Minggu, 30 Oktober 2011

Rahasia Sukses

TIDAK ada rahasia untuk meraih sukses. Itu adalah hasil persiapan, kerja keras, dan belajar dari kegagalan.

( Colin Powell, tokoh AS )

Si Kunci

TELEPON berdering. Dari seberang suara mbak Nanin Indah mengabarkan kunci laci mejanya bermasalah. Sejurus kemudian saya meluncur ke TKP. Ke office 103. Kerusakan itu tak seberapa serius, saya kira. Kunci dan cylinder itu memang bukan 'suami-istri'. Ia bukan pasangan sah. Makanya, ia tidak bisa muter. Jadi?

“Harus ganti baru, mbak. Atau kalau mau lebih murah, ya diduplikatkan saja anak kuncinya,” jawab saya.

Sampai titik itu semua beres. Mbak Nanin setuju untuk diduplikatkan saja. Saya balik kanan grak menunggu kabar selanjutnya.


Ketika kunci duplikat selesai, telepon berdering lagi. Mengabari hal agak diluar dugaan saya. Anak kunci itu telah disesuaikan sebagai 'suami', tetapi tetap ada masalah. Bisa berputar, tetapi gagal mengunci. Ini dia; kunci tidak bisa mengunci! Aneh. Seaneh penyanyi tak bisa menyanyi, atau atasan yang tidak bisa mengatasi.

Sekalipun saya bukan ahli kunci, sebagai bagian dari tugas, saya meluncur lagi ke TKP yang sama. Saya utak-atik. Saya putar kekiri dan kekanan. Lalu saya susul dengan gelengan kepala kekiri-kekanan. Dalam gelengan itu saya artikan sebagai; saya harus meminta bantuan teman yang lebih ahli tentang dunia perkuncian; 'oknumnya' adalah cak Tris.

Dan benarlah yang saya duga. Cak Tris, dengan kemampuan 'linuwihnya', hanya melakukan 'operasi kecil' atas kunci yang bermasalah itu. Beres. Key word dari hal ini adalah; serahkan sesuatu pada ahlinya.


Saya telah searching, tetapi belum menemukan oleh siapa kunci itu diciptakan dan sejak kapan ia digunakan. Dan malah, ketika saya minta bantuan mbah Google mencari (dengan lebih dulu menulis kata kunci 'kunci', yang muncul adalah kunci sukses, kunci meraih kebahagiaan, kunci bermain gitar dst, dsb...

Ya, dalam banyak (kalau tidak disebut semua) bidang, adalah semacam lacinya mbak Nanin. Ada pintunya, sekaligus ada kuncinya.

Untuk membuat tulisan inipun saya memakai kunci. Ia menjadi laksana password  untuk masuk kesebuah akun. Dalam hal ini, agar saya bisa masuk dan 'memasuki' sampeyan yang sampai kalimat ini masih sudi-sudinya membaca catatan ini.

Diseantero tempat, banyak aneka 'kunci' yang bisa jadi cocok untuk 'cylinder' kita. Kita bisa, kalau mau, dengan mudah mencomotnya. Buku-buku motivasi, atau petuah-petuah bijak adalah juga 'kunci'. Kisah-kisah orang sukses dengan segala jalan terjal berliku prosesnya adalah 'kunci'. Tidak ada yang salah ketika kita meng-copy paste-nya. Tidak harus sama persis. Karena, saya pernah membaca seorang pebisnis sukses yang memakai rumus ATM. Amati, tiru dan modifikasi.

Okelah. Upaya boleh ditiru, tetapi rejeki ada yang mengatur. Bisa jadi sampeyan adalah pencipta lagu dan istri sampeyan hobby fotografi, tetapi sampeyan berdua bukan presiden dan ibu negara. Karena hanya ada sepasang suami-istri dengan hobby begitu yang sedang beruntung menjadi pemimpin negara besar ini.

Maaf, kalimat diatas itu terlalu lebay. Namun, “Success is my right,” kata seorang motivator.
Mau?

Jumat, 28 Oktober 2011

Quotes


"It is better to be violent if there is violence in our hearts, than to put on the cloak of non-violence to cover impotence" 
--Mohandas Karamchand Gandhi

Kamis, 27 Oktober 2011

Selasa, 25 Oktober 2011

Sasaran Tembak


KAMERA, bagi seorang fotografer (baik yang profesioanal maupun yang kelas amatir) adalah barang yang fardu 'ain hukumnya untuk selalu ditenteng. Ia ibarat senjata bagi tentara atau polisi. Dimana ada sasaran yang layak ditembak, tinggal klik!

Saya bukanlah termasuk yang begitu itu. Yang amatir sekalipun. Walau, pernah berhari-hari membawanya, membayangkan ada obyek langka yang layak 'tembak'. Tetapi saya bukanlah orang yang sabar. Dalam berhari-hari itu, sambil berangkat dan pulang kerja, hanya satu-dua yang kena sasaran saya. Selebihnya nihil.

Disitulah lalu saya menyerah. Eman-eman si Canon saya tentang-tenteng tanpa pernah ditembakkan. Tetapi, lhadalah. Disaat saya tanpa 'senjata' itu, melintas depan hidung saya obyek yang saya idamkan; seorang bapak bersepeda ontel ikut berjejal dipadatnya lalu lintas raya Wonokromo ssebelah Bonbin ke arah raya Darmo. Seorang bersepeda, apa istimewanya?

Kalaulah ia sekadar seorang bapak yang sedang bike to work secara lazim, tentu saya tak istimewakan dia. Tetapi karena ia tampil beda, tentu ia saya nilai beda. Perbedaan itu adalah; ia memakai helm lengkap dengan jaket dan sepatu kets. Dan, perlu saya tegaskan, helm itu bukan helm sepeda, tetapi helm teropong SNI yang sebagai pasangan orang bermotor.

Kalau ketika itu saya bawa kamera, dan berhasil 'menembaknya', tentu saya tak perlu berbuih-buih menulis deskripsinya kepada sampeyan..

Besoknya, saya kembali bawa kamera. Berharap ketemu si bapak itu lagi. Atau paling tidak nemu obyek lain yang tak kalah menarik. Saya merasa, kok kayak aparat kemanan yang kembali bergairah melakukan razia setelah kebobolan bom. Dalam membawa kamera ini, saya terkesan 'hangat-hangat tahi ayam'.

Lama tak mendapat sasaran tembak, kelakuan saya kumat lagi. Si Canon saya tinggal lagi. Ia saya biarkan tidur nyenyak di laci lemari kamar saya yang panas di akhir bulan Oktober ini.
Dan, ndilalah, disaat saya tak berkamera begitu, muncul lagi sasarannya. Bukan si bapak yang tempo hari itu. Bukan sekadar sepeda ontel, tetapi sepeda motor.

