Tampilkan postingan dengan label kenangan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kenangan. Tampilkan semua postingan

Kamis, 13 Oktober 2011

Sahabat Pena

sahabat pena
sahabat pena datanglah
bayang-bayang…..


     SEBAGAI orang jadul, saya tentu tahu lagu diatas. Ya, lagu itu populer lewat penyanyi bertampang imut, Boy Sandi. Lagu yang menjadi tembang andalan diantara sepuluh lagu lain dalam kaset berjudul Sahabat Pena itu diciptakan oleh Cherry LZ, dan diproduksi oleh Nursandi Record pada tahun 1985. Bagi saya, nama Cherry LZ masih kalah populer dibanding dengan nama lain misalnya  Ade Putra, Dadang S. Manaf atau Wahyu OS yang juga menciptakan lagu di album itu. Tetapi Sahabat Pena memang memiliki gambaran kuat tentang tren ketika itu; surat-suratan.
     Dalam surat-suratan itu, ada nama lain yang saya ingat. Kertas Harvest. Kertas khusus surat-suratan itu, selain memiliki desain yang menarik, juga mengeluarkan aroma romantis. Karenanya, ketika menerima surat dari sahabat pena, tak bosan dibaca berulang-ulang. Selain karena untaian kata yang romantis habis, juga karena aroma kertas  yang  bisa bikin seakan dua sahabat saling bertemu langsung di taman penuh kembang. Kertas Harvest itu, belakang saya baru tahu, dibikin oleh orang yang sekarang menjadi motivator kondang Indonesia; Andrei Wongso.
     Sebagai orang yang suka menulis, saya pun pernah terlibat dalam tradisi  tempo doeloe ini. Dan, untuk mendapat sasaran teman yang akan kita kirimi surat, tidaklah sulit. Karena hampir disemua majalah remaja, menyediakan rubrik khusus ‘sahabat pena’. Tentu saya masih lugu ketika itu. Sehingga tak menaruh curiga sedikitpun tentang apakah foto yang dipampang dimajalah itu asli atau bukan. Karena, bisa juga demi agar banyak mendapat sahabat pena, orang menaruh foto orang lain yang keren. Seperti yang ditempel pada profil para fesbuker sekarang. Dalam tulisan di era sahabat pena, kata-kata indah yang teruntai berjuntai-juntai itu, tak jarang sekadar kalimat gombal semata. Sungguh tak beda jauh dengan rombongan status palsu di era Efbi kini.
     Dalam bersahabat pena itu, saya sempat akrab dengan seorang teman asal Malang. Intens sekali saya saling kirim surat. Tetapi ini kasus khusus. Kami tak saling tahu wajah masing-masing. Karena saya tahu nama dan alamatnya dari meminta keseorang teman. Saya pilih dia karena, dia pintar merangkai kata-kata indah. Tulisan tangannya pun indah. Sekian lama kami terlibat dalam persahabatan buta.
     Setiap kali ia minta dikirimi foto, setiap kali pula tak saya kirimi. Saya takut. Wajah saya bukan tipe dia. Sering saya mendengar cerita teman, bersahabat pena sebaiknya tidak saling tahu wajah. Karena itu bisa lebih tulus. Bukan karena  tampang belaka.
     Sekian lama permintaannya tak saya penuhi, ia geregetan juga. Nekat lebih dulu mengirimi saya foto!         Dan? Olala...  *****

Rabu, 12 Oktober 2011

Pidato Pembuka


SEBAGAI yang hanya perkemampuan cekak, ditambah sudah agak lama tidak berdiri di depan orang banyak, membuat rasa grogi datang tak diundang. Setegar-tegarnya kaki saya berdirikan, dengkul kothekan  juga.

     “Asssalamu’alaikum warahmatullaahi wabarokaatuh...”

Saat-saat menegangkan itu.
     Uluk  salam saya itu dijawab suara gemuruh hadirin yang lumayan banyak. Ya, memang itu pengajian umum. Saking umumnya, sampai menutup satu sisi jalan umum. Yang tidak umum adalah, setelah uluk  salam itu, mukaddimah yang semalaman saya hapalkan, tiba-tiba pergi tanpa pesan.

     Titik panik mulai terpantik. Mau tak mau saya merogoh saku; cari kerpekan. Apesnya lagi, contekan yang saya tulis itu adalah draft  kasar. Tulisannya laksana huruf pada selembar resep dokter. Ini dia, saya jadi kesulitan membaca tulisan sendiri. Saking groginya, ngawur tangan saya meraih mik yang sebenarnya sudah ada tiang penyangganya.

     Anak-anak kecil dideretan depan mulai berulah,”Huuuu...” teriaknya seperti menyoraki penyanyi dangdut yang tiba-tiba lupa syairnya.

     Sementara para hadirin-hadirat dewasa tetap duduk manis didepan saya yang nyaris nangis. Setelah menarik nafas, saya luncurkan kata pembuka seadanya. Secepatnya.

     Setelah membacakan susunan acara, menuruni tangga panggung tubuh saya terasa limbung.Uiiisiiinnnn.....


     Seorang bos stasiun televisi swasta, pada saat peresmian mengudaranya  stasiun tv itu secara nasional beberapa tahun lalu, juga mengalami hal serupa. Dengan busana resmi, berjas dan berdasi, dengan disorot close up  kamera, dan disiarkan secara live  ke seantero Indonesia.

     Berdiri ditengah panggung megah, beliau membuka pidatonya dengan uluk salam,

     “Asmala....., as..., asmala.... , asmalaikum....”

Sabtu, 01 Oktober 2011

Sehari Menjadi Banser

SUATU hari seorang teman Ansor datang kerumah saya. Ia membawa buntalan berisi seragam kebesaran Banser.

“Tugas mendadak ke Situbondo,” katanya.

Saya tidak kuasa menolak. Lebih-lebih ayah saya memang NU tulen. Beliau bisa jadi sangat bangga bila saya mengenakan baju Banser.

Karena tugas mendadak, saya langsung saja mengenakan seragam yang entah milik siapa itu. Sungguh ia adalah baju kebesaran karena ukuran tubuh saya yang kerempeng.

Siang itu pula kami diangkut truk bak terbuka menuju TKP. Sungguh laksana militer. Alih-alih bangga, saya malah merasa aneh dengan penampilan saya itu. Baju yang kedodoran dipadu dengan sepatu model Hansip yang kekecilan. Sungguh suatu paduan yang tak padu.

Sampai di Situbondo, massa sudah menyemut di sebuah lapangan berpagar tembok. Saya lupa, apa nama stadion itu. Didalamnya, ada panggung besar dengan sound system juga berkekuatan besar. Tohoh yang ditunggu ribuan nahdliyin pun memanglah orang besar; KH Abdurrahman Wahid. Yang ketika itu masih ketua PBNU.

Dalam koordinasi dengan pasukan Banser dari beberapa daerah, dibagilah tugas masing-masing kami. Ada yang kebagian mengamankan luar stadion, ikut membantu pak polisi di simpul-simpul jalan seputar lokasi, dan tentu saja ada sebagai pengaman dalam arena.

Saya dan teman-teman kebagian yang di dalam stadion. Skenarionya, begitu mobil yang membawa Gus Dur memasuki pintu stadion, kami membuat rantai Banser dengan cara saling mengaitkan tangan. Posisinya berdiri berjajar saling terikat laiknya berkacak pinggang. Dengan begitu, diperkirakan akan sulit orang-orang untuk menerobos mendekati Gus Dur.

Tetapi skenario berubah total. Tidak memungkinkan menurunkan Gus Dur agak jauh dari panggung. Gus Dur harus menuju panggung sekalian mobilnya. Massa sudah sedemikian bernafsunya bahkan untuk sekadar mendekati mobilnya. Maka yang terjadi kemudian, lautan manusia merangsek bak gelombang laut betulan. Kami yang bergandeng tangan menghalagi gelombang itu menerpa mobil NU-1, sungguh merasakan gempuran yang makin lama makin kuat.

