negoro Indonesia negoro besar
ribuan pulau tersebar menghampar
ayo iki dijogo ojok sampek ambyar
berpegang teguh Pancasila sebagai dasar
agama nang kene pancen akeh maceme
onok Hindu, Khonghuchu lan Katolik'e
onok Kristen, Budha lan Islam sing paling gedhe
kaben rukun mergo dhuwur toleransine
akeh sing krungu kejadian nang Tolikara
peristiwa kelam pas waktu Hari Raya
tapi kito ojok gampang diadu-domba
serahno wae marang penegak hukum negara
konflik antar pemeluk agama pancen sensitif
opo maneh lek onok pihak sing provokatif
kedadean cilik isok dikompori ben dadi masif
kondisi aman-tentram rusak malah dadi gak kondusif
ojok kabeh berita ditrimo tanpo digagas
saiki akeh berita sing sumbere ora jelas
berita plintiran sing di-share lan di-copas
yo ngono iku sing nggarai suasana dadi panas
media sosial pancen pengaruhe gedhe
kabeh uwong isok ngomong ngono-ngene
tapi kudune ora angger njeplak wae
karepe ben ketok pinter malah pamer dhedhele
urip rukun sing ora seneng iku sopo
senajan kita agamane bedo-bedo
bangsa lan bahasane biso ugo ora podho
tapi nasionalisme mengakar ing njero dhodho
(raup santen glali asale gulo
panen gabah bluluk dipangan doro
cukup semanten jula-juli kulo
yen onok salah, njaluk sepuuurooo....) *****
Kamis, 30 Juli 2015
Minggu, 26 Juli 2015
Makan Murah di Warung Merah
DALAM perjalanan jauh, agenda mengisi perut termasuk hal yang tidak bisa begitu saja diabaikan. Lebih-lebih bagi yang lambungnya gampang melilit. Iya sih, di dalam bis biasanya ada penjual nasi bungkusan. Baiklah, kalau seporsi hanya nyelempit di sudut perut, Anda bisa beli dua atau tiga bungkus sekalian. Sayangnya, penjual nasi ini tidak selalu ada di sepanjang perjalanan. Yang sering ada, pengasongnya justru di terminal-terminal saat bis transit dengan waktu yang tak terlalu lama.
Saya ingat kala dulu bersama mendiang mertua melakukan perjalanan Lamongan-Jember. Agar tak terlalu repot oleh urusan perut itu, mertua saya membungkus nasi lengkap dengan lauknya memakai daun pisang. Ritual ini, saya kira, lazim dilakukan oleh orang tua siapapun dengan dalih, "Daripada beli di jalan". Bahkan, untuk minum, mertua membawa sendiri air rebusan dari rumah dengan botol Aqua sebagai wadah.
Bisa jadi, anak dan cucu --serta saya sebagai menantu-- sedikit malu akan hal itu. Tetapi, harus diakui; senyampang segala sesuatu bisa disiasati yang itu dapat menghemat pengeluaran dan tidak terlalu ngrepoti, kenapa tidak?
Naik kendaraan sendiri tentu bisa lebih bebas. Mau bawa bekal dari rumah (untuk kemudian dimakan dipinggir jalan ramai-rama serombongan, seperti sering saya temui bahkan di keteduhan pohon di pinggir jalan tol), atau mampir ke depot yang ada di pinggir-pinggir jalan macam Depot Rawon Nguling yang sering bikin macet itu.
"Untuk agar tidak di-entol," nasihat seorang kawan, "kalau makan di jalan, carilah warung nasi Padang. Dimanapun, harganya standar, tidak terlalu mahal."
Bisa jadi ia benar.
Saya pernah mengalami saat bareng si sulung, Edwin, balik dari Jember ke Surabaya naik R-2. Dengan berkendara dan tidak sedang naik angkutan umum begitu, saya bisa berhenti dan makan di warung mana saja yang saya mau. Kekeliruan saya adalah; saya menduga kalau bentuk fisik warungnya itu sederhana dengan dinding gedhek/anyaman bambu dan di depannya terparkir banyak truk, "Warung tempat makan para sopir tentulah tidak mencekik secara harga" pikir saya.
Ketika si Edwin memesan lalapan penyet ayam, saya pun mengikutinya. Sambil menunggu pesanan dihidangkan, saya amati kondisi warung yang terletak di pinggir jalan Pasuruan ini; toples-toples yang kosong, juga botol-botol Sprite/Fanta yang juga melompong. Hanya ada dua piring pisang goreng di meja sebagai dagangan. Dengan tulisan menu mulai soto, jangan asem, lodeh, penyet ayam sampai pecel terpampang jelas di pinggir jalan, saya mulai menyangsikannya sebagai kenyataan. Ya, cuma semacam PHP lah sepertinya.
