KADANG-KADANG
ulah penjaja mainan anak-anak bikin jengkel juga. Dengan
bunyi-bunyian, biasanya tit-tot,
tit-tot, ia datang
dimana anak anak-anak berkerumun di situ. Mainan yang dibawanya bisa
macam-macam; mobil-mobilan, boneka, senapan-senapanan, robot-robotan
dan sebagainya. Sementara, yang namanya anak-anak, sekali pun sudah
punya yang sejenis itu, masih juga ingin punya lagi. Dilarang beli,
tapi ia punya senjata andalan; menangis. Di situasi macam itu, si
penjaja mainan malah tak jua pergi. Petaka datang kala harga di-mark
up sedemikian rupa
karena si kecil belum juga diam dari menangisnya.
Dua
Minggu yang lalu seorang pedagang lewat di depan rumah. Walau gang di
depan rumah saya ini buntu, tetapi kala itu sedang ada banyak anak
sebaya si kecil saya. Penjaja itu tak perlu membunyikan apa pun untuk
menarik minat calon pembeli, karena dagangan yang ia bawa sudah bisa
bersuara sendiri. Kali itu bukan burung, tetapi anakan ayam yang
bulunya disumba
warna-warni. Dan sebagaimana temannya yang lain, si bungsu saya
ikutan merengek minta dibelikan.
Tak
terlalu mahal, limaribu rupiah seekor. Tetapi masalahnya adalah,
mainan itu punya nyawa. Ya, bukan harga makanan sumber problemnya.
Namun tabiatnya yang suka buang hajat di sembarang tempat itu sungguh
ter-la-lu,
kata Bang Rhoma. Sementara kandang yang berupa bekas jebakan tikus
itu sudah semakin sempit bagi tubuhnya yang beranjak besar, sehingga
terus mengandangkannya sungguhlah termasuk melanggar hak asazi ayam.
Diapakan
enaknya? Dibuang sayang, disembelih masih kekecilan.*****
Sabtu, 31 Mei 2014
Kambing Hitam Kampanye Hitam
“BEGINI,”
Kang Karib menunjukkan jari tengah dan telunjuk secara dempet ketika
Mas Bendo bertanya siapa yang menang dalam Pilpres nanti.
“Begitu piye to, Kang?” Mas Bendo ora mudheng, tidak mengerti.
“Artinya,” Kang Karib tetap mendempetkan dua jarinya, ”selisih suara, siapa pun yang menang nanti, Jokowi atau Prabowo, ya hanya seperti perbedaan tinggi jariku ini. Tipis sekali.”
“Wah, kalau begitu, apa tidak akan menimbulkan 'keributan', Kang? Paling tidak akan berbuntut tuntutan pemilihan ulang seperti saat Pilgub Jatim dulu?”
“Ya, karena terdiri dari dua pasang yang bertarung, pastilah pemenang langsung bisa ditentukan. Artinya pasti ada kan yang menang 50% plus satu. Artinya lagi, harus ada yang legawa mengakui kekalahannya.”
“Ya nggak segampang itu, Kang? Orang nyalon lurah tapi gak jadi saya habis banyak, je. Lha apalagi ini nyalon presiden, pastilah biaya untuk itu buanyak sekali. Apalagi Pak Prabowo sudah dua kali ini maju, ya sepertinya ngebet sekali ingin menang.”
“Jangan begitu, nDo” cegah Kang Karib. “Apa kamu pikir pak Jokowi itu juga gak ngebet?. Iya kan? Siapa pun yang maju, boleh saja punya ambisi, tetapi janganlah terlalu ambisius.”
“Makanya, agar menang, ada yang sampai memakai kampanye hitam ya, Kang.?”
“Iya, tetapi tentu kita tidak tahu siapa sebenarnya oknum yang menghembuskan black campaign itu. Iya, to?! Masing-masing tim sukses tidak ada yang mengaku melakukannya, dan masing-masing menyadari tidak ada gunanya berkampanye secara hitam begitu. Itu malah bisa merugikan.”
“Apa yang melakukan itu hanya simpatisannya, Kang?”
“Bisa jadi begitu,” sahut Kang Karib. “Bisa jadi juga tidak begitu.”
“Tidak begitu piye to, Kang?”
“Ya, bukan tidak mungkin kan isu yang beredar di kalangan bawah hadir by design. Ada 'orang pintar' yang sengaja membakar akar rumput.”
“Tapi bukankah masyarakat kita sudah makin cerdas dalam berdemokrasi, Kang? Buktinya, dalam Pileg kemarin. Malah para caleg yang kelihatan kurang cerdas, pakai ngasih-ngasih duit, eh, cuma diambil duitnya, pas coblosan, orang tetap milih sesuai kata hati sendiri.”
