BULAN Robi'ul Awwal begini, banyak sekali orang punya hajat di kampung saya. Khususnya untuk acara khitanan atau pernikahan. Ya, dalam penanggalan Jawa, bulan ini (yang disebut juga bulan Maulud, dengan gampang orang menyebutnya bulan Mulud) termasuk bulan bagus untuk menggelar acara-acara itu. Dalam ingatan saya, dua bulan dari dua belas bulan dalam setahun, yakni bulan Suro dan Selo, termasuk yang dihindari dalam melakukan acara-acara macam itu. Walau kalau saya amati yang belakangan terjadi, ada juga yang 'nekad' menggelar acara di dua bulan itu. Bisa jadi generasi (Jawa) sekarang sudah lebih 'maju' dalam pakem dan paugeran dan kurang suka memercayai primbon. Generasi ini lebih percaya bahwa hari bagus selalu ada dalam setiap bulan, yakni hari ketika orang-orang sudah gajian.
Banyaknya orang yang menggelar acara di bulan ini, adalah berkah bagi banyak pihak. Catering, persewaan gedung resepsi, persewaan alat-alat pesta dan termasuk juga pawang hujan. Ya, bulan Mulud selain identik dengan musim panen buah-buahan, ia seringkali jatuh pada musim penghujan. Menggelar pesta di musim hujan tentu butuh 'orang pintar' yang bisa memindah hujan agar tidak tercurah di sekitar acara, tetapi digeser ke tempat lainnya. Masalahnya adalah, di tempat lain ada juga orang menggelar acara yang meminta pula kepada pawang hujan kepercayaannya untuk hal serupa.
"Makanya, disini susah sekali turun hujan, selain banyak proyek pembangunan, banyak orang punya hajat sih," kata seorang teman.
Teman saya itu bukan orang tak berpendidikan, tetapi bukankah yang percaya akan hal-hal demikian itu tak melulu orang yang tinggal di pedalaman yang kadang masih menyembah pohon ciplukan.
Minggu, 27 Desember 2015
Sabtu, 19 Desember 2015
Habis KompasTV, Terbitlah Trans|7 HD
BAGAIMANA kabar tv digital?
Bagaimana kabar STB Anda? Masih aman di kardusnya. Baik, itu lebih
baik. Iya, channel yang ada belum bertambah, MUX yang on
air juga belum berubah. Ya, begini ini nasib kalau kita sudah
beli STB dan konten siaran yang ada juga masih itu-itu saja (yang
masih juga bisa disaksikan di jalur analog). Kalau Surabaya saja
sebagai kota terbesar kedua setelah Jakarta saja masih begini,
bagaimana nasib siaran tv digital di kota yang lebih kecil ya?
Artikel terkait: Selamat tinggal siaran tv digital terrestrial.
Artikel terkait: Selamat tinggal siaran tv digital terrestrial.
Penampakan Trans|7 HD pada pesawat televisi saya yang masih tabung. |
“Sejak ultah TransMedia kemarin,”
jawab seorang teman ketika gambar layar Trans|7 itu saya pampang di
akun Facebook.
“Lha, tapi sakarang KompasTV
tidak ada lagi di MUX TransMedia 522 MHz. Kenapa ?”
“Memang begitu itu, Kang,” seorang
teman saya menjelaskan, “siaran HD itu butuh bandwidth yang
gede, jadi ada siaran yang mesti dikorbankan.”
Pantauan teman lain di kawasan Kedung Adem, Bojonegoro. (foto: Agung Rama Elektronika/FB) |
Saya yang memang awam akan hal ini cuma
manggut-manggut saja diterangkan begitu. Tetapi, “Tentang KompasTV
yang menghilang dari MUX TransMedia ada cerita tersendiri,” teman
yang lain, yang juga pengamat televisi, menimpali.
Saya tak menguberkan tentang ada cerita
apa di balik hengkangnya KompasTV dari MUX TransMedia, dan lebih
menunggu saja si teman tadi itu meposting ulasan mengenai hal itu di
blognya. (Sungguh saya tunggu lho, Dave...)
Selasa, 15 Desember 2015
Samsat Manyar, Cepat dan Lancar
Pemberitahuan yang gamblang. (Foto-foto: ewe) |
DIPAMPANGNYA
pemberitahuan bahwa material untuk STNK dan plat nomor telah tersedia
dan bagi yang tertunda penerbitannya sudah bisa mengambil, membuat
saya lega. Dulu ketika saya mengurus perpanjangan surat kendaraan
lima tahunan, dijanjikan STNK dan plat nomor pengganti baru akan jadi enam bulan kemudian. Kemarin itu, ketika saya datang lagi ke kantor
Samsat Manyar itu, terhitung tujuh bulan sudah dari kedatangan saya
pertama. Bukan apa-apa, kalau dijanjikan enam bulan dan baru saya
ambil tujuh bulan, misalkan belum jadi dan mesti sabar menunggu
sekian waktu lagi, saya kan bisa bilang dengan gemes, “Piye
to iki,
katanya enam bulan, sudah saya tambah sebulan lha
kok
belum jadi juga.”