Lama sekali pesanan kami terhidang membuat saya berbisik kepada Edwin, "Tenang, ayamnya masih dikejar untuk dipotong dan nasinya masih berupa beras dan sedang akan ditanakkan."
Lebih duapuluh menit menunggu akhirnya makanan siap juga. Tapi tunggu dulu, benar sih ada ayam goreng dan sambal, tetapi mana lalapannya? Tiada mentimun, tiada kacang panjang, tiada pula daun kemanginya. Rasa lapar membuat kami memakan yang ada saja walau merasa kurang lengkap. Agak kecewa sih iya, tetapi agak kecewa itu meningkat tarafnya menjadi sungguh kecewa manakala kami selesi makan dan bertanya, "Berapa?" untuk dua piring nasi dan dua gelas es teh. Tadinya kami hendak memakai kerupuk sebagai pelengkap tetapi karena tak ada, tentu pisang goreng akan menjadi aneh dipakai pelengkap makan 'lalap'.
"Empat puluh ribu," kata si ibu warung.
Mendengar itu saya yang masih kepedesan makin pedes saja rasanya.
Berdasar pengalanan tadi, saat mudik kemarin, agar tidak kena petegik lagi, saya memilih andok makan di warung yang selain memajang menunya, melengkapi pula dengan harganya. Ini penting, lebih-lebih bagi orang yang hanya punya sangu cumpen, berdompet tipis.
Di terminal Bayuanga Probolinggo, ada banyak depot berjejer. Menunya pun beragam sesuai keinginan, tetapi yang memajang harga hanya sedikit saja. Dari yang sedikit itu, Warung Merah salah satunya. Menu yang tersedia? Mulai soto, bakso, lodeh, kare, jangan bening, sop sampai lalapan pun ada. Minumnya mulai susu soda, kopi, teh, es jeruk dan lain sebagainya. Kesitulah kami menuju dengan kalkulasi tak mengkinlah 'terperosok' lagi.
Benar juga, untuk semua yang kami makan, total jenderal saya cuma harus membayar empat puluh ribu saja, dengan perincian; dua piring nasi lalapan ayam 11 ribu per porsi, sepiring soto kesukaan si kecil sembilan ribu saja dan es teh tiga ribu per gelasnya. Murah bukan? *****
Saya ingat kala dulu bersama mendiang mertua melakukan perjalanan Lamongan-Jember. Agar tak terlalu repot oleh urusan perut itu, mertua saya membungkus nasi lengkap dengan lauknya memakai daun pisang. Ritual ini, saya kira, lazim dilakukan oleh orang tua siapapun dengan dalih, "Daripada beli di jalan". Bahkan, untuk minum, mertua membawa sendiri air rebusan dari rumah dengan botol Aqua sebagai wadah.
Bisa jadi, anak dan cucu --serta saya sebagai menantu-- sedikit malu akan hal itu. Tetapi, harus diakui; senyampang segala sesuatu bisa disiasati yang itu dapat menghemat pengeluaran dan tidak terlalu ngrepoti, kenapa tidak?
Naik kendaraan sendiri tentu bisa lebih bebas. Mau bawa bekal dari rumah (untuk kemudian dimakan dipinggir jalan ramai-rama serombongan, seperti sering saya temui bahkan di keteduhan pohon di pinggir jalan tol), atau mampir ke depot yang ada di pinggir-pinggir jalan macam Depot Rawon Nguling yang sering bikin macet itu.
"Untuk agar tidak di-entol," nasihat seorang kawan, "kalau makan di jalan, carilah warung nasi Padang. Dimanapun, harganya standar, tidak terlalu mahal."
Bisa jadi ia benar.
Saya pernah mengalami saat bareng si sulung, Edwin, balik dari Jember ke Surabaya naik R-2. Dengan berkendara dan tidak sedang naik angkutan umum begitu, saya bisa berhenti dan makan di warung mana saja yang saya mau. Kekeliruan saya adalah; saya menduga kalau bentuk fisik warungnya itu sederhana dengan dinding gedhek/anyaman bambu dan di depannya terparkir banyak truk, "Warung tempat makan para sopir tentulah tidak mencekik secara harga" pikir saya.
Ketika si Edwin memesan lalapan penyet ayam, saya pun mengikutinya. Sambil menunggu pesanan dihidangkan, saya amati kondisi warung yang terletak di pinggir jalan Pasuruan ini; toples-toples yang kosong, juga botol-botol Sprite/Fanta yang juga melompong. Hanya ada dua piring pisang goreng di meja sebagai dagangan. Dengan tulisan menu mulai soto, jangan asem, lodeh, penyet ayam sampai pecel terpampang jelas di pinggir jalan, saya mulai menyangsikannya sebagai kenyataan. Ya, cuma semacam PHP lah sepertinya.
Lama sekali pesanan kami terhidang membuat saya berbisik kepada Edwin, "Tenang, ayamnya masih dikejar untuk dipotong dan nasinya masih berupa beras dan sedang akan ditanakkan."