Kali ini saya mengikutinya sampai di jalan Mayjen Sungkono. Namun saya mulai melihatnya sejak di lampu merah depan bekas studio radio Lavictor diujung jalan Adityawarman menjelang Mayjen Sungkono. Motor itu sejenis yang saya tunggangi. Honda dari jenis Supra X-125. Warnanyapun tak berbeda dengan punya saya; kombinasi merah hitam dengan velg bintang. Nopolnya; L 6844 AE.

Yang membedakan dari motor saya, pada 'pinggul' kanan kiri, dibawah joknya, tak tertera tulisan resmi Honda. Tetapi Akas, warna kuning persis seperti yang menempel pada tubuh PO Akas.

Saya ikuti si Akas itu, sambil menyesal saya tak membawa kamera. Terus saja saya ikuti sampai ia berbelok ke SPBU di sebelum taman makam pahlawan. Sampai disitu saya baru berusaha menghibur diri; saya bukan fotografer. Saya ingin menjadi penulis. Karena dengan 'hanya' sebagai penulis, nyaris saya tak memerlukan alat bantu ketika membidik sasaran. Saya hanya perlu menyimpannya diotak, kemudian menuliskannya. Walau, tentu saja, tulisan itu akan lebih memikat bila disertai hasil jepretan kamera.

Salam.

Minggu, 23 Oktober 2011

Happiness

"Kebahagiaan tidak datang dari melakukan pekerjaan mudah, tapi dari sisa-sisa cahaya kepuasan yang datang setelah pencapaian tugas sulit yang menuntut yang terbaik '.
(Theodore Isaac Rubin)

Ayam Goreng 'Striker'

DIDEKAT rumah saya ada penjual jamu yang laris sekali dagangannya. Banyak yang cocok, rupanya. Tetapi, kalau saya amati, jamu yang dijual sama saja dengan yang djiual tukang jamu yang lain. Ada Sido Muncul, Air Mancur, Jamu Jago, Dua Putri Dewi, Nyonya Meneer dan lain-lain. Jan pleg sama. Ataukah kecocokan itu sama halnya dengan; semua orang bisa bikin sambel pecel tetapi, lain tangan lain pula kesedapannya. Begitu? Entahlah.

Di kios jamu yang terletak didepan rumahnya itu ada tersedia beberapa bangku. Itu untuk tempat berantre. Karena cak No, begitu tukang jamu itu biasa dipanggil, mengaduk ramuan jamunya menggunakan tangannya. Tidak pakai mesin pengaduk. Jadi, ya memang lama. Tetapi sekalipun begitu, karena banyak yang 'jodo', tetap saja orang rela antre.

Sebagaimana lazimnya tukang jamu, ia sangat tidak sama dengan dokter! Begini maksud saya; kalau saya ke dokter, setelah diperiksa, saya pasrah bongkokan saja mau dikasih obat apa. Itu menjadi semacam hak prerogatif dokter. Ke tukang jamu tidak begitu. Kita bebas menentukan jamu apa yang kita minum. Misalnya, kita bisa meminta jamu Ngeres Linu dari merek Nyonya Meneer dicampur Esha yang buatan Jamu Jago. Dan tukang jamu seperti cak No ini, akan tidak banyak tanya tentang hal itu.

“Jamu apa, cak?” tanya cak No ketika giliran saya.

“Ngeres Linu yang Nyonya Meneer,” jawab saya.

“Campur?”

“Tidak, cak.”

“Telurnya?”

“Satu saja.”

Selanjutnya, istrinya yang mengambil bungkusan jamu pesanan saya. Menggunting bungkusnya, menuang ke gelas. Tiba giliran mengaduk, itu bagiannya cak No.
“Yang linu apanya?” bertanya begitu cak No sambil mengaduk jamu pesenan saya.
Boyok, cak”

Boyok kiri apa kanan?”

Halah, memangnya ada jamu yang khusus boyok tertentu begitu? Saya tersenyum, bisa jadi itu sekadar intermezo agar pelanggan sedikit terhibur setelah sekian lama menunggu.


Suatu kali saya diajak teman purchasing belanja ke pertokoan di jalan Baliwerti. Ketika tiba waktu makan siang, diajaklah saya andok ke sebuah warung pinggir jalan. Seperti halnya warung jamunya cak No, warung nasi inipun ramai sekali. Tak perlulah saya ceritakan kenapa sebuah warung menjadi sangat laris. Pasti sampeyan telah tahu; kalau gak murah, ya masakannya yang enak. Dan kata teman purchasing tadi, warung itu perpaduan dari keduanya. Ya murah, ya sekaligus enak.

“Pakai apa, cak?” tanya Joko, si teman purchasing kepada saya. Ya, ia berhak bertanya begitu kepada saya karena memang ia yang mbayari.

“Wah, aku ya ikut kamu saja,” jawab saya.

Akhirnya, “ Pakai ayam goreng dua, buk,” pesan Joko ke si ibu warung.

“Paha apa dada?” tanya ibu warung.

“Sayap ada?”

“Ada.”

“Ya, saya sayap saja.”

“Sayap kiri apa sayap kanan?” tanya ibu warung lagi.

Saya melirik Joko sambil tersenyum, “Kamu pilih yang 'striker' saja, Jok.”

Selasa, 18 Oktober 2011

Foto Pancingan

     KARENA tak juga menikah, suatu hari ayah saya membawakan selembar foto pernikahan seseorang. Saya tersinggung. Itu bukan foto pernikahan seorang saudara. Bukan. Itu hanyalah foto pernikahan seorang mantan tetangga. Mantan? Iya. Karena saat itu rumah kami telah sangat berjauhan.
     Jadi, apa tujuannya menunjukkan foto sepasang ratu dan raja yang tidak ada hubungan kekerabatan itu didepan saya? Dalam luapan emosi itu saya tahu, itu sebagai pancingan. Agar saya segera ingin menikah. Menikah? Ah, mana ada orang tua yang begitu tega anaknya diperistri oleh saya yang sedang naik daun sebagai pengangguran? Oh, bumi gonjang ganjing......
     Dirundung rasa tersinggung itu, saya nunut truk pergi ke kota Surabaya. Dan setelah kesana kemari menjadi kuli, saya akhirnya dapat istri juga. Orang jauh. Karena, ya itu tadi, kalau orang dekat rumah mana ada yang mau? Hehehe...
     Belakangan saya sadar makna foto pancingan yang ayah tunjukkan dulu. Agar saya emosi. Agar saya 'minggat'. Agar saya menapaki hidup ditempat lain yang jauh dari rumah. Karena, ditempat baru, akan memunculkan segala kemungkian baru.
     Salam.

