Judul buku: Merentang Sajak Madura-Jerman (Sebuah Catatan Perjalanan ke Berlin)
Penulis: M. Faizi
Kata Pengantar: Martin Jankowski
Desain Sampul: Tugas Suprianto
Editor: ?
Cetakan: Pertama, Juni 2012
Penerbit: Komodo Books
SEKITAR satu
setengah tahun yang lalu saya sempat membuat catatan ringan tentang per-FB-an. Apa Arti Sebuah Efbi, begitu saya
memberinya judul. Di situ saya mengajukan beberapa pertanyaan kepada beberapa
teman FB saya. Salah satu yang saya tanyakan adalah tentang pertemanan antar
sesama Facebooker. Dan salah satu
yang saya ‘wawancarai’ ketika itu adalah penulis buku ini, M. Faizi.
Jujur, ketika itu kami belum seakrab sekarang.
Tetapi untuk menjadi semakin akrab tinggal menunggu waktu saja, sepertinya.
Kenapa? Ya bukankah kita akan mudah akrab ketika teman baru kita itu memiliki
kesamaan selera. Begitulah. Selebihnya, “Berteman secara serius, seperti di alam nyata, untuk menambah
wawasan karena kayaknya lebih dari 80% saya kenal dengan teman-teman
FB saya,” demikian jawabnya ketika saya tanyakan tentang tujuannya ber-FB.
Dalam buku
ini (hal. 114-122), saya lebih dalam menemukan fakta dari ucapan itu. Ada
berderet nama sahabat maya yang kemudian bisa berjumpa secara nyata. Ada Martin
Jankowski (festival director Jakarta-Berlin yang mengundangnya ke Jerman), ada
Tolya Glaukos, sahabat Jerman-nya yang lain, ada Nanang WK (teman
yang ketika berangkat sudah menunggu untuk kopi darat di bandara
Soekarno-Hatta, tetapi karena berangkat
kejebak macet sehingga tak memungkinkan untuk sekadar say hello dan menepuk pundak, sebab kalau itu dilakukan berisiko
akan ditinggal terbang Turkish Airlines) yang belum kapok sehingga menunggu
dengan setia ketika penulis buku ini tiba kembali di tanah air. Ada Moko
Boemenz yang di rumahnya akan ia pakai tarnsit untuk bermalam. Semua mereka itu
sahabat maya yang secara nyata (dalam pertemuan nyata) menjadi teman sejati.
Sekali pun begitu, sebuah pertemanan harus pula mendapat
ujian. Misalnya, ketika suatu malam dengan tulus ingin mentraktir minum kopi
seorang teman Jerman, Bertthold
Damshauser namanya. Kolumnis, Redaktur Jurnal Sajak dan pengajar di Universitas
Bonn profesinya. Lemparan tawaran itu benar disambar, namun, “Boleh, boleh.
Tetapi kalau boleh memilih, saya minta dibelikan bir.”
Itu hal kecil, itu hal sederhana. Tetapi bagi seorang muslim
yang taat, membelikan khamr (baca:
bir) bagi orang lain pun adalah sebuah dosa. Peristiwa di Bar & Lounge
Estrel Hotel malam itu bikin mukanya pucat. Jelas, itu bukan soal perbedaan
harga kopi dan bir yang harus dibayar. Melainkan karena kesadaran diri, bahwa
peci hitam nasional sebagai penutup kepala, dan lilitan sorban di leher,
mendadak tidak fashionable di hadapan
bartender itu sesaat setelah berucap, “One
beer, please.”
Untunglah, “Sorry, we
are closed,” jawab bartender itu disambut senyum nakal para temannya. Oh,
dikerjai rupanya (hal. 44).
Jadi, siapa teman sebenarnya? “Jauh atau dekat, sungkan atau
akrab, lama-baru? Asalkan dia mau mengajak pada kebaikan, ya, itulah dia.”
(hal. 122.)
Sebagai sebuah buku catatan perjalanan, buku ini mampu
mengajak pembacanya seperti ikut serta dalam setiap langkahnya. Semua nyaris
tiada terlewatkan dalam catatan. Sampai hal-hal kecil, sampai detil. Tentang
ini, saya telah lama mengaguminya sebagai penulis yang sangat peduli akan ketelitian. (Kebetulan saya sering membaca
catatan perjalannya pada beberapa blog-nya) Di situ kita bisa dapati betapa
waktu, nama-nama (tempat, bis, jalan, dll) ditulisnya dengan akurat. Mulai harga
seporsi rawon di RM Taman Sari II, Subang yang seharga 19 ribu, sampai
secangkir kopi di kedai Turki di kota Berlin yang senilai 1 Euro, dari harga
sebungkus rokok Gudang Garam Signature bercukai dan
berperingatan pemerintah Jerman seharga 6-7 Euro, lama penerbangan
Jakarta-Berlin yang 16,5 jam, sampai lama perjalanan darat (naik bis) dari desa
Guluk-guluk sampai Jakarta yang 28,5 jam!
Tentang angka-angka itu, saya bermaksud tidak sekadar
membacanya, tetapi menghitungnya. Misalnya, lama penerbangan Jakarta-Berlin,
dengan semua data yang ada dalam buku ini, benarkah selama itu? Mulailah saya
menjumlah; Jakarta-Singapura 100 menit (transit di Changi, 1 jam), Singapura-Istanbul
10,5 jam. Sedangkan Istanbul-Berlin ditempuh
dalam 2,5 jam penerbangan. Jadi saya total-total; ‘hanya’ 14 jam 40
menit. Bukan 16,5 jam. (Maaf, saya pun tidak terlalu yakin akan hasil
penjumlahan saya ini, karena nilai pelajaran matematika saat saya sekolah dulu
amatlah buruk).
