DUA orang pemuda dari Indonesia
--satu asal Rembang, satunya lagi asal Jombang-- melanjutkan
pendidikan ke Kairo, Mesir. Untuk urusan makanan, tugas pun dibagi;
satu bagian belanja, satunya lagi bagian memasak untuk kemudian
setelah matang disantap bersama. Menu favorit si juru masak adalah
jeroan sapi, yang kalau di Mesir bagian itu oleh tempat pemotongan
hewan tidak dimanfaatkan. Sebuah karunia bagi dua pemuda itu karena,
dengan hanya mengambil secara cuma-cuma jeroan di tempat penjagalan
sapi, tentu saja bisa menghemat biaya sebagai mahasiswa yang jauh
dari orang tua.
“Untuk apa sih setiap hari
ambil jeroan?” iseng salah satu pegawai pemotongan hewan itu
bertanya ketika si pemuda Rembang mengambil jeroan.
“Untuk makanan anjing,” asal saja
si Rembang menjawab.
Waktu terus berjalan dan suplai jeroan
untuk bahan makanan tak pernah kehabisan. Sampai kemudian si
mahasiswa asal Jombang yang pinter masak dan kutu buku itu
melanjutkan studi ke Baghdad, Irak. Jadilah si mahasiswa Rembang itu
tak ada lagi yang memasakkan jeroan sapi dan ketika suatu waktu ia
berpapasan dengan pemilik rumah potong sapi, ia ditanya, “Hei, kok
sudah lama ente gak ambil jeroan di tempat ane kenapa?”
“Anjingnya sudah pindah ke Bagddad,”
jawab si Rembang dengan enteng sekali.
Ya, pemuda Rembang itu namanya Ahmad
Mustofa Bisri dan lelaki asal Jombang itu namanya Abdurrahman
ad-Dakkil (Abdurahman sang Penakluk) Siapa Abdurrahman Ad-Dakkil? Dialah Abdurrahman Wahid.
Siapa Abdurrahman Wahid? Dialah Gus Dur. Siapa Gus Dur?
Ada banyak tulisan mengenai tokoh yang
satu ini, tetapi sebagian di antaranya adalah ditulis oleh orang yang
sangat mencintainya. Dengan posisi sangat cinta, orang sering
tegelincir pada sikap yang tidak obyektif dalam menulis atau
bertindak. Seperti kelakuan seorang cendekiawan Prancis, namanya
Andee Feillard, yang langsung masuk ke gereja dan lalu berdoa ketika
mendengar Gus Dur, sahabat yang dicintainya, dikabarkan telah
berpulang, padahal ia 'hanya' menderita stroke akut dan sedang
dirawat di RS.
Sesaat setelah melewati masa kritis,
Greg masuk ke kamar tempat Gus Dur dirawat dan menceritakan sahabat
Prancisnya itu, “Anda tahu hal ini tidak lazim, bukan? Andrre
adalah seorang cendekiawan Prancis – cendekiawan Prancis tidak ke
gereja, apalagi berdoa.”
Sambil tersenyum Gus Dur menjawab,”Di
Prancis, semua orang terbaik adalah seperti itu.” (hal. 9)
Presiden Indonesia paling fotogenic
adalah Soekarno. Sampai sekarang, tak sedikit orang memajang gambar
Si Bung itu di rumahnya dengan aneka pose. Ya, dipotret dari
sudut mana saja Bung Karno memang memancarkan kharisma, walau (zaman
itu ia telah sadar betul kekuatan sebuah gambar) mesti dipilih dulu
mana yang layak dipublikasikan, mana yang tidak. Jadi, yang beredar
sekarang ini adalah foto-foto hasil seleksi dan benarlah adanya,
semua fotonya tampak punya aura lebih. Lha Gus Dur?
Dengan perut gendut (menurut Greg
Barton seperti perut Budha), berbaju batik murahan dengan kancing
yang nyaris tidak bisa dikancingkan, kacamata tebal, rambut tak rapi
dengan kopiah model sedemikian, dari sudut mana saja ia kurang bagus
untuk difoto. Satu-satunya foto terbaik adalah ketika ia sedang
tertawa. Itu pun dengan gigi tak rapi dan agak kuning pula.
Tempat ia ngantor pun setali tiga uang.