“Itu yang 'cerdas'. Tetapi ingat, nDo. Yang belum begitu cerdas kan juga ada. Sekalipun tak terlalu banyak, yang fanatik mutlak kan juga ada,” terang Kang Karib. “Nah, kelompok ini yang bahaya.”
“Sebahaya apa sih, Kang?”
“Ibarat kata, orang-orang di atas itu sedang menggosok kayu untuk membikin api seperti jaman purba dulu. Yang di atas kan cuma memutar-mutar telapak tangan, yang kebakar kan yang di bawah, yang akar rumput...”
“Dan si pembakar itu masuk dalam jajaran tim sukses di masing-masing pasangan calon, begitu?”
“Kalau tidak ketahuan ya begitu, tetapi kalau ketahuan pastilah ia dijadikan kambing hitam yang dituduh bermain solo, tanpa ada komando.”
“Kalau begitu, sepanas apapun suhu politik negara kita hari-hari ini, kepala kita harus tetap dingin ya, Kang?”
“Betul,” Kang karib mengiyakan. “menelan mentah-mentah semua kampanye hitam hanya akan membuat otak kita ikutan hitam, nDo...” *****
“Begitu piye to, Kang?” Mas Bendo ora mudheng, tidak mengerti.
“Artinya,” Kang Karib tetap mendempetkan dua jarinya, ”selisih suara, siapa pun yang menang nanti, Jokowi atau Prabowo, ya hanya seperti perbedaan tinggi jariku ini. Tipis sekali.”
“Wah, kalau begitu, apa tidak akan menimbulkan 'keributan', Kang? Paling tidak akan berbuntut tuntutan pemilihan ulang seperti saat Pilgub Jatim dulu?”
“Ya, karena terdiri dari dua pasang yang bertarung, pastilah pemenang langsung bisa ditentukan. Artinya pasti ada kan yang menang 50% plus satu. Artinya lagi, harus ada yang legawa mengakui kekalahannya.”
“Ya nggak segampang itu, Kang? Orang nyalon lurah tapi gak jadi saya habis banyak, je. Lha apalagi ini nyalon presiden, pastilah biaya untuk itu buanyak sekali. Apalagi Pak Prabowo sudah dua kali ini maju, ya sepertinya ngebet sekali ingin menang.”
“Jangan begitu, nDo” cegah Kang Karib. “Apa kamu pikir pak Jokowi itu juga gak ngebet?. Iya kan? Siapa pun yang maju, boleh saja punya ambisi, tetapi janganlah terlalu ambisius.”
“Makanya, agar menang, ada yang sampai memakai kampanye hitam ya, Kang.?”
“Iya, tetapi tentu kita tidak tahu siapa sebenarnya oknum yang menghembuskan black campaign itu. Iya, to?! Masing-masing tim sukses tidak ada yang mengaku melakukannya, dan masing-masing menyadari tidak ada gunanya berkampanye secara hitam begitu. Itu malah bisa merugikan.”
“Apa yang melakukan itu hanya simpatisannya, Kang?”
“Bisa jadi begitu,” sahut Kang Karib. “Bisa jadi juga tidak begitu.”
“Tidak begitu piye to, Kang?”
“Ya, bukan tidak mungkin kan isu yang beredar di kalangan bawah hadir by design. Ada 'orang pintar' yang sengaja membakar akar rumput.”
“Tapi bukankah masyarakat kita sudah makin cerdas dalam berdemokrasi, Kang? Buktinya, dalam Pileg kemarin. Malah para caleg yang kelihatan kurang cerdas, pakai ngasih-ngasih duit, eh, cuma diambil duitnya, pas coblosan, orang tetap milih sesuai kata hati sendiri.”
“Itu yang 'cerdas'. Tetapi ingat, nDo. Yang belum begitu cerdas kan juga ada. Sekalipun tak terlalu banyak, yang fanatik mutlak kan juga ada,” terang Kang Karib. “Nah, kelompok ini yang bahaya.”
“Sebahaya apa sih, Kang?”
“Ibarat kata, orang-orang di atas itu sedang menggosok kayu untuk membikin api seperti jaman purba dulu. Yang di atas kan cuma memutar-mutar telapak tangan, yang kebakar kan yang di bawah, yang akar rumput...”
“Dan si pembakar itu masuk dalam jajaran tim sukses di masing-masing pasangan calon, begitu?”
“Kalau tidak ketahuan ya begitu, tetapi kalau ketahuan pastilah ia dijadikan kambing hitam yang dituduh bermain solo, tanpa ada komando.”