Petugas berseragam, termasuk yang pakai hem lengan panjang dan berdasi itu, melayani dengan ramah dan selalu siap membantu. |
Di
depan pintu masuk, saya bertanya ke seorang petugas yang dengan
senang hati menerangkan ke loket mana saya mesti menuju, “Silakan
Bapak ke loket 28 dulu untuk mencetak STNK. Lalu dari situ, kalau
STNK-nya sudah jadi, Bapak ke loket 18 untuk pembuatan plat nomor,”
lelaki setengah baya berkata ramah sekali.
Karena
sudah pernah ke situ, hapal saya letak loket 28; loket paling kiri
dari pintu masuk. Meletakkan bukti pembayaran STNKB dan plat nomor
pada tempat yang tersedia, belum lama saya duduk, nama saya sudah
dipanggil; STNK sudah tercetak. Setelah mengisi buku pernyataan bahwa
STNKB sudah saya ambil, saya membawa berkas itu ke loket 18. Yang di
sini agak lama.
Sambil
menungu pencetakan plat nomor kendaraan, saya memperhatikan sekitar.
Senin pagi yang ramai, ruang tunggu nyaris penuh. Belum lagi orang
berjalan dari loket satu ke loket berikutnya sesuai prosedur. Walau
alurnya sudah ditata sedemikian rupa, bagi yang baru pertama kali ke
Samsat Manyar, terlihat bingung juga. Tetapi, petugas berseram rapi +
berdasi, termasuk yang tadi saya tanya di depan pintu, akan mendekati
orang yang demikian itu untuk kemudian menerangkan dengan gamblang
sambil menunjuk letak loket dimaksud. Nah, begini ini harusnya kantor
pelayanan publik. Rapalan mantra 'kalau bisa dipersulit kenapa
dipermudah' sudah harus dienyahkan jauh-jauh. Karena, bukankah
sejatinya rakyat adalah majikan dan mereka adalah pelayannya.
Sabtu, 05 Desember 2015
Kekhawatiran yang Sontoloyo
SEBAGAI
orang, saya terlalu sering khawatir. Hampir setengah kilometer
berangkat dari rumah, di jalan tiba-tiba saya mengkhawatirkan kompor
atau kran air apakah sudah dimatikan, lampu atau televisi dan radio
apakah masih menyala, atau pintu sudah terkunci atau belum. (Istri
sudah berangkat pagi-pagi dan anak-anak telah pula berangkat sekolah,
saya menjadi penghuni terakhir yang berangkat.) Walau ketika saya
balik lagi ke rumah semua baik-baik saja (baca: sudah dimatikan dan
pintu juga sudah terkunci), namun ia laksana hobi yang seringkali
saya ulangi. Iya, saya memang payah.
Saya
termasuk agak telaten (telat jadi manten) juga akibat dari sifat itu.
Sanggupkah menjadi suami yang baik, mampukah kelak menjadi ayah yang
bisa momong dan membiayai anak-anak mendapat pendidikan yang bagus.
Oh, belum-belum sudah takut pada kekhawatiran memang sontoloyo!
Para
jomblowan-jomblowati yang sampai hampir pecah perang dunia ketiga
sekarang ini belum juga nekad memilih gandengan, bukan tidak mungkin
juga karena penyakit khawatir ini. Jangan-jangan yang disetiai tak
menyetiai, jangan-jangan si dia belum seratus persen bisa move
on
dari sang mantan. Berhentilah, hai para jomblo, dari mendengarkan
lagu i'm
single and very happy!
Ya, itu lagu sontoloyo
yang menyesatkanmu menjadi jomblo abadi.
