AWAL punya receiver DVB-T2 dulu, rutinitas yang sering saya lakukan adalah scan receiver. Sambil berharap channel bertambah. Harapan yang hampa ternyata. Sekian lama, channelnya itu-itu melulu. MUX yang mengudara juga setali tiga uang. Milik Viva, Emtek dan MNC grup jarang muncul batang sinyalnya. Yang masih ajek hanya milik TransCorp (CT-Corp), Metro dan (tentu saja) MUXnya TVRI. Pun sampai saat ini, ketika saya membuat tulisan ini.
Malam ini, sekian belas bulan setelah tak mengintip channel di saluran digital terrestrial, iseng saya scan. Kali ini tak berharap lebih. Takut kecewa. Toh, untuk siaran televisi, saya sudah punya antena parabola. Yang C-band (Palkom) dan Ku-band untuk nangkap si Ninmedia. Cukup sudah. Walau telah punya 'alat tempur' macam itu, belakangan saya malah jarang nonton tivi.
Lha bagaimana? Nonton bal-balan saya kurang suka. Politik apalagi. Njelehi. Obrolan politik selalu bikin saya gatal-gatal, pusing, meriang dan panas dalam sampai sariawan. Mungkin ada gejala saya mengidap alergi ya. Menonton masing-masing kubu, dalam dialog di layar kaca, terlihat acap menampilkan para pendekar silat lidah. Ada yang sampai mengeluarkan jurus dan ajian yang kadang kurang bisa diterima akal (sehat?) saya. Sinetron? Wih. Baca judulnya saja kadang sudah capek. Azab Suami yang Ditolak Bumi Saat Mati Karena Sering Mendholimi Istri, atau judul lainnya. Yang entah mengapa, suka sekali membuat judul panjang. Atau sengaja menyaingi panjangnya rangkaian kereta api pengangkut tanki BBM Pertamina.
Kembali ke kanal tv digital. MUX yang mengudara masih tak bertambah. Pun demikian channelnya, hanya kurang dari duapuluh. Jadi, jangan bandingkan dengan yang bisa ditangkap lewat Palapa-D. Kalau dibanding konten siaran FTA (Free to Air) di Telkom-4 sih bolehlah diadu jumlahnya. Namun kalau lawan Ninmedia jangaaannn... Pasti telak kalahnya. Belasan vs nyaris seratus.
Lalu apa?
Rabu, 27 Maret 2019
Jumat, 22 Maret 2019
R e w a n g
Suasana rewang dibuat sebagai status WA oleh istri saya. |
Sambil tiduran saya membuat tulisan ini. Tiduran di lantai ruang tamu. Yang sesak oleh tumpukan ini-itu. Persiapan keperluan tetangga depan rumah yang besok punya hajat. Mantu.
Aroma ruang tamu saya laksana aroma dapur perusahaan katering. Ada adonan bumbu rawon, soto dan entah apa lagi. Beginilah hidup di kampung. Yang punya hajat satu orang, yang rewang, yang bantu-bantu, orang satu gang. Ada yang ketempatan jajan, ada yang ketempatan stok air minum, ada yang ketempatan sebagai dapur (seperti di teras dan halaman rumah saya ini).
Suatu hari salah seorang staf sebuah kantor di Bali tidak masuk kerja. "Kemana Bu Nengah kok hari ini tidak masuk?", tanya saya.
"Bu Nengah hari ini ngayah", Mbak Wayan menjawab. "Bapak ngerti ngayah?"
Sebelum saya menjawab, Mbak Wayan menerangkan," Ngayah itu bantu-bantu tetangga yang lagi ada hajatan tapi tak dibayar".
Persis sama dengan istilah Jawa di kampung saya. Termasuk saat kami orang satu gang pada ikutan sibuk bantu-bantu tetangga yang besok hajatan ini.
Serepot-repotnya sekarang, tak serepot orang punya hajat tempo dulu. Saat saya kecil. Di desa. Yang kalau akan menggelar hajatan, hitungan repotnya bukan sekadar hari. Tapi bulan. Dan setiap yang datang membantu, walau tak dibayar, tentu dikasih makan. Juga rokok. Tentu perlu biaya mahal. Tapi kebersamaan, gotong-royong, itu tentu tak ternilai harganya.
Kini, semua serba cepat. Juga simpel. Tendanya sistem knock-down. Cepat sekali bongkar-pasangnya. Dibanding dulu. Yang tendanya masih pakai tiang bambu. Atapnya dari anyaman blarak, daun kelapa. Kursinya juga, masih pinjam punya tetangga. Beberapa hari sebelum hari H, ada yang kebagian tugas mencari sekian banyak daun jati. Untuk pembungkus songgongan, bingkisan berisi nasi lengkap dengan lauk dan jajanan. Kini semua tersedia. Di tempat persewaan alat pesta. Minta yang model apa. Minta yang harga berapa.
Ada lagi yang lebih praktis. Yang punya hajat tak perlu repot. Tinggal diserahkan ke EO. Segala macam urusan. Dari A sampai Z.
Dengan membayar EO, menjadikan tetangga kanan-kiri tak perlu ikut repot ngayah, ikut rewang. Ketempatan ini-itu. Namun yang ikut 'repot' beginilah yang saya suka. Bahwa tak semua kudu dihargai dengan uang. Ada semacam tali yang mesti tak dilepaskan. Tali keterikatan. Bahwa, saudara terdekat adalah tetangga. ****
Langganan:
Postingan (Atom)