Lebih duapuluh menit menunggu akhirnya makanan siap juga. Tapi tunggu dulu, benar sih ada ayam goreng dan sambal, tetapi mana lalapannya? Tiada mentimun, tiada kacang panjang, tiada pula daun kemanginya. Rasa lapar membuat kami memakan yang ada saja walau merasa kurang lengkap. Agak kecewa sih iya, tetapi agak kecewa itu meningkat tarafnya menjadi sungguh kecewa manakala kami selesi makan dan bertanya, "Berapa?" untuk dua piring nasi dan dua gelas es teh. Tadinya kami hendak memakai kerupuk sebagai pelengkap tetapi karena tak ada, tentu pisang goreng akan menjadi aneh dipakai pelengkap makan 'lalap'.
"Empat puluh ribu," kata si ibu warung.
Mendengar itu saya yang masih kepedesan makin pedes saja rasanya.
Berdasar pengalanan tadi, saat mudik kemarin, agar tidak kena petegik lagi, saya memilih andok makan di warung yang selain memajang menunya, melengkapi pula dengan harganya. Ini penting, lebih-lebih bagi orang yang hanya punya sangu cumpen, berdompet tipis.
Meja kursi dicat warna merah sebagai ciri Warung Merah, tetapi yang penting harganya terbilang relatif murah. |
Di terminal Bayuanga Probolinggo, ada banyak depot berjejer. Menunya pun beragam sesuai keinginan, tetapi yang memajang harga hanya sedikit saja. Dari yang sedikit itu, Warung Merah salah satunya. Menu yang tersedia? Mulai soto, bakso, lodeh, kare, jangan bening, sop sampai lalapan pun ada. Minumnya mulai susu soda, kopi, teh, es jeruk dan lain sebagainya. Kesitulah kami menuju dengan kalkulasi tak mengkinlah 'terperosok' lagi.
Benar juga, untuk semua yang kami makan, total jenderal saya cuma harus membayar empat puluh ribu saja, dengan perincian; dua piring nasi lalapan ayam 11 ribu per porsi, sepiring soto kesukaan si kecil sembilan ribu saja dan es teh tiga ribu per gelasnya. Murah bukan? *****
Sabtu, 25 Juli 2015
Puasa Berita
LAMAT-LAMAT
Kang Karib ingat jaman ketika televisi cuma satu saluran. Pada jam
sembilan malam, muncullah program Dunia
Dalam Berita.
Dan pada segmen terakhir ini Sazli Rais dengan suaranya yang khas dan
ngebas muncul membawakan Ramalan
Cuaca.
Sebuah acara yang sama sekali tak menarik perhatian orang
sekampungnya Kang Karib. Karena, untuk menggelar hajatan, mantu
misalnya, orang tak pernah berdasar ramalan cuaca, namun lebih
bersandar kepada petunjuk Mbah Selar. Orang yang diyakini mempunyai
kemampuan linuwih,
salah satunya memindah turunnya hujan. Sayangnya, jaman itu informasi
menyebar tidak sedahsyat sekarang. Sehingga kesaktian Mbah Selar
menjalar hanya melalui tutur berantai dari mulut ke mulut saja.
Bandingkan, coba, dengan jaman sekarang!
Jaman ketika sekecil apapun berita, ia bisa langsung diketahui orang sedunia (maya). Ambil misal; kalau di pelosok Trenggalek ada orang yang menemukan sebongkah batu yang telah dibentuk sebagai akik, yang ketika batu itu disinari lampu akan tampak bentuk kutang di dalamnya (yang kalau diamati BH itu serupa milik artis ternama), unggahlah ke medsos, niscaya ia akan kondang dalam sekejap. Padahal, ketika inforrnasi menjadi sesuatu yang nggegirisi, haus akan ia, sementara yang digelonggongkan untuk menghapus dahaga adalah sampah, duh betapa akan membuat kembung belaka.
Bandingkan, coba, dengan jaman sekarang!
Jaman ketika sekecil apapun berita, ia bisa langsung diketahui orang sedunia (maya). Ambil misal; kalau di pelosok Trenggalek ada orang yang menemukan sebongkah batu yang telah dibentuk sebagai akik, yang ketika batu itu disinari lampu akan tampak bentuk kutang di dalamnya (yang kalau diamati BH itu serupa milik artis ternama), unggahlah ke medsos, niscaya ia akan kondang dalam sekejap. Padahal, ketika inforrnasi menjadi sesuatu yang nggegirisi, haus akan ia, sementara yang digelonggongkan untuk menghapus dahaga adalah sampah, duh betapa akan membuat kembung belaka.