Bersatu kita teguh bercerai kita runtuh, saya temui kebenarannya hari itu. Benar, kami para Banser juga bersatu. Tetapi kalah teguh ketimbang ribuan orang nahdliyin itu. Saya yang kerempeng malah nafasnya tinggal satu-dua. Kalau tidak terikat dalam satu rantai dengan Banser yang lain, tentu saya bukan tidak mungkin untuk berfikir melakukan desersi.

Tetapi tidak. Ini tugas mulia. Mana mungkin seorang Banser mudah menyerah!

Puncaknya, ketika arus massa makin menguat, kami yang malah telah terengah-engah. Akhirnya, kami para Banser yang justru berhasil terjungkal secara berjamaah.

Nakal di Terminal

DULU saya pernah kost di daerah Bungurasih Timur. Sayang saya lupa tahunnya. Pokoknya dulu sekali. Ketika itu Ramayana masih pondasi. Yang jelas waktu itu saya masih bujang. Dan karena saban hari menghirup pergaulan terminal, saya ketularan 'agak' nakal.

Tempat kost saya itu tidak jauh dari terminal. Setiap malam, saya dan beberapa teman selalu ngeluyur kesitu. Cari hiburan. Cari sasaran cuci mata. Apalagi kalau malam Minggu. Selain sarana cuci matanya membludak, juga di malam itu pasti ada siaran langsung sepak bola di televisi. Karena di tempat kost tidak ada televisi.

Karena, sebagai kuli bangunan yang daerah operasinya seputar Surabaya, rupanya mandor saya punya alasan tepat untuk meng-kost-kan anak buahnya didekat terminal. Mau ke arah manapun tersedia sarana angkutan. Yang ke proyek Sheraton, ke apartemen Puncak Marina, atau yang ke Wisma Dharmala, sumua diberangkatkan dari 'embarkasi' Purabaya ini.

Saya dan beberapa teman yang kebagian ke proyek Puncak Marina (Margorejo), selalu memakai bus kota jurusan Bratang dengan gratis. Sekalipun tidak serombongan, yang penting semua dapat terangkut dengan bebas bea. Jurusnya? Setiap bus kota jurusan Bratang antri sesuai giliran, kami pun berbagi giliran. Berperan sebagai calo penumpang.

“Bratang, Bratang, Bratang...” teriak saya sefasih calo beneran.

Terus saja berteriak sampai bus penuh sesak. Bila sudah begitu, satu-dua dari kami baru ikutan masuk bis. Tentu tidak duduk. Cukup berdiri bergelantungan di bibir pintu. Selain memang semua kursi dan area berdiri di dalam bus sudah penuh, karena kami naik bus cukup dengan cara barter.

Sekian lama di terminal, saya sering mendapati orang-orang yang sama ikutan nimbrung di ruang tunggu. Saban hari. Siang-malam. Orang-orang itu tidak pergi kemana-mana. Tetapi tentu punya tujuan tertentu. Entah apa. Dan bila orang hanya selintas lalu saja di terminal, tentu tak paham tentang orang-orang model begini.

Ketika itu saya masih perokok. Untuk urusan ini, saya mempunyai cara agar membeli rokok berbonus koran. Inilah yang saya bilang pada kalimat terakhir di paragraf pertama tulisan ini. Untuk membeli sebungkus Bentoel International, saya selalu memilih kios yang sedang paling ramai. Sambil ikutan antre, saya menarik sebuah koran yang biasanya tergantung di kiri-kanan toko. Saya melipatnya lalu mendekati pelayan.

BI, satu bungkus,” kata saya.

Dengan tenang saya menunggu uang kembalian. Setelahnya, dengan tenang pula saya melangkah meninggalkan kios itu. Korannya? Ah, pasti si pemilik kios mengira saya telah lebih dulu membelinya di kios lain.


NB:
Untuk kelakuan saya yang begini ini, saya berharap buah jatuh sangat jauh dari pohonnya.

Senin, 26 September 2011

Doa Bumerang

KETIKA SD dulu, salah satu pelajaran yang saya takuti adalah pelajaran agama. Lebih-lebih pak Fatchullah, sang guru, bagi saya orangnya sungguh sangar. Tinggi besar. Suara Honda CB nya sering bikin saya jantungan, bila tugas hafalan yang beliau berikan belum menempel di otak saya.

Hafalan itu sebenarnya pendek saja. Hanya surat At-Tiin. Tetapi lidah saya selalu keluar jalur ketika memasuki dua pertiga isi surat. Malam itu, celakanya, saya bukan bekerja keras menempelkan hafalan itu ke ingatan saya. Tetapi malah merapal doa agar pak Fat besok pagi tidak datang mengajar.

“Ya Allah ya Tuhanku. Tuhan yang maha pengasih lagi maha penyayang. Ijinkanlah hambaMu yang lemah ini memohon. Agar besok pak Fat berhalangan datang. Agar aku terhindar dari hukumannya karena tidak hafal surat At-Tiin. Ya Allah ya Tuhanku. Segala kesembuhan adalah atas kuasanmu. Pun, segala penyakit adalah juga atas ijinMu. Maka sakitkanlah pak Fat barang sehari saja. Tak perlu Kau sakitkan yang berat. Cukup sakit perut saja. Aku memohon ya Allah, kabulkanlah doaku ini. Amiin.”

Jam tujuh pagi pak Bon memukel bel dari potongan rel KA. Menuju ke halaman sekolah untuk bersenam pagi, saya sempatkan melirik tempat parkir motor guru. Dan, alhamdulillah. Si Honda CB tak terlihat disana. Saya kira Tuhan sungguh baik hati. Mengabulkan doa yang semalam saya panjatkan.

Sampai SKJ usai, belum juga terdengar deru si CB. Aman. Keamanan itu makin nyata, ketika justru pak Damiri yang mengisi pelajaran di jam pertama. Ah, sakit perut betulan rupanya pak Fat.

Pak Damiri mengambil kapur tulis. Dan mulai menulis pelajaran PMP yang harus kami salin ke buku kami. Ketika baru menulis satu alenia, deru CB datang memasuki pintu gerbang. Pak Damiri menyudahi perannya, tepat disaat saya memulai kegelisahan baru. Kegelisahan itu makin menjadi-jadi ketika pak Fat masuk kelas. Keringat dingin mengguyur sekujur tubuh saya.

“Edi, kenapa kamu?” tanya pak Fat.

“Saya sakit perut, pak," jawab saya sambil memegang perut yang tiba-tiba mulas luar biasa.

Jumat, 23 September 2011

Abah Oyang sang David 'Bekam'






DI SEBUAH proyek, sekian belas tahun lalu, lelaki dengan suara khas itu sering bercanda dengan saya. Tetapi sering pula diselingi dialog-dialog serius bertopik agama. Dalam bidang itu, saya nilai, beliau termasuk mumpuni.

“Berkat beliau pula saya terentas dari jahiliyah,” begitu komentar seorang teman ketika pagi tadi saya kirimi ia foto si beliau dalam akun Efbi-nya.

Foto itu hasil jepretan saya ketika si lelaki bersuara khas itu tampil dalam program Klinik Islami di sebuah stasiun televisi. Kemarin malam itu, untuk kedua kalinya saya dapati si lelaki itu tampil di televisi yang sama. Tetapi memang itu sebagai tayang ulangnya. Ketika tayang perdana, saya tertegun dan tak kepikiran untuk mengambil gambarnya. Baru kemarin tergerak untuk melakukannya.

Dari tayang pertama yang disiarkan live itu saya tahu nomor HP nya. Tetapi tentu tak pantas saya menghubunginya ketika sedang on air.

“Edi yang dari Jember itu ya?” begitu balasan SMS yang saya terima, tigapuluh menit setelah siaran.

