SAAT SD, lupa saya apakah
itu kelas tiga atau empat, satu per satu anak diminta maju ke depan untuk
mengatakan cita-citanya kelak. Sesuai absen, Bu Guru memanggil kami. Semakin
mendekati giliran, semakin saya deg-degan. Bukan apa-apa, tetapi saya memikirkan
cita-cita macam apa yang tidak terlalu banyak diinginkan dan telah diucapkan
teman yang sudah maju duluan. Ini sekadar berdasar gengsi saja sepertinya.
Sebagaimana saya akan merasa tidak pede kalau pas pelajaran menyanyi di depan,
dan lagu Indonesia Pusaka (lagu faforit yang selalu saya nyanyikan setiap
pelajaran menyanyi) sudah keduluan dinyanyikan teman, sementara selain lagu itu
saya hanya bisa Gundul-gundul Pacul. Akan menjadi derita yang luar biasa bila
Gundul-gundul Pacul sudah pula diserobot teman.
“Nama saya Budi, kalau sudah
besar saya bercita-cita menjadi insinyur,” dengan kulit cokelat tua karena
sering main layang-layang di panasan, saya yakin si Budi itu asal saja bilang
ingin menjadi insinyur. Sungguh, saat itu kami tidak tahu kalau insinyur pun
ada beberapa. Pertanian, Teknik dan entah apa lagi. bagi Budi yang penting insinyur.
Kalau yang teman perempuan,
kalau nggak jadi guru paling banter ingin jadi bidan. Sementara para lelaki
terdengar lebih gagah; polisi, tentara (ABRI kala itu), hakim. Tetapi, yang
lebih umum (dan terdengar juga asal saja) adalah ingin menjadi orang yang
berguna bagi nusa, bangsa dan agama. Coba, apa itu tidak asal mengucap saja.
Karena cita-cita itu hanya
sekadar diucap saja, selama ini, apesnya, kok saya tidak mendengar si Budi
berhasil menjadi insinyur sungguhan, dalam bidang apa pun itu. Begitu juga dengan teman
yang lain dengan cita-cita lain. Sebagai orang desa yang lahir procot sudah sebagai
anak petani, sebagian besar malah berhasil membuktikan bahwa 'buah jatuh tidak
jauh dari pohonnya', dalam artian ikutan menjadi petani. Kalau begitu, itu tak berbeda
dengan teman lain yang bercita-cita menjadi 'orang yang berguna bagi nusa,
bangsa dan agama'. Ya, siapa pun akan setuju petani sungguh berguna bagi nusa dan bangsa.
Walau, kalau mendengar berita, nasib mereka kadang nelangsa.; menanam padi
dengan pupuk berharga mahal, pas panen harga jual gabah rendah.
Sungguh, saya lupa kala itu
bercita-cita ingin menjadi apa. Tetapi saya lebih curiga, saya termasuk kaum yang
'ingin menjadi yang orang berguna bagi nusa, bangsa dan agama'. Apakah sekarang ini
cita-cita itu sudah saya capai? Entahlah.
Tetapi kepada si sulung Edwin saya
bilang; memiliki cita-cita itu perlu, tetapi berusaha keras mewujudkan
cita-cita itu tak kalah perlu. Dasar dan contoh dari saya mengatakan itu adalah
teman-teman SD saya yang sejauh ini tak ada yang berhasil menjadi yang
diucapkan. Karena hanya dikatakan, tetapi tanpa diusahakan. Dengan berusaha
keras, bisa jadi sebuah kedudukan yang tadinya tidak dicita-citakan pun akan
menjadi kenyataan. Saya berpikir, bukan tidak mungkin Pak SBY itu menjadi
presiden bukanlah cita-citanya sejak kecil.
Memasuki usia remaja, bukannya
fokus, saya malah tak tahu arah. Dan dengan sok bijak berkata dalam hati; saya
menjalani hidup mengalir saja, seperti air. Syukurlah, sepertinya hidup saya
tentram dengan slogan itu. Sampai kemudian saya sadar, aliran air yang tanpa
dipompa, dan mengalir alami begitu, arahnya selalu ke bawah, ke tempat yang
lebih rendah.
Apakah ada yang rela grafik
hidup menuju ke arah yang begitu? Tentu tidak. *****