Sabtu, 15 Oktober 2011

Operasi Kecil

     SEKITAR tiga tahun yang lalu istri saya mengalami gangguan pada penglihatannya. Semakin hari semakin dikeluhkannya. Ingin tahu apa yang terjadi demgam matanya, istri saya memeriksakan ke dokter perusahaan di tempatnya bekerja. Hasilnya? Harus didiagnosa oleh dokter spesialis mata. Maka dirujuklah istri saya ke rumah sakit terbesar di Surabaya.
     Pada hari yang ditentukan, saya antar istri saya ke RS itu. Setelah antre beberapa waktu, dipanggillah istri saya masuk ke ruang pemeriksaan di poli mata. Saya masih ingat, yang memeriksa dokter Ferry namanya. Masih muda. Dan ganteng. Tidak tahu saya, karena mengalami gangguan pada matanya, apakah istri saya sempat memerhatikan kegantengan sang dokter.
     “Harus dioperasi ini,” kata dokter Ferry, enteng.
     Operasi?
      Wah, melihat jarum suntik saja istri saya hatinya berdesir, kok ini harus operasi. Mata lagi.
     Dokter ganteng itu tersenyum. “Ini operasi kecil saja, kok,” katanya seolah tahu apa yang sedang berkecamuk didalam hati kami.
     Saya dan istri saya diam. Operasi kecil? ‘Tetapi ini mata, dok.’ Tentu kalimat bantahan barusan itu hanya berkecamuk dalam batin saya saja.
     Saya dan istri sedang kompak membayangkan tentang operasi. Sekalipun itu kecil saja kategorinya. Tetapi karena TKPnya adalah mata, ngeri saya membayangkan bila disaat operasi tiba-tiba salah satu alatnya mak pluk jatuh ke kornea mata istri saya. Itu kekhawatiran pertama saya. Tetapi kekhawatiran lainnya, penglihatan istri saya akan makin memburuk bila tidak segera ditangani.
     “Semua keputusan ada di pihak ibu. Tetapi kalau menurut medis, ya memang harus dioperasi,” dokter Ferry kembali berkata. “Bagaimana?”
     Setelah menghela nafas dan membaca basmalah, istri saya mengangguk. Sekalipun saya tahu, ada takut dihatinya. Juga dihati saya.
     Tiga hari kemudian, tibalah saatnya operasi. Duduk diruang tunggu kamar operasi, saya lihat wajah istri saya yang biasanya hitam manis mendadak putih bersih; karena pucat. Sebagai supporter, tentu saya harus selalu menyemangatinya. Selalu. Lebih-lebih ketika secara bergantian, para pasien yang tadinya ikut antre di ruang ini, keluar dari kamar operasi dengan perban tebal dimatanya. Salah satu, atau bahkan keduanya.
     Ketika nama istri saya dipanggil, sebelum masuk, saya genggam tangannya yang dingin. Mulut saya terkatup rapat, hanya mata saya yang bicara. Dan saya tahu, ia tahu apa maknanya.
     Menunggu diluar kamar operasi, hati saya tak karuan. Bukan memikirkan biaya, karena itu telah ditanggung oleh asuransi. Beberapa waktu dalam perasaan was-was itu, akhirnya timbul kepasrahan. Mulut tak henti komat-kamit menyebut nama Tuhan. Selebihnya, saya coba menenangkan diri bahwa; istri saya sedang ditangani oleh ahli dalam bidangnya. Ditangan sang ahli, sesuatu yang saya anggap hal besar, bisa jadi hanyalah hal kecil semata.
     Syukurlah, bayangan tentang alat operasi yang jatuh ke kornea tak terbukti. Bukti lainnya, setelah melalui dua kali oprerasi, mata istri saya kembali seperti sedia kala. Yang tentu bisa dengan gamblang memandang wajah dokter Ferry yang ganteng itu.

     Duduk didepan komputer ini, saya bisa menulis satu topik ringan –macam catatan sepanjang sekitar limaratus karakter ini–  dalam beberapa menit saja. Padahal saya belum terlalu ahli di bidang ini. Bagi yang sangat ahli, tentu akan lebih cepat, sekaligus lebih baik lagi.
     Menangani hal-hal lain mungkin juga bisa dianalogikan begitu. Dalam menulis, bisa saja orang –karena keahliannya– menganggap bukan hal yang sulit. Ia hanya perlu mekakukan ‘operasi kecil’ untuk membuat topik sederhana menjadi sebuah bacaan yang asik. Tetapi ketika komputernya mendadak ‘mampus’ dan tidak bisa booting, bisa jadi ia akan mati kutu mengatasinya. Ia perlu ahli komputer. Dan, sekali lagi, karena punya kemampuan linuwih, si ahli komputer hanya perlu melakukan ‘operasi kecil’ pada komputer yang modar itu.
     Kalau mau, tentu contohnya akan bisa dibuat berderet panjang. Dari masalah marketing perusahaan sampai cara me-manage keuangan keluarga. Dari mengurus anak balita sampai mengurus orang tua yang sudah memasuki masa pikun. Hermawan Kartajaya untuk bidang marketing, Syafir Senduk untuk bidang keuangan, atau nama lain dalam hal keluarga,misalnya.
     Saya sedang berkaca sekarang. Termasuk sebagai ahli apakah saya ini? Yang sanggup menyelesaikan suatu hal hanya dengan melakukan ‘operasi kecil’ saja.
     Salam.

Tulisan saya yang lain:

Jumat, 14 Oktober 2011

Bunga

BUNGA adalah kekekalan yang sekejap.


(William Blake, penyair Inggris abad 18)

Kamis, 13 Oktober 2011

Sahabat Pena

sahabat pena
sahabat pena datanglah
bayang-bayang…..