Makanya
Mas Bendo ingin puasa. Bukan tak makan minum seperti lazimnya, namun
ia nawaitu
tak akan mengkonsumsi berita dari manapun dan dari siapapun. Ia tak
ingin mendengar Tolikara yang oleh media (online
utamanya) dijadikan dagangan; bukan untuk memadamkan, tetapi agar
lebih berkobar. Tak pula ia ingin mendengar tokoh dan awam bicara
ini-itu tentang, misalnya, Islam Nusantara padahal (bisa jadi lho ya)
ia tak pernah konfirmasi kepada para kyai yang menggagas istilah itu
tentang apa makna istilah yang dijadikan tema Muktamar NU ke 33 di
Jombang 1-5 Agustus ini.
“Kalau
tidak makan berita tidak apa-apa,” dalih Mas Bendo, “lalu untuk
apa aku harus mengkonsumsi berita?”
“Tahu
berita itu penting,” sok bijak Kang Karib menjawab, “lebih
penting lagi kita harus bisa menyaring; ini berita atau hanya sekadar
sampah”
“Lha kalau untuk menikmati berita saja aku repot harus menyaring dulu, ya buang-buang waktu, Kang. Mending puasa berita sekalian.”
“Lho, jangan salah, nDo. Isi kitab suci itu, antara lain, juga adalah 'berita'. Lalu, apa njur kamu juga berhenti nderes dan ngaji? Lak ndak to?”
“Lha kalau untuk menikmati berita saja aku repot harus menyaring dulu, ya buang-buang waktu, Kang. Mending puasa berita sekalian.”
“Lho, jangan salah, nDo. Isi kitab suci itu, antara lain, juga adalah 'berita'. Lalu, apa njur kamu juga berhenti nderes dan ngaji? Lak ndak to?”
Lalu
Kang Karib bicara bahwa berita itu ibaratnya gabah. Segoblok apapun
–kecuali ayam-- orang tak akan langsung makan gabah. Ia harus
digiling atau ditumbuk dulu agar jadi beras. Sudah menjadi beras pun
masih diinteri
dulu,
dibuang las
dan kerikilnya. Sebelum dimasak, dicuci dan dibilas berkali-kali dulu
sampai bersih baru ditanak hingga matang. Karena kalau setengah
matang sudah dimakan, bukannya kenyang, perut malah akan mbesesek,
begah.
“Berita
yang disebarkan oleh media yang tidak jelas, yang dikelola oleh entah
siapa dengan tujuan apa, kalau kita terima begitu saja, sama saja
kita bukan makan nasi, tetapi nguntal
gabah,” wejang Kang Karib. *****
Jumat, 24 Juli 2015
Mudik, Sebuah Catatan Kecil
"SETIAP Lebaran 'orang kota' pada mengaku berasal dari udik sehingga
pada mudik," tulis seorang teman lewat akun FBnya. "sesampainya di
kampung, 'orang udik' itu malah petita-petiti bergaya sebagai orang kota," lanjutnya.
Sudahlah, itu hal lain. Yang, bisa jadi, saya juga melakukan walau tanpa sadar. Sekarang saya berniat membuat catatan kecil tentang mudik. Dan sebagai orang kecil, tentu catatan ini saya bikin sendiri, karena kalau orang besar yang mudik, pasti ada media yang dengan senang hati menuliskannya. :)
Karena tiga hari pertama lebaran masih harus menjalankan tugas kenegaraan (lebay, ini memang saya lebay-kan...), maka saya baru sempat mudik hari ini. Dan karena (sekali lagi: karena) asap gunung Raung mengganggu penerbangan sehingga bandara di Banyuwangi dan Jember termasuk yang juga ditutup, terpaksa saya menggunakan angkutan darat. (padahal biasanya ya memang naik bis).
Saya take off dari Purabaya persis jam enam pagi naik bis Borobudur yang karena saya langsung naik menjadikan nopol tak sempat saya catat. Yang tercatat malah waktu tempuh Purabaya-Bayuangga yang gak jelek-jelek amat. Durasi yang biasanya rata-rata dua jam, Borobudur 'mabur' dengan capaian waktu 105 menit saja.
Namun, entah sebagai konsekuensi atau terkena tueslag, tarifnya pun dinaikkan sampai setinggi stupa. Yang normalnya 16 ribu atau 20 ribu per pantat, menjadi 25 ribu. Yo wislah, saya yang berangkat berempat, harus membayar 75 ribu, karena si bungsu (demi penghematan) masih cukup dipangku saja.
Tak ada kejutan berarti bersama Borobudur selain hal di atas.
Transit sebentar di Bayuangga hanya untuk ke toilet. Pada saat buang
air itu, bis Pari Kesit trayek Probolingo-Jember via Kencong berangkat.
Dan saya sama sekali tak mengejarnya karena si sulung masih terjebak
antrian panjang di pintu toilet. Lagian, walau namanya Pari Kesit, jalannya tak
bakalan kesit sebagaimana umumnya bis yang via Kencong lainnya.