Ketika saya iyakan, meluncurlah guyonan-guyonan yang dulu pernah kami ketawai bersama. Ah, rupanya daya ingat beliau masih kuat. Buktinya, beliau masih ingat segala kebiasaan saya. Termasuk lagu yang sering (waktu itu) saya nyanyikan. Uh, sampai segitunya.

“Kenapa sampeyan tak kuliah?” tanya beliau suatu kali, dulu. “Kuliahlah. Pasti mampu. Itu si Ryan, buktinya bisa.”

Iya, Ryan itu juga seproyek dengan saya. Ia dan juga beliau adalah pekerja harian ikut kontraktor bidang pengecatan.

David, begitulah nama beliau yang saya kenal. Semua temannya, yang sebagian besar dari Indonesia Timur (termasuk si Ryan itu), memanggilnya pak David. Saya juga. Tetapi dalam siaran televisi beliau sekarang sebagai Abah Oyang. Lengkapnya lagi; Abah Oyang si ahli bekam. Sejenis pengobatan alternatif ala Islam.

Saya belum ingin menulis tentang bekam. Tetapi lebih kepada Abah Oyang.

“Ah, saya jadi ingat pemain bola top asal Inggris. Oyang Beckham,” tulis saya pada jawaban seorang teman yang mengomentari foto Abah Oyang di Efbi saya.

“Hahaha... David Bekam?” balasnya.

Tentu guyonan semacam itu tak kan terjadi bila kami tak tahu siapa dulunya si Abah Oyang. Tetapi jaman telah berganti. Saya saja yang tidak berganti. Tidak berubah. Ketika beliau sudah ahli dalam praktik penyembuhan lewat bekam, saya tetaplah begini-begini saja.

Berarti, mungkin untuk menilai seseorang, saya harus tanggalkan segala nilai masa lalu. Apa yang 'ada' saat ini, itulah yang ternilai.

Contoh terbaru ya si Michael Sata yang hari ini memenangkan pilpres di Zambia. Ya, sekarang ia presiden. Itu nilainya. Perkara dulu ia hanyalah tukang sapu di British Rail, London, itu masa lalu.

"Saya tak pernah mengeluh yang saya kerjakan. Saya ingin menyapu negeri saya, membuatnya lebih bersih dari yang saya lakukan di stasiun kereta api Anda," begitu katanya saat diwawancara The Telegraph.

Ia memang tukang sapu, dulu. Tetapi sambil bekerja kasar begitu, ia juga bersekolah di jurusan ilmu politik di sebuah perguruan tinggi di Inggris.

“Di bidang apapun kita bekerja, tidak lain kecuali mengharap kemulyaan hidup. Karena pada prinsipnya kerja adalah ibadah. Seluruh aktifitas adalah ibadah. Hidup adalah ibadah,” begitu SMS balasan yang saya terima setelah saya utarakan saya tetap begini, belum berubah.

"Saya kerja di proyek (bangunan) ya cuma saat itu. Hanya mencari pengalaman," kata beliau menjelaskan. "Dulu saya ini guru fisika. Juga pernah jadi kepala sekolah SMP."

Saya bayangkan itu sebagai dialog langsung. Saya bayangkan saya sedang mendengarkan suara khasnya. Dan saya sedang berpikir untuk menemui beliau secara langsung, suatu hari nanti. Untuk silaturrahim. Juga untuk bertanya kenapa sekarang berganti nama menjadi Abah Oyang. Dan juga bertanya tentang hal-hal lain yang ingin saya tahu lebih dalam tentang beliau.

Masih rencana memang. Tetapi, demi menghargai 'kedudukan' beliau sekarang, tentu saya akan lihat-lihat juga; pantaskan saya masih seguyon dulu? Lebih-lebih ketika sekarang, dengan sudah tampilnya beliau di televisi, (dalam bayangan saya) pastilah banyak pasien yang antre di rumah yang sekaligus tempat praktiknya.

Tunggu kedatangan saya pak David, eh Abah Oyang ding.

Rabu, 21 September 2011

Gaya Saya

TAHUN berubah, gaya pun berubah.

Dulu, sekitar pertengahan tahun 80-an;
rambut agak gondrong depan, diuyek-uyek, lalu sreet... ditarik sedikit. Sudah merasa mbois. Kalau sekolah, lengan baju dipilin ketat mengikat lengan.

Sebagai cowok, dengan begitu sudah merasa sekeren Richie Ricardo.

Saya?
Tentu tidak begitu. Saya punya senjata tersendiri; kumis!
Makanya, ”Saya Rano Karno.”
Uh!

Kamis, 25 Agustus 2011

Skabies Bikin Stres

SEMUA hal serba berpasangan.Tetapi sepasang saja yang ingin saya tulis sekarang.Masuk dan keluar.Lebih spesifik lagi ia sedang akan saya kaitkan dengan akal.Sehingga menjadi;masuk akal dan keluar akal.
Ingatkah sampeyan,ketika ribuan orang rela antri demi segelas air yang sudah dicelupi sebongkah batu oleh Ponari?Demi kesembuhan segala penyakit yang mungkin telah sekian lama diidap seseorang.Lalu,testimoni mengalir dari mulut ke mulut tentang suatu kesembuhan pasca meminum beberapa teguk air sakti dari Ponari.Berdasar testimoni itu,pasien Ponari makin membludak.Semua sembuh?
Entahlah.Tetapi saya ingin membuat pertanyaan baru;masuk akalkah itu? Relatif.Tergantung menurut akal siapa.Mungkin ia tidak masuk akal menurut sampeyan,tetapi sebaliknya menurut saya.Karena,bukankah akal setiap orang berbeda.Akal saya bisa jadi hanya sebatas ini,tetapi akal sampeyan jauh,jauhh...sekali meninggalkan akal saya.
Tetapi,ketika orang telah melakukan segala upaya sampai notok dug,masih tidak juga tuntas (sembuh,normal,sukses,dsb),lalu karena ia punya akal,maka ia melakukan upaya lain.Dan itu ketemu yang model si Ponari dan sebangsanya.Saya kira itu masuk akal dilihat dari modal mereka yang memang akalnya dangkal.
Sampeyan menuduh saya sok realistis,gak percaya yang gitu-gitu;bahwa yang bisa memberi kesembuah hanya dokter.Sampeyan kurang benar kalau menuduh saya begitu.Penyembuh segala penyakit hanya Tuhan.Dan Ia bisa saja memakai perantara seorang dokter atau hanya sekelas Ponari.Masuk akal,setidaknya menurut akal saya.
Saya pernah mengalami.Mengidap penyakit skabies.Bertahun-tahun tak sembuh.Sembuh seminggu,kumat tiga bulan.Begitu terus menerus.Sampai saya saban hari harus makan sekadar berlauk kemriuk-nya krupuk.Karena kalau sedikit saja memakan daging,ikan telur dan sebangsanya,ia malah menjadi malapetaka bagi saya.Tetapi saya yakin,setiap penyakit ada obatnya.
Saya tak seperti perempuan (berita ini saya baca kemarin di koran),yang stres karena lima bulan tak bisa tidur lalu pendek akal ingin ‘tidur selamanya’ dengan menenggak cairan anti nyamuk.Saya tidak begitu.Setidaknya saya tidak putus akal.
Maka,hari Juma’at Legi begini,saya berangkat ke masjid lebih awal.Agar dapat tempat paling depan.Agar bisa mendengarkan khotbah dari kiai sepuh yang memang hanya dihari Jum’at Legi saja berkhutbah di masjid itu.Agar selepas sholat Jum’at saya bisa mencium tangannya.Agar tangan saya ketularan halusnya tangan beliau.Agar (lagi) penyakit skabies yang kerasan tinggal ditangan saya rontok oleh ‘khasiat ghoib’ tangan kiai sepuh.
Sebuah upaya yang keluar akal,tetapi saya menjadikannya masuk akal karena setelah menggunakan cara yang masuk akal (menurut teori medis) penyakit saya tak juga terpental.Obat medis sampai jamu herbal tak mempan,makanya saya curiga Tuhan menaruh penyembuhan skabies saya lewat tangan kiai sepuh ini.
Dan,alhamdulillah,ternyata setelah beradu tangan dengan beliau di hari Jum’at Legi itu,tangan saya tak sembuh juga.Saya mensyukuri itu karena saya merasa telah hampir ketarik dalam praktik syirik.Baru hampir.Kalau beneran sembuh,tentu saya menganggap tangan kiai sepuh sakti,seperti batunya Ponari.
Saya cari akal lagi.Idenya malah tidak masuk akal.Tetapi tak ada salahnya mencoba.Kalau dalam bahasanya Thomas Alfa Edison;saya bukan tidak menemukan banyak obat yang tidak menyembuhkan sakit saya.Tetapi saya justru telah menemukan banyak obat yang tidak bisa dipakai sebagai penyembuh sakit saya.Sampeyan bingung membaca kalimat diatas? Hehehe...
Bila saya secara medis dilarang makan ikan laut,daging,telur dan sebangsanya,saya bertekat untuk malah memakannya.Sebanyak-banyaknya.Biar kapok.Ngincipi sedikit saja kumat.Makan banyak saja sekalian,sehingga kalau kumat tidak rugi.Toh sama-sama kumatnya.
Sehari pasca makan segala larangan,eh kok tidak kumat.Dua hari,juga tidak ada tanda-tanda si skabies muncul lagi.Tiga hari,empat hari,seminggu dan seterusnya malah sembuh.Sampai sekarang.Dan,menurut akal saya,analoginya begini;si kuman skabies kekenyangan dan jadinya ia malah mampus!
Apakah analogi saya itu masuk akal atau keluar akal?Entahlah.

