SAYA pernah membaca
sebuah esai yang ditulis Kang Prie GS di Suara Merdeka pada
Juli 2009. Tulisan dengan gaya renyah yang khas itu membahas tentang
lomba menggambar untuk anak-anak dengan Prie GS sebagai ketua
panitianya.
Kemarin, saya pun setengah
hari berurusan dengan lomba serupa, bedanya adalah saya bukan sebagai
panitia dan hanya ketiban getah sebagai pengantar saja. Getah? Oh,
tunggu dulu. Apakah megantar si kecil yang masih TK untuk mengikuti
lomba 'remeh' ini adalah kurang mbois dilakukan oleh seorang
Ayah yang sampai membolos dari kerja?
Awalnya, karena saya
bekerja dan istri juga bekerja, sementara si kecil juga tak mau
diantar oleh Bu Sum, pengasuhnya, maka kami berikan hak prerogatif
kepadanya untuk memilih, “Diantar Ibuk atau Ayah?”
“Ayah,” dengan gemas
ia berkata.
Ya, sudah. Jadilah saya
menjadi pengantarnya.
Pagi itu, sesuai yang
dicantumkan dalam pemberitahuan, kami langsung menuju lokasi lomba
tanpa terlebih dulu mampir ke sekolah. Lokasi itu adalah sebuah
restoran fast food baru yang belum lama buka di daerah kami.
Kalaulah mau, bisa saja saya memunculkan dugaan lomba itu adalah
'konspirasi' antara pihak TK dan pengelola restoran dalam rangka
mempromosikan diri. Dan untuk itu pastilah ada semacam fee.
Jam setengah sembilan
sesuai yang tertera di undangan, puluhan anak TK teman anak saya
sudah memenuhi ruangan, dan sebanyak itu pulalah jumlah pengantarnya
dengan hanya tiga orang diantaranya yang laki-laki. Menjadi minoritas
diantara mayoritas Ibu-ibu tentu bisa menimbulkan perasaan risi.
Tetapi, demi anak, layakkan hal itu dirasakan? Tidak. Lagian,
diantara dominasi Ibu-ibu yang sebagian merias wajahnya dengan make
up lengkap seperti hendak ke pesta, justru saya dengan mudah bisa
menjungkir-balikkan keadaan menjadi orang tertampan di ruang itu
dengan saingan yang tak seberapa.
Begitu lomba dimulai,
kegaduhan lebih pecah di ruangan yang tak seberapa luas di lantai
tiga itu. Anak-anak bersemangat mewarnai gambar yang diberikan
panitia, para pengantar tak kalah sibuknya memilihkan warna crayon
yang sesuai, sementara di sudut lain ada pengantar yang
pontang-panting merayu anaknya yang mogok tak mau mewarnai dan lebih
bersemangat mengeraskan suara tangisnya entah oleh sebab apa. Tingkah
polah anak dalam menggambar pun tak kalah serunya. Ada yang duduk
normal, ada yang meminta tambahan kursi agar bisa tengkurap di
atasnya, ada pula yang mewarnai gambar sambil berdiri karena meja dan
kursinya memang tidak dirancang untuk postur tubuh anak TK.
Saya pikir, inilah
miniatur realita anak-anak negeri ini. Sebagian mereka kehilangan
haknya untuk 'menggambar' sesuai kehendak dan imajinasinya sendiri.
Dalam taraf sekecil itu, intervensi orang tua begitu kuatnya dengan
doktrin; bagian ini harus warna biru, bagian itu harus ungu,
misalnya. Ini menjadi sebangun dengan fenomena anak-anak yang nyaris
kehilangan lagu anak-anak dan cenderung terpaksa gandrung kepada
lagu-lagu yang pantasnya hanya masuk ke telinga orang dewasa.
Belum lama, dalam sebuah
ajang pencarian bakat, saya sempat melihat di layar stasiun televisi
nasional seorang anak menyanyikan lagu Rekayasa Cinta yang
populer lewat suara Calemia Malik dengan goyang dangdut dan lirikan
mata genit ala penyanyi dewasa. Celakanya, para penonton di studio,
bisa jadi disitu juga ada orang tuanya, malah ikut bergoyang senang.
Begitulah, seorang anak telah direkayasa sedemikian rupa jauh
mendahului masanya yang makin lama makin terasa lumrah saja di
sekitar kita. Dan untuk mengembalikannya ke 'jalur yang benar',
tidak cukup hanya dengan mengelus dada. *****