DALAM politik, kedunguan itu bukanlah halangan.
Napoleon Bonaparte (1769-1821) Politikus dan Kaisar Prancis.
Sabtu, 31 Maret 2012
Senin, 26 Maret 2012
K a s m i r a h
-->
-->
Dimuat Radar Surabaya, Minggu 15 April 2012. |
PEREMPUAN
itu tampak bersih untuk ukuran orang yang dianggap tidak waras. Ia
selalu mandi dua kali sehari. Pagi tadi, ketika orang-orang berangkat
hendak belanja ke pasar, masih melihatnya mencuci baju di sungai,
setelah ia mandi rupanya. Dan siang ini, seperti siang-siang yang
lalu, ia pergi ke pasar ini. Sepekan sekali orang sini melihatnya.
Setiap Senin. Karena kalau Jum'at ia ke Menampu, Kamis ke Mojosari,
Rabu ke Reboan, Minggu ke Kasiyan Wetan. Kecuali Selasa. Selasa ia
tidak ke pasar Grenden. Ia di rumah saja.
Pasar Senin ini termasuk ramai. Pak Untung si penjual jamu tampak masih kalah muda dibanding istrinya yang masih tampak bahenol. Dan, seperti orang-orang yang berkunjung ke pasar, Pak Otor si penjual kopiah yang tampak alim pun sempat punya pikiran kotor bila melihat kemontokan Bu Untung
|
|
Di dekat Pak Untung itulah, di bagian luar pasar yang berupa tanah
lapang dengan beberapa pohon waru ditanam sebagai peneduh, Kasmirah
menggelar dagangannnya. Paling tidak itu perkiaan orang. Karena
perempuan itu seperti sedang menarik tali dari ujung sini dikaitkan
ke pohon waru sana. Selalu begitu. Tanpa suara, tanpa berkata-kata.
Padahal, semua orang yakin, si Kasmirah ini tidaklah tuna wicara. Ia
bergerak seperti sedang menggelar tikar untuk tempat ia menata
jualannya. Juga, seakan menyampir-nyampirkan helai-helai kain.
Gerakannya itu seperti pantomim saja. Melipat-lipat,
menggapai-nggapai orang yang lewat dilakukannya sambil tetap tak
bersuara.
Siapa sebenarnya Kasmirah, tidak ada orang yang tahu pasti. Tetapi
ada satu cerita yang diyakini kebenarannya oleh nyaris semua orang.
Menurut keyakinan itu, begini ceritanya; ia adalah cucu dari Mbah
Suro, seorang pedagang kain keliling dari pasar ke pasar. Kasmirah
itu diasuh oleh Mbah Suro sejak bayi. Sebab kedua orang tuanya
meninggal karena pagebluk.
Rabu, 21 Maret 2012
Kalau Singkong Bisa Ngomong
-->
TEBAKAN sampeyan betul, judul di atas saya jiplak dari
title lagu lawas Doel Sumbang yang berduet dengan Nini Karlinna dan
sempat kondang di tahun 80an; Kalau Bulan Bisa Ngomong. Dan
ngomong-ngomong tentang lagu 80an, saya juga suka lagu-lagunya
Bill&Brod-nya Arie Wibowo yang selalu berkacamata hitam,
bertopi, dan Nyong Anggoman dengan rambut kribo yang senantiasa
sambil nyangklong keyboard itu. Sebutlah misalnya Madu dan Racun,
Angin Sorga (duet bareng Ervinna yang asli arek Suroboyo) dan
juga Singkong dan Keju.
Untuk Singkong dan Keju, liriknya ringan khas Arie Wibowo
dengan musikalitas yang selalu bernada gembira, bercerita tentang
kesenjangan. Dengarlah ini; aku suka jaipong, kau suka disco, aku
suka singkong kau suka keju...
Jelas, yang dimaksud adalah antara yang berpunya dengan yang tiada.
Antara si miskin dan si kaya (eh, kok seperti judul sebuah sinetron
ya?) Tetapi selalukah begitu? Padahal bukankah sering kita dapati
pada penjual gorengan (mungkin juga dijual oleh sahabat Efbi saya,
mas Samsul Hadi di Samarinda sana) memadukan antara keduanya. Ia
ditampilkan sebagai singkong keju. Yang ketika kita mengunyahnya
terasa meduk dan empur.