Rabu, 24 Agustus 2011

Weekkk...(Suara) Rok Sobek

PADA November mendatang ada kado indah untuk kota pahlawan ini. Kado itu berbentuk sebuah film yang mengusung tema nasionalisme. Judulnya,Bendera Sobek. Digarap oleh sutradara Dwi Ilalang. Film yang menelan dana 8 miliar rupiah itu mengambil lokasi syuting di sejumlah daerah di Jawa Timur. Juga, didukung oleh para pemain asli dari Jawa Timur.

Film yang terinspirasi peristiwa penyobekan bendera di atas hotel Yamato pada November 1945 lalu itu, memulai syutingnya pada 30 Juli kemarin. Tidak tanggung-tanggung, syuting perdana yang juga melibatkan tim dari Jember Fashion Carnaval  itu menutup jalan Tunjungan selama seharian penuh. Tak ayal, hal itu menyebabkan kemacetan luar biasa di tengah kota Surabaya.

Bulan November masih beberapa bulan lagi. Masih ada waktu untuk menunggunya. Dan sambil menunggu, saya juga punya cerita tentang sesuatu yang sobek. Bukan bendera. Tetapi rok!
Tentu, kalaulah difilmkan, adegan sobeknya sang rok ini tak perlu sampai menutup sebuah jalan utama di tengah kota. Karena peristiwa ini terjadi hanya di sebuah desa sana. Tepatnya, dipertigaan pasar Gumukmas-Jember.

Terlalu muluk kalau saya berharap adegan sangat memalukan ini untuk dibuat sebagai film. Tetapi sebagai sesuatu yang saya kenang, memang iya.

Kelemahan saya, antara lain, saya tak pernah mencatat tanggal dan bulan kejadian. Tetapi kali itu saya hendak pergi ke Kencong, kalau tidak salah. Dari mulut gang Walet, saya naik ‘taksi’. Istilah ‘taksi’ di desa saya, jangan bayangkan ia sebagai semacam Blue Bird atau Cipaganti. Bukan. Tetapi ia adalah kendaraan Cotl T-20 atau semacamnya. Yang berfungsi sebagai angkutan umum untuk trayek-trayek jarak dekat. Karena untuk jarak lebih jauh, itu adalah dominasi kelompok Akas dkk. Atau paling tidak dari keluarga Bison-nya Isuzu.

Nah,di dalam ‘taksi’ itu, begitu saya naik,
“Kemana,pak?”sapa sang kernet.
“Kencong,”jawab saya.

Karena tujuan turun saya agak jauh sedikit, si kernet menyilakan yang turun duluan lebih geser ke depan. Kedekat pintu. Karenanya, saya lalu mendapatkan duduk disisi belakang. Tepat di sudut. Tempat yang menjadi favorit saya kalau naik ‘taksi’ begini. Karena bisa dapat angin segar dengan membuka sedikit saja kaca jendelanya.

Saya merasakan angin segar sesaat setelah taksi berjalan. Lebih segar lagi saya duduk berhimpitan dengan seorang wanita muda. Tak terlampau ‘bening’, tetapi karena pesaing lainnya lebih buram, tak apalah.
Saya yang memang sering memperhatikan hal-hal kecil, mendapati kenyataan bahwa; kalau saja si bening itu mau sedikit saja mengatur rambutnya sedemikian rupa, tentulah lebih modis. Tidak hanya membiarkan rambut panjangnya diikat menjadi laksana ekor kuda. Juga bajunya. Terlalu kedodoran untuk ukuran tubuhnya yang ramping. Paduan warna pastel berukuran longgar di atasan, plus bawahan yang juga seperti kepanjangan, saya kira ia sekaligus menyapu jalanan bila berjalan. Intinya;roknya terlalu ‘landung’.
Tetapi saya bukan Itang Yunasz atau Ivan Gunawan. Model baju belakangan ini, saya kira, menjadi ‘hak prerogatif’ si pemakai. Pun, karenanya, tentu bukan pada tempatnya saya menilai siapapun mengenakan baju model apapun. Juga si bening dengan rok longgar ini.

“Kiri, pak,” seru si bening begitu ‘taksi’ sampai di pertigaan Gumukmas.

Oh, rupanya ia sudah sampai sasaran. Dan, saya pikir, saya harus cari sasaran lain untuk mencuci mata. Maka, saya melemparkan pandangan keluar jendela ‘taksi’, berbarengan dengan si bening yang berdiri dari duduknya untuk segera turun.Tetapi,

“Weekkk….”ada suara kain sobek.

Secepat kilat saya mencari sumber suara. Dan, oh Tuhan, rok si bening itu menganga tepat di jahitan pada posisi pahanya. Penyebabnya; ternyata sebagian roknya masih terduduki pantat saya saat dia berdiri.
Saya lirik wajah si bening memerah-padam. Mualuuu. Sangat malu. Saya merasa bersalah? Tentu. Karenanya saya tak berani melihat adegan apa yang terjadi berikutnya. Duh.*****

Sabtu, 20 Agustus 2011

Tersinggung

ORANG mengerjakan sesuatu dengan sangat cepat,ada dua kemungkinan penyebabnya. Pertama mahir. Kedua ngawur!

Maka, ketika sekolah Aliyah dulu, dalam pelajaran Matematika saya termasuk yang selalu tercepat menyelesaikannya. Dari satu jam waktu yang tersedia, paling lama saya mampu menyelesaikan soal --yang membuat sebagian besar teman saya pusing tujuh keliling itu-- hanya dalam hitungan dua puluh menit. Beres. Karena saya mahir? Oh tentu saja. Ya tentu saja saya ngawur! Hehehe...

Metode yang saya pakai, kalau tidak menghitung kancing baju, ya sistem 'kopyokan' seperti arisan. Anehnya, sekalipun saya menggunakan cara itu untuk menjawab soal yang model pilihan A-B-C-D, ternyata nilai matematika saya sungguh sangat mengenaskan!.