Selasa, 01 Desember 2015
Parikan Suroboyoan: Coblosan
Mas
Bendo:
ndik Suroboyo menyang Tunjungan
mbanting
busi dipane kayu
paklik
Rasiyo memang pengalaman
ning
Lucy pancene ayu
Mbak
Yu
: nyilih kain popok nang Karangan
momong
rojo koyo bareng Rhoma Irama
milih
pemimpin, rek, ojok sembarangan
lek
wong Suroboyo yo jelas milih Bu Risma
(Iyo,
rek. Tak kandhani koen yo; lha lek cumak bondho ayu thok, lha digawe
opo?! Pemimpin iku kudune lak cak-cek, opomaneh masalah Suroboyo iku
uakeh puoll. Banjir umpamane. Lha lek ngatasi banjir ditinggal
wedhak'an dhisik, lak selak klelep wargane)
Mas
Bendo:
mangan delima kleleken kecik
sapi
karo kebo kelonan wae
prestasine
Bu Risma pancene apik
tapi
opo salahe njajal calon liyane
(Lha,
sopo ngerti paklik Rasiyo karo Ning Lucy iku lek diwenehi kesempatan
isok gawe kutho Suroboyo luwih apik. Lha lek durung dijajal wis
dianggep gak mampu, iku termasuk kliru, Mbak Yu.)
Mbak
Yu:
penari japin numpak gerobak
peniti
kae pasangno nang kain katun
milih
peminpin ojok cobak-cobak
sing
mesti-mesti ae ben engko ora getun
(Sampeyan
iku, Cak, Cak. Milih peminpin kok cobak-cobak. Koyok nganggo minyak
kayu putih ae. Pokok'e aku wis madhep mantep, gepeng ilir aku tetep
milih Bu Risma)
Kang
Karib :
banyu aki dicampur terasi
rondho
lesehan nang pojok plataran
yo
ngene iki urip ing zaman demokrasi
bedo
pilihan ojok sampek dadi tukaran
bantalan
lesung mergo gak duwe dipan
upo
ning kendhi lambene dilat-dilat
pemilihan
langsung pancen butuh kedewasaan
sopo
ae sing dadi awak'e dhewe tetap ae melarat rakyat
(wis
talah, rek. Gak usah gegeran mergo bedo pilihan. Opo koen pikir lek
jagomu sing dadi terus peno gak perlu nyambut gawe. Lha sopo sing
ngingoni anak-bojomu? Mbahne Sangkil opo! Ayo, sing penting nyambut gawe, perkoro mengko
pemimpin (calon sing endi ae sing menang) ora lali janjine, yo
syukur. Lha lek ingkar janji, ayo didungakno bareng-bareng mugo-mugo
gudhiken sak kujur awak'e.)*****
Senin, 30 November 2015
GlobalTV, Rusia vs Turki dan Kasus Setnov
DUA
tetangga berjarak satu rumah di barat rumah saya meninggikan rumahnya
menjadi dua lantai. Syukur alhamdulillah rezeki mereka berlimpah
sehingga mampu membangun rumah lebih megah. Alhamdulilllahnya lagi,
karenanya saya tak mungkin lagi main-main menembak Thaicom-5
untuk
keluyuran menengok 'kebun kates' di satelit itu. Walau saya menjadi
kurang bersyukur juga karena antena UHF saya ikutan terhalang tembok
tinggi mereka.
Beberapa
channel UHF menjadi kurang cling,
tetapi masih bisa beralih ke Palapa-D
atau Tekom-1
demi menyaksikan semua saluran televisi nasional. Kecuali GlobalTV
(yang dua minggu ini sinyalnya pelit sekali) tempat Naruto
beraksi mulai menjelang maghrib sampai hendak Isya'. Begitulah, jam
segitu lazim dibilang jam utama, prime
time. Prime time
pula untuk melakukan hal yang lebih bermakna; menemani anak-anak
belajar atau mengaji. Tetapi televisi menohok siapapun di jam
berapapun dengan tayangan semau mereka dengan tanpa ampun. Pemirsa
tak punya kuasa lebih besar kecuali meraih remote
control
dan mematikannya.
Makanya
sama sekali saya tak menyesal manakala tak berhasil mendapatkan
sinyal GlobalTV
di Palapa-D.
Dengan memakai 4 LNB, toh
saya bisa melanglang angkasa mencari channel
lain di satelit lainnya. Dan konsentrasi saya kini tertuju kepada Al
Jazeera
untuk mengetahui kabar terbaru kawasan Timur Tengah dan wilayah
konflik lainnya di jazirah Arab dan sekitarnya.
Yang
terbaru tentu gesekan tajam antara Turki dan Rusia setelah peristiwa
penembakan Shukoi oleh F16 milik Turki. Saya bisa memantau reaksi
keras Rusia via channel
Russia
Today (yang
beberapa hari belakngan ini selalu menayangkan perkembangan peristiwa
itu dalam Breaking
News-nya
–tentu dengan kacamata Rusia) tetapi tolong kasih tahu saya channel
televisi Turki yang siaran FTA di satelit Asiasat5 atau Asiasat7.