Rambu Rancu?
DALAM berlalu-lintas, sebisa mungkin saya berlaku taat rambu.
Dan sekalipun ketika mengajukan SIM dulu saya lewat jalan setengah
resmi, perkara rambu sepertinya bukan soal sulit. Apa sih
susahnya memahami huruf S atau P dicoret. Atau gambar terompet yang
(juga) dicoret bila didekat area itu ada tempat ibadah.
Kaluu mau disebutkan tentu banyak sekali lambang rambu-rambu itu.
Untuk jalan licin, dilarang mendahului, batas kecepatan, batas
tonase, jalan menanjak atau menurun, jalur rawan kecelakaan, jalan
menyempit, dsb, dst.
Tetapi disebuah perempatan jalan, rambu (tulisan) yang biasanya
ditempel dibawah lampu pengatur lalulintas bisa berbeda bunyinya. Ada
yang belok kiri langsung, ada juga yang belok kiri mengikuti lampu.
Nah ini rancunya.
Kalua sampeyan mengikuti saya, itu artinya sampeyan
turut berjalan dibelakang saya. Lha kalau mengikuti lampu?!
Padahal lampu itu tidak bergerak kemana-mana. Piye? Untuk
rambu yang model begitu, terpaksa saya melanggar. Saya tidak
terus-terus diam disitu. Saya terus melaju saja kalau lampunya sudah
menyala hijau.*****
Senin, 19 Maret 2012
'Bhinneka Tunggal Ika'
BAGI keluarga
saya, selain ketika hari libur, makan bersama hanya terjadi saat
makan malam. Karena makan pagi adalah lebih bersifat individu. Istri
saya sarapan jam lima, si sulung jam setengah enam, sementara saya
jatuh tempo sarapannya setiap jam tujuh kurang sepempat. Semua waktu
yang tidak seragam itu disebabkan karena kegiatan kami berbeda garis
start-nya.
Makan malam yang ramai itu, lebih sering bermenu seadanya. Tetapi
nuansa yang tercipta lebih dari itu. Sekalipun dengan soto (maklum,
istri saya berasal dari LA hehe..) yang diproduksi kemarin pagi,
kenikmatannya sungguh tiada tara. Lebih konkretnya inilah
pemandangannya; saya pakai piring bening, istri saya pakai warna
kuning, sementara si sulung pakai mangkok putih. Gelas sebagai tempat
minum pun berbeda ketingggian dan bentuknya. Beraneka wadah. Tetapi,
'Bhinneka Tunggal Ika'. Berbeda-beda tetapi tetap satu sebabnya; semua
ajang makan-minum itu hasil kreatifitas istri saya dalam membeli sabun
detergent dan semacamnya.
Begitulah dalam setiap belanja. Sungguh istri saya tidak punya
pendirian dalam hal merek. Ia teramat plin-plan. Apapun mereknya,
kalau ada hadiah piring atau mangkoknya, itulah yang ia beli.
Kalaupun dalam berangkat tidak ada nama kecap dalam daftar belanja,
tetapi bila sampai di swalayan sedang ada promo beli sebotol kecap
dapat gratis satu sendok atau gelas, sering ia akan segera goyah iman untuk kemudian langsung
meraihnya.
Bagaimana dengan sampeyan?
Rabu, 14 Maret 2012
Helmy Yahya; Gagal Jadi Dokter, Sukses Sebagai Entrepreneur
SELAIN talk show dan berita,
dalam menonton televisi saya juga suka acara kuis. Saat remaja dulu,
Gita Remaja yang dibawakan Tantowi Yahya jarang saya lewatkan.
Itu, seingat saya, bukan acara kuis yang pertama saya kenal. Karena,
lamat-lamat saya ingat, sebelumnya ada Bob Tutupoli dengan kuis
Pesona 13 yang pernah saya tonton. Bagian terseru dari kuis
itu adalah, merangkai satu kalimat dengan satu orang peserta sebagai
pemandu tenman yang lain untuk menebak gerakan yang diterjemahkan
sebagai kata. Maka, keramaian pertama yang muncul saat segmen itu
adalah serbuan tanya; kata benda, kata sifat dst, dsb. Yang kemudian
dipakai oleh semua peserta di episode selanjutnya adalah, gerakan
menggoyangkan pinggul sebagai sebutan untuk kata 'yang'.
Berikutnya, masih ingat betul saya akan
gaya Koes Hendratmo ketika mengucap kalimat 'Berpacu Dalam Melodi'
sebelum Ireng Maulana All Stars memainkan instrumentalia lagu
tertentu. Pula, gaya bung Kepra (sebuah nama yang asik, bukan?)
ketika membawakan kuis Aksara Bermakna, atau Rano Karno dalam
Lacak Dunia, Aom Kusman dalam Siapa Dia, Olan Sitompul
di kuis Serba Prima. Lalu, ketika tayangan kuis itu habis,
dalam deretan kerabat kerja yang terpampang dilayar kaca selalu ada
nama Ani Sumadi, juga Reinhard Tawas sampai Helmy Yahya.
Nama terakhir itu yang ingin saya
tulis. Ya, Helmy Yahya. Raja kuis (juga reality show) yang dengan
piawai menyalip sang ratu yang juga gurunya; Ani Sumadi.
Helmy Yahya lahir di Palembang pada 6
Maret 1963. Ayahnya adalah seorang kiai, yang juga mantan penyanyi di
sebuah orkes gambus dan lalu menghidupi anak-anaknya dengan menjadi
pedagang kaki lima.
Helmy Yahya memang cerdas. Ini
terbukti selain sebelumnya menjadi pelajar teladan tingkat Sumatera
Selatan, lalu juga menjadi pelajar teladan tingkat SLTA se-Indonesia
pada 1980. Ketika itu cita-cita yang ingin ia raih adalah menjadi
dokter. Tetapi, “Ah, kehidupan saya yang memprihatinkan di masa
kecil dan terkadang tidak dipandang sebelah mata dan malah sering
diremehkan membuat saya berkeinginan mencari pekerjaan yang membut
saya dianggap oleh masyarakat sekitar. Lagi-lagi, karena keadaan
ekonomi keluarga saya yang membuat saya harus mengubur cita-cita saya
menjadi dokter. Saya tahu betul betapa mahalnya biaya untuk menjadi
dokter, dan harus lulus. Tak ada cerita mahasiswa drop out
dari fakultas kedokteran bisa praktik sebagai dokter,” begitu
tulis Helmy Yahya dalam pengantar buku Siapa Berani Jadi
Entrepreneur yang ditulisnya bareng Baban Sarbana.
Selulus SMA, adik kandung Tantowi Yahya
ini diterima pada program Perintis II (sebuah model penerimaan
Mahasiswa Baru terhadap lulusan terbaik SMA se-Indonesia) di IPB
Bogor. Sekalipun dengan biaya kuliah yang disubsidi,
Senin, 12 Maret 2012
Waktu Adalah Uang
PERGELANGAN yang manakah yang
sedang sampeyan lingkari dengan jam tangan? Di kiri atau kanan
tentu sama pantasnya. Dan sama-sama ada alasannya. Kelaziman, mungkin
begitu bila sampeyan menggelangkannya di tangan kiri. Dan
untuk yang melingkarkan dipergelangan tangan kanan, bisa saja ia
membuat alasan yang dikeren-kerenkan, ”Saya menghargai waktu,
makanya alat penunjuk waktu ini saya taruh di tangan kanan.”
Semua bisa diterima akal, sekalipun
tentang waktu itu semua bisa pula diakali. Makanya sampai ada istilah
jam karet. Atau, kalau ditanya atasan ketika suatu kali terlambat
sampai di tempat kerja, alasannya, “Maaf, bos. Jam dinding dirumah
saya mati, sudah gitu jalanan macet lagi...”
Itulah mengapa, mungkin, lalu
diciptakan jam tangan. Yang bisa dipakai kemana-mana. Perkara jam
tangan ini, lalu tidak hanya sebagai penunjuk waktu, itu soal lain.
Ia, untuk merek-merek tertentu, bisa pula sebagai semacam perhiasan.
Sebagai penunjuk derajat si pemakai.