Selesai mengerjakan soal ujian, tentu tak elok kalau saya langsung keluar kelas. Kesannya kok pamer 'kepinteran'. Tapi untuk sekali lagi menengok jawaban atas soal-soal ujian --agar kalau ada yang kurang mantap dikoreksi ulang--, saya terlanjur kehilangan selera. Maka saya habiskan waktu luang itu untuk mengerjakan yang saya suka. Pada lembar kertas buram yang untuk menghitung, yang dibagikan setiap ujian mata pelajaran Matematika, saya salurkan sesuatu yang selalu menyenangkan. Kalau tidak menulis ya menggambar kartun.

Untuk soal ide, entahlah, kadang saya selalu mudah mendapatkannya. Kali itu tiba-tiba tangan saya menggambar sesosok laki-laki yang compang camping. Kurus dengan baju kumal. Tentu dalam karakter kartun. Pada keterangan naskahnya, saya tulis; Semakin Doyan Semakin Bubrah. Sebagai kepanjangan secara plesetan dari Sumbangan Dana Sosial Berhadiah (SDSB). Sebuah 'perjudian' yang dilegalkan waktu itu. Yang setiap malam Kamis, selepas berita Asean di RRI jam sebelas malam, banyak orang berkerumun di didepan radio. Mendengarkan pengundian. Lalu, setelah pengumuman, ada tawa terdengar dan tentu saja ada pula pisuhan (umpatan).

Tertawa bagi yang menang, yang tombokannya pas, karenanya ia berhak mendapatkan hadiah sejumlah uang. Dan pisuhan sebagai ekspresi kekesalan, geregetan dan semacamnya; karena tombokannya terbalik. Pendek kata, ketika itu banyak orang gila judi. Akibatnya, banyak yang kerjaannya cuma meramal tombokan. Malas kerja. Dan rumah tangga berantakan.

Disaat saya sedang asyik menggambar, tiba-tiba ada tangan yang meraihnya. Rupanya sedari tadi guru pengawas ujian memerhatikan tindakan saya dari belakang. Dan itu tak saya sadari.

“Nanti,kamu ke ruangan saya,” kata pengawas yang memang guru Matematika.

Ketika waktu istirahat tiba, saya menemui beliau. Begitu saya masuk, ”Apa maksudmu menggambar ini?” tanya beliau sambil menunjukkan kartun buatan saya.

“Nggak ada, pak. Saya hanya iseng,” jawab saya.

“Iseng? Tidak mungkin. Pasti kamu sedang menyindirku,” kata beliau.
Oh,berarti....???

Selasa, 07 Juni 2011

'Setan' Setia Kawan

SAYA menyukai seni sejak kecil. Sejak sering nunut orang agar bisa masuk ke gedung kesenian yang ajeg menggelar pementasan di kampung saya. Secara bergantian selalu ada. Ketoprak, wayang orang juga ludruk. Biasanya saya dan teman teman langsung menuju ke TKP begitu bubaran ngaji. Selalu. Kecuali malam Jum’at legi. Karena hari itu saya dan teman se-mushola harus ngaji lebih dari hari biasanya. Diawalai membaca surat Yaasin dilanjut tahlil dan lalu mendengar tausiah pak ustad. Menunduk saya mendengarnya ceramahnya. Bukan konsentrasi, tetapi sedang membayangkan betapa serunya sekuel kedua Angling Darmo yang bagian pertamanya sempat saya tonton kemarin malam.

Kalau tidak nonton seni tradisional, alternatifnya ada bioskop misbar. Tempatnya di lantai semen yang kalau siang untuk mengeringkan gabah. Tempat itu penggilingan padi di barat lapangan bola di kampung saya. Dengan pola yang sama;nunut orang masuknya. Film yang saya ingat, sering India. Kalau tidak ya filmnya Rhoma seperti Badai Diawal Bahagia dan semacamnya. Ada pula Gadis Marathon sampai James Bond.

Menginjak remaja, saya tak lagi nunut orang untuk nonton ludruk, selain sudah gak pantes,g edungnya sudah berganti menjadi SD Inpres. Misbar pun sudah tergusur , karena orang lebih suka nonton sinetron di tv. Walau waktu itu salurannya cuma sebiji. Tetapi Rumah Masa Depan,ACI,Pondokan,Losmen,Keluarga Rakhmat sampai generasi Jendela Rumah Kita telah dengan sukses melakukan pembunuhan tontonan panggung tetap seni tradisi di kampung kami. Sekalipun kadang masih ada saja yang nanggap sebagai hiburan pada hajatan.

Tetapi, ada satu seni tradisi yang masih eksis di kampung kami; jaranan. Saya tak cukup punya nyali untuk bergabung di seni yang satu ini, yang sampai kesurupan makan ayam mentah segala. Dan saya memilih gabung ke sebuah grup musik. Sekalipun saya tak bisa nyanyi sekaligus tak bisa main musik, tapi saya dipercaya sebagai emci.


Sekali waktu, karena solidaritas antar kawan, saya bersama teman se-band nonton grup jaranan teman kami yang dapat tanggapan di kampung tetangga kecamatan. Solidaritas, karena kalau kami pentas musik, teman jaranan ikut pula menonton kami.

Jaranan, kalau sampeyan tahu, selalu ada aroma kemenyan. Magis pokoknya. Sekalipun dengan musik yang hanya beberapa, ramenya luar biasa. Rock Jawa, istilah saya. Belum lagi kalau sudah kesurupan, jan menakutkan. Satu lagi, kalau sudah begitu, jangan coba-coba disiuli, bisa dikejar sampeyan. Tapi jangan terlalu takut. Ada tukang gambuh-nya.

Seorang penari , mas Nur namanya, saya lihat mulai kesurupan. Meminum air kembang, bahkan memakan kembangnya sekalian. Menari ritmis sekaligus magis. Berputar. Mencambuk-cambuk kaki sendiri. Menari.Berputar. Menari. Dan....

Ia berhenti tepat di depan saya dan teman-teman yang berdiri diantara penonton.

Gila. Matanya melotot tajam. Mulutnya menghambur-hamburkan kunyahan kembang. Tukang gambuh datang. Dengan bahasa mantra membujuknya agar kembali ke tengah. Agar menari lagi. Tapi gagal. Tetap saja mas Nur memeloti kami. Sorot matanya tajam. Sorot kesurupan. Dan sorot mata itu mengisyaratkan agar kami menuju ke tempat rias yang berada di belakang penabuh gamelan. Semacam kamar sementara untuk berias para pemain yang disiapkan shohibul hajat.

Sorot mata itu begitu menakutkan. Lebih-lebih ketika diselingi cambukan pecut jedar-jeder. Adegan yang bikin kami jantungan ini, malah bikin penonton tepuk tangan. Entah apa maksudnya.

“Sudahlah, ikuti saja maunya,” kata mbah Selar si tukang gambuh, semacam pawang.

“Ikuti apa, mbah?”

“Setan yang merasuki Nur ini ingin agar kamu dan teman-temanmu masuk ke kamar rias,” jawab mbah Selar.

Saya dan teman-teman saling pandang.Masuk ke kamar rias? Untuk apa?

Tapi suara pecut dicambukkan yang semakin ikut kesurupan ini, membuat kami seperti segerombolan sapi yang digiring ke kandang oleh sang gembala. Kami masuk ke kamar rias, digiring mas Nur yang masih kesetanan.

Diluar gamelan masih ditabuh. Terompat berbunyi tanpa henti.

Wong disuruh masuk saja kok repot. Tuh, di sini banyak jajan,” kata mas Nur yang tiba-tiba setannya hilang sambil menunjuk aneka jajan suguhan untuk rombongan jaranan.

