BULAN Agustus ini ada tiga stasiun tivi yang berulang tahun. RCTI, SCTV dan TVRI. Tepatnya tanggal 24 Agustus, yang juga diperingati sebagai Hari Televisi Indonesia.
Dan tengoklah ke kiri atau ke kanan, ke seantero rumah tetangga, nyaris tiada rumah tanpa pesawat televisi. Ia mengisi ruang tamu, kamar tidur bahkan sampai dapur. Sungguh, televisi, selain roda, adalah penemuan ‘gila’ yang berhasil dibuat manusia modern. Untuk itu, kita perlu berterima kasih kepada John Logie Baird. Karena hasil utak atiknya yang terpacu penemuan Gugliemo Marconi yang lebih dulu menemukan gelombang radio, membuat ia yakin video pun bisa dikirimkan melalu sinyal. Pada 1927 ia berhasil memancarkan gelombang televisi dari London ke Glasglow. Dan setahun kemudian, pada 1928, ia kembali sukses memancarkan sinyal televisi dari London ke New York.
Dan hari ini, siaran yang sedang Anda tonton di kamar tidur, ruang tamu atau bahkan kamar mandi, bisa saja dipancarkan lebih jauh dari jarak antara London-New York! Sungguh, kotak ajaib ini telah dengan sukses menginvasi segala ruang kita. Ruang jasmani, sekaligus ruang ruhani.
Sekarang, 50 tahun sejak pertama kali siaran televisi hadir di Indonesia, televisi --harus disadari-- juga laksana pisau dapur. Ia bermanfaat, sekaligus juga bisa mengundang mudarat. Ia, secara nyata lebih berbahaya ketimbang yang ditemukan Gugliemo Maconi. Sebagai media pandang dengar, apa pun yang terpampang di layar kaca menjadi gampang ditiru.
Ingat saya, ketika di kampung dulu, dan siaran televisi cuma TVRI, dan radio masih berjaya dengan serial sandiwaranya. Mendengarkan sandiwara radio macam itu, sekalipun mendengarkannya secara bersama, bisa jadi imajinasi setiap orang akan berbeda. Semakin tinggi tingkat kecerdasan imajinatifnya, semakin hidup jalan cerita sandiwara itu dalam pikirannya. Hal yang tentu sangat berbeda ketika orang menonton siaran televisi. Televisi menyuguhkan sesuatu yang ‘nyata’. Yang hidup, yang bergerak sekaligus bersuara. Karenanya, ketika sebuah tayangan miskin makna, ketika ditonton oleh pemirsa yang miskin pengetahuan, tayangan itu telah sukses memiskinkan yang telah miskin.
Contoh tentang model tayangan ini kalau disebutkan tentu sangatlah melimpah ruah. Misalnya sinetron-sinetron itu, tayangan-tayangan humor itu. Juga debat (kusir) para petinggi negeri yang muluk-muluk tetapi nol besar dalam realita itu. Padahal, pada sisi lain, rakyat yang sudah terhimpit kanan-kiri dan atas-bawah itu, ketika pulang ke rumah butuhnya hiburan. Dan sarana hiburan yang paling murah adalah televisi. Namun ketika nyaris semua saluran televisi tidak ada yang memberi kesempatan untuk pemirsa kelas rendah itu makin cerdas, apa daya; meminjam istilah AS. Laksana, tayangan-tayangan yang dibuat dengan tingkat kecerdasan sedengkul itu pun mau tak mau ditelannya juga.
Contohnya adalah ketika dulu TPI dengan sakti bisa siaran secara nasional mengalahkan sang kakak (baca: RCTI dan SCTV) yang lahir duluan tetapi masih harus menggunakan decoder agar bisa menangkap siarannya. Itupun dalam coverage area yang terbatas. TPI, yang milik mbak kala Tutut itu, yang adalah tak mungkin TVRI (yang hanya bersiaran malam hari, kecuali hari Minggu) berani menolak perintah agar ia mau ‘menyewakan’ pemancarnya pada siang hari kepada stasiun televisi milik putri sulung penguasa Orde Baru kala itu. Acara unggulannya adalah dangdutan dan film-film India. (Sungguh, pada titik ini, TPI sangat jauh melenceng dari namanya sebagai Televisi Pendidikan Indonesia). Dan salah satu serial unggulan film Indianya adalah Ramayana.