“Kalau begitu, sepanas apapun suhu politik negara kita hari-hari ini, kepala kita harus tetap dingin ya, Kang?”
“Betul,” Kang karib mengiyakan. “menelan mentah-mentah semua kampanye hitam hanya akan membuat otak kita ikutan hitam, nDo...” *****
Minggu, 25 Mei 2014
U n d a n g a n
SEMASA
hidupnya, di kampung dulu, paman saya punya cara khas dalam
memperlakukan undangan yang telah diterimanya. Ia mencantolkan pada
paku undangan-undangan itu pada saka, kayu tiang utama rumah
tuanya. Karena tiang itu persis ada di antara ruang tamu dan ruang
tengah, orang akan dengan mudah mendapati lembar-lembar undangan itu.
Dari yang paling baru sampai yang telah lama. Untuk mencari tahu yang
lama juga bukan perkara sulit, bila warna kertasnya telah usang, ya
itulah ia. Iya, bahkan undangan yang telah lama dihadirinya pun masih
saja disimpan paman. Untuk apa? Untuk kebanggaan karena sebagai tanda
orang blater, banyak kenalan yang telah pernah mengundangnya?
Entahlah.
Perilaku itu barangkali sama dengan kebiasaan seorang teman yang menyimpan bekas bungkus rokoknya pada jendela kamar. Ditata sedemikian rupa sampai jendela itu tertutup olehnya.
Undangan untuk menghadiri hajatan, bulan-bulan ini, Rajab sampai Sya'ban nanti, datang silih berganti. Orang menganggap sekarang saat bagus untuk menggelar pernikahan atau khitanan. Yang berarti waktu bagus pula bagi bisnis persewaan alat-alat pesta, tukang sound system dan tentu saja pencetak undangan.
Sekarang makin jarang ditemui undangan dengan tulisan tangan yang dibeli orang di toko dengan kolom waktu/tanggal, nama mempelai dan hiburan dalam bentuk kosongan, sehingga calon shohibul hajjat harus mengutus orang dengan tulisan tangan yang bagus untuk mengisinya. Sekarang semua telah tercetak rapi, lengkap dengan foto pre wedding mempelai. Tentu saja harga menentukan rupa. Semakin mahal harga per helai undangan, semakin bagus pula tampilan dan bahannya.
Di kampung saya dulu, sekali pun telah diberi undangan, saat manggulan (satu hari menjelang hari H), shohibut hajjat masih pula mengirimi para calon tamunya itu dengan makanan lengkap dengan lauk dan kuenya, tradisi itu dinamakan tonjokan. Bukan hanya makanan, ada pula yang menyertakan sebungkus rokok dalam selembar undangan. Dengan itu semua, calon tamu akan merasa lebih sungkan tidak datang bila sudah ditonjok begitu. Ibarat kata, sudah menjadi fardu 'ain.
Begitulah; menghadiri undangan hajatan, tamu datang selalu tidak dengan tangan kosong. Walau dalam undangan selalu ditulis 'mengharap kehadiran untuk memberikan doa restu', para tamu sudah faham betul kalau kotak dengan hiasan renda berwarna keemasan yang diletakkan di dekat pintu masuk itu bukan wadah untuk mencemplungkan doa. *****
Perilaku itu barangkali sama dengan kebiasaan seorang teman yang menyimpan bekas bungkus rokoknya pada jendela kamar. Ditata sedemikian rupa sampai jendela itu tertutup olehnya.
Undangan untuk menghadiri hajatan, bulan-bulan ini, Rajab sampai Sya'ban nanti, datang silih berganti. Orang menganggap sekarang saat bagus untuk menggelar pernikahan atau khitanan. Yang berarti waktu bagus pula bagi bisnis persewaan alat-alat pesta, tukang sound system dan tentu saja pencetak undangan.
Sekarang makin jarang ditemui undangan dengan tulisan tangan yang dibeli orang di toko dengan kolom waktu/tanggal, nama mempelai dan hiburan dalam bentuk kosongan, sehingga calon shohibul hajjat harus mengutus orang dengan tulisan tangan yang bagus untuk mengisinya. Sekarang semua telah tercetak rapi, lengkap dengan foto pre wedding mempelai. Tentu saja harga menentukan rupa. Semakin mahal harga per helai undangan, semakin bagus pula tampilan dan bahannya.
Di kampung saya dulu, sekali pun telah diberi undangan, saat manggulan (satu hari menjelang hari H), shohibut hajjat masih pula mengirimi para calon tamunya itu dengan makanan lengkap dengan lauk dan kuenya, tradisi itu dinamakan tonjokan. Bukan hanya makanan, ada pula yang menyertakan sebungkus rokok dalam selembar undangan. Dengan itu semua, calon tamu akan merasa lebih sungkan tidak datang bila sudah ditonjok begitu. Ibarat kata, sudah menjadi fardu 'ain.
