Jumat, 30 November 2012

Nama Lama

PERKARA nama, sekarang makin bagus-bagus saja. Setiap kali mengantar si kecil berobat ke klinik spesialis anak, nama-nama balita yang dipanggil untuk giliran diperiksa dokter selalu saja seperti nama para artis yang sering uncul di layar kaca. Saya kira, asal muasalnya adalah, siapa pemain sinetron kesukaan ibunya, nama itulah yang akan disematkan kepada bayi yang masih dikandungnya. Maka tidaklah heran bila nun (maaf) di desa terpencil sekali pun, kalau di situ orang-orang gemar menonton sinetron, pasti balitanya bernama bak selebrita.

Dalam majalah yang diterbitkan sebuah lembaga sosial yang di situ saya juga menjadi donaturnya, dalam rubrik Tasyakur selalu tertera nama-nama bayi yang baru lahir selalu bagus dan panjang. Kadang perpaduan nama ibu-bapak plus nama artis idola. Maka, sekarang, Salsabila, Azzahra, Aldiano, Olivia dan sejenisnya bukan lagi nama langka. Berbeda dari itu adalah yang ditampilkan dalam kolom Ta'ziyah. Di situ, (sebagian besar telah usia lanjut) nama-nama yang telah berpulang selalu tak panjang. Singkat, padat tapi penuh makna. Maka, bila ia bernama Wagimin, tak sulit bagi kita untuk menebaknya sebagai orang yang lahir pada hari pasaran Wage. Demikian pula untuk Legiman, Ponirah, Kliwon, Paidi, Suro dan semacamnya.

Tentu saja bagi yang tetap ngugemi pakem Jawa begitu, tetapi ingin lebih terdengar modern masih ada cara. Misal, ketika buah hati lahir pada hari Rabu Pahing. Tidak lagi dinamakan Bopai, Paibo atau apa. Dengan sedikit sentuhan, paduan nama itu akan terdengar tidak jadul. Ia akan bernama Rava. Keren, kan? Padahal nama itu kependekan dari Rabu Vahing!

Kemarin (29 November) saya ikutan ta'ziyah atas wafatnya ayah dari seorang teman kerja. Pagi setengah siang yang mendung itu, saya ikut mengantar jenazah sampai ke pemakaman. Di situ, hal yang saya ungkap di atas, lebih menemui kebenarannya. Pada nisan-nisan kuburan tua tertera nama-nama lama. Sementara, nisan pada makam yang ukurannya pendek (makam anak-anak), selalu saja tertera nama-nama bagus. Bagus dan panjang.

“Ternyata di sini, nama-nama yang tertera pada nisan disesuaikan dengan olahraga kesukaan semasa hidupnya,” bisik saya pada seorang teman yang berdiri di dekat saya.

“Masa iya?!” si teman tak kalah berbisiknya.

“Itu buktinya,” saya menunjuk makam tua dengan kondisi yang agak merana. Di situ tertera nama; Mbah Kasti. ****

Kamis, 29 November 2012

Rabu, 28 November 2012

Mengukur Jarak Madura-Berlin


 Judul buku: Merentang Sajak Madura-Jerman (Sebuah Catatan Perjalanan ke Berlin)
Penulis: M. Faizi
Kata Pengantar: Martin Jankowski
Desain Sampul: Tugas Suprianto
Editor: ?
Cetakan: Pertama, Juni 2012
Penerbit: Komodo Books


SEKITAR satu setengah tahun yang lalu saya sempat membuat catatan ringan tentang per-FB-an. Apa Arti Sebuah Efbi, begitu saya memberinya judul. Di situ saya mengajukan beberapa pertanyaan kepada beberapa teman FB saya. Salah satu yang saya tanyakan adalah tentang pertemanan antar sesama Facebooker. Dan salah satu yang saya ‘wawancarai’ ketika itu adalah penulis buku ini, M. Faizi.

 Jujur, ketika itu kami belum seakrab sekarang. Tetapi untuk menjadi semakin akrab tinggal menunggu waktu saja, sepertinya. Kenapa? Ya bukankah kita akan mudah akrab ketika teman baru kita itu memiliki kesamaan selera. Begitulah. Selebihnya, “Berteman secara serius, seperti di alam nyata, untuk menambah wawasan karena kayaknya  lebih dari 80% saya kenal dengan teman-teman FB saya,” demikian jawabnya ketika saya tanyakan tentang tujuannya ber-FB.