Perang terbuka secara dar-der-dor
di medan sesungguhnya mungkin terjadi belakangan, tetapi biasanya
perang (propaganda) di media (termasuk juga televisi) sebagai bumbu
permulaan akan ditaburkan lebih dulu. Mengikuti berita itu tentu
lebih 'asyik' ketimbang menyimak kasus Papa
Minta Saham
yang menyeret ketua DPR Setya Novanto. Menurut saya yang awam hukum
ini, rasanya kasus itu makin hari makin mbulet
saja dan bisa jadi akhirnya malah hilang ditelan berita banjir
bandang yang acap terjadi di negeri ini pada musim hujan. *****
Senin, 23 November 2015
Makan Silet
SEBAGAI
manusia berbulu, saya selalu mempunyai silet. Selain di rumah, di
locker
tempat kerja pun saya menyiapkan perlengkapan mencukur itu. Dua atau
tiga hari tidak dikerok pakai silet, niscaya di dagu saya ini akan
tumbuh subur 'duri-duri” nan tajam dan sekarang telah pula dwi
warna; hitam dan ada pula yang putih.
Makanya saat ikut sebagai panitia penyembelihan hewan qurban, saya suka tersenyum ketika ada satu-dua orang yang mencari cacap (lendir yang diyakini bisa meneumbuhkan bulu) dari kambing untuk dioleskan ke dagu atau atas bibir. Lha wong saya yang sudah berbulu tanpa dicacap begini kadang suka kuwalahan mencukurnya, kok malah ada yang dirangsang agar tumbuh. Macam-macam saja orang-orang itu.
Suatu waktu, ketika sedang asyik mencukur jenggot pakai silet Tatra, datanglah seorang kawan. “Nanti setelah kau pakai, aku ambil ya siletnya?” pintanya.
Kawan saya itu tak berkumis, tak pula memelihara jenggot di dagu. Tetapi bukankah silet tak melulu bisa dipakai hanya untuk mencukur bulu, karena bisa juga kan ia dipakai untuk memotong kuku (kalau untuk tukang santet sih, konon benda tipis tajam itu juga bisa dimasukkan ke dalam perut orang yang dikehendaki)
Beberapa saat kemudian, selesailah saya menggunduli duri-duri yang tumbuh di pipi dan dagu. Ketika saya raba, kulit di dua tempat itu terasa kembali licin, walau akan kembali kasar hari-hari kemudian. Justru dari bulu yang selalu tumbuh itu pulalah pabrik pisau cukur tak akan tutup. Kalaulah mau pamer, tentu saya dan orang-orang berbulu lainnya sungguh besar sekali jasanya terhadap keberlangsungan hidup pabrik silet itu.
Saya serahkan pisau silet yang masih menempel pada alat pencukur itu kepada teman yang sedari tadi menunggui. Saya perhatikan, ia keluarkan pisau silet itu, ia bersihkan dengan tissue. Lalu, lhadalah; ia mengeremusnya. Ada bunyi kriuk yang aneh ketika benda tajam itu ia kunyah. Edan tenan.
Setahu saya, teman saya itu bukanlah pemain kuda lumping yang sesekali dalam atraksinya suka makan beling. Ia hanyalah juara pingpong tingkat desa, selain sebagai gitaris andalan grup musik dangdut dengan jadwal manggung hanya di acara tujuhbelasan di halaman balai desa kampung kami. Makanya saya heran sekali; dimana ia berguru sehingga menjadi sesakti ini?!
Saya hanya plonga-plongo saja menyaksikan ia mengunyah silet itu sampai lumer, lalu menelannya dengan santainya, sama sekali tak khawatir si silet itu merobek tenggorokan atau ususnya.
“Kamu pun bisa melakukannya,” katanya kemudian.
Terbayang di kepala saya lelaku yang mesti dijalani demi bisa mempunyai kemampuan linuwih macam makan silet itu. Dan saya yang memang kurang meminati hal-hal demikian itu, belum-belum sudah memutuskan mengunyah keripik singkong tentu lebih masuk akal ketimbang mengunyah silet.
