SEPERTI saran
seorang teman, sebisa mungkin aku menghindari untuk mengawali cerita ini dengan
menyebut matahari atau langit. Tetapi karena ia, temanku itu, selalu bilang
bahwa ibunya adalah seorang bidadari, mau tidak mau aku harus menyebut langit
sebagai asal dari ibunya. Bidadari, seperti pernah kubaca pada buku-buku
dongeng yang aku pinjam di perpustakaan saat SD dulu, bertempat tinggal di
khayangan.
Salah satu kisah yang samar-samar aku ingat adalah ketika
para bidadari turun ke bumi untuk mandi di sebuah sendang, ada seorang pemuda
yang diam-diam mencuri selendang milik salah satu bidadari. Dan, saat yang lain segera terbang
pulang ke khayangan sehabis mandi, satu di antara bidadari itu, kalau tidak
salah namanya Nawangwulan, tidak bisa terbang karena selendangnya hilang.
Pencuri selendang itu, yang kemudian menjadi suami dari bidadari itu, Joko
Tarub namanya. Tetapi, temanku itu bukan anak Joko Tarub.
Ayahnya bernama Gelam. Seorang tukang judi yang sekarang
sudah mendiang.
Sama seperti engkau, mula-mula aku menganggap temanku itu,
ohya namanya Rindang, adalah sedang mengigau ketika selalu menyebut kalau
ibunya adalah bidadari. Itu adalah sebuah pernyataan yang menjengkelkan. Sama
menjengkelkan ketika engkau mempunyai teman yang kemana pun ia berada selalu
memasukkan jari telunjuknya ke lubang hidung; ngupil. Atau teman lain yang
selalu (walau tidak sedang pilek) menarik napas sampai berbunyi ‘ngok’ di
hidungnya, lalu memaksa --dengan suara yang tak kalah menjijikkan-- entah ingus
entah dahak, untuk segera meloncat dari tenggorokannya. Dan, cuh!, ia
meludahkannya secara cuek tidak jauh dari tempatnya berada.
“Ibuku bidadari, ayahku tukang judi,” itu yang ia ucap kala
pertama kali aku bertanya tentang orangtuanya.