Begitulah; menghadiri undangan hajatan, tamu datang selalu tidak dengan tangan kosong. Walau dalam undangan selalu ditulis 'mengharap kehadiran untuk memberikan doa restu', para tamu sudah faham betul kalau kotak dengan hiasan renda berwarna keemasan yang diletakkan di dekat pintu masuk itu bukan wadah untuk mencemplungkan doa. *****
Sabtu, 10 Mei 2014
Kepekaan Set Top Box
Si C dan si D milik saya. Tetapi tentu saja penilaian seperti yang saya tulis di artikel di samping ini adalah subyektif semata. Jadi, pilihan tentu terserah Anda. |
Perkara
harga, di pasaran bisa didapati set top box mulai dari 300 ribu
kurang sekian sampai dengan 400 ribu lebih sekian.
Saya
mempunyai empat set top box mulai harga terendah sampai yang lumayan
tinggi. Agar tidak menyebut merek, saya namai set top box saya itu
mulai dari A, B, C dan D. Untuk yang A, karena barang itu baru
berkelas DVB-T, tentu sekarang ia menjadi pengangguran karena siaran
televisi digital yang ada sekarang ini semua telah memakai teknologi
DVB-T2. Untuk yang B, sekalipun sudah berkelas DVB-T2, tepat setahun
saya gunakan, tuner-nya sudah mati plethes. Ia, karenanya,
lalu saya jadikan satu dengan si A agar istirahat dengan tenang di
atas lemari. (Sekalipun begitu, sebenarnya si A dan si B sesekali
masih saya pakai untuk memutar film via USB/flashdisk yang saya rekam
memakai set top box).
Artikel terkait: tracking tv satelit itu relatif tak sulit.
Artikel terkait: tracking tv satelit itu relatif tak sulit.
Nah,
yang masih aktif saya pakai sekarang ini adalah si C dan D.
Si C
adalah merek yang populer di pasaran. Dibanding keluaran terbaru yang
sudah EWS dengan bentuk bodi yang makin mini, punya saya itu masih
keluaran pertama yang belum multi view. Bagaimana dengan
kekuatan tuner-nya?
Begini
ceritanya. Dengan memakai si C itu, siaran yang bisa diterima di
Surabaya ini adalah MUX 506MHz/Ch.25 (MetroTV dkk), lalu 522MHz/Ch.27
(TransTV, Trans|7 dan KompasTV), 586MHz/Ch.35 (TVRI_NAS_
TVRI_SURABAYA, TVRI_3 DAN TVRI HD). Itu saja yang bisa dinikmati
dengan sempurna. Sementara MUX 490MHz/Ch.23 (tvOne dan antv) sudah
dua minggu ini menghilang dari udara. Sedangkan untuk MUX
538MHz/Ch.29 (SCTV NETWORK, INDOSIAR NETWORK, O CHANNEL NETWORK, Live
Feed $ dan Elshinta Radio $, sekaipun ada sinyal, tetapi gambar di
layar seperi kaset CD rusak). Lain lagi dengan MUX 634MHz/Ch.41
(RCTI, MNCTV, GlobalTV) sekalipun sinyal ke-detect, tetapi tidak bisa
di-lock.
Tadinya
saya duga MUX SCTV dkk dan MUX RCTI dkk itu secara power belum
memakai secara penuh, sehingga belum bisa ditangkap dengan sempurna.
Tetapi, “Tidak, Mas. Di daerah saya sinyalnya bagus itu. Saya pakai
set top box merek D,” komentar teman saya lewat ponsel.
Dan
benarlah adanya yang dibilang seorang teman itu. Setelah saya mencoba
memakai set top box merek D, dengan antena yang sama + pesawat
televisi yang juga sama, kedua sinyal dari MUX yang oleh set top box
merek C tidak bisa diterima dengan sempurnya, bisa ditampilkan dengan
bagus sekali. Padahal, secara harga, si D ini selisihnya lebih murah
25 ribu dibanding si merek C.
Yang
ingin saya katakan adalah, kepekaan tak selalu berbanding lurus
dengan kemahalan harga sebuah set top box. Bagaimana menurut pengalaman Anda?
*****
Baca juga:
- Pilih Beli DVB-T2 atau DVB-S2?
- Tips Membeli Set Top Box
- Selamat Tinggal TV Digital Terrestrial
Langganan:
Postingan (Atom)