TAK salah
kiranya saya memilih tempat tinggal sementara selama menjalankan
tugas kerja di Tabanan, Bali, ini. Walau awalnya, tentu sangat
disayangkan oleh atasan saya. “Yakin mau tinggal di tempat kayak
itu?”, tanya Bu HRD yang baik hati saat saya memutuskan memilih
tempat kost yang pertama ditunjukkan saja, setelah mencari tempat lain
yang lebih layak untuk saya. Salah satunya di sebuah komplek kost
yang secara tampilan luarnya saja sudah menggambarkan kelasnya.
Tetapi, begitu Pak Komang (driver langganan perusahaan) membuka
gerbang untuk bertanya, kami langsung disambut gonggong anjing.
Hassuh tenan!
“Itu fasilitasnya cuma segitu lho”, lagi beliau mengingatkan agar saya
menimbang ulang.
“Tapi itu dekat
masjid, Bu”, saya beralasan. Sok alim ya? Hehe...
Begitulah. Jadilah
saya tinggal di sini sudah (atau baru?) dua minggu ini, telinga yang
biasa mendengar TOA masjid-musholla di tempat tinggal saya di
Surabaya, tak terlalu rindu karena tak kehilangan suara serupa selama di Tabanan ini. Saya
bisa jamaah sholat di masjid Agung Tabanan, dan malamnya cari makan
di Pasar Senggol jalan Gajah Mada yang menu Jawanya terbilang
komplit adanya. Pendek kata, telinga dan lidah saya tak ada masalah
selama disini, kecuali hati yang selalu rindu anak-istri karena tak
terbiasa pisah dalam rentang jarak dan waktu selama ini. Ini yang kadang bikin syedih (pakai syin).