Dan saya termasuk orang yang tidak
pernah mengenakan jam tangan. Baik di pergelangan tangan kiri atau
tangan kanan. Tidak ada alasan tertentu, sebenarnya, kenapa saya
berlaku begitu. Tidak ingin saja. Tidak pula ber-nadzar akan
mengenakan bila sudah mampu membeli merek tertentu, misalnya. Tidak.
Saya merasa baik-baik saja sekalipun tidak mengenakannya. Untuk
urusan waktu, saya bisa melihatnya di layar hand phone jadul
saya yang masih hitam-putih ini. Yang memang lebih dominan hanya sebagai
penunjuk waktu ketimbang tampil sebagai alat komunikasi.
Pernah sih dulu ketika masih bujang dikasih jam
tangan oleh bapak kost. Mungkin beliau merasa kasihan melihat
pergelangan tangan saya selalu tampil polos. Tentu tak baik menolak
pemberian. Jangan dilihat nilainya, tulusnya itu lho yang
penting. Saya tentu saja berterima kasih seterima kasih-terima
kasihnya. Tetapi, saya simpan pemberian itu dengan sebaik-baiknya.
Dan, sejak itu sampai sekarang saya tidak pernah sekalipun
mengenakannya.
Perjalanan harian saya dari rumah ke
tempat kerja yang cuma tak lebih dari lima belas kilometer, dulu
biasa saya tempuh sekitar tiga puluh menit dengan bermotor.
Belakangan, karena semakin padatnya kendaraan (dengan roda dua sukses
tampil sebagai raja), waktu tempuh saya menjadi hampir satu jam. Itu
pun sudah sesekali melanggar ketentuan kecepatan di dalam kota yang
dibatasi 40 kilometer per jam. Kenapa? Dimana-mana macet sekarang.
Apalagi kalau habis hujan. Apalagi menjelang perlintasan kereta api.
Baiklah, ini rute saya; dari Rungkut
saya lewat dalam, via Tenggilis yang tembus ke Raya Jemursari, lalu
ambil kanan masuk Raya Margorejo Indah. Menjelang rel kereta api,
ketika sirine meraung atau suara lembut perempuan yang mengingatkan
agar selalu waspada setiap akan melewati pintu perlintasan kereta api
(karena sudah banyak yang maninggal sia-sia, dilokasi lain masih
banyak perlintasan yang tidak dijaga dan tidak berpintu, dst, dst), ia
pertanda pula akan adanya kepadatan lalu lintas. Sambil menjalankan
motor dengan sangat lambat begitu, atau malah lebih sering berhenti,
untuk melihat jam saya menengok kekiri atau kanan. Mencari-cari
pergelangan tangan orang di samping saya. Kalau lagi apes, karena
tidak menemukan jam tangan, barulah saya merogoh saku, melihat
ponsel.
Bila baru sampai di dekat Maspion
Square situ sudah dua puluh menit menuju jam delapan, alamat
terlambat sampai di tempat kerja. Padahal, saya termasuk penakut
dalam berkendara. Saya, sebisa mungkin, menghindarkan diri untuk
melajukan motor dengan zig-zag. Zig kekiri-zag kekanan, salip kiri,
salip kanan. Padahal di depan masih ada beberapa titik yang kendaraan
selalu uyel-uyelan. Di depan Royal Plaza sebelum RSI, di dekat Bonbin,
atau tidak mustahil pula di Mayjen Sungkono. Padahal waktu terus
berjalan, padahal saya tidak mengenakan jam tangan. Padahal sambil
berkendara begitu, jangankan ber-SMS, lihat jam di layar ponsel saja
sudah sama risikonya. Nyawa taruhannya
Padahal berikutnya adalah, dulu di
jalan Diponegoro, didepan Hotel Oval sekarang, pernah ada jam besar.
Yang bisa saya lirik setiap waktu. Setiap saya melintas disitu.
Sekarang tidak ada lagi. Yang tersisa hanya pondasinya. Untunglah
tidak jauh dari situ, terdapat pos sekuriti sebuah bank. Yang jam
dindingnya bisa terlihat dari jalanan. Maka, kepadanyalah selalu saya
lihat waktu setiap lewat.