Gila.
Lebih gila lagi, begitu keluar kamar rias, mas Nur kembali kesetanan. Menari lagi . Berputar-putar lagi. Menari lagi. Sambil mengunyah kembang.****

Sabtu, 04 Juni 2011

Cetak Ulang Foto Usang

PULANG kampung kerumah mbah Kung selalu saja ada cerita. Atau ada kenangan yang tiba-tiba ikut terjaga dari tidurnya. Juga rumpun bambu yang masih saja rimbun di utara rumah mbah Kung ini. Suara berjuta daunnya yang saling bergesek karena keanginan, ia melahirkan desis yang melankolis. Selebihnya,rumah tua itu tetapkan sama; di depan musholla ada berderet kembang 'kuping gajah', 'sri rejeki' sampai 'beras kutah'. Ia adalah sekadar nama bunga, walau yang mbah Kung suka hanyalah daunnya. Kuping gajah; berdaun hijau tua dengan garis-garis seperti sungai mengalir ke segala arah. Sri rejeki; lebih ramping penampilannya, rupanya dietnya berhasil. Beras kutah; agak ramping juga,dengan taburan warna putih di sekujur daunnya. Laksana beras tumpah.

Apalah arti sebuah nama. Lengkapnya lagi;apalah arti nama bunga. Karena ketika gemuruh 'gelombang cinta' yang beberapa waktu lalu melanda, saya selalu gagal menumbuhkan benih cinta kepada bunga. Kecuali satu saja; bunga turi. Yang saya tanam di depan rumah di Surabaya, yang benihnya juga saya impor langsung dari halaman samping rumah mbah Kung ini.

Masuk kedalam rumah, ada kesetiaan menempel di dinding diatas opening yang tembus keruang tengah. Foto presiden dan wakilnya. Bukti mbah Kung mencintai pemimpinnya. Hampir selesai dua periode kepemimpinan pak SBY, mbah Kung tetap saja setia memajang foto Gus Dur dan mbak Mega.

Masuk lebih kedalam lagi, kamar. Disitu, di sebuah lemari tersimpan setumpak kertas yang tanpa saya pesan apa-apa ke mbah Kung, bertahun-tahun tetap bahagia ditempatnya. Entahlah,kenapa mbah Kung tak tergoda untuk memusnahkannya. Paling tidak kertas-kertas itu bisa ditukar bumbu dapur ke warung sebelah. Karena ia bisa menjelma menjadi bungkus terasi, bawang putih dan semacamnya.

Kertas-kertas itu adalah tulisan saya saat SMP dulu. Dan membacanya lagi,jadi malu sendiri. Kok bisa-bisanya saya nulis begitu. Kok bisa-bisanya saya menulis sebagai 'aku' yang selalu berselimut cinta dalam setiap cerita. Mengapa? Kemengapaan itu jawabnya satu; saya terbawa arus Anita Cemerlang yang selalu rakus saya santap. Lalu saya menjadi seakan-akan Zara Zettira dan sebangsanya. Duh.

Masih dikamar itu, dikolong dipan juga tersimpan 'peralatan tempur' mbah Kung. Aneka 'senjata' tersimpan dalam kotak kayu. Maklum, mbah Kung adalah seorang purnawirawan tukang kayu.

Saya masih asyik memelototi selembar demi selembar tulisan tangan yang selalu saya tanggali. Lengkap dengan bulan dan tahunnya menulisnya. Karenanya saya jadi gampang mengingat 'asbabun nuzul' tulisan saya. Pada tumpukan berikutnya saya menemukan buku kecil bersampul kuning. Aha, ini buku raport saat saya SD. Membuka halaman pertama, saya langsung terpesona. Ada foto saya, ukuran tiga kali empat. Ah, ini satu-satunya foto masa kecil yang berhasil saya temukan. Sudah usang memang, karena itu foto lebih dari tigapuluh tahun yang lalu.

Saya pulang ke Surabaya membawa beberapa tulisan yang layak saya selamatkan sebagai kenangan. Ranking terpenting adalah, saya membawa foto usang dari raport saya. Saya ingin mengabadikannya. Saya ingin mencetak ulangnya.

"Ada yang bisa saya bantu, pak?" penjaga stodio foto di depan swalayan Rungkut Jaya ramah menyapa saya.

"Iya, mbak. Ini saya mau cetak ulang foto ini," kata saya sambil mengeluarkan foto kecil tiga kali empat.

Agak lama penjaga studio foto itu mengamatinya.

"Saya ingin cetak ukuran 10 R dua lembar," saya berkata.

"Maaf, pak. Foto ini sudah agak rusak. Ada bagian yang menguning pada beberapa bagian, terutama dada kebawah," si mbak menjelaskan.

"Lalu?" tanya saya.

"Untuk hasil lebih bagus, saya sarankan anak ini diajak langsung kesini. Difoto lagi. Dijamin hasilnya lebih sempurna," terangnya.

"Oh sudah, mbak. Anak itu sudah disini. Sudah di depan mbak.Dan sudah berewokan..." jawab saya.

Selasa, 31 Mei 2011

Promosi Oli

SAYA sempat punya kendaraan resmi untuk segala aktifitas. Ia adalah seekor bebek dari spesies Honda. Dalam dokumen resmi, tertera di aktenya, ia lahir tahun 1997. Dengan nama lengkap Astrea Grand Impressa. Ini data resmi. Walau segala keresmian itu tidak saya dukung dengan membawanya secara berkala ke bengkel resmi. Tetapi mengajaknya selalu berkunjung ke sebuah bengkel di seberang Taman Flora Surabaya yang tempo hari saya tamasyai (Klik disini). Bengkel Libra namanya. Alasan utama saya adalah; karena saya punya teman yang bekerja sebagai salah satu mekanik di situ. Tentu ia adalah karyawan resmi.

Agak pagi saya ke sana. Tujuannya agar si Astrea saya segala ditangani. Saya tidak ingin didahulukan hanya karena sebagai teman. Tapi memang karena saya datang lebih awal. Maklum, hari Sabtu begitu biasanya bengkel selalu ramai. Benarlah adanya. Sekalipun saya datang pagi, tetap ada yang lebih pagi. Dan tetap saja saya dapat antri nomor kesekian.

Suara ngang-ngeng akibat gas ditarik kencang berbaur dengan asap kenalpot yang berkeliaran menari telanjang ke segala penjuru ruang. Bising. Tapi mau bagaimana lagi, si Astrea sudah waktunya 'pijat refleksi.' Sekalian sudah waktunya ganti oli.

Memandang beberapa teknisi dengan baju dan tangan berlumur oli, adalah sebuah kesegaran ketika datang seorang gadis berbaju merah membawa brosur promosi oli. Tubuh sintal langsing berbalut baju merah agak ketat, membuat saya tersanjung ketika ia mengambil duduk di dekat saya.

“Servis, pak?”

“Iya.”

“Ganti oli juga?”

“Iya.” jawaban saya tetep pendek, sependek roknya.

“Kebetulan, Pak. Kita lagi ada promosi oli. Ini oli bagus, Pak. Lagian kalau bapak pakai ini, dan bapak mengisi lembar undian, bapak berpeluang memenangi berbagai hadiah menarik.”

Sungguh saya telah tertarik. Tetapi pada tutur katanya yang lancar jaya. (Maklum SPG). Belum pada olinya. Karena saya termasuk orang yang susah pindah ke lain hati. Dan tetap lebih memilih yang ber-tagline 'kita untung bangsa untung'.

“Motor bapak yang mana sih?”

“Itu masih di luar, nunggu antrean,” saya menunjuk si bebek yang sedang duduk manis di depan bengkel.

“Oh, nggak apa-apa, pak. Sekalipun tua, pakai oli ini tenaga bisa seperti motor muda. Wusss,wuuss,wuss....Dan satu hal lagi, kemungkinan dapat hadiah sangat besar, Pak. Karena promo ini hanya untuk Surabaya dan Bandung. Beli ya, pak?” suara itu nyaris sebagai rengekan manja.

Dari yang tadinya seneng, akhirnya luntur. Karena setiap mata tertuju ke arah duduk kami. Pelan tapi pasti, saya jadi gak enak juga. Takut dikira tua-tua keladi.

