SEDIKIT
demi sedikit lama-lama menjadi bukit. Istilah ini bisa disertakan
dalam semangat menabung, juga untuk hal lain. Korupsi, misalnya. Dan
korusi itu, sepertinya, tak melulu dilakukan oleh orang besar dengan
nominal yang besar. Tetapi juga oleh orang kecil dengan besaran yang
tak seberapa. Tetapi, sekecil apapun nilai, akan membesar akhirnya
bila dilakukan secara terus-menerus dalam jangka yang lama mengacu
pada rumus 'sedikit demi sedikit' tadi.
Tak
perlu terlalu mengerutkan kening untuk mencari contoh yang beginian
ini.
Untuk
sebuah keperluan, kemarin siang saya mendapat tugas ke kantor Dinas
Lingkungan Hidup Pemkot Surabaya. Setelah itu mampir ke Pasar
Elektronik Genteng untuk lihat-lihat reciever DVB-T2 lanjut ke PMI
untuk donor darah. Di ketiga tempat itu hal yang saya catat adalah
soal parkir.
Pertama,
saat akan ke kantor Dinas LH, saya memarkir si Nenen (begitu
si bungsu menyebut SupraX 125 tunggangan saya ini) di seberang
warung sate di seberang perkantoran Pemkot tidak jauh dari Puskesmas
Ketabang. Seorang lelaki tua bertubuh bongkok berompi hijau
menghampiri dan menyerahkan selembar karcis parkir. Tertera disitu
tarifnya; limaratus rupiah.
Tetapi
setelah urusan saya di Dinas Lingkungan Hidup selesai dan saya
mengambil motor, selembar duaribuan yang saya serahkan langsung masuk
saku tanda ada kembalian. Harusnya saya minta kembalian
seribu limaratus sebagai hak saya sebelum pergi meninggalkan lelaki
tua berkulit hitam karena saban hari kepanasan itu. Tetapi demi
melihat lelaki bongkok yang masih semangat bekerja di usianya yang
tak lagi muda itu, saya memilih untuk berbaik hati; mengikhlaskannya
saja.
Kedua,
setelah melihat-lihat di lantai dua pasar Genteng, di tempat parkir
saya membayar. “Duaribu, Pak,” kata si tukang parkir, kali ini
usianya masih muda.
“Lho,
bukannya di karcis tertera seribu rupiah?” saya protes.
“Iya,
Pak. Tetapi duaribu,” katanya teguh pendirian.
Iya,
wis. Sekali lagi saya mengalah. Jaman sekarang, uang seribu dapat
buat beli apa sih?
Ketiga,
sebelum balik ke tempat kerja, saya ke PMI. Selepas donor darah, di
tempat parkir, saya menyerahkan karcis dengan tanpa saya sertai uang.
Karena di kertas parkir memang tertulis; gratis. Tetapi, seorang yang
mengambil motor sebelum saya, terlihat menyertakan uang seribu rupiah
ke tukang parkir PMI di Embong Ploso ini.
Begitulah.
Diantara betir-butir keringat tukang parkir, ada 'rezeki tambahan'
yang terus mengalir. Padahal, selembar karcis resmi, bisa dipakai
berulang-ulang kali. Lalu, kemana kelebihan pembayaran itu menuju?
Dan berapa jumlah rupiah yang harus mereka setorkan ke pihak yang
berwenang?
Kekurangan
kembalian dari yang dibayarkan, karena jumlahnya tidak seberapa,
kadang dengan terpaksa diikhlaskan. Tetapi apakah sebentuk keikhlasan
namanya bila itu dilakukan dengan terpaksa? *****