Lepas jalan Ciliwung, masuk
Adityawarman, diseberang kantor KPU Surabaya, jamnya juga bernasib
sama. Tinggal pondasinya saja. Terus lurus naik ke Mayjen Sungkono,
di JPO (Jembatan Penyeberangan Orang) setelah Ciputra World,
sempat ada pemodern-an jamnya. Dari yang dulu model jarum, menjadi
model digital. Tetapi, sudah beberapa lama si digital itu pun
meninggal. Lampu penunjuk waktu yang dulu merah menyala, kini hanya
terlihat sebagai barisan titik-titik hitam tanpa kedip.
Tentu saja saya tidak bisa mengetahui
sudah jam berapa ketika sampai disitu, kalau saja sebelumnya saya
tidak melirik (lagi-lagi) pos sekuriti, yang kali ini milik sebuah
showroom mobil mewah disebelum Ciputra World.
Begitulah nasib jam-jam di kota
Surabaya. Ada sih yang secara fisik masih terlihat bagus. Di
JPO depan dua Rumah Sakit yang berhadap-hadapan di jalan Diponegoro,
misalnya. Yang disekujur tubuhnya tertempel iklan sebuah produk rokok. Jam besar itu jarum-jarumnya masih ada. Tetapi, setiap
lewat sana, jarum-jarumnya terlihat selalu salah langkah dalam
menunjuk angka. Senasib dengan alat penunjuk tingkat pencemaran udara
di dekat bundaran Satelit. Yang seberapa parah apa pun kemacetan terjadi
disitu, alat bernama Pollutant Standard Index itu layarnya selalu saja memampang kata 'Sedang'. Tidak tahu, apakah tingkat polusi disekitar alat itu berdiri memang baru dalam tahap 'sedang' atau alat itu 'sedang' tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
Saya tentu juga tidak tahu siapa yang harus
membetulkan jam-jam itu. Mengganti baterainya atau apa. Yang
saya tahu, ada istilah waktu adalah uang. Dalam artian, untuk merawat
jam sebagai alat penunjuk waktu itu pun diperlukan uang. Tetapi, kalaulah dikehendaki, saya rela pajak yang saya bayarkan itu juga digunakan untuk biaya perbaikannya. Agar ketika saya berkendara dijalanan kota, masih bisa melirik alat penunjuk waktu itu bila perlu.*****
Sabtu, 10 Maret 2012
Timnasku Sayang, Timnasku Malang
EMPAT puluh lima ment babak
pertama mendominasi permainan sampai setengah lapangan, masih saja
itu gagal membuat hati saya lapang. Rupanya saya kadung tidak pede
akan sesuatu bernama kemenangan. Walau tentu soal kalah itu, yang
bukan barang asing bagi sebuah timnas olahraga bernama sepak bola di
negeri ini, adalah hal sudah sangat biasa. Tetapi kebiasaan itu,
menjadi tidak biasa ketika tempo hari timnas senior dicukur gundul 10
gol tanpa balas saat versus Bahrain.. Belum cukup dipermalukan sampai
disitu, dengan skor yang naudzubilah itu, masih saja FIFA
tega mencurigainya sebagai main mata agar Bahrain lolos kebabak
berikutnya. Kecurigaan yang masuk akal. Karena supaya bisa lolos,
Bahrain harus menang dengan selisih sembilan gol. Dan, Indonesia
dengan 'baik hati' memberi kemenangan 10 gol!
Sudahlah. Itu timnas senior. Sekarang
saya sedang menonton yang junior dibawah coach Widodo C.
Putro. Teriakan suporter yang sambil menyanyikan Garuda Di Dadaku,
saya bayangkan, suara segemuruh itu tentu sebagai indikasi banyak
sekali TKI di Brunai. Dengan bentangan kain merah-putih sedemikian
panjang dipinggir lapangan, tentulah para pahlawan devisa itu ingin
melihat sang kapten Andik Vermasyah mampu memimpin kawan-kawannya
meraih kemenangan. Para supporter itu tentu tak ingin Timnas kesayangan selalu bernasib malang.
Tetapi, tidak seperti dulu ketika
melihat timnas bertanding dan ditayang secara live oleh TVRI, satu-satunya stasiun televisi kala itu. Saat menonton adalah sekaligus saat yang mendebarkan.