“Bagaimana, Pak? Beli ya?” rayunya tanpa putus asa.

“Produk ini laris, mbak?” saya mengeluarkan jurus 'tolak bala.'

“Laris, Pak.”

“Wah, saya gak jadi beli kalau gitu.”

“Kenapa?!”

“Kalau produk ini gak laris, kemungkinan saya menang undian lebih besar. Lha kalau laris, saingan saya kan banyak. Peluang jadi kecil.” *****

.

Senin, 30 Mei 2011

Teka-teki Suket Teki

INI tentang klan. Tentang garis keturunan. Istilahnya; silsilah.

Dan inilah susahnya jadi orang Jawa. Minimal,Jawa-nya keluarga saya. Karena tidak seperti saudara kita yang di Batak, misalnya, yang punya nama marga. Sementara saya, sekalipun di Facebook saya ada beberapa nama teman saya yang pakai nama Winarno, mereka itu bukan saudara asli saya. Hanya kebetulan saja ada Winarno-nya. Lha kalau yang ada Winarno-nya itu beneran saudara, wah masih saudara juga dong saya sama pak Bondan yang 'mak nyuuss' itu. Tetapi tidak. Sekalipun siapa tahu, nantinya, ada organisasi semacam PWI; Persatuan Winarno Indonesia. He, he...
 Pencari suket teki.
Foto: Dok. Pribadi.

Syahdan, keponakan saya punya penyakit kulit yang bandel sekali. Sudah dibawa ke dokter spesialis Kulit dan Kelamin, dikasih salep yang lumayan mahal, juga gak sembuh-sembuh. Tadi malam, untuk entah keberapa kalinya, karena penyakitnya kambuh, dibawa lagi ke dokter. Dan dengan entah sungguhan atau tidak, karena bermacam obat telah diresepkan dan tak kunjung sembuh juga, sang dokter malah kasih advis yang agak aneh; "Ganti saja namanya agar sakitnya sembuh". Ha?!

Nama. Ya kembali lagi ke soal nama. Padahal, apalah arti sebuah nama, tulis William Shakespeare. Tapi tunggu sebentar. Ada cerita lain dari ibunya keponakan saya itu, yang tentu saja adalah adik saya. Begini; suatu malam ia bermimpi ketemu kakek yang sudah almarhum. Bilangnya, supaya sakit gatal anaknya sembuh, disuruh kasih ramuan suket teki. Sejenis rumput liar yang banyak tumbuh di sembarang tempat.

"Aha, suket teki," ujar saya ketika paginya adik saya menceritakan tentang mimpinya semalam. Ada apa dengan sulet teki?

Kata suket teki telah mampu mengingatkan saya akan dialog almarhum kakek saya dengan mbah Nurkolis yang juga telah almarhum sekitar dua dasawarsa lampau. Bahwa kami, anak cucu mbah Shodiq, nama kakek saya dari garis ibu , adalah keturunan Ki Ageng x... (maaf nama saya samarakan, takut ada keturunan sang Ki Ageng betulan yang ikut baca tulisan ini), seorang ulama dari sebuah kesultanan. Dalam hati saya berkata; masak sih saya yang 'mbelgedhes' begini ini keturunan orang hebat?

Dalam dialog yang diam-diam saya curi dengar itu, saya juga menyimak semacam kata kunci untuk mencari saudara se-silsilah. Key word-nya; 'mengko suket teki bakal ndudohke dhewe' (yang berarti; nanti suket teki bakal menunjukkan sendiri)

Saya diam saja. Tidak mencari tahu lebih banyak tentang suket teki itu. Toh, pikir saya, nanti si suket teki itu yang akan menunjukkannya sendiri. Bertahun-tahun saya tidak mengingatnya sebagai sesuatu yang berharga. Dan cenderung melupakan. Sampai suatu waktu paman saya, anak bungsu dari kakek saya, yang bekerja di Dinas Pendidikan Kabupaten Asmat, Papua, mengungkit lagi si suket teki itu lewat telepon.

Dengan suara yang masih sangat saya kenal, walau sudah belasan tahun tidak ketemu langsung, paman menceritakan pencariannya tentang suket teki itu. Sungguh ulet betul dia mencari kesejatian makna suket teki itu. Sementara saya lebih asyik bikin soal Teka-teki Silang untuk edisi Minggu di sebuah harian yang terbit di kota ini.

"Suket teki", kata paman yang masa kecil dulu pernah momong saya, "Setelah saya mencari kemana-mana, adalah berasal dari kosa kata bahasa Arab. Ittaqillah, yang artinya mendekatkan diri kepada Allah. Atau bisa juga dari bahasa Jawa 'ngeteki', yang artinya kurang lebih sama dengan ittaqillah tadi."

Oalaah, suket teki, suket teki....

Menurut saya yang bodoh ini, kesimpulanya adalah; saya dan sampeyan semua memang saudara. Yang juga tidak pakai nama Winarno di belakangnya sekalipun. Siapapun, dimanapun, kapanpun. Seperti tumbuhnya si suket teki itu. Juga asalnya. Suket teki tumbuh di tanah, yang kemungkinan juga, menurut saya, juga berasal dari tanah. Manusia juga dicipta-Nya dari tanah. Nah, klop sudah.

Salam suket teki!*****

Sabtu, 28 Mei 2011

Menunggu Minggu.

"CAK, mbak Tatik hari Minggu kesini. Sampeyan diminta menjemput di Bungurasih," kata Yunan Widayat, saudara serumah kost, yang baru tiba dari sambang desa.
"Berangkat dari Mloko jam berapa?" tanya saya.
"Jam delapan pagi,"jawabnya.

Karena tidak ingin mbak Tatik yang lebih dulu tiba di Bungurasih, jam sepuluh pagi di hari Minggu itu saya sudah meluncur dari Rungkut ke terminal. Perhitungan matematis saya, naik angkot lyn H4J dari Rungkut turun Jemursari, lalu oper bis kota ke Bungurasih tak mungkinlah memakan waktu sampai satu jam. Atau paling lambat, kalau pak sopir memperlambat laju angkotnya untuk cari penumpang, jam sebelas saya pasti sudah sampai ke TKP. Dan kalau mbak Tatik berangkat dari Mloko (sebuah desa yang terletak antara Kasiyan dan Kencong di Jember sana)jam delapan, paling lambat pula jam satu siang sudah nyampai Bungurasih.

Ketika itu waktu tempuh masih bisa dikira, karena luapan lumpur yang tak terkira itu masih belum merongrong wilayah Porong. Bus-bus masih bisa mak wuzzz di jalan tol mulai Gempol.

Artinya, di terminal saya masih bisa nyantai baca-baca koran. Diterminal ini pula saya punya cerita nakal. Karena saya sempat kost di Bungurasih Timur tak jauh dari terminal ini beberapa bulan lamanya. Dan saban malam ngeluyurnya ya ke tempat ini. Tapi lain kali saja saya tulis. Biar tidak saling jegal dengan acara penyambutan kedatangan kakak perempuan saya ini.

Mulai jam sebelas saya menunggu. Dan menunggu memang jemu, tapi saya yang sudah berhenti merokok kala itu, berusaha membunuhnya dengan cara jitu; membaca. Sambil selalu melirik setiap kali bus AKDP dari Jember (yang didominasi kelompok Akas)datang. Satu jam, mbak Tatik tak jua datang. Dua jam, juga belum. Saya mulai bimbang. Jangan-jangan?

Ya, -jangan kakak saya itu tak melihat saya dan malah mencari-cari saya. Semakin mencari semakin menjauh. Ya, jangan-jangan? Saya berhenti membaca koran. Bukan kerena apa, tapi karena sudah khatam, sampai sak iklan-iklannya.

Kok gak di HP saja? Wah,waktu itu si HP masih belum usum.