     SEBAGAI orang jadul, saya tentu tahu lagu diatas. Ya, lagu itu populer lewat penyanyi bertampang imut, Boy Sandi. Lagu yang menjadi tembang andalan diantara sepuluh lagu lain dalam kaset berjudul Sahabat Pena itu diciptakan oleh Cherry LZ, dan diproduksi oleh Nursandi Record pada tahun 1985. Bagi saya, nama Cherry LZ masih kalah populer dibanding dengan nama lain misalnya  Ade Putra, Dadang S. Manaf atau Wahyu OS yang juga menciptakan lagu di album itu. Tetapi Sahabat Pena memang memiliki gambaran kuat tentang tren ketika itu; surat-suratan.
     Dalam surat-suratan itu, ada nama lain yang saya ingat. Kertas Harvest. Kertas khusus surat-suratan itu, selain memiliki desain yang menarik, juga mengeluarkan aroma romantis. Karenanya, ketika menerima surat dari sahabat pena, tak bosan dibaca berulang-ulang. Selain karena untaian kata yang romantis habis, juga karena aroma kertas  yang  bisa bikin seakan dua sahabat saling bertemu langsung di taman penuh kembang. Kertas Harvest itu, belakang saya baru tahu, dibikin oleh orang yang sekarang menjadi motivator kondang Indonesia; Andrei Wongso.
     Sebagai orang yang suka menulis, saya pun pernah terlibat dalam tradisi  tempo doeloe ini. Dan, untuk mendapat sasaran teman yang akan kita kirimi surat, tidaklah sulit. Karena hampir disemua majalah remaja, menyediakan rubrik khusus ‘sahabat pena’. Tentu saya masih lugu ketika itu. Sehingga tak menaruh curiga sedikitpun tentang apakah foto yang dipampang dimajalah itu asli atau bukan. Karena, bisa juga demi agar banyak mendapat sahabat pena, orang menaruh foto orang lain yang keren. Seperti yang ditempel pada profil para fesbuker sekarang. Dalam tulisan di era sahabat pena, kata-kata indah yang teruntai berjuntai-juntai itu, tak jarang sekadar kalimat gombal semata. Sungguh tak beda jauh dengan rombongan status palsu di era Efbi kini.
     Dalam bersahabat pena itu, saya sempat akrab dengan seorang teman asal Malang. Intens sekali saya saling kirim surat. Tetapi ini kasus khusus. Kami tak saling tahu wajah masing-masing. Karena saya tahu nama dan alamatnya dari meminta keseorang teman. Saya pilih dia karena, dia pintar merangkai kata-kata indah. Tulisan tangannya pun indah. Sekian lama kami terlibat dalam persahabatan buta.
     Setiap kali ia minta dikirimi foto, setiap kali pula tak saya kirimi. Saya takut. Wajah saya bukan tipe dia. Sering saya mendengar cerita teman, bersahabat pena sebaiknya tidak saling tahu wajah. Karena itu bisa lebih tulus. Bukan karena  tampang belaka.
     Sekian lama permintaannya tak saya penuhi, ia geregetan juga. Nekat lebih dulu mengirimi saya foto!         Dan? Olala...  *****

Rabu, 12 Oktober 2011

Pidato Pembuka


SEBAGAI yang hanya perkemampuan cekak, ditambah sudah agak lama tidak berdiri di depan orang banyak, membuat rasa grogi datang tak diundang. Setegar-tegarnya kaki saya berdirikan, dengkul kothekan  juga.

     “Asssalamu’alaikum warahmatullaahi wabarokaatuh...”

Saat-saat menegangkan itu.
     Uluk  salam saya itu dijawab suara gemuruh hadirin yang lumayan banyak. Ya, memang itu pengajian umum. Saking umumnya, sampai menutup satu sisi jalan umum. Yang tidak umum adalah, setelah uluk  salam itu, mukaddimah yang semalaman saya hapalkan, tiba-tiba pergi tanpa pesan.

     Titik panik mulai terpantik. Mau tak mau saya merogoh saku; cari kerpekan. Apesnya lagi, contekan yang saya tulis itu adalah draft  kasar. Tulisannya laksana huruf pada selembar resep dokter. Ini dia, saya jadi kesulitan membaca tulisan sendiri. Saking groginya, ngawur tangan saya meraih mik yang sebenarnya sudah ada tiang penyangganya.

     Anak-anak kecil dideretan depan mulai berulah,”Huuuu...” teriaknya seperti menyoraki penyanyi dangdut yang tiba-tiba lupa syairnya.

     Sementara para hadirin-hadirat dewasa tetap duduk manis didepan saya yang nyaris nangis. Setelah menarik nafas, saya luncurkan kata pembuka seadanya. Secepatnya.

     Setelah membacakan susunan acara, menuruni tangga panggung tubuh saya terasa limbung.Uiiisiiinnnn.....


     Seorang bos stasiun televisi swasta, pada saat peresmian mengudaranya  stasiun tv itu secara nasional beberapa tahun lalu, juga mengalami hal serupa. Dengan busana resmi, berjas dan berdasi, dengan disorot close up  kamera, dan disiarkan secara live  ke seantero Indonesia.

     Berdiri ditengah panggung megah, beliau membuka pidatonya dengan uluk salam,

     “Asmala....., as..., asmala.... , asmalaikum....”

Selasa, 11 Oktober 2011

Tujuan dan Peraturan

APABILA ada sebuah tujuan yang baik dan diyakini akan membaikkan, tetapi terbentur peraturan yang belum mengakomodasinya, bukan tujuan yang harus putar haluan. Tetapi, peraturan itu yang harus menyesuaikan tujuan.
(Jusuf Kalla, mantan wakil presiden Republik Indonesia) 

Stocking

MUMPUNG dikota, nenek kang Karib merengek minta diajak ke mal. Pingin lihat mal yang asli. Karena selama ini ia cuma lihat di televisi.

Sebagai cucu yang baik, sekalipun agak gengsi, ia ajak juga neneknya ke mal. Takut ini adalah permintaan terakhirnya. Maklum, umur si nenek sudah 70 tahun lebih.

Sesampainya di mal, bener juga dugaan kang Karib. Sebagai orang yang berasal dari pelosok desa, nenek selalu heran melihat seisi mal. Malah, sebelum masuk ia lepas sandal di depan pintu,” Lantainya mengkilat, lantai masjid saja kalah,” kata si nenek.

Kang Karib makin keki. Lebih-lebih ketika berjalan didekat SPG yang lagi nunggu pameran HP.

“Rib, Rib, itu lihat. Kok ada wanita muda cantik, wajahnya putih bersih, kok kakinya hitam,” celetuk nenek.
Dengan geregetan, kang Karib membisiki kuping neneknya,” Itu namanya stocking, nek…”

Apesnya lagi, seorang SPG malah mendekati kang Karib, “Mau belikan nenek ponsel baru ya,pak?”

Kang Karib nyengir.

“Nenek pasti ketika muda cantik banget,” puji si SPG sambil mendekati nenek. “Sekarang saja masih kelihatan kecantikannya. Tapi kulitnya memang mulai keriput ya, nek. Kalau boleh tahu, umur nenek berapa?”

Rupanya nenek agak tersinggung dibilang kulitnya sudah keriput,” Cu, ini bukan kulit. Ini stocking…” ****

Minggu, 09 Oktober 2011

Celana Hitam

SAYA pernah mendapat hadiah celana panjang dari paman. Ia bukanlah celana baru. Ia hanya lungsuran semata. Bekas celana sekolah yang tidak dipakainya lagi. Warnanya putih bersih. Layaknya celana dokter.

Karena putihnya itu saya menjadi kurang PD memakainya. Ada saja yang mengatainya. Dibegitukan teman, tentu saya harus memutar otak agar saya dapat mengenakannya dengan nyaman. Caranya, sepotong celana itu harus saya hitamkan.