Sudahlah, itu hal lain. Yang, bisa jadi, saya juga melakukan walau tanpa sadar. Sekarang saya berniat membuat catatan kecil tentang mudik. Dan sebagai orang kecil, tentu catatan ini saya bikin sendiri, karena kalau orang besar yang mudik, pasti ada media yang dengan senang hati menuliskannya. :)
Karena tiga hari pertama lebaran masih harus menjalankan tugas kenegaraan (lebay, ini memang saya lebay-kan...), maka saya baru sempat mudik hari ini. Dan karena (sekali lagi: karena) asap gunung Raung mengganggu penerbangan sehingga bandara di Banyuwangi dan Jember termasuk yang juga ditutup, terpaksa saya menggunakan angkutan darat. (padahal biasanya ya memang naik bis).
Saya take off dari Purabaya persis jam enam pagi naik bis Borobudur yang karena saya langsung naik menjadikan nopol tak sempat saya catat. Yang tercatat malah waktu tempuh Purabaya-Bayuangga yang gak jelek-jelek amat. Durasi yang biasanya rata-rata dua jam, Borobudur 'mabur' dengan capaian waktu 105 menit saja.
Namun, entah sebagai konsekuensi atau terkena tueslag, tarifnya pun dinaikkan sampai setinggi stupa. Yang normalnya 16 ribu atau 20 ribu per pantat, menjadi 25 ribu. Yo wislah, saya yang berangkat berempat, harus membayar 75 ribu, karena si bungsu (demi penghematan) masih cukup dipangku saja.
Tak ada kejutan berarti bersama Borobudur selain hal di atas.
Garis start di terminal Bayuangga, Probolinggo. |
Minggu, 19 Juli 2015
Lebaran tanpa Khong Guan
SUDAH
menjadi tradisi, selama ramadhan, di kiri-kanan sepanjang jalan
Kalirungkut, Surabaya, menjamur lapak penjual kue dan aneka sirup.
Variasi pilihan lumayan lengkap, dan (konon) harga yang dipatok pun lebih
ramah di kantong.
Sebagaimana mal atau pasar, lapak-lapak itu makin ramai sesaat setelah cairnya THR (maklum, Rungkut adalah kawasan industri --yang tentu penghuninya banyak sekali kaum buruhnya), saat mana di masjid atau surau jamaah tarawih justru sedang mulai berkurang. Lokasi lapak kebutuhan kue lebaran itu tak seberapa jauh dari pabrik PT Jacobis, produsen merek-merek biskuit kondang. Salah satu varian produknya mungkin malam ini mulai Anda tata di meja depan.
Kalau istri Anda adalah penghobi diskon, istri saya pun demikian. Hari-hari kemarin tak membeli Khong Guan, malam ini mengajak diantar ke lapak-lapak itu demi tujuan mendapatkan harga lebih miring lagi. Prediksinya; malam ini malam terakhir, dan lapak-lapak insidentil itu esok hari sudah tidak jualan. Dengan kata lain, malam ini malam cuci gudang.
Berbelanja di masa injury time begini ternyata mengandung risiko juga. Dari semua lapak yang ada, tak satu kaleng pun Khong Guan tersisa. Adanya cuma Hock Guan, satu merek yang, sayangnya, kurang diminati istri saya --karena dari namanya saja sudah mengesankan sebagai Khong Guan KW kesekian.
Gagal mendapatkannya di lapak pinggir jalan, sasaran perburuan berikutnya adalah beberapa minimarket di sepanjang Kalirungkut. Hasilnya? Setali tiga uang.
Ya wislah.
Sebagaimana tak pakai baju baru tak apa-apa karena masih ada baju yang lama, lebaran tanpa Khong Guan pun tak apa-apa karena masih ada kue lainnya. Kalau terpaksa, tak ada kue pun tak apa-apa. Di idul fitri, ada yang lebih layak diberikan dan diterima; maaf. Maka, di hari istimewa ini, kalau saya meminta maaf, saya pun menerima permintaaan maaf Sampeyan. Sekarang, skor kita kosong-kosong ya....*****
Sebagaimana mal atau pasar, lapak-lapak itu makin ramai sesaat setelah cairnya THR (maklum, Rungkut adalah kawasan industri --yang tentu penghuninya banyak sekali kaum buruhnya), saat mana di masjid atau surau jamaah tarawih justru sedang mulai berkurang. Lokasi lapak kebutuhan kue lebaran itu tak seberapa jauh dari pabrik PT Jacobis, produsen merek-merek biskuit kondang. Salah satu varian produknya mungkin malam ini mulai Anda tata di meja depan.
Kalau istri Anda adalah penghobi diskon, istri saya pun demikian. Hari-hari kemarin tak membeli Khong Guan, malam ini mengajak diantar ke lapak-lapak itu demi tujuan mendapatkan harga lebih miring lagi. Prediksinya; malam ini malam terakhir, dan lapak-lapak insidentil itu esok hari sudah tidak jualan. Dengan kata lain, malam ini malam cuci gudang.