Dalam buku ini (hal. 114-122), saya lebih dalam menemukan fakta dari ucapan itu. Ada berderet nama sahabat maya yang kemudian bisa berjumpa secara nyata. Ada Martin Jankowski (festival director Jakarta-Berlin yang mengundangnya ke Jerman), ada Tolya Glaukos, sahabat Jerman-nya yang lain, ada Nanang WK (teman yang ketika berangkat sudah menunggu untuk kopi darat di bandara Soekarno-Hatta,  tetapi karena berangkat kejebak macet sehingga tak memungkinkan untuk sekadar say hello dan menepuk pundak, sebab kalau itu dilakukan berisiko akan ditinggal terbang Turkish Airlines) yang belum kapok sehingga menunggu dengan setia ketika penulis buku ini tiba kembali di tanah air. Ada Moko Boemenz yang di rumahnya akan ia pakai tarnsit untuk bermalam. Semua mereka itu sahabat maya yang secara nyata (dalam pertemuan nyata) menjadi teman sejati.

Sekali pun begitu, sebuah pertemanan harus pula mendapat ujian. Misalnya, ketika suatu malam dengan tulus ingin mentraktir minum kopi seorang teman Jerman,  Bertthold Damshauser namanya. Kolumnis, Redaktur Jurnal Sajak dan pengajar di Universitas Bonn profesinya. Lemparan tawaran itu benar disambar, namun, “Boleh, boleh. Tetapi kalau boleh memilih, saya minta dibelikan bir.”
Itu hal kecil, itu hal sederhana. Tetapi bagi seorang muslim yang taat, membelikan khamr (baca: bir) bagi orang lain pun adalah sebuah dosa. Peristiwa di Bar & Lounge Estrel Hotel malam itu bikin mukanya pucat. Jelas, itu bukan soal perbedaan harga kopi dan bir yang harus dibayar. Melainkan karena kesadaran diri, bahwa peci hitam nasional sebagai penutup kepala, dan lilitan sorban di leher, mendadak tidak fashionable di hadapan bartender itu sesaat setelah berucap, “One beer, please.”

Untunglah, “Sorry, we are closed,” jawab bartender itu disambut senyum nakal para temannya. Oh, dikerjai rupanya (hal. 44).

Jadi, siapa teman sebenarnya? “Jauh atau dekat, sungkan atau akrab, lama-baru? Asalkan dia mau mengajak pada kebaikan, ya, itulah dia.” (hal. 122.)

Sebagai sebuah buku catatan perjalanan, buku ini mampu mengajak pembacanya seperti ikut serta dalam setiap langkahnya. Semua nyaris tiada terlewatkan dalam catatan. Sampai hal-hal kecil, sampai detil. Tentang ini, saya telah lama mengaguminya sebagai penulis yang sangat peduli akan  ketelitian. (Kebetulan saya sering membaca catatan perjalannya pada beberapa blog-nya) Di situ kita bisa dapati betapa waktu, nama-nama (tempat, bis, jalan, dll) ditulisnya dengan akurat. Mulai harga seporsi rawon di RM Taman Sari II, Subang yang seharga 19 ribu, sampai secangkir kopi di kedai Turki di kota Berlin yang senilai 1 Euro, dari harga sebungkus rokok Gudang Garam Signature bercukai  dan berperingatan pemerintah Jerman seharga 6-7 Euro, lama penerbangan Jakarta-Berlin yang 16,5 jam, sampai lama perjalanan darat (naik bis) dari desa Guluk-guluk sampai Jakarta yang 28,5 jam!

Tentang angka-angka itu, saya bermaksud tidak sekadar membacanya, tetapi menghitungnya. Misalnya, lama penerbangan Jakarta-Berlin, dengan semua data yang ada dalam buku ini, benarkah selama itu? Mulailah saya menjumlah; Jakarta-Singapura 100 menit (transit di Changi, 1 jam), Singapura-Istanbul 10,5 jam. Sedangkan Istanbul-Berlin ditempuh  dalam 2,5 jam penerbangan. Jadi saya total-total; ‘hanya’ 14 jam 40 menit. Bukan 16,5 jam. (Maaf, saya pun tidak terlalu yakin akan hasil penjumlahan saya ini, karena nilai pelajaran matematika saat saya sekolah dulu amatlah buruk).

Biasa makin nasi sementara di Jerman tidak semua ‘warung’ menyediakannya, untuk menemukannya pun perlu perjuangan. Dan sebagai penggemar nasi yang hanya dimasak dengan cara biasa, ketika dijamu makan secara prasmanan di  Hotel Estrel yang mewah, menghadapi ikan salmon mentah yang diasamkan, roti, buah, cokelat, selai berbagai rasa, membuatnya ragