DALAM pulang
'kampuang', seringkali saya tidak memberi kabar dulu. Bukan apa-apa. Termasuk bukan
ingin mengejutkan orang tua yang sudah sekian waktu tidak saya sambangi. Bukan.
Saya hanya tidak ingin membikin repot saja.
Dalam pulang itu, selain rindu kepada orang tua, ada pula
rindu akan suasana desa. Termasuk, tentu saja, kangen kulinernya. Pernah,
ketika pulang dulu, ibu ingin menyambut anak gantengnya ini (ekhm, ekhm...)
dengan memasak istimewa. Kala itu beliau akan bikin opor ayam. Tentu saya
larang. Di kota, nyaris saban hari saya makan daging ayam, sekalipun itu ayam
potong. Di kampung saya akan dimasakkan ayam? Tidak, tidak. Sekalipun itu ayam
kampung, dan sekalipun itu peliharaan Ibu dan Ayah sendiri.
Saya malah ingin menikmati masakan yang jarang sekali saya
temui di kota; misalnya eseng-eseng genjer, atau tumis pakis, atau botok
lempuyang, atau sayur lompong atau pecel kembang turi. Dimakan bareng nasi hangat,
lengkap dengan ikan asin. Hmmm, mak nyus....
Entahlah, semakin sering memakan daging ayam, semakin ia
terasa biasa. Padahal saat saya kecil dulu, makan daging ayam itu ruarrr biasa enaknya. Maklum, kalau Ayah
tidak sedang ada undangan kenduri, tak bakalan lidah ini merasakan gurihnya daging
ayam.
Dua minggu yang lalu saya pulang dengan rencana yang demikian;
diam-diam. Saya hanya cerita kepada adik saya yang juga tinggal di Surabaya. Nahasnya,
saat kakak saya yang tinggal di Bali menelepon, adik saya keprucut ngomong kalau saya akan mudik. Begitulah yang akhirnya
terjadi, gethok tular. Ketika kakak saya
yang di Bali itu menelepon tetangga depan rumah, ia bicara pula kalau saya akan
pulang. Intinya, kabar kepulangan saya itu akhirnya sampai juga ke Ibu.
Maka, yang terjadi ketika saya sampai rumah, ada kesibukan
di dapur menyambut saya; Ibu bikin rempeyek kacang sedemikian banyak. Dan tak
mungkin itu akan habis saya kunyah dalam kepulangan saya yang hanya menginap
semalam. Jadi?
“Kalau kamu pulang besok, Ibu titip ini untuk anakmu dan
anak adikmu. Ibu tahu mereka pada suka makan rempeyek,” kata ibu yang saya perhatikan kulitnya sudah semakin penuh wiru, keriput dimakan usia.
Sungguh, Ibu saya –sebagaimana Ibu Sampeyan—sangat menyayangi cucu-cucunya. Beliau sampai hapal betul apa
saja kesukaan cucu-cucunya. Cinta untuk mereka itu bisa diwujudkan bermacam-macam.
Dan kali ini Ibu saya mewujudkan cinta itu dalam bentuk rempeyek. Adakah yang
salah? Tentu tidak. Tetapi masalahnya adalah; saya pulang ini naik motor. Yang tentu
bisa mengakibatkan rempeyek yang dibikin spesial dengan ukuran lebar-lebar itu
akan remuk redam dibawa menempuh perjalanan nyaris sepanjang 200 kilometer!
Begitulah kasih orang tua. Dan itu bukan sekali itu saja
saya alami. Dulu pernah saya dikasih oleh-oleh ubi goreng saat akan pulang
balik ke Surabaya. Sekalipun di kota mudah sekali saya membeli ubi goreng atau
rempeyek, sepertinya kasih Ibu sangat sulit –kalau malah bisa dibilang tidak
mungkin—didapatkan di tempat lain. *****