Membelilah  saya sebungkus pewarna pakaian dipasar. Sesampainya dirumah, mulailah saya melakukan 'operasi wajah' kepada si celana. Terbayang diangan ia akan segera berganti warna. Harapan saya, begitu ia menjadi hitam, ia akan cocok dikenakan dengan paduan atasan apa saja. Sungguh, hanya segitu itu pemahaman saya atas cara berbusana.

Air dipanci mendidih sudah. Sebungkus pewarna saya larung kedalamnya. Diaduk sedemikian rupa didalam air yang terus saja saya jerang. Ketika air sudah menghitam, tibalah giliran si celana putih saya rebus. Diwolak-walik. Harapan saya kian membumbung. Celana panjang warna hitam akan segera hadir sebagai penjelmaan si putih yang tamat riwayatnya, di godok dalam kawah candradimuka bertabur pewarna merk Srigunting.

Setelah sekian menit dibegitukan, saya angkatlah si celana. Hasilnya? Ia menjadi abu-abu! Lengkap dengan wiru abadi yang pating njekithut. Sungguh makin tak pantas saya kenakan.

Begitulah, kenyataan memang kadang tak sesuai harapan. Diperlukan ilmu untuk meraihnya. Bukan sekadar asal rebus saja.

Salam.















Sabtu, 08 Oktober 2011

Suara Hati

WAKTUMU sedikit. Jangan hirau pendapat orang. Hirau pada suara hatimu.

(Steve Jobs, mendiang CEO Apple)

Reshuffle dan Ngiris Apel


KATA orang, presiden kita itu peragu ya, kang?”

“Wah, gak tahu ya aku,” sahut kang Karib.

“Lamban,” lanjut mas Bendo.

Kang Karib diam. Dan diam itu, dinilai mas Bendo sebagai kelambanan pula.

“Kok sampeyan  gak komentar, kang?” protes mas Bendo.

“Komentar apa?”

“Ya misalnya tentang reshuffle yang lamban ini.”

Waduh, kamu kok makin tak sabaran, nDo?”

“Geregeten aku.”

“Kenapa?” tanya kang Karib.

“Ya mestinya jadi pemimpin itu yang cag-ceg, tidak klunah-klunuh begitu.”

“Hust, hati-hati kamu kalau ngomong.”

Lha, supaya pasti gitu lo, kang.”

“Terus efeknya apa buat kamu kalau sudah ada reshuffle? Hm?”

Mas Bendo diam. "Iya ya, kang. Sepertinya kok gak ngefek ya buat aku," ujar mas Bendo kemudian.

“Begini, nDo. Ibaratnya, presiden kita itu sedang pegang sebutir apel. Yang akan dibagikan kepada sekian banyak orang. Sebelum mengiris apel, harus matang perhitungannnya. Siapa dapat berapa iris. Siapa yang irisannya tebal, siapa yang agak tipis.”

Lha, kalau ada yang maksa minta irisannya lebih tebal dari yang lain, bagaimana hayo?” tanya mas Bendo.

“Ya, itulah yang bikin pengirisan apel makin tak kunjung dilakukan,” sahut kang Karib.

"Bukankah reshuffle itu hak prerogatif presiden, kang?"

"Iya, tetapi hak itu laksana kalimat; 'keputusan panitia mengikat kecuali diganggu gugat'. Begitu."

Menang Undian

JAM depalan kurang seperempat, saya menerima SMS pemberitahuan. Saya menang undian! Tidak tanggung-tanggung, hadiahnya sejumlah 75 juta rupiah. Lengkapnya, bunyi pesan pendek itu begini,
“Selamat, Anda memenangkan hadiah utama dari ulang tahun Indosat yang diundi jam 23.30 tadi malam di SCTV. Untuk keterangan lebih lanjut, silakan hubungi CS. PT Indosat di nomor 085762585xxx.
Dengan bapak drs. H. Soewandi.”

 Tentu saya tak percaya. Tetapi saya tak habis pikir, kok bisa-bisanya dia tahu kalau jam pengundian itu saya sudah matikan televisi dan asyik menulis. Tapi si bapak H Soewandi itu ternyata ceroboh sekali. Karena, sekalipun ia mengabarkan hadiah dari Indosat, tetapi mengirimkan pesan itu lewat nomor 0878xxxxxxxx. Ini nomor XL.

 Maka, karena nomor CS yang harus saya hubungi adalah nomor IM3 yang sebangsa setanah air dengan punya saya, iseng saya telepon. Toh, kalau pagi begitu sesama operator bertarif murah sekali.


 “Costumer service Indosat selamat pagi. Ada yang bisa dibantu?” suara lelaki disebarang sana cekatan menyapa saya begitu telepon nyambung.

 “Begini, pak. “ kata saya sok tidak tahu.” Saya dapat SMS kalau saya memenangkan undian ultah Indosat, apa benar?”

 “Maaf, dengan siapa saya bicara?”

 “Saya Edi, pak.”

 “Benar sekali, pak Edi. Bapak berhak mendapatkan hadiah utama. Dan tentang cara pengambilan hadiahnya...”

 “Sebentar, pak,” potong saya. “Saya menang undian Indosat tetapi nomor yang menghubungi saya kok XL, apa sudah merger ya, pak?”

 Si customer service terdiam sejenak. Lalu, “Iya, iya. Betul, pak. Sudah merger,” jawabnya makin ngawur.

 Modus itu sudah ketinggalan jaman. Sekarang ada yang tidak sevulgar itu. Bahkan, si mama yang kehabisan pulsa pun makin jarang. Berganti dengan SMS agar mengirimkan uang kepada nomer rekening bank tertentu. Atau malah berupa SMS humor dari nomor yang tidak kita kenal. Intinya sama, bila kita iseng membalas SMS rekening bank atau humor itu, misalnya sekadar bertanya, “Sampeyan siapa?”, tahu-tahu pulsa kita sudah tersedot sekian ribu rupiah.

 Pernah juga penipu lebih nekat. Telepon langsung. Intinya sama; mengabari kemenangan dalam sebuah undian. Hadiahnya pun jutaan rupiah. Maka, jawab saya, “Maaf, saya ini sudah kaya. Uangnya untuk sampeyan saja...”

Success Tip

WHAT'S most important to do today?
Do it first!

Jumat, 07 Oktober 2011

Filosofi Bambu

COBA perhatikan bambu dalam-dalam. Ia kuat dan kokoh tanpa pernah bisa dicabut angin. Dan alasan utama kenapa bambu kuat, karena berakar kuat kedalam. Ini berbeda dengan sebagian manusia yang hidupnya lemah dan keropos. Karena berakar keluar (pangkat, kekayaan). Ini memberi inspirasi; belajarlah bertumbuh dengan berakar kedalam. Kedalam persahabatan dan rasa syukur atas berkah hidup.


