uang. Sangat sulit mencari tempat yang terlihat lebih ndesa di Jakarta ini dibanding kantor PBNU. Perbedaan akan mencolok ketika membandingkannya dengan kantor PP Muhammadiyah yang terlihat modern dan terawat. Tetapi dengan tamu yang sehari-hari tak pernah sepi, dari rakyat jelata bersarung sampai petingi negeri bahkan utusan luar negeri, sungguh kantor kumuh itu adalah 'mabes' dari sebuah kekuatan yang tak bisa dianggap enteng. Setak enteng si Gus yang bagi yang kurang paham akan menilainya sebagai orang yang plin-plan dan suka bikin inisial-inisial ngawur sebagai dalang sebuah peristiwa.

Akan sulit memisahkan nama Gus Dur dengan NU, organisasi kaum tradisional yang secara jumlah dan ketaatannya kepada kiai sungguh ngedap-ngedabi. Bahkan ketika berkuasa, Pah Harto pun dibikin ketir-ketir olehnya. Bagaimana tidak, selain sebagai nakhoda kapal besar bernama NU yang tradisonal dan sendika dhawuh pada titah kiai, Gus Dur adalah juga tokoh di balik lahirnya ornop bernama Forum Demokrasi. Sebuah wadah para cendekiawan pegiat demokrasi yang gelisah oleh rezim berkuasa yang relatif otoriter. Untuk mengendalikan ad-Dakkil itu, pak Harto mengutus menantunya; Prabowo Subianto.

Selain dibenci (ditakuti, pen) oleh penguasa, Gus Dur sungguh dibutuhkan. Bukanlah hal aneh ketika tengah malam mobil militer meluncur ke Ciganjur dan membawa Gus Dur ke bandara untuk kemudian diterbangkan ke Sumatera atau ke tempat lainnya yang sedang terjadi gejolak. Pemerintah memintanya untuk menengahi pihak-pihak yang bertika dan mengajak tokoh-tokoh utama di balik pertikainan itu untuk berdialog dan menyelesaikan konflik itu secara damai.

Buku ini mengajak pembaca untuk mengikuti perjalanan hidup Gus Dur sejak kecil, remaja sampai kelak menjadi Presiden negara ini. Presiden yang wisatawan, orang bilang. Dari sedikit waktu ia menjabat, ada banyak negara yang dikunjunginya. Kondisi fisik yang kurang sempurna, tak ia hiraukan demi sebuah perjuangan. Karena, seringkali yang diucapkannya bukanlah hal-hal yang ideal menurut orang awam, namun lebih kepada keinginannya semata. Celakanya, untuk mewujudkannya, ia tak menghiraukan keselamatannya. Urat takut telah hilang darinya. Benarkah?

Ketika menghadapi situasi genting, Yeny memeluk ayahnya dan menempelkan kuping ke dada beliau dan mendapati detak jantung Gus Dur berdegup lebih kencang dari biasanya. Begitulah, di balik penampilan yang dibuat seakan tak ambil pusing termasuk kepada intrik lawan-lawan politiknya, degup jantung itu menandakan hal lain. Dan itu manusiawi sekali.

Gus Dur, yang menguasai beberapa bahasa asing dan penikmat musik klasik itu, selalu punya stok joke yang bisa membuat orang ger-geran di sela pidatonya. Tidak hanya di Indonesia, saat kunjungan ke negera lain pun ia bisa membuat presiden tuan rumah yang biasanya tampil jaim menjadi terpingkal karena humor Gus Dur memang sering membuat orang tertawa lepas. Tetapi, maaf, ini buku serius, bukan kumpulan humor. Silakan membaca buku lain bila Anda ingin mati ketawa ala Gus Dur. Buku ini ditulis Greg Barton (bukan Yahya Cholil Staquf, mantar jubirnya yang sekarang menjabat sebagai presiden Terong Gosong, yang salah satu kisah pamannya (Gus Mus) saya pakai untuk membuka tulisan ini), seorang pengajar senior Comparative Studies in Art, Science, and Religion pada Deakin University, di Geelong, Victoria, Australia. Dengan mengkhatamkannya, paling tidak kita tak akan menjadi terlalu repot lagi intuk memahami 'jurus dewa mabuk' orang yang selalu bilang 'Gitu aja kok repot' ini. *****


Tidak ada komentar:

Posting Komentar