Karena masyarakat kita (Jawa umumnya) sangat familier dengan ceriita pewayangan, tentu suguhan serial Ramayana ini menangguk sukses luar biasa. Dan bagi anak-anak, menggemari film ini tidak sekadar menirukan ungkapan ‘ Hidup Sri Rama’. Tetapi juga, ada pedagang mainan yang menangkap peluang bisnis; menjual busur dan anak panah seperti yang ada di film itu. Busur dan anak panah yang terbuat dari bambu itu adalah benar-benar bisa digunakan. Dan itu, tentu bida melukai.
Itu contoh lama. Yang agak baru adalah ketika banyak anak usia SD saling banting sampai patah tulang kaki atau tangan hanya sekadar menirukan adegan Smack Down, sebuah acara ‘hiburan’ yang ditayang Latifi. Bagi pemirsa, anak khususnya, televisi amatlah berbahaya bila pihak pengelola stasiun hanya berorientasi bisnis. Semua tayangannya begitu gampang ditiru sebagai mode.
Sinetron, misalnya. Cermatilah. Adakah anak sekolah seperti dalam sinetron itu. Yang ke sekolah bermobil mewah. Yang berambut gondrong. Yang penuh konflik, penuh intrik. Yang peran guru hanyalah sebagai pelengkap saja. Menurut saya, kalaulah di alam nyata ada murid sekolah macam di sinetron-sinetron itu, adalah karena sebuah pengaruh tayangan televisi. Bahwa, bukan sinetron yang memotret realita sekolah, tetapi siswa di alam ‘sekolah nyata’ yang meniru gaya anak sekolah di 'alam layar kaca' sinetron-sinetron.
Dalam hal ini tentu tidak bisa dimungkiri bahwa para pemilik stasiun televisi itu berorientasi bisnis. Perkara siaran dari stasiun televisinya tidak membawa dampak positif kepada pemirsanya, ia kurang peduli. Yang penting acara-acara itu ber-rating tinggi. Yang utama pemasukan uang dari iklan mengalir deras.
Tentu tidak semua stasiun televisi berprinsip begitu. Ada stasiun yang idealis. Bermain lurus. Tetapi, liriklah, stasiun macam itu tak sepopuler stasiun-stasiun besar yang belakangan, kita tahu, dikuasai oleh orang-orang yang sama.
Saya sempat menaruh harap kepada stasiun televisi besar yang bermain sebagai saluran televisi berita. Saya sebut saja MetroTV dan TV One. Tetapi harapan itu, agar masih tersisa saluran yang mencerdaskan dan netral, perlahan tapi pasti mulai menipis. Benar memang, program-programnya ada yang bagus. Tidak bagusnya adalah, pemiliknya adalah orang partai. Surya Paloh, bos MetroTV, hengkang dari Golkar dan membangun Partai Nasional Demokrat. Dan TV One, semua orang tahu, itu adalah nama baru dari Latifi milik Abdul Latif yang dibeli oleh kelompok Bakrie, ketua umum Partai Golkar. Dunia pertelevisian makin ‘ramai’ manakala belakangan, bos MNC (raksasa media yang menaungi RCTI, MNCTV (nama baru dari TPI), GlobalTV, SindoTV, Sindo Radio (nama baru dari Trijaya Network) dan beberapa media lain -- termasuk media cetak-- Hary Tanoesoedibjo juga bergabung ke Partai Nasdem-nya Surya Paloh.
Jelas sudah, sekarang stasiun televisi tidak sekadar sebagai media informasi dan hiburan, ia telah pula dijadikan sebagai kendaraan politik. Karena, pencitraan adalah hal yang mutlak perlu dalam berpolitik. Dan televisi adalah media yang sangat mendukung politik pencitraan macam itu. Contoh vulgarnya adalah, MetroTV rela menayangkan pelantikan pengurus Partai Nasdem di sebuah wilayah yang disertai orasi politik Surya Paloh dalam durasi yang panjang. Padahal itu, menurut saya, bukanlah berita yang penting-penting amat untuk televisi berita dengan cakupan nasional sekelas MetroTV. Atau, TV One yang terkesan menghindar dari pakem ‘berita itu harus berimbang’ bila sedang mewartakan luapan lumpur Lapindo, misalnya.
Tetapi, pemirsa tentu adalah pemilik kuasa penuh akan tayangan apa yang perlu dan layak ditontonnya. Dan kini, dengan begitu banyak saluran televisi, sebagai pemirsa kita bisa sesuka hati menombol remote control untuk mencari saluran mana yang tidak memiskinkan jiwa. Dan kalau tidak berhasil menemukannya, karena semua yang tertayang di layar kaca adalah sampah, kita bisa meniru semboyan para penentang rokok. Dengan memodivikasi sedikit, kalimat itu akan berbunyi; matikan televisi atau televisi akan mematikan (jiwa) kita!*****