“Yang tadi aku lakukan itu sama sekali tak pakai mantra,” ia menjelaskan. “Yang penting yakin. Hal apa pun akan bisa tercapai asalkan yakin kita bisa melakukannya.”
oOo
Peristiwa
itu terjadi sekian tahun yang lalu, dan saya tidak tahu apakah si
teman itu sekarang sesekali masih suka mengunyah pisau silet ataukah
sudah meningkat kemampuannya. Sudah doyan ngrikiti pisau dapur
atau gobang, misalnya. Tetapi begini: enyahkanlah semua bayangan
tentang makan aneka 'sajam', karena itu menakutkan. Kalimat terakhir
yang ia ucapkan itu yang justru membuat ia bak seorang motivator
saja. Atau dalam bahasa bos Go-Jek, “Semakin besar hambatan
dan penolakan, biasanya ada peluang besar di baliknya,” demikian
kata Nadiem Makarim. *****
Kamis, 19 November 2015
Suami Baru Istriku
BAGAIMANA
cara istrimu memanggilmu? Njangkar
dengan hanya menyebut namamu saja, atau Mas, atau Pa, atau Yah
seperti caranya mengajari anak-anakmu dulu, tetapi terbawa sampai
sekarang? Celakanya, selama sepuluh tahun pernikahanku dengan Rara
belum juga kami dikaruniai momongan. Celaka lanjutannya, selain Rara
memanggil njangkar
sejak dulu kepadaku, jabatannya kini naik tinggi dengan kesibukan
yang juga menggunung. Bukankah ketika gaji istrimu lebih tinggi
darimu itu adalah juga sebuah kesialan yang nyata?
Rempeyek
benar juga. Celotehnya suatu ketika, “Pilih istri itu jangan
muluk-muluklah. Yang penting perempuan, yang penting punya lubang.”
Bengkel
akan terasa sepi kalau Rempeyek sedang sakit gigi. Celetukannya ada
saja. Juga tentang lubang itu. Ia bilang, lubang adalah isyarat ia
bisa dimasuki, dinafjahi. “Kalau punya istri tapi buntu; apeslah
suaminya. Mau dinafkahi bagaimana wong
ia sudah bisa cari nafkah sendiri, malah bisa mendapat yang lebih
besar dari gaji kita. Olala...”
Namanya
Tifa, tetapi di sekujur wajahnya ada bintik-bintik sebesar kedelai
yang membuatnya dipanggil Rempeyek. Dan ia tidak mempersoalkannya.
Bahkan istrinya, yang menurutnya kecantikannya hanya dua tingkat di
bawah kecantikan bidadari KW 3 itu, pun memanggilnya dengan 'Mas
Peyek' sebagai panggilan sehari-hari.
Senin, 16 November 2015
Sudut Pandang: Lady Rockers
Mel Shandy sedang menyanyikan salah satu hits-nya; Bianglala. Foto-foto: ewe |
TAHUN
80an sampai awal 90an adalah era dimana musik rock berjaya di
Indonesia. Festival rock digelar dimana-mana dan dari ajang itu
muncul grup atau penyanyi rock ternama. Kini, era dimana rock tak
lagi secemerlang dulu, agak sulit rasanya sekadar untuk menyebut grup
rock yang masih eksis, tentu saja selain God
Bless
yang melegenda.
Rock, dengan genre mulai metal sampai yang slow, makin jarang hadir di kuping lewat radio, misalnya. Bagi penyuka sejati, tentu saja masih menyimpan lagu-lagu cadas itu di file pribadi yang sesekali, ketika rindu, dinikmati sendiri. Dulu, Djarum dan Gudang Garam (sekadar menyebut nama sponsor) adalah merek yang sering menghadirkan pertunjukan tour musik rock di banyak kota.
Rock, dengan genre mulai metal sampai yang slow, makin jarang hadir di kuping lewat radio, misalnya. Bagi penyuka sejati, tentu saja masih menyimpan lagu-lagu cadas itu di file pribadi yang sesekali, ketika rindu, dinikmati sendiri. Dulu, Djarum dan Gudang Garam (sekadar menyebut nama sponsor) adalah merek yang sering menghadirkan pertunjukan tour musik rock di banyak kota.
Jumat, 13 November 2015
Ramuan Madura
“AWAS,
hati-hati kamu, calon suamimu itu orang Madura,” mertua saya (waktu
itu masih berstatus sebagai calon) menasihati anaknya yang sekarang
sudah sekian belas tahun menjadi istri saya.
Saya
orang Jember dan sering ketika berkenalan dibilang, “Madura dong?”
saat saya katakan asal daerah saya. Baiklah, tentu saya tak perlu
ngotot mengatakan bahwa Jember itu bukan salah satu kabupaten di
Madura. Jember ya Jember. Tetapi nasib sama barangkali juga menimpa
orang dengan asal Bondowoso, Situbondo atau Pasuruan yang sering
mendapat cap sebagai reng
Madureh.
