SUATU malam,
tetangga depan rumah pamit undur diri sejenak dari arena jagongan,
“Sebentar, saya ambilkan camilan agar makin gayeng”, ujarnya.
Ia datang lagi dengan
sewadah umbi yang lama sekali tidak saya nikmati. Bentuknya
berimpang, nyaris seperti lengkuas. Tetapi, hmmm... hidung ini telah
mengenalinya. Suguhan berjenis pala pendhem ini mengingatkan
saya saat kecil di desa dulu. Ketika kami tadarus mendaras kitab suci
di bulan Ramadhan, ada tetangga yang rumahnya berjarak tujuh rumah
dari langgar kecil tempat kami mengaji, membawa sebakul ganyong
rebus yang aromanya menggoda.
Penganan berjenis umbi
ini kaya akan serat dan karbohidrat. Makanya, selain enak dinikmati
sebagai cemilan, ia berperan pula mengenyangkan.
Di kota agak sulit
menemukannya, walau di desa ia gampang ditemukan dan menjadi
penyelamat di saat paceklik.
Baiklah, izinkan saya
meloncat ke lain arah. Masih tentang penganan di masa kecil saya.
Tentang buah tangan yang sering Bapak bawa sehabis pepergian.
Semacam 'oleh-oleh kebangsaan' karena jenisnya cuma itu-itu melulu.
Kalau bukan roti kasur, ya jipang. Kalau lagi beruntung, mungkin bapak
lagi ada uang lebih, kami dibelikan kedua-duanya.
Kami menyebut roti kasur
karena bentuknya seperti kasur, soal rasa; ia tawar belaka. Maka
menikmatinya terasa istimewa kalau Emak membikinkan kami air panas
dan gula yang diseduh pada gelas dan kami memakan roti tawar itu
dengan dicelupkan dulu ke situ. Rasanya tiada duanya.
Bipang cap Jangkar, eh ternyata penganan ini khas Pasuruan. (Foto: ediwe) |
Sekarang tentang jipang.
Eits, ternyata sebutan
kami itu keliru. Karena yang benar adalah bipang. Berasal dari bahasa
Tiongkok; bi berarti beras dan pang artinya wangi. Makna
harfiahnya beras wangi. Ya, penganan ini bahan pokoknya adalah beras
yang dipanaskan lalu dicampur gula dan di-pres sedemikian rupa.
Semoga Anda sepakat,
bahwa kerinduan itu kadang tiba-tiba muncul bukan melulu untuk sang mantan (yang apesnya, itu hanya bertepuk sebelah tangan), namun bisa pula tertuju kepada penganan. Maka, ketika
suatu sore saya mendapati seorang bapak tua menjajakan aneka camilan
'tempo doeloe' di jantung kota Surabaya ini dengan bipang sebagai
salah satunya, saya membelinya.
Seperti ganyong
yang anak sekarang kurang menyukainya, si bipang ini pun
bernasib tak jauh beda. Buktinya, anak-anak saya kurang berselera berebut buah tangan itu saat saya tiba di rumah (berbeda ketika masa kecil
saya dulu yang menganggapnya sebagai oleh-oleh istimewa). Karenanya, kemudian bipang itu hanya
saya makan sendiri saja dengan kunyahan yang sebisa mungkin mengantarkan
saya akan kenangan masa kecil dulu. *****