Berbelanja di masa injury time begini ternyata mengandung risiko juga. Dari semua lapak yang ada, tak satu kaleng pun Khong Guan tersisa. Adanya cuma Hock Guan, satu merek yang, sayangnya, kurang diminati istri saya --karena dari namanya saja sudah mengesankan sebagai Khong Guan KW kesekian.
Gagal mendapatkannya di lapak pinggir jalan, sasaran perburuan berikutnya adalah beberapa minimarket di sepanjang Kalirungkut. Hasilnya? Setali tiga uang.
Ya wislah.
Sebagaimana tak pakai baju baru tak apa-apa karena masih ada baju yang lama, lebaran tanpa Khong Guan pun tak apa-apa karena masih ada kue lainnya. Kalau terpaksa, tak ada kue pun tak apa-apa. Di idul fitri, ada yang lebih layak diberikan dan diterima; maaf. Maka, di hari istimewa ini, kalau saya meminta maaf, saya pun menerima permintaaan maaf Sampeyan. Sekarang, skor kita kosong-kosong ya....*****
Sabtu, 11 Juli 2015
Kita dan Pikiran Kita
MEREKA yang berpikiran hebat akan membicarakan ide-ide. Mereka yang
berpikiraan sedang akan membicarakan peristiwa-peristiwa. Mereka yang
berpikiran sempit akan membicarakan orang lain.
(Eleanor Roosevelt)
berpikiraan sedang akan membicarakan peristiwa-peristiwa. Mereka yang
berpikiran sempit akan membicarakan orang lain.
(Eleanor Roosevelt)
Jumat, 10 Juli 2015
PPDB Surabaya: Serem...
“PPDB
Surabaya, sereemmm....”
“Masa sih?”
“Iya, Om.”
“Berdoa aja.”
“Masuk negeri sudah gak ada harapan.”
“Masih ada harapan.”
“?!”
“Iya, di terminal: banyak Bis Harapan Jaya...”
BEGITULAH yang sempat saya intip di dinding Facebook seorang pelajar lulusan SMP yang sedang ketir-ketir memelototi website penerimaan peserta didik baru, dan dia mengincar sekolah lanjutan negeri. Boleh SMA, boleh SMK. Dan selalu, kegalauan yang kadarnya sunguh-sungguh, ada saja yang mengomentari secara bercanda di socmed.
“Masa sih?”
“Iya, Om.”
“Berdoa aja.”
“Masuk negeri sudah gak ada harapan.”
“Masih ada harapan.”
“?!”
“Iya, di terminal: banyak Bis Harapan Jaya...”
BEGITULAH yang sempat saya intip di dinding Facebook seorang pelajar lulusan SMP yang sedang ketir-ketir memelototi website penerimaan peserta didik baru, dan dia mengincar sekolah lanjutan negeri. Boleh SMA, boleh SMK. Dan selalu, kegalauan yang kadarnya sunguh-sungguh, ada saja yang mengomentari secara bercanda di socmed.
PPDB
yang online
ini, sungguh adalah biang dari (tidak hanya calon siswa)
dag-dig-dugnya orang tua. Lebih-lebih yang hanya punya amunisi nilai
pas-pasan. Salah dalam membidik sekolah tujuan, bisa jadi malah
tersingkir dan harus sekolah di luar negeri (baca: swasta).
Bagi orang kebanyakan, sekolah swasta dianggap agak menakutkan. Biaya besar adalah alasannya. Walau, secara prestasi, tidak sedikit kok sekolah swasta yang jempolan. Tentu bagi yang dompetnya tebal itu bukanlah masalah, dan justru sedari awal sama sekali sudah tak mendaftarkan anaknya ke sekolah negeri.
Bagi orang kebanyakan, sekolah swasta dianggap agak menakutkan. Biaya besar adalah alasannya. Walau, secara prestasi, tidak sedikit kok sekolah swasta yang jempolan. Tentu bagi yang dompetnya tebal itu bukanlah masalah, dan justru sedari awal sama sekali sudah tak mendaftarkan anaknya ke sekolah negeri.
Hari
ini PPDB sudah ditutup dan keributan masih terjadi. Yang tidak
diterima di sekolah negeri ribut mencari sekolah swasta, yang
diterima di negeri (dan swasta) sibuk melengkapi ini-itu dalam daftar
ulang. Iya, datang ke sekolah –dalam tahap ini-- tidak melulu
datang, menyerahkan berkas, lalu selesai dan pulang. Enteng sekali
kalau begitu. Tidak ada makan siang yang gratis, Bung. Apalagi
sekolah. Dan daftar ulang itu, berarti pula daftar uang.