Jam tiga sore, hati saya makin tidak lega. Jangan-jangan ada apa-apa dijalan. Saat itu pokoknya tidak ada yang bisa melarang saya untuk jangan ber-jangan-jangan. Tapi mau bagaimana lagi. Akhirnya, ketika maghrib datang menjelang, saya memutuskan balik kanan. Pulang dengan kusut ke Rungkut.

"Darimana, cak?" sapa Yunan Widayat begitu saya dengan lesu masuk rumah kost.

"Tak tunggu sampai pikun mbak Tatik tak datang," jawab saya.

"Lho, sampeyan dari Bungurasih to?!"

"Iya."

"Waduh, cak. Mbak Tatik itu kesininya hari Minggu depan lagi, bukan hari Minggu ini..."

Glodakkk!!!!*****

Trik Cantik

PERTIGAAN Sukodadi Lamongan; tukang ojek saling berebut penumpang. Setiap orang yang baru turun dari bus adalah obyek yang jadi sasaran pengojek. Salah satunya saya. Tapi saya cuek saja. Terus berjalan, seakan telah ada yang menjemput. Padahal itu hanya trik. Agar saya dapat memilih ojek dengan motor paling anyar. Rugi kan, kalau tawar menawar di pinggir jalan dengan tukang ojek yang kita tidak tahu dia pakai motor dari spesies apa dengan usia motor kelahiran tahun berapa.

Di bawah pohon kersen di sebelah toko buah saya menuju. Disitu ada tukang ojek yang pasif saja. Tak ikutan berebut penumpang di pinggir jalan. Mungkin dia berpikir, 'kalau sudah rejeki gak bakal lari'. Saya kira pengojek yang satu ini punya nilai kecerdasan spiritual lebih baik dari yang lain, yang saling rebutan penumpang. Nilai plusnya lagi, ia berdiri sambil menyandarkan pantatnya di jok motor keluaran terbaru yang masih kinyis-kinyis catnya.

Tawar menawar harga pas tancap gas, kata Iwan Fals. Tukang ojek yang saya pilih masih setengah baya.

"Dari mana, pak?," tukang ojek bertanya, mungkin sebagai pengakraban saja, sebelum tancap gas betulan.

"Dari Surabaya," jawab saya.

"Di Surabaya kerja apa?" tanyanya lagi.

Lhadalah...., sejujurnya saya sebenarnya lagi males ngomong. Sekaligus sejujurnya saya juga tak biasa bicara tak jujur. Maka, dengan kadar kejujuran penuh, "Kerja nguli di bangunan...," jawab saya.

Tukang ojek malah tertawa, suara tawa yang nyaris mengalahkan suara deru motor yang sliwar-sliwer di jalan ini.

"Batas antara kuli dan majikan tipis sekali, pak," katanya. "Di Surabaya atau di tempat lain boleh jadi bapak adalah kuli. Tapi sekarang, saat ini, sayalah kuli bapak. Dan bapaklah majikan saya...."

Oh? Tidak salah, ia tukang ojek yang cerdas, batin saya.

"Ayo kita jalan, agar tak kesorean sampai di Mayong," ajak saya sambil menyebut nama desa mertua saya di kecamatan Karangbinangun.

"Mari," katanya sambil mengajak saya berjalan.

"Lho, kok jalan?!"

"Iya. Itu motor saya disana," katanya sambil menunjuk motor tua renta dengan penampilan yang sudah nelangsa.

"Lha motor yang tadi sampeyan sandari itu punya siapa?" tanya saya menunjuk motor anyar di bawah pohon kersen.

"Oh, itu punya orang yang lagi belanja buah di toko sebelah."

Ah, sekali lagi saya tidak salah; ia sungguh tukang ojek yang cerdas. Buktinya, trik saya kalah cantik dibanding punya dia.*****

Jumat, 18 September 2009

Menunggu Tidur, Menanti Blanggur

ALHAMDULILLAH, salah satu 'ritual' jelang lebaran telah terlaksana. Mudik. Terguncang-guncang semalaman dalam bis yang penuh sesak, berhiaskan asap rokok dari para penumpang. Nyaris laksana kotak asap berjalan. Pengap dan, tapi mau bagaimana lagi. Jam dua dini hari, nyaris lima jam, akhirnya sampai juga di kampung halaman. Termasuk melewati halamannya pak kampung.

Lebaran di kampung. Tepatnya sholat Ied di kampung, wuih....tiada terasa sudah lebih sepuluh kali lebaran saya tiada merasakan 'aura' lebaran di kampung halaman. Ada apa dengan lebaran di kampung?

Baiklah. Saya ingin terlempar kemasa lalu. Sekitar duapuluh tujuh lebaran yang lampau. Di kampung ini, jangankan warnet yang kini hanya selangkah dari rumah, listrikpun belum nongol . Lalu ketika saya menyebut nama Za, Gi atau Su, bukan lantas saya ingin memunculkan Lintang, Kucai atau Ikal-nya Andrea Hirata. Sekalipun, yang namanya anak-anak, pastilah ada selalu yang kini menjadi sedap diingat. Salah satunya tentang menyetop bis (sekalipun kampung, desa saya dilewati bis lho...) yang kalau bis sudah berhenti, kami, anak-anak yang tak sempat dinamai Laskar Pelangi oleh guru-guru kami itu, malah berlari dengan riang karena berhasil menipu sang sopir bus. Ah, kalau saja ada bu guru Muslimah.
Itulah bedanya. Ini Jember, bung! Bukan Bilitong!

Lalu, karena manjing (sebutan untuk menjelang maghrib) diawali dengan munculnya kelelawar yang bersembunyi di potongan ruas bambu pada 'usuk' teras rumah kami, kami sogoklah kelelawar-kelelawar itu. Agar muncul lebih awal, agar maghrib segera tiba. Agar cepat datang waktu buka puasa.

Hari-hari begini, beberapa hari jelang lebaran, kami gauli malam dengan memeluk baju baru. Yang masih tercium aroma pasar Reboan, tempat emak membelinya. Baju istimewa, yang kalau tak lebaran adalah keajaibanlah kalau dibelikan.

Maka, menunggu hari lebaran terasa sangat panjang. Kami tentu tidak mengerti tentang sidang itsbat, tidak mengerti rukyat atau hisab. Yang kami tahu kalau besok lebaran pasti sorenya ada tidur.  Suara bedug yang ditabuh terus-menerus. Dag-dug, dag-dug...Nyaris sesuara dengan hati kami yang ikutan berdebar.
Membayangkan besok nglencer. Tidak hanya ke rumah sanak famili, tetapi ke rumah semua orang. Ke semua rumah yang pintunya terbuka. Karena ini hari lebaran. Yang penting bisa makan jajan enak dan syukur-syukur juga disangoni. Biarlah ,lima rupiah atau, kalau lagi untung, dapat limapuluh rupiah satu rumah. Kalikan sekian puluh rumah sehari, kali lima atau enam hari. Lumayanlah. Uangnya itu bisa untuk biaya kupatan emak.

Tapi ada satu orang. Namanya pak Kartin, kalau bertandang ke rumahnya, kami (anak-anak yang bukan siapa-siapanya) selalu disangoni petasan. Eit, tunggu dulu. Itu bukan untuk dibawa pulang. Melainkan untuk disulut di depan rumahnya, yang masih berserakan kertas-kertas bekas letusan petasan. Yang tidak dibersihkan, karena sebagai tanda gengsi. Bahkan di tengah halaman rumahnya, ada bekas tanah yang agak cekung. Itu bekas blanggur, petasan ukuran besar yang disulut seturun dari sholat ied.

Itu semua dulu. Dulu sekali. Ketika baju lebaran kami tentu beda dengan anak-anak kami sekarang. Baju lebaran adalah baju yang disakunya ada tanda Tunas kelapa. Ya, baju kami adalah busana dwi guna. Baju baru untuk lebaran, sekaligus baju pramuka untuk sekolah. Hh, sungguh cerdas ya orang tua kami dulu.*****