(Gede Prama, motivator)

Patung Polisi

“LIHAT itu, nDo,” kata kang Karib mengajak mata mas Bendo melihat patung polisi yang berdiri gagah di sebelah pos polisi diseberang Bonbin.

“Ada apa dengan patung itu, kang?” tanya mas Bendo.

“Kamu tahu siapa pembuat patung itu?”

“Tidak.”

“Aku tahu,” sahut kang Karib. “Si pembuat patung itu, dulu pasti penggemar serial CHIP's...”

“Kok begitu, kang?”

“Perhatikan saja; wajah patung itu mirip Eric Estrada.”

Doa dan Usaha

Tuhan memang menyukai semua doaku. Tetapi pasti Tuhan lebih menyukai usahaku.
(Prie GS, budayawan)

Kamis, 06 Oktober 2011

Siomay Bandung

MINDRING, begitu orang kampung saya menamai tukang kredit alat-alat rumah tangga yang keliling kampung. Tak jelas benar apa makna nama itu. Atau ia sebagai plesetan dari kata merinding, bila ditagih belum punya duit? Entahlah.

Kata lain yang juga serupa untuk nama yang sama adalah abang. Tukang kredit itu, yang sebagian besar berasal dari Jawa Barat, selalu menyandang nama abang di depan namaya. Misalnya, yang saya ingat ada abang Sulaiman, juga abang Yayak. Belakangan, walau bukan orang Sunda, kata abang turut tersemat didepannya apabila ia melakukan bisnis yang sama.

Sampai sekarang, ibu saya di kampung masih setia berlangganan kredit panci, sendok dan semacamnya. Sekalipun yang mengkreditkan orang Jawa tulen, ibu saya tetap setia setiap saat memanggilnya; abang. Abang Mansur.

“Tidak begitu,” begitu kata Wahid seorang kenalan yang asli Sunda, belum lama ini. “Abang itu sebutan untuk orang Betawi. Kalau di Sunda mah nyebutnya akang,”

Waduh, berarti ibu saya dan orang sekampung keliru secara berjamaah. Iya ya, betul juga kata kang Wahid. Makanya, dulu ada lagunya Itje Trisnawati ciptaan Mochtar B. yang ngetop banget. Lagu berbahasa Sunda itu judulnya Duh Akang, bukan Duh Abang.


Beberapa bulan yang lalu, enam bulan setelah di PHK dari tempat kerjanya, saya dimintai tolong adik ipar saya untuk mengantar mencairkan uang JHT di kantor Jamsostek jalan Jemursari, Surabaya. Hari Senin itu yang antre lumayan banyak. Mulai jam delapan pagi sampai jam duabelas siang, belum juga adik ipar saya mendapat giliran dilayani. Padahal perut saya sudah berkokok minta dilayani makan siang.

Saya pamit ke adik untuk keluar mencari ganjal perut. Dan syukurlah, tak perlu beranjak jauh. Didepan kantor Jamsostek agak ketimur, tepatnya di trotoar depan gedung bimbingan belajar Neotron, ada penjuan siomay Bandung. Lumayanlah, buat isi perut di siang yang terik itu.

Saya memesan sepiring. Terlihat, si akang siomay cekatan betul meladeni beberapa orang yang antre. Termasuk saya.

“Pakai sambal, pak?” tanya akang siomay ketika tiba giliran saya.

“Sedikit saja, kang,” jawab saya. “Eh, ngomong-ngomong akang Bandung-nya mana atuh?” tanya saya dengan logat yang saya Sunda-sundakan.

“Saya asli Bojonegoro, pak,” kata akang penjual siomay Bandung dengan bahasa Jawa logat Jonegoro.

Duuuhhh...akang....

Humor

HUMOR yang baik itu seperti bawang merah.Begitu dikupas, kulit lagi kulit lagi.
Tahu-tahu mata pedih.
(Yahya Cholil Staquf, mantan juru bicara Presiden Abdurrahman Wahid)

Rabu, 05 Oktober 2011

Pengalaman Pertama

PERTAMA kali saya menginjakkan kaki di Surabaya, juga pada musim haji begini. Tetapi karena waktu itu saya baru kelas dua atau tiga SD, tentu tak banyak yang bisa saya ingat. Waktu itu saya diajak ayah dan ibu mengantar kanek-nenek yang berangkat haji. Tidak tanggung-tanggung, dari desa Grenden-Puger, kakek mecarter tiga bis Akas.
Dalam perjakanan, lebih banyak saya fly, mabuk. Tetapi di Surabaya saya ingat diajak ke Bonbin. Itu saja. Peristiwa lain tidak ada yang menempel diingatan saya.

Kali kedua ke Surabaya, sekitar duapuluh tahun yang lalu. Sudah tidak fly. Tetapi memang tidak naik bis. Tetapi truk. Lengkapnya; truk gandeng! Jangan bayangkan duduk di depan didekat sopir. Tidak. Tetapi di bak belakang. Sekalipun tentu tidak di gandengannya.

Peristiwa itu bermula ketika saya diajak seorang teman mencari kerja ke kota Pahlawan ini. Sebuah kepergian yang tanpa rencana, mendadak, sekaligus minim sangu. Seingat saya ketika itu masih di bulan Syawal. Sepanjang perjalanan, kami sekitar enam orang, selalu ngemil jajan lebaran yang masing-masing kami membawanya. Tetapi tentu kami tak bisa melihat pemandangan. Bahkan tak tahu truk sudah sampai dimana. Hanya terasa mak sliyut kalau truk berbelok saja. Karena truk tertutup terpal secara brukut.

Juga, lik Slamet, sopir truk Pantja Jaya yang lagi mengangkut batu kapur untuk dikirim ke pabrik karbit MDQ, selalu melarang kami bersuara. Lebih-lebih kalau masuk jembatan timbang. Lik Slamet sang pilot yang baik hati itu adalah tetangga kami.

Hari sudah malam ketika kami diturunkan di Medaeng. Saling menertawai teman. Karena ternyata wajah kami semua laksana Hanoman.

Tidak menyangka, berawal dari perjalanan penuh kenangan itu, kalau saya hitung-hitung, sudah sekitar duapuluh tahun lebih saya tinggal di kota buaya ini. Belum berhasil menjadi pahlawan, rasanya. Tetapi masih untung, paling tidak saya terhindar dari menjadi buaya.

Masih cerita tentang saat pertama ke kota Surabaya, cak Jum, sorang kenalan, juga punya pengalaman unik. Ia asal Jombang. Ia lebih berkelas, ketimbang saya. Karena pengalaman pertama keluar kotanya naik bis. Selain itu perjalanannya sungguh telah dipersiapkan dengan matang. Tidak mendadak seperti saya.