Padahal hari-hari ini adalah hari menjelang lebaran. Dimana kebutuhan untuk dipenuhi ada panjang sekali daftarnya. Baju untuk anak-anak (karena untuk ibu-bapak item ini layak bisa dinomorsekiankan), beli kue untuk tamu yang berkunjung di hari raya nanti, biaya mudik-balik ke kampung halaman. Dan deretan senarai ini bisa panjang sekali manakala ganti korden, ganti furniture sampai cat ulang dinding yang sejatinya belum kusam dimasukkan.
Padahal hari-hari ini adalah hari menjelang lebaran. Dimana kebutuhan untuk dipenuhi ada panjang sekali daftarnya. Baju untuk anak-anak (karena untuk ibu-bapak item ini layak bisa dinomorsekiankan), beli kue untuk tamu yang berkunjung di hari raya nanti, biaya mudik-balik ke kampung halaman. Dan deretan senarai ini bisa panjang sekali manakala ganti korden, ganti furniture sampai cat ulang dinding yang sejatinya belum kusam dimasukkan.
Sekali
lagi, bagi yang sudah menyiapkan anggaran untuk aneka aneka kebutuhan
itu tentu bisa lebih nyantai. Lha,
bagi orang yang ekonominya pas-pan tentu hal ini adalah beban. Dan,
Anda tahu, selalu ada jalan untuk meringankan beban: hobi. Bagi
sebagian orang, burung peliharaan di kala pikiran suntuk, kicaunya
bisa meringankan. Begitu juga fenomena batu akik belakangan ini.
Siapa
tahu, sambil menyusun strategi menyelesaikan masalah, duduk santai di
teras rumah sembari menggosok batu akik kesayangan, tiba-tiba asap
tipis mengepul dari batu itu. Sesosok jin muncul dan berkata,
“Silakan Tuan ajukan tiga permintaan, niscaya akan saya kabulkan....” *****
Minggu, 05 Juli 2015
Bukber Keluarga Besar Puri Matahari
Pak Bambang Sunarso memberi sambutan. |
"Terserah mau dikonsep seperti apa, yang penting acara ini bisa terlaksana dengan apik dan bermakna," begitu pesan Bu Marina (HRD) memberi keleluasaan kepada panitia.
Di antara waktu aktifitas kerja, panitia mencuri waktu demi menyusun rangkaian acara. Tak banyak berubah sih dibanding penyelanggaraan tahun-tahun yang lalu. Betul, acara buka bersama di Puri Matahari memang sudah merupakan kegiatan rutin setiap bulan ramadhan tiba.
Sambil menunggu acara utama, ada kuis kecil-kecilan dengan hadiah yang juga kecil-kecilan. |
Bergaya setelah berbuka. |
"Ramadhan senantiasa diikuti meningkatnya kuantitas ibadah," papar Bambang Sunarso (Manager Property) yang mewakili managemen memberikan kata sambutan. "Dan kuantitas ibadah itu sudah seyogyanya dibarengi dengan kualitas spiritualitas."
Pemandangan setelah adzan maghrib berkumandang. |
Ceramah agama disampaikan oleh ustad Farid dari Krian, Sidoarjo dengan mengangkat tema Etos Kerja dalam Bulan Ramadhan. Lebih kurang satu jam ustad Farid memberikan tausiah yang disimak hadirin dengan antusias. Dan tepat jam 17.25 adzan magrib berkumandang; saat tiba waktunya kami berbuka puasa. *****
Foto-foto: Nanin Indah.
Sabtu, 04 Juli 2015
Stop Beli Set Top Box
"YAELAH, bukannya bertambah, siaran digital malah berkurang. MUX
TransCorp sekarang ikutan menghilang. Praktis, kini yang tersisa cuma
MetroTV, BBSTV dan channel-channel TVRI..." begitu gerutu seorang
kawan Facebook di grup siaran televisi digital zona 7 Jawa Timur.
Membaca itu, saya belum cek langsung di layar kaca, tetapi saya
langsung percaya. Dengan payung hukum yang (konon) belum jelas,
terlalu berharap siaran tv digital maju dengan derap pasti sungguh
laksana pungguk merindukan bulan. Betul, di awal program ini
dicanangkan, tahun 2018 dipatok sebagai batas akhir siaran analog
mengudara. Namun dengan realita di lapangan yang seperti ini, bisa
jadi tahun 2018 akan terlewatkan begitu saja dengan siaran analog
masih lantang merapal mantera: sekali mengudara tetap mengudara.
Lalu, bagaimana dengan program migrasi dari analog ke digital yang
sudah kadung didengungkan? Oh, pasti orang-orang pintar yang terlibat
di dalamnya sedang bekerja sekuat tenaga untuk tidak membuat planning
bagus (dan secara teknologi sudah sebagai keniscayaan) ini begitu saja batal.