Jangankan
di pulau Jawa atau seantero Indonesia yang selalu terdapat orang
Madura, di tanah suci Mekah pun konon banyak sekali mukimin
yang asal Madura. Inilah yang menyebabkan ada dua kelompok orang
Madura; negeri dan swasta. Paling tidak demikian yang pernah saya
baca dari artikel Mas Edi 'Akhiles' Mulyono yang ternyata selain
berdarah Sumenep juga berdarah Jember. (Wah, boleh dong kalau saya
anggap beliau sebagai tretan,
saudara satu Jember?) Madura negeri adalah orang Madura yang lahir,
besar dan bermukim di Madura sepanjang hayat dikandung badan. Sedang
Madura swasta adalah orang Madura yang bermukim di luar pulau Madura
sampai akhir hayat.
Di
Jember, wabil
khusus
di desa asal saya, tidak seratus persen (keturunan) Madura. Dominasi
tentu saja suku Jawa, sebagian berasal dari Ponorogo atau Mataraman.
Tetapi dengan saban hari srawung
(bergaul) dengan orang Madura yang masih menggunakan bahasa Madura,
sedikit banyak ada juga pengaruhnya. Logat bicara, umpamanya. Di desa
saya, walau bahasa sehari-hari yang dominan dipakai adalah bahasa
Jawa, tetapi nadanya sudah lain dengan Jawa asli, Jawanya sudah tidak
medok lagi, tetapi Jawa kagok. Sudah ada nada Maduranya.
Masih
di desa saya, penduduk yang asal Madura terbagi di tenggara dan barat
laut. Sementara yang di tengah, timur dan barat jan
Jawa deles.
Entah bagaimana dulu awal pembagian wilayahnya. Keuntungan ketika
dulu saya bersekolah berbaur dengan teman-teman dari dusun Bregul dan
Sembungan (wilayah dengan mayoritas keturunan Madura, tempat pondok
pesantren Bustanul Ulum yang mayoritas santrinya berasal dari pulau
Madura), adalah kami bisa secara alami saling belajar bahasa. Makanya
tidak heran bila di kampung kami anak orang Jawa (seperti saya ini
contohnya) bisa berbahasa Madura, pun demikian pula sebaliknya.
Bisa
berbahasa lain tentu tak ada ruginya. Misalnya ketika saya melakukan
transaksi membeli ikat pinggang atau mainan untuk anak saya dengan
PKL di Surabaya ini, dengan menggunakan bahasa telok
lemak, saya
bisa mendapatkan harga yang wajar. Seorang Madura swasta asal
Pasuruan yang tiap malam menjajakan jagung rebus di gang depan rumah,
membungkus lima buah jagung rebus untuk uang limaribu rupiah yang
saya bayarkan, padahal untuk orang lain ia menjual duaribu per buah,
Mungkin dengan mengunakan bahasa mereka secara fasih, saya dianggap
sebagai tretan
dibik,
saudara sendiri.
Selain
ulet, pekerja keras, rajin dan teguh dalam pendirian, salah satu yang
terkenal dari Madura adalah ramuannya. Ramuan Madura, Anda tentu
pernah dengar dan saya pernah mencobanya. Saya dapati kopi adalah
bahan utamanya. Padahal siapa pun tahu Madura bukanlah penghasil
kopi. Tak masalah, yang penting khasiatnya, Bung!
Sekarang
sedang hangat pembicaraan tentang Madura yang akan berdiri sebagai
propinsi sendiri, melepaskan diri dari Jawa Timur. Sebuah wacana yang
sangat tidak tabu dan tak perlu buru-buru dipandang sebagai kehendak
yang agak anu.
Coba, apa yang tidak bisa dilakukan oleh orang Madura?
Maka,
ketika mereka mempunyai ramuan rahasia agar sapi karapan bisa berlari
kencang seperti kesetanan, bukan tidak mungkin para tokoh yang sedang
menyusun pembentukan propinsi Madura ini juga telah menyiapkan ramuan
khusus nan mujarab dan bukan sekadar ramuan oplosan yang memabukkan
demi sekadar mengincar jabatan *****
Rabu, 11 November 2015
Brosur
'DIBANDING
pasang iklan mini di koran, lebih manjur pakai brosur yang dimasukkan
kotak surat di perumahan,” kata seorang kenalan yang biasa
menangani floor
drain
buntu di tempat kerja saya. “Lebih mengena, dan saya justru sering
dapat job
dari cara itu,” imbuh lelaki gondrong yang selain menangani drain
buntu dengan sistem tekan, juga mengajar musik di rumahnya ini.
Benar juga, sepertinga.
Benar juga, sepertinga.