Kata cak Jum, malam sebelum keberangkatannya, simbok-nya menanak nasi putih. Bukan nasi jagung seperti biasanya. Dan lebih lengkap lagi dengan lauk kare ayam. Sungguh suatu kemewahan.

“Apa memang tradisi di kampung sampeyan, kalau ada keluarga ke kota selalu selamatan begitu?”
tanya saya.

“Itu bukan selamatan,” jawab cak Jum. “Simbok memasak nasi putih dan ayam begitu, karena ia tahu aku ini kalau naik bis selalu mabuk.”

Saya belum nyantol atas penjelasan cak Jum barusan. Apa hubungannya naik bis mabuk dengan nasi putih plus ayam. Kenapa tidak minum Antimo saja?

“Begini,” kata cak Jum. Rupanya ia tahu saya menunggu keterangan lanjutan.”Biasanya aku makan nasi jagung lauknya ikan asin. Gengsi, kan, kalau huekk... mabuk yang keluar ikan asin. Kalau nasi putih dan daging ayam kan lebih mendingan...”

Selasa, 04 Oktober 2011

Kopi Luna Maya

“AYO, kang, diminum kopinya,” kata mas Bendo sambil meletakkan cengkir kopi di meja.
'Wah, pemberani betul kopimu,”sahut kang Karib sambil menggesesr cangkir mendekat ke depannya.
“Pemberani gimana to, kang?”
“Lha ini, dia berani tampil sendiri. Tanpa ditemani pisang goreng...”
“Bisaa saja sampeyan ini,” mas Bendo 'ngiling' kopi ke lepeknya.
Kang Karib ikutan melakukannya,” Asli ini, nDo?' tanyanya.
“Asli campuran; kopi plus 'karak' ditambah kelapa,” mas Bendo mulai nyruput kopinya.
Seperti latah, kang Karib pun melakukannya.

“Bagaimana, kang?”
“Sungguh, rasa kopi adalah cermin kondisi si tuan rumah.”
“Maksud sampeyan, kang?”
“Secangkir kopimu ini sedang mengatakan kamu sedang tak punya gula.”
Mas Bendo tertawa ngembang tebu; nggleges.
Lha iya, kang. Saya pernah dengar berita, ada orang yang rela membayar ratusan ribu rupiah demi secangkir kopi. Padahal, sampeyan dan aku kopinya 'nggereng; angger ireng',” ujar mas Bendo.
“Konon, nDo, rasa kopi luwak memang luar biasa nikmat,” kata kang Karib. “Itu baru kopi luwak. Kopi yang dimakan luwak dan dikeluarkan lagi sebagai kotoran luwak. Apalagi kopi Luna Maya, nDo...”

*) nggereng= angger ireng= asal hitam.
karak= sisa nasi yang dikeringkan.

Sabtu, 01 Oktober 2011

Sehari Menjadi Banser

SUATU hari seorang teman Ansor datang kerumah saya. Ia membawa buntalan berisi seragam kebesaran Banser.

“Tugas mendadak ke Situbondo,” katanya.

Saya tidak kuasa menolak. Lebih-lebih ayah saya memang NU tulen. Beliau bisa jadi sangat bangga bila saya mengenakan baju Banser.

Karena tugas mendadak, saya langsung saja mengenakan seragam yang entah milik siapa itu. Sungguh ia adalah baju kebesaran karena ukuran tubuh saya yang kerempeng.

Siang itu pula kami diangkut truk bak terbuka menuju TKP. Sungguh laksana militer. Alih-alih bangga, saya malah merasa aneh dengan penampilan saya itu. Baju yang kedodoran dipadu dengan sepatu model Hansip yang kekecilan. Sungguh suatu paduan yang tak padu.

Sampai di Situbondo, massa sudah menyemut di sebuah lapangan berpagar tembok. Saya lupa, apa nama stadion itu. Didalamnya, ada panggung besar dengan sound system juga berkekuatan besar. Tohoh yang ditunggu ribuan nahdliyin pun memanglah orang besar; KH Abdurrahman Wahid. Yang ketika itu masih ketua PBNU.

Dalam koordinasi dengan pasukan Banser dari beberapa daerah, dibagilah tugas masing-masing kami. Ada yang kebagian mengamankan luar stadion, ikut membantu pak polisi di simpul-simpul jalan seputar lokasi, dan tentu saja ada sebagai pengaman dalam arena.

Saya dan teman-teman kebagian yang di dalam stadion. Skenarionya, begitu mobil yang membawa Gus Dur memasuki pintu stadion, kami membuat rantai Banser dengan cara saling mengaitkan tangan. Posisinya berdiri berjajar saling terikat laiknya berkacak pinggang. Dengan begitu, diperkirakan akan sulit orang-orang untuk menerobos mendekati Gus Dur.

Tetapi skenario berubah total. Tidak memungkinkan menurunkan Gus Dur agak jauh dari panggung. Gus Dur harus menuju panggung sekalian mobilnya. Massa sudah sedemikian bernafsunya bahkan untuk sekadar mendekati mobilnya. Maka yang terjadi kemudian, lautan manusia merangsek bak gelombang laut betulan. Kami yang bergandeng tangan menghalagi gelombang itu menerpa mobil NU-1, sungguh merasakan gempuran yang makin lama makin kuat.

Bersatu kita teguh bercerai kita runtuh, saya temui kebenarannya hari itu. Benar, kami para Banser juga bersatu. Tetapi kalah teguh ketimbang ribuan orang nahdliyin itu. Saya yang kerempeng malah nafasnya tinggal satu-dua. Kalau tidak terikat dalam satu rantai dengan Banser yang lain, tentu saya bukan tidak mungkin untuk berfikir melakukan desersi.

Tetapi tidak. Ini tugas mulia. Mana mungkin seorang Banser mudah menyerah!

Puncaknya, ketika arus massa makin menguat, kami yang malah telah terengah-engah. Akhirnya, kami para Banser yang justru berhasil terjungkal secara berjamaah.

Nakal di Terminal

DULU saya pernah kost di daerah Bungurasih Timur. Sayang saya lupa tahunnya. Pokoknya dulu sekali. Ketika itu Ramayana masih pondasi. Yang jelas waktu itu saya masih bujang. Dan karena saban hari menghirup pergaulan terminal, saya ketularan 'agak' nakal.

Tempat kost saya itu tidak jauh dari terminal. Setiap malam, saya dan beberapa teman selalu ngeluyur kesitu. Cari hiburan. Cari sasaran cuci mata. Apalagi kalau malam Minggu. Selain sarana cuci matanya membludak, juga di malam itu pasti ada siaran langsung sepak bola di televisi. Karena di tempat kost tidak ada televisi.