Termasuk pihak pemenang lelang yang sudah
membelanjakan duit yang tidak sedikit untuk membeli perangkat pemancar
digital tentu tidak rela bila kemudian peralatan yang sudah dibeli itu
menjadi mubazir. Sebagai penonton televisi yang sudah terlanjur
membeli set top box, tentu tak salah ikut berharap sekuat tenaga agar
set top box yang kadung dibeli menjadi tidak berguna.
Mutu gambar dan suara yang cling bebas semut, membuat banyak orang
tergiur membeli set top box DVB-T2. Gairah itu ditangkap produsen
untuk menggenjot produksi reciever yang secara harga agak lebih mahal
dari DVB-S2, (padahal yang DVB-S2 bisa menangkap siaran televisi
dengan channel amat sangat banyak walau untuk itu memang dibutuhkan
antena parabola lengkap dengan LNB-nya). Alasan set top box (STB) tak
perlu parabola dan cuma tetap pakai antena UHF biasa mungkin
masuk sebagai pertimbangan utama.
Di toko-toko (online utamanya)memang masih ada yang
menjual set top box DVB-T2. Malahdengan pilihan merek yang
beragam. Melihat kenyataan siarannya malah
berkurang sebagaimana dikeluhkan teman dari Surabaya yang gerutuannya
saya kutip sebagai pembuka tulisan ini, kalau saya boleh menyarankan:
stop dulu deh rencana beli set top box. Tunggu sampai semua jelas.
Banyak orang yang sudah kadung beli STB sekarang ini telah memasukkan
kembali alat itu ke dus lalu menyimpannya dalam lemari.
Sebentar lagi lebaran; dan anggaran untuk beli STB itu bisa dialihkan
dulu untuk membeli kebutuhan hari raya.
Bagaimana, masih ngebet pingin beli STB? *****
TransCorp sekarang ikutan menghilang. Praktis, kini yang tersisa cuma
MetroTV, BBSTV dan channel-channel TVRI..." begitu gerutu seorang
kawan Facebook di grup siaran televisi digital zona 7 Jawa Timur.
Cling. Sinyal MUX TransCorp tadinya termasuk yang kuat. Sekarang ia cling; bukan berarti bening, tapi hilang. |
langsung percaya. Dengan payung hukum yang (konon) belum jelas,
terlalu berharap siaran tv digital maju dengan derap pasti sungguh
laksana pungguk merindukan bulan. Betul, di awal program ini
dicanangkan, tahun 2018 dipatok sebagai batas akhir siaran analog
mengudara. Namun dengan realita di lapangan yang seperti ini, bisa
jadi tahun 2018 akan terlewatkan begitu saja dengan siaran analog
masih lantang merapal mantera: sekali mengudara tetap mengudara.
Lalu, bagaimana dengan program migrasi dari analog ke digital yang
sudah kadung didengungkan? Oh, pasti orang-orang pintar yang terlibat
di dalamnya sedang bekerja sekuat tenaga untuk tidak membuat planning
bagus (dan secara teknologi sudah sebagai keniscayaan) ini begitu saja batal.
Termasuk pihak pemenang lelang yang sudah
membelanjakan duit yang tidak sedikit untuk membeli perangkat pemancar
digital tentu tidak rela bila kemudian peralatan yang sudah dibeli itu
menjadi mubazir. Sebagai penonton televisi yang sudah terlanjur
membeli set top box, tentu tak salah ikut berharap sekuat tenaga agar
set top box yang kadung dibeli menjadi tidak berguna.
Yang Tersisa. Tetap bertahan atau akan menyusul ikut menghilang? |
tergiur membeli set top box DVB-T2. Gairah itu ditangkap produsen
untuk menggenjot produksi reciever yang secara harga agak lebih mahal
dari DVB-S2, (padahal yang DVB-S2 bisa menangkap siaran televisi
dengan channel amat sangat banyak walau untuk itu memang dibutuhkan
antena parabola lengkap dengan LNB-nya). Alasan set top box (STB) tak
perlu parabola dan cuma tetap pakai antena UHF biasa mungkin
masuk sebagai pertimbangan utama.
Di toko-toko (online utamanya)memang masih ada yang
menjual set top box DVB-T2. Malahdengan pilihan merek yang
beragam. Melihat kenyataan siarannya malah
berkurang sebagaimana dikeluhkan teman dari Surabaya yang gerutuannya
saya kutip sebagai pembuka tulisan ini, kalau saya boleh menyarankan:
stop dulu deh rencana beli set top box. Tunggu sampai semua jelas.
Banyak orang yang sudah kadung beli STB sekarang ini telah memasukkan
kembali alat itu ke dus lalu menyimpannya dalam lemari.
Sebentar lagi lebaran; dan anggaran untuk beli STB itu bisa dialihkan
dulu untuk membeli kebutuhan hari raya.
Bagaimana, masih ngebet pingin beli STB? *****
Langganan:
Postingan (Atom)