LELAKI itu berkulit hitam kecokelatan dengan tato entah gambar apa di lengan. Rambut agak panjang model Charlie-nya Setia Band, tetapi disemir keunguan. Tindikan di telinga kanan tersemat anting, entah emas entah sepuhan. Celana jeans murahan dengan dompet terselip di saku belakang. Karena masih belum jinak, lelaki itu merasa perlu mengikat leher dompetnya itu dengan rantai yang ujungnya diikatkan kuat-kuat ke ikat pinggang. Sepatunya itu mampu menutupi pori-pori kakinya yang belum bersih betul oleh sisa adonan semen yang memang sulit sekali hilang kalau tidak diolesi oli atau minyak goreng. Tak perlu lebih panjang lagi, saya ingin bilang; lelaki itu adalah pekerja bangunan. (Tetapi maaf beribu maaf, bukan maksud saya mengejek para pekerja bangunan, karena toh, kalau tetangga saya atau siapa pun bertanya, saya akan menjawab dengan jujur kalau saya juga berprofesi sebagai pekerja bangunan!)
Yang hendak saya tonjolkan adalah ke-PD-annya berdandan 'necis' begitu. Di mata saya, tampilannya itu terlihat kurang pas, kurang pantas.. Tetapi, sekarang ini, perkara pantas adalah semakin subjektif saja. Bukan hanya bagi teman pekerja bangunan itu, tetapi bagi banyak orang. Gambar para caleg yang dikibarkan lewat bendera-bendera yang sekarang ini dipasang tinggi-tinggi di atas pepohonan di pinggir-pinggir jalan raya, sampai para tokoh yang iklannya saban hari mondar-mandir di televisi (lebih-lebih stasiun televisi milik sendiri) demi mengenalkan diri sebagai calon presiden kita mendatang. Tak beda dengan siapa pun yang berdandan nyeleneh dan merasa pantas, para caleg itu merasa dirinya pantas sebagai anggota legislatif dan para capres itu pun merasa pantas sebagai presiden.
Hari-hari ini, saya baca di media, ada pengemis yang kena razia dan ia kedapatan membawa uang kontan puluhan juta , tepatnya 25,4 juta rupiah! Dengan penghasilan, menurut cerita media, yang mencapai rata-rata seratus ribu rupiah sehari (atau melonjak menjadi satu juta rupiah sehari di hari raya), pantaslah kiranya pengemis itu bisa meraih penghasilan yang mengalahkan pendapatan saya sebagai pekerja bangunan. Masuk akalnya lagi, masyarakat kita termasuk gampang iba melihat peminta-minta. Demi gampang diibai, tentu saja para pengemis memantaskan diri untuk itu. Memakai baju lusuh, atau bahkan berlagak ngesot tak bisa berjalan, lalu menadahkan tangan di perempatan-perempatan jalan yag ramai dilalui orang.
Menjelang pergantian tahun, ada peristiwa yang selalu terulang; para buruh menuntut kenaikan upah. Ini, sekali lagi, lebih berdasar pada aspek 'merasa pantas'. Kebutuhan dan harga-harga naik, maka pantaslah upah ikut naik, begitu muasalnya. Sementara, di sisi lain, para pengusaha mempunyai pula pakem'kepantasan' versinya sendiri. Ambil contoh di sebuah kota; para buruh menuntut UMK 2,9 juta, sementara pengusaha mempunyai ancar-ancar nominal pada kisaran 1,9 juta. Gap selebar itu ditengahi oleh pemerintah setempat dalam bilangan yang dirasa lebih rasional, lebih pantas. Bukan saja bagi kaum buruh, namun juga bagi pengusaha. Palu diketok pada angka 2,2 juta.
Masing-masing pihak puas? Oh, tentu tidak. Kaum buruh merasa keringatnya kurang pantas dihargai serendah itu, sedang para pengusaha juga merasa upah setinggi itu ada di luar batas kepantasan. Demi memperjuangkan kenaikan upah para buruh ngeluruk kantor gubernur dan atau gedung dewan atau atasan di tempat kerjanya masing-masing adalah sudah menjadi tradisi tahunan. Di saat yang sama, bisa diistilahkan pohon simalakama sedang ditanam, dan akan berbuah setiap akhir tahun.. Yakni, ketika sebuah tuntutan dikabulkan lebih berdasarkan pada kuatnya desakan, niscaya hal itu akan terulang terus di saat-saat yang akan datang. Sementara, mengharap perbaikan kinerja pekerja hanya karena upah telah dinaikkan sesuai permintaan, paling banter itu berlaku hanya di tiga bulan pertama, karena setelahnya semua akan berlaku seperti sedia kala.
Begitulah; berebut pantas selalu bikin panas. *****