Sangat sulit mencari tempat yang terlihat lebih ndesa di
Jakarta ini dibanding kantor PBNU. Perbedaan akan mencolok ketika
membandingkannya dengan kantor PP Muhammadiyah yang terlihat modern
dan terawat. Tetapi dengan tamu yang sehari-hari tak pernah sepi,
dari rakyat jelata bersarung sampai petingi negeri bahkan utusan luar
negeri, sungguh kantor kumuh itu adalah 'mabes' dari sebuah kekuatan
yang tak bisa dianggap enteng. Setak enteng si Gus yang bagi yang
kurang paham akan menilainya sebagai orang yang plin-plan dan suka
bikin inisial-inisial ngawur sebagai dalang sebuah peristiwa.
Akan sulit memisahkan nama Gus Dur
dengan NU, organisasi kaum tradisional yang secara jumlah dan
ketaatannya kepada kiai sungguh ngedap-ngedabi. Bahkan ketika
berkuasa, Pah Harto pun dibikin ketir-ketir olehnya. Bagaimana
tidak, selain sebagai nakhoda kapal besar bernama NU yang tradisonal
dan sendika dhawuh pada titah kiai, Gus Dur adalah juga tokoh
di balik lahirnya ornop bernama Forum Demokrasi. Sebuah wadah
para cendekiawan pegiat demokrasi yang gelisah oleh rezim berkuasa
yang relatif otoriter. Untuk mengendalikan ad-Dakkil itu, pak Harto
mengutus menantunya; Prabowo Subianto.
Selain dibenci (ditakuti, pen) oleh
penguasa, Gus Dur sungguh dibutuhkan. Bukanlah hal aneh ketika tengah
malam mobil militer meluncur ke Ciganjur dan membawa Gus Dur ke
bandara untuk kemudian diterbangkan ke Sumatera atau ke tempat
lainnya yang sedang terjadi gejolak. Pemerintah memintanya untuk
menengahi pihak-pihak yang bertika dan mengajak tokoh-tokoh utama di
balik pertikainan itu untuk berdialog dan menyelesaikan konflik itu
secara damai.
Buku ini mengajak pembaca untuk
mengikuti perjalanan hidup Gus Dur sejak kecil, remaja sampai kelak
menjadi Presiden negara ini. Presiden yang wisatawan, orang bilang.
Dari sedikit waktu ia menjabat, ada banyak negara yang dikunjunginya.
Kondisi fisik yang kurang sempurna, tak ia hiraukan demi sebuah
perjuangan. Karena, seringkali yang diucapkannya bukanlah hal-hal
yang ideal menurut orang awam, namun lebih kepada keinginannya
semata. Celakanya, untuk mewujudkannya, ia tak menghiraukan
keselamatannya. Urat takut telah hilang darinya. Benarkah?
Ketika menghadapi situasi genting, Yeny
memeluk ayahnya dan menempelkan kuping ke dada beliau dan mendapati
detak jantung Gus Dur berdegup lebih kencang dari biasanya.
Begitulah, di balik penampilan yang dibuat seakan tak ambil pusing
termasuk kepada intrik lawan-lawan politiknya, degup jantung itu
menandakan hal lain. Dan itu manusiawi sekali.
Gus Dur, yang menguasai beberapa bahasa
asing dan penikmat musik klasik itu, selalu punya stok joke
yang bisa membuat orang ger-geran di sela pidatonya. Tidak hanya di
Indonesia, saat kunjungan ke negera lain pun ia bisa membuat presiden
tuan rumah yang biasanya tampil jaim menjadi terpingkal karena
humor Gus Dur memang sering membuat orang tertawa lepas. Tetapi,
maaf, ini buku serius, bukan kumpulan humor. Silakan membaca buku
lain bila Anda ingin mati ketawa ala Gus Dur. Buku ini ditulis Greg
Barton (bukan Yahya Cholil Staquf, mantar jubirnya yang sekarang
menjabat sebagai presiden Terong Gosong, yang salah satu kisah
pamannya (Gus Mus) saya pakai untuk membuka tulisan ini), seorang
pengajar senior Comparative Studies in Art, Science, and Religion
pada Deakin University, di Geelong, Victoria, Australia. Dengan
mengkhatamkannya, paling tidak kita tak akan menjadi terlalu repot
lagi intuk memahami 'jurus dewa mabuk' orang yang selalu bilang 'Gitu
aja kok repot' ini. *****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar