DUA hari yang lalu (8 Januari) tempat parkir motor Plasa Marina terlihat penuh. Saya kira, ini dikarenakan hari Minggu, masih terhitung tanggal muda pula. Menjadikan banyak orang punya waktu dan dana untuk belanja handphone dan sejenisnya. Begitulah, plasa yang dulunya bernama Sinar Fontana ini dan sempat terbakar habis (ketika itu gerai McD baru buka seminggu disitu), kini makin mengukuhkan diri sebagai tempat berbelanja barang IT, khususnya HP. Di Surabaya , kalau saya tidak salah, HiTech Mall masih menduduki peringkat pertama untuk tempat sejenis. Disusul WTC baru kemudian Plasa Marina ini.
Saya lihat, mereka yang akan masuk plasa telah pula menenteng HP. Perkiraan saya, mereka akan tukar tambah ke barang yang lebih baru, dengan segala fiturnya yang menggoda. Tetapi saya kesini tidak dalam rangka itu. Saya masih terlalu cinta dengan N1100 yang sekarang masih setia menemani kemana pun saya pergi.
Masih ditempat itu, tepatnya disudut pintu tempat parkir yang berada diseberang apartemen Puncak Marina, dibawah rimbun bambu hias, saya dapati seorang bapak dengan dagangannya. Sebuah jajajan tradisional, yang sepertinya, sungguh telah ketinggalan zaman.
Memandangnya, menjadikan saya melemparkan ingatan kemasa lalu. Ketika kemanapun ayah saya pergi, pulangnya, selalu saja sebungkus bipang cap Jangkar sebagai oleh-olehnya. Sekalipun begitu, sebagai anak-anak, bukan main riangnya saya. Kini, anak-anak saya, saban hari diiming-imingi aneka jajan produk industri yang berseliweran di iklan televisi. Dengan kemasan yang menarik, dengan harga yang 500 perak sebungkus pun ada. Lengkap. Termasuk, tentu saja ada MSG sebagai penggurihnya.
Bandingkan, coba, dengan jajanan yang dijajakan bapak tua didepan saya ini.
“Harganya lima ribu rupiah dua bungkus,” begitu pak Sagi (55 tahun) ketika saya tanya.
Saya hitung, sebungkusnya berisi delapan keping tipis sejenis kripik yang dibikin dari parutan ketela ini. Tipis saya. Tak lebih dari satu milimeter.
Mahal, tentu saja, bila dibanding Biskuat, Oreo, Gerry Chocolatos dan semacamnya. Lagian, soal kemasan dan rasa si jajan kuno itu pun kalah telak.
Tetapi, samiler (begitu nama dagangan bapak tua itu saya kenal) masih sering saya lihat dijajakan orang dikota ini. Dan, setiap kali mereka saya tanya asalnya, selalu saja jawabannya sama,”Saya dari Blora.”
Bapak Sagi tersenyum,”Kami memang sekampung,”terangnya sambil menghitung uang kembalian yang akan diberikan kepada seorang pembeli. “Musim hujan begini rada sepi, mas.”
Lebih lanjut ia berkata, dagangan ini tidak dibuatnya sendiri. Tetapi dari membeli keseorang juragan dikampungnya.
“Ambil dagangan dulu lalu dibayar belakangan. Begitu?” tanya saya.
“Tidak, mas. Beli kontan. Lalu, kita yang muter menjajakan. Habis ndak habis ya ditanggung sendiri,” kata pak Sagi yang mengaku mempunyai tiga orang anak (perempuan semua) dan cucu satu yang juga perempuan.
“Sekali berangkat bapak bawa dagangan seberapa?” saya bertanya.
“Ya ndak mesti, mas. Tergantung berapa kita punya duit untuk kulakan,” jawab pak Sagi yang mengaku rata-rata seminggu sekali pulang untuk kulakan.
|
Pak Sagi sedang menata dagangannya. |
Ketika saya desak untuk menyebut berapa nominal harga barang dagangan yang dibawanya kekota, lagi-lagi dengan tersenyum pak Sagi menghindar.”Saya ndak menghitung, mas. Karena kalau dihitung-hitung, malah jadi males kerja. Soalnya dari kulakan dan hasilnya ndak mbejaji. Ya, asal dapat dikit-dikit untuk makan,” kata pak Sagi yang kalau malam tidur di masjid Mapolsek Wonocolo ini.
Tetapi ketika ia bercerita telah melakoni pekerjaan ini lebih dari sepuluh tahun, tentu ada pendapatan darinya yang bisa menjadi sandaran. Sekalipun, pak Sagi bilang, ia melakukan itu disela kegiatan rutinnya sebagai petani. Sekarang ini dikampungnya, desa Bogowanti kecamatan Ngawen, Blora (Jateng) sudah selesai musim ‘tandur’. Sambil menunggu musim panen, ia dan beberapa orang sekampungnya, ke kota untuk berjualan.
Seperti bumi, hidup juga berputar. Dalam putaran itu, dengan utun pak Sagi dkk berusaha menyusupkan agar samiler lebih familier ke lidah orang kota masa kini.
Ada, kadang, hal-hal kecil yang bisa memantik setitik motivasi didapat bukan dari para motivator yang tampil di televisi. Dan sekarang, setelah pertemuan sore itu, saya sedang mencari-cari; adakah yang bisa saya petik dari pak Sagi.
Salam.*****