Karena, sebagai kuli bangunan yang daerah operasinya seputar Surabaya, rupanya mandor saya punya alasan tepat untuk meng-kost-kan anak buahnya didekat terminal. Mau ke arah manapun tersedia sarana angkutan. Yang ke proyek Sheraton, ke apartemen Puncak Marina, atau yang ke Wisma Dharmala, sumua diberangkatkan dari 'embarkasi' Purabaya ini.

Saya dan beberapa teman yang kebagian ke proyek Puncak Marina (Margorejo), selalu memakai bus kota jurusan Bratang dengan gratis. Sekalipun tidak serombongan, yang penting semua dapat terangkut dengan bebas bea. Jurusnya? Setiap bus kota jurusan Bratang antri sesuai giliran, kami pun berbagi giliran. Berperan sebagai calo penumpang.

“Bratang, Bratang, Bratang...” teriak saya sefasih calo beneran.

Terus saja berteriak sampai bus penuh sesak. Bila sudah begitu, satu-dua dari kami baru ikutan masuk bis. Tentu tidak duduk. Cukup berdiri bergelantungan di bibir pintu. Selain memang semua kursi dan area berdiri di dalam bus sudah penuh, karena kami naik bus cukup dengan cara barter.

Sekian lama di terminal, saya sering mendapati orang-orang yang sama ikutan nimbrung di ruang tunggu. Saban hari. Siang-malam. Orang-orang itu tidak pergi kemana-mana. Tetapi tentu punya tujuan tertentu. Entah apa. Dan bila orang hanya selintas lalu saja di terminal, tentu tak paham tentang orang-orang model begini.

Ketika itu saya masih perokok. Untuk urusan ini, saya mempunyai cara agar membeli rokok berbonus koran. Inilah yang saya bilang pada kalimat terakhir di paragraf pertama tulisan ini. Untuk membeli sebungkus Bentoel International, saya selalu memilih kios yang sedang paling ramai. Sambil ikutan antre, saya menarik sebuah koran yang biasanya tergantung di kiri-kanan toko. Saya melipatnya lalu mendekati pelayan.

BI, satu bungkus,” kata saya.

Dengan tenang saya menunggu uang kembalian. Setelahnya, dengan tenang pula saya melangkah meninggalkan kios itu. Korannya? Ah, pasti si pemilik kios mengira saya telah lebih dulu membelinya di kios lain.


NB:
Untuk kelakuan saya yang begini ini, saya berharap buah jatuh sangat jauh dari pohonnya.

Kaos Kaki Edwin





     ANAK SULUNG saya, Edwin, sudah kelas enam SD. Ia saya ‘hijrahkan’ dari LA (baca: Lamongan) ke Surabaya ketika masuk semester dua saat kelas lima. Dan alhamdulillah, sekalipun pindahan dari kampung, ia bisa mengikuti dan tidak ketinggalan pelajaran sekolah di kota. Walau tentu ada penyesuaian disana-sini.
     Penyesuaian itu antara lain ini; jam berangkat sekolah.
Kalau dulu di kampung, karena sekolah masuk jam tujuh, ia baru berangkat dari rumah jam 7 kurang seperempat. Disini, jam enam thet, ia harus sudah berangkat. Walau masuk kelasnya tetap sama; jam tujuh.
     Jam enam sudah harus berangkat, karena jam enam seperempat tepat dilaksanakan sholat dhuha secara berjamaah di sekolah.

     Berangkat lebih pagi, menimbulkan efek samping; sarapan juga harus dilaksanakan menyesuaikan. Dan kebiasaan si Edwin yang ikut terbawa ke Surabaya, setiap makan, selain sendok dan segelas air yang harus ada didekatnya, juga harus memegang remote control televisi. Baginya, sarapan tanpa nonton tivi bagai sayur tanpa garam.
     Urusan televisi ini yang sering bikin saya berlaku keras kepadanya. Dia saya larang menonton acara lucu-lucuan yang tidak memberi nilai lebih. Dagelan-dagelan yang tidak mencerdaskan. Ia saya ceraikan dengan si Opera van Java dan sejenisnya! Tidak boleh nonton Termehek-mehek dan sebangsanya. Nonton sinetron atau Infotanment, juga tidak boleh. Untunglah sejak sebulan lalu ada Kompas (tanpa ada huruf TV dibelakangnya. Karena ia adalah ‘hanya’ content provider?) Yang setiap hari selalu  menyajikan acara yang lebih ‘beradab’ ketimbang saluran lain. Karenanya, sungguh saya merindukan kenyataan bahwa Kompas akan benar-benar menjadi, sesuai tagline-nya; Inspirasi Indonesia.

     Kembali tentang Edwin;
Setiap sambil sarapan, acara yang selalu ditontonnya  adalah Lensa Olahraga di antv atau Sport7di Trans7. Untuk dua acara ini saya belum punya alasan untuk melarangnya. Seperti juga saya, Edwin juga gemar berita olahraga. Lebih-lebih yang memberitakan Persela. Rupanya sekalipun sudah di Surabaya, ia belum bisa melupakan si Laskar Joko Tingkir.
     Edwin begitu bangga akan namanya. Sebagai penggemar sepak bola, ia sering memiripkan nama depannya dengan kiper timnas Belanda Edwin van der Sar. Padahal namanya itu hanya kependekan dari nama saya. Hehehe…
     Asyik melototi berita olahraga, sarapannya jadi lamban dan kurang ngebut. Padahal jarum jam sudah nyaris menunjuk angka enam tepat.
     “Sudah, jangan nonton tivi melulu. Lihat jam itu,” saya mengambil alih remote control dan mematikan televisi.
     Edwin memang belakangan ini tidak seperti hari-hari pertama sekolah di Surabaya dulu. Dulu, jam enam kurang lima dia sudah tergopoh-gopoh berangkat. Takut terlambat, katanya. Beberapa hari ini dia terlihat lebih santai.
     Terlihat wajah Edwin sedikit kecewa ketika televisi saya matikan. Tetapi, saya pikir, sebagai orang tua saya kadang memang harus ‘kejam’. Lebih-lebih ia sudah kelas enam.
     Setelah menggosok gigi dan menyandang tas sekolah, saya lihat ia tak juga beranjak berangkat sekolah. Ia celingukan didekat rak sepatu.
     “Kenapa?” tanya saya.
     “Kaos kakiku mana?” tanyanya dengan wajah cemberut.
     Diburu waktu, mata saya secepat kilat ikut mencarinya.
     “Itu,” saya menunjuk sepasang kakinya yang sudah berkaos.
     Edwin menanggalkan cemberut dari wajahnya. Saya melihat, sambil mengayuh sepeda berangkat sekolah ia tertawa sendiri. *****