SUDAH empat bulan ini saya menjalani tugas kerja di Bali. Sering sekali, karena pekerjaan ini, saya mengunjungi sebuah desa bernama Senganan. Kalau Anda belum tahu, desa itu masuk wilayah kecamatan Penebel, kabupaten Tabanan. Berjarak sekitar duapuluh lima kilometer dari kota Tabanan.
|
Bongkot a.k.a kecombrang (Foto: Edi W.) |
Sebagai dataran tinggi, dingin hawanya. Apalagi bagi saya yang berasal dari kota sepanas Surabaya. Sebagai daerah dingin dan bertanah subur, Senganan (yang hanya berjarak satu kilometer dari Jatiluwih, lokasi yang punya pemandangan persawahan yang khas, yang Pak Obama --mantan presiden AS-- pernah singgah kesana saat berlibur ke Bali beberapa wakyu yang lalu) adalah juga wilayah dengan mayoritas penduduknya petani. Dan kalau tidak salah, tidak sebagaimana wilayah Bali lain yang sangat bertumpu pada pariwisata, kabupaten Tabanan hanya 20% saja bersandar pada sektor itu. Selebihnya adalah pertanian.
Kembali tentang desa Senganan; ada satu komuditas sayur yang saban hari diangkut ke kota dari desa itu. Namanya bongkot (etlingera elatior). Atau Anda mungkin mengenalnya sebagai kecombrang.
Saya sebagai orang Jawa, jujur baru tahu bentuk tunas dan bunga (bagian yang lazim digunakan) kecombrang. Nah, kalau bentuknya saja baru tahu, rasanya pun baru tempo hari mencicipi. Bila dulu ada iklan dengan 'tagline'
kesan pertama begitu menggoda, selanjutnya terserah Anda, maka kesan pertama setelah saya incip sambal bongkot adalah;
pih, makanan apa ini?! Ada unsur rasa 'langu' yang gagal diakrabi lidah saya.
Tetapi tak ada salahnya mencoba di lain hari. Ataukah Anda punya saran; si kecombrang ini bisa dikreasi sebagai apa selain sambal? Agar lidah saya bisa jatuh cinta.***