Buktinya,
sering saya dapati penyebar brosur 'sedot WC' seenaknya
menempelkannya di tiang telepon. Itu menawarkan menyedot kotoran
dengan cara kotor. Tiang atau tembok menjadi kurang enak dipandang
dengan aneka brosur yang ditempelkan sembarangan. Ada sih
sekarang yang lebih sopan, menggantungkan brosur sedot WC dengan
design
agak cantik di pagar rumah lengkap dengan talinya; 'simpan brosur ini
karena suatu saat Anda pasti membutuhkan' begitu pesannya lengkap
dengan nomor telepon yang bisa dihubungi.
Di depan toko ponsel yang baru buka di Rungkut Kidul, setiap kali saya melintas di depannya, selalu ada petugas yang membagikan brosur kepada siapapun pengendara yang lewat. Dan saya selalu mengambilnya. Pertimbangannya, si petugas itu bekerja. Semakin banyak brosur yang berhasil ia bagikan, siapa tahu ia mendapat poin plus dari majikannya sehingga bulan depan ia naik gajinya. Berkali-kali saya mengambil brosur dengan tawaran aneka smartphone terbaru dengan harga menarik, belum juga mampu membuat saya meninggalkan si Nokia jadul yang berlayar hitam-putih ini.
Di lampu merah Panjangjiwo, beberapa kali saya menerima brosur yang sama dari seorang gadis berjilbab dengan isi sama; program diet yang bisa menurunkan berat badan secara ajaib. Walau kalau bercermin saya sering mendapati perut saya makin buncit, saya tak tertarik mengikuti progran yang ditawarkan dalam brosur itu. Namun saya selalu mengambil kertas brosur itu untuk saya bawa pulang dan membuanganya ke tempat sampah. Saya kasihan kalau langsung membuangnya di jalan, setelah membaca sekilas sambil menunggu lampu menyala hijau, saya takut si gadis berjilbab itu tersinggung. (Entah ya, apa petugas pintu tol juga sempat tersinggung ketika karcis tol yang diberikan kepada pengemudi bersama uang kembalian, si pengemudi langsung membuang karcis itu di situ dan menjadikan pintu tol sering terlihat kotor oleh kertas putih yang beterbangan)
Di lampu merah aneka jasa atau barang yang ditawarkan lewat brosur. Mulai kredit motor, pinjaman dana, pengobatan alternatif yang mampu mengatahai 1001 penyakit sampai cara menambah penghasilan yang bisa dikerjakan di rumah dengan pendapatan per hari minimal 500 ribu rupiah. Sebagai janji, semua menggunakan kata yang menggiurkan. Entahlah, apakah si pembuat brosur itu meniru caleg, cabub, cagub atau capres ketika berkampanye, atau justru si caleg, cabub, cagub atau capres itu yang meniru para pembuat brosur itu dalam melontarkan janji. *****
Di depan toko ponsel yang baru buka di Rungkut Kidul, setiap kali saya melintas di depannya, selalu ada petugas yang membagikan brosur kepada siapapun pengendara yang lewat. Dan saya selalu mengambilnya. Pertimbangannya, si petugas itu bekerja. Semakin banyak brosur yang berhasil ia bagikan, siapa tahu ia mendapat poin plus dari majikannya sehingga bulan depan ia naik gajinya. Berkali-kali saya mengambil brosur dengan tawaran aneka smartphone terbaru dengan harga menarik, belum juga mampu membuat saya meninggalkan si Nokia jadul yang berlayar hitam-putih ini.
Di lampu merah Panjangjiwo, beberapa kali saya menerima brosur yang sama dari seorang gadis berjilbab dengan isi sama; program diet yang bisa menurunkan berat badan secara ajaib. Walau kalau bercermin saya sering mendapati perut saya makin buncit, saya tak tertarik mengikuti progran yang ditawarkan dalam brosur itu. Namun saya selalu mengambil kertas brosur itu untuk saya bawa pulang dan membuanganya ke tempat sampah. Saya kasihan kalau langsung membuangnya di jalan, setelah membaca sekilas sambil menunggu lampu menyala hijau, saya takut si gadis berjilbab itu tersinggung. (Entah ya, apa petugas pintu tol juga sempat tersinggung ketika karcis tol yang diberikan kepada pengemudi bersama uang kembalian, si pengemudi langsung membuang karcis itu di situ dan menjadikan pintu tol sering terlihat kotor oleh kertas putih yang beterbangan)
Di lampu merah aneka jasa atau barang yang ditawarkan lewat brosur. Mulai kredit motor, pinjaman dana, pengobatan alternatif yang mampu mengatahai 1001 penyakit sampai cara menambah penghasilan yang bisa dikerjakan di rumah dengan pendapatan per hari minimal 500 ribu rupiah. Sebagai janji, semua menggunakan kata yang menggiurkan. Entahlah, apakah si pembuat brosur itu meniru caleg, cabub, cagub atau capres ketika berkampanye, atau justru si caleg, cabub, cagub atau capres itu yang meniru para pembuat brosur itu dalam melontarkan janji. *****
Senin, 09 November 2015
Baju Pahlawan
Sumber ilustrasi foto: Google Images. |
“NIH
lihat,
Kang,” Mas Bendo menyodorkan ponselnya yang di layarnya sedang
terpampang foto seorang anak berseragam doreng tentara,
”dedeg-piyadeg-nya
jan
pas
tenan.