Melihat Hermansyah (kiper yang selalu pakai celana panjang itu) dibombardir penyerang tim lawan saya ikut
jantungan. Kini debar itu hilang entah kemana. Atau sebuah catatan
kekalahan yang akrab menimpa timnas kita adalah biang keladinya.
Entahlah.
Di turnamen Hasanal Bolkiah Trophy,
tadi malam (9 Maret 2012), Timnas U-21 main di babak final bertemu
tuan rumah. Seperti saya tulis diawal, dengan main bagus dibabak
pertama, belum tentu berbuah bagus dibabak kedua. Benar saja, masuk
dimenit 48, gawang Aji Saka mampu dibobol Aminuddin Zakwan bin Tahir.
Dan setelah Adi Said menggandakan keunggulan di menit 75, saya dengan
sadar dan tanpa paksaan dari pihak manapun langsung mematikan
televisi.
Bola memang bulat. Dan kenyataan bahwa
dibidang sepak bola kita kalah oleh negara yang sekecil Brunei
adalah sebuah kenyataan yang harus juga ditelan bulat-bulat. Bukan
perkara 'apa sih susahnya mencari minimal sebelas pemain hebat dari
sekian ratus juta penduduk negeri ini'. Bukan. Karena memang telah
terbukti, apapun alasannya, belum ada yang mampu melakukannya. Itu
pertama. Kedua, sepak bola bukan soal sebelas dari sekian banyak
penduduk pastilah ada yang hebat. Tengoklah, negara dengan penduduk
sebanyak China atau India, kok saya belum pernah mendengar
prestasinya semoncer ekonominya. Yang saya tahu, Didier Drogba, Yaya Toure dan
beberapa pemain yang merumput di klub-klub Eropa berasal dari Pantai
Gading. Dan Pantai Gading itu bukan negara besar. Pada titik ini
mungkin saja sepak bola memang bukan maqom kita. Siapa
tahu.*****
Jumat, 09 Maret 2012
Pancingan
MUPU, itu sebuah istilah dari mengambil anak. Maka, anaknya lalu dibilang anak pupon. Untuk apa mupu anak?
Nah jawabnya ada macam-macam. Tetapi, salah satunya adalah sebagai pancingan. Karena sekian lama berumah tangga belum juga dikaruniai momongan, maka ada yang percaya dengan mupu anak, adalah sebagai pancingan agar segera mendapat keturunan. Boleh percaya boleh tidak, tetapi ada yang percaya akan khasiat model pancingan ini.
Kalaulah demikian keadaannya, tentu ada banyak hal yang bisa dipancing.
Misalnya, rajin belajar adalah pancingan agar pintar. Bekerja keras adalah pancingan agar sukses. Tidak melanggar lalu lintas pun adalah pancingan agar selamat sampai tujuan. Memberi sebagai pancingan agar menerima. Pancingan agar dibaiki adalah dengan membaiki. Dan seterusnya, dan sebagainya.
Dan dalam dunia per-FB-an, status adalah sebagai pancingan agar mendapat komentar. Pancingan yang bagaimana, itu bisa relatif. Karena tidak sedikit status yang remeh-temeh pun kebanjiran komentar. Karena, bukankah banyak orang dalam pergaulan maya itu (disadari atau tidak) hanya sekadar untuk buang-buang waktu. Walau, tentu tak bisa dibilang tidak ada yang begitu bijak menyikapi dan memperlakukannya sebagai tak jauh beda dengan silaturrahim alam fana.
Bagaimana dengan sampeyan?
Nah jawabnya ada macam-macam. Tetapi, salah satunya adalah sebagai pancingan. Karena sekian lama berumah tangga belum juga dikaruniai momongan, maka ada yang percaya dengan mupu anak, adalah sebagai pancingan agar segera mendapat keturunan. Boleh percaya boleh tidak, tetapi ada yang percaya akan khasiat model pancingan ini.
Kalaulah demikian keadaannya, tentu ada banyak hal yang bisa dipancing.
Misalnya, rajin belajar adalah pancingan agar pintar. Bekerja keras adalah pancingan agar sukses. Tidak melanggar lalu lintas pun adalah pancingan agar selamat sampai tujuan. Memberi sebagai pancingan agar menerima. Pancingan agar dibaiki adalah dengan membaiki. Dan seterusnya, dan sebagainya.