Biasa makin nasi sementara di Jerman tidak semua ‘warung’
menyediakannya, untuk menemukannya pun perlu perjuangan. Dan sebagai penggemar
nasi yang hanya dimasak dengan cara biasa, ketika dijamu makan secara prasmanan
di Hotel Estrel yang mewah, menghadapi
ikan salmon mentah yang diasamkan, roti, buah, cokelat, selai berbagai rasa,
membuatnya ragu akan yang dihadapinya. Jangan-jangan, selai yang seharusnya
dilibatkan dengan roti, dimakan bersama salad. Kesimpulannya, pengetahuan
tentang apapun sebaiknya dikuasai seorang penyair, agar hidupnya tidak
dihabiskan untuk membangun reputasi dalam sastra tetapi kemudian dihancurkan di
meja makan (hal. 37).
Selain nasi, yang juga sulit (dan jauh) ditemukan adalah
masjid. Sekalipun sangat jarang, masjid masih ada. Sejauh-jauh jarak, toh ada
teman yang mengajaknya, tetapi lupa adalah penyebab kegagalan sholat Jumat. Sesuatu yang sangat disesalinya. Maka,
dengan perasaan malu, ia membatin, “Jumat kali ini saya tidak hadir, Tuhan,”
(hal. 90).
Sebagai sebuah catatan tentang perjalanan seni, buku ini
tentu saja memuat hal-ikhwal festival yang diikutinya. Tentang teman-teman
seniman seperjalannya, Joni Ariadinata (redaktur majalah sastra Horison),
Sosiawan Leak (sastrawan dan seniman teater), juga seniman yang lain, Jamal D.
Rahman. (Empat sekawan seniman yang sempat 'mati gaya' kala nyaris ketinggalan pesawat di bandara Soekarno-Hatta). Tentang penampilan band Krakatau yang memukau, dengan Ubiet sebagai vokalis dengan suara magis-magis genit diiringi Dwiki Darmawan yang bermain piano seperti kesurupan. Sebagai penyair,
penulis buku ini tampilnya ‘hanya’ duduk-duduk saja, berdiskusi sastra. Tetapi,
saya kira, porsi terbesar yang disorot adalah jalan-jalannya. (Termasuk ketika ‘kabur’
dari arena festival di Berlin untuk nyempal ke Leipzeig. Selain untuk ziarah
kubur ke makam Johann Sebastian Bach, meluncur ke kota itu juga untuk sebuah ‘misi
khusus’; mengantarkan kerupuk! (hal. 61-62). Mafhum saja, namanya juga catatan
perjalanan.
Yang tak luput dari bidikannya adalah betapa disiplin
ditegakkan sampai sebegitunya. Sopir bis yang tak segera menjalankan
kendaraannya walau tiada penumpang yang ditunggunya. Satu-satunya yang ditunggu
adalah jam keberangkatannya. Dan itu hanya kurang enam puluh detik! Tidak hanya
waktu keberangkatan yang sangat ditaati, traffict
light pun demikian. Jadi, sesibuk apa
pun lalu-lintas, penyeberang jalan tetap
merasa selalu aman. Bahkan bagi tuna netra sekalipun. Untuk tuna netra ini, ada
kode tersendiri. Pada tiang lampu-lampu penyeberangan, ada speaker yang
berbunyi ‘tok, tok’. Orang yang tuna netra akanmencari sumber suara itu kalau
hendak menyeberang, jika lampu berwarna hijau, ketukan ‘tok, tok’ tersebut akan
semakin kerap. Itulah pertanda saat menyeberang yang aman. (hal. 90) Ini
mungkin salah tulis yang lolos dari pelototon editor. Kalau tidak, berarti di
Jerman, kalau lampu sedang berwarna hijau, memang saatnya untuk menyeberang.
Kalau di sini kan kalau merah.
Penulis yang baik adalah pencatat yang baik, begitu kata sebuah
ungkapan.
Terlepas dari kesalahan (tulis/cetak atau tafsir saya) yang ada, buku ini
tetaplah menarik bagi saya. Maka, ketika sesaat setelah mengkhatamkannya, saya
langsung menulis di dinding Facebook-nya. Dan itu langsung dikomentarinya, “Untuk
khatam butuh berapa lap?” Saya
langsung membalas, “Saya hanya perlu sekali berhenti di pit stop beberapa saat untuk
kemudian ngebut membaca lagi sampai kisah membuat kopi di depan dapur.”
Membaca buku bagus selalu membuat hati senang. Dan sebuah
sensasi kesenangan, bisa membuat seseorang lupa akan rasa capek (hal. 28).
Sekian lama berteman
secara maya, membaca buku ini serasa saya diceritai secara langsung oleh
seorang teman sejati yang baik hati.
Dari yang kemarin-kemarin belum mengenalkan begitu dekat, lewat kata-kata
Martin Jankowski (paragraf pertama pengantar yang berjudul Puisi Dua Belas Ribu Kilometer, hal.
9) saya menjadi semakin hormat.
Wa ba’du, tentang buku ini, tidak
ada alasan bagi saya untuk tidak sependapat dengan kesaksian mendiang Lan Fang, “Tulisan bagus dari laki-laki bagus,” begitu ia bilang.*****