Gagah
tur nggantheng
seperti
aku, bapaknya.”
“Weladhalah,
itu foto anakmu to, nDo?”
“Memangnya
kenapa, Kang? Kok ada nada ngenyek
pada
pertanyaan Sampeyan?
Apa gak boleh aku yang kerempeng nyengangik
begini
punya anak mbois?
“Halah,
jadi orang itu mbokya
jangan
sugetan
to,
nDo, nDo. Jangan gampang tersinggung begitu,” dasar Kang Karib,
bisa saja ia membela diri. “Lagian, anakmu itu mau karnaval kemana
to
kok
pakai baju tentara begitu?”
“Sampeyan
ini
piye
to,
Kang? Besok kan Hari Pahlawan, dan dua hari ini anak-anak sekolah
dianjurkan pakai pakaian pahlawan.”
“Tetapi,
nDo, apa semua pahlawan adalah tentara?” sanggah Kang Karib. “Atau,
apakah jasad yang dimakamkan di Taman Makam Pahlawan semua adalah
benar-benar pahlawan?”
Wikk,
matek
Mas
Bendo mendapat pertanyaan itu dari Kang Karib. Daripada melakukan
serangan balasan dengan jurus ngawur, ia ngowoh
saja
menunggu lanjutan kalimat Kang Karib. “Ya, namanya juga anak-anak.
Bisa jadi mereka memakai seragam doreng di hari pahlawan sekadar
ikut-ikutan teman. Nah, tugas guru-guru di sekolah yang harus bisa
meluruskan. Bahwa, ya itu tadi; dulu para pejuang yang ikhlas
mengangkat senjata untuk berjihad melawan penjajah bisa jadi hanya
memakai baju seadanya. Cuma pakai kaus lusuh dan bercelana pendeklah,
yang sarunganlah, dan sebangsanya. Kalau dalam film-film perjuangan,
yang pakai baju doreng malah si Kompeni Belanda itu...”
Mas
Bendo baru mingkem
ketika
seekor lalat hendak menclok
di
giginya, “Jadi apa salah anak-anak memakai baju doreng tentara di
hari pahlawan ini, Kang?”
“Ya
enggaklah,” Kang Karib menjawab. “Cuma begini, nDo. Yang lebih
utama itu bukan bajunya. Tetapi ruh-nya, semangatnya. Lha
kalau
cuma baju itu kan bungkusnya saja, ibarat ponsel, cuma casing-nya
saja. Nah, selain guru, kita-kita sebagai orang tua yang magak
ini
(bagaimana gak magak?
Lha
wong
ikut perang gak
pernah,
lahir procot
sudah
melihat Indonesia Raya yang begini ini) yang harus bisa menanamkan
sifat patriotisme dan heroisme. Agar anak-anak kita mampu menang
melawan penjajahan dan agresi model baru. Yang bukan memakai bedil
sebagai senjatanya, tetapi isme-isme halus yang sedikit demi sedikit
mampu membelokkan arah dan menjauhkan generasi negeri ini dari akar
budayanya, dari akar kebangsaannya, dari kearifan lokalnya”
“Wik,
masak sampai segitunya, Kang?”
“Dikandhani
kok
malah wik,”
ujug-ujug
Mbak
Yu ikut nimbrung.
“Kalau
anak Sampeyan,
tadi
ke sekolah pakai baju doreng juga, Mbak Yu,” tanya Mas Bendo.
“Aku
setuju dengan pendapat Kang Karib yang tadi kukuping; bahwa, tidak
semua pahlawan berbaju doreng.”
“Lalu,
anak Sampeyan
pakai
baju apa?”
“Tadi
ia pakai bajuku yang dulu sehari-hari kupakai saat aku bekerja
sebagai TKW di Arab Saudi. Bukankah Sampeyan
sering
mendengar, para pejabat menyebut kaumku itu, kaum TKW itu juga
sebagai pahlawah; pahlawan devisa.” *****
Langganan:
Postingan (Atom)