Dan dalam dunia per-FB-an, status adalah sebagai pancingan agar mendapat komentar. Pancingan yang bagaimana, itu bisa relatif. Karena tidak sedikit status yang remeh-temeh pun kebanjiran komentar. Karena, bukankah banyak orang dalam pergaulan maya itu (disadari atau tidak) hanya sekadar untuk buang-buang waktu. Walau, tentu tak bisa dibilang tidak ada yang begitu bijak menyikapi dan memperlakukannya sebagai tak jauh beda dengan silaturrahim alam fana.
Bagaimana dengan sampeyan?
Kamis, 08 Maret 2012
Bekerja Sambil Kerja Sambilan
UNTUK
menambah penghasilan, banyak sekali orang yang melakukan pekerjaan
sambilan diluar kerja utama. Bentuknya aneka macam. Dari yang dirumah
menerima service televisi sampai menjadi agen asuransi. Dari yang
menerima jasa pembasmian rayap sampai sebagai tukang cat atau tukang
pijat urat.
Tidak seperti bidang lain, teman saya yang satu ini (sebut saja namanya Robby) rupanya passion-nya lebih ke berdagang. Kalau malam ia tampil sebagai PKL. Dagangannya mulai dari tas, sandal sampai sepatu. Dari tas pinggang sampai tas punggung. Barang dagangan itu ia kulak dari orang lain dengan laba sekian rupiah setiap item yang laku. Hasilnya?
“Lumayan, buat tambah uang belanja,” katanya.
Sebagai barang kelas kaki lima, harganya pun tentu bersahabat. Dari tas kecil yang senilai limabelas ribu sampai termahal seharga tiga puluh ribu. Untuk sepatu dan sandal pun masih semurah itu.
Pak Paiman, teman saya yang lain, secara naluri juga memiliki jiwa dagang yang sama. Pernah saya lihat ia membawa meja belajar bentuk lipat untuk anak-anak yang ia ambil dari seorang pengrajin di dekat tempat kostnya, untuk dijual dikampungnya di Prigen sana. Ia melakukan itu setiap mudik mingguannya. Jawaban ketika saya tanya berapa keuntungannya pun, nyaris persis jawaban Robby. “Lumayanlah, untuk ganti beli bensin,” ujarnya.
Naluri bisnis memang tiada batas. Seperti barang dagangan yang tiada batas. Apapun, dijaman sekarang, bisa dijadikan uang. Tergantung seberapa jeli mengintip peluang. Lihatlah, disebuah sekolah dasar, diluar pagar ada seorang menjual semacam biji buah yang keras. Dan ternyata, barang sepele itu laku keras. Beberapa anak SD tetangga saya sepulang sekolah asyik memainkan biji keras itu. Diadu, siapa yang pecah duluan, dialah yang kalah.
“Main apa itu?” tanya saya.
“Main si Bolang,” jawab anak-anak itu sambil terus asyik dolanan. Rupanya mereka melakukan permainan itu karena meniru salah satu episode yang pernah mereka lihat pada program Si Bolang yang ditayangkan Trans7
Begitulah anak-anak. Apapun, kalau mengasyikkan, bisa dijadikan mainan. Bagi pedagang, itu adalah peluang. Robby pun menangkapnya dengan jeli. Ia tidak jualan biji keras itu. Ya, ia lebih kreatif. Bikin topeng ala Zoro. Membuat sendiri dari bahan sejenis lembaran karet hitam tipis. Dengan sentuhan garis-garis dibagian pinggir sebagai pemanis. Entah ia dapat ide darimana. Dan untuk menjualnya ia berpartner dengan Pak Paiman. Dan hari itu 80 buah topeng telah berpindah tangan ke Pak Paiman untuk diedarkan di Prigen. Harganya dari Robby 500 rupiah perbuah, dan terserah Pak Paiman untuk dijual berapa di Prigen.
“Bagaimana, laku topengnya?” tanya saya pagi tadi. Saya baru bertemu tadi karena tiga hari kemarin ia libur.
“Laris, tapi baru laku 21 buah sudah dilarang jualan,” kata Pak Paiman yang nekat menjual per buah seribu rupiah.
“Lho, kenapa?”
“Istriku kan menjualnya di halaman sekolah TK,” Pak Paiman bercerita. “ dan anak-anak TK itu tetap mengenakan topeng ketika masuk kelas. Duduk manis sebagai sekelompok Zoro kecil. Dan tak mau melepas sekalipun dilarang gurunya...”
"Harusnya, gurunya suruh pakai topeng Zoro sekalian dong...," seloroh saya. ******
Tidak seperti bidang lain, teman saya yang satu ini (sebut saja namanya Robby) rupanya passion-nya lebih ke berdagang. Kalau malam ia tampil sebagai PKL. Dagangannya mulai dari tas, sandal sampai sepatu. Dari tas pinggang sampai tas punggung. Barang dagangan itu ia kulak dari orang lain dengan laba sekian rupiah setiap item yang laku. Hasilnya?
“Lumayan, buat tambah uang belanja,” katanya.
Sebagai barang kelas kaki lima, harganya pun tentu bersahabat. Dari tas kecil yang senilai limabelas ribu sampai termahal seharga tiga puluh ribu. Untuk sepatu dan sandal pun masih semurah itu.
Pak Paiman, teman saya yang lain, secara naluri juga memiliki jiwa dagang yang sama. Pernah saya lihat ia membawa meja belajar bentuk lipat untuk anak-anak yang ia ambil dari seorang pengrajin di dekat tempat kostnya, untuk dijual dikampungnya di Prigen sana. Ia melakukan itu setiap mudik mingguannya. Jawaban ketika saya tanya berapa keuntungannya pun, nyaris persis jawaban Robby. “Lumayanlah, untuk ganti beli bensin,” ujarnya.
Naluri bisnis memang tiada batas. Seperti barang dagangan yang tiada batas. Apapun, dijaman sekarang, bisa dijadikan uang. Tergantung seberapa jeli mengintip peluang. Lihatlah, disebuah sekolah dasar, diluar pagar ada seorang menjual semacam biji buah yang keras. Dan ternyata, barang sepele itu laku keras. Beberapa anak SD tetangga saya sepulang sekolah asyik memainkan biji keras itu. Diadu, siapa yang pecah duluan, dialah yang kalah.
“Main apa itu?” tanya saya.
“Main si Bolang,” jawab anak-anak itu sambil terus asyik dolanan. Rupanya mereka melakukan permainan itu karena meniru salah satu episode yang pernah mereka lihat pada program Si Bolang yang ditayangkan Trans7
Begitulah anak-anak. Apapun, kalau mengasyikkan, bisa dijadikan mainan. Bagi pedagang, itu adalah peluang. Robby pun menangkapnya dengan jeli. Ia tidak jualan biji keras itu. Ya, ia lebih kreatif. Bikin topeng ala Zoro. Membuat sendiri dari bahan sejenis lembaran karet hitam tipis. Dengan sentuhan garis-garis dibagian pinggir sebagai pemanis. Entah ia dapat ide darimana. Dan untuk menjualnya ia berpartner dengan Pak Paiman. Dan hari itu 80 buah topeng telah berpindah tangan ke Pak Paiman untuk diedarkan di Prigen. Harganya dari Robby 500 rupiah perbuah, dan terserah Pak Paiman untuk dijual berapa di Prigen.
“Bagaimana, laku topengnya?” tanya saya pagi tadi. Saya baru bertemu tadi karena tiga hari kemarin ia libur.
“Laris, tapi baru laku 21 buah sudah dilarang jualan,” kata Pak Paiman yang nekat menjual per buah seribu rupiah.
“Lho, kenapa?”
“Istriku kan menjualnya di halaman sekolah TK,” Pak Paiman bercerita. “ dan anak-anak TK itu tetap mengenakan topeng ketika masuk kelas. Duduk manis sebagai sekelompok Zoro kecil. Dan tak mau melepas sekalipun dilarang gurunya...”
"Harusnya, gurunya suruh pakai topeng Zoro sekalian dong...," seloroh saya. ******
Sabtu, 03 Maret 2012
Tips Menjadi Penulis
AWALI setiap pagimu dengan menulis. Itu akan membuatmu menjadi penulis.
Gerald Brenan, penulis Inggris (1894-1987)
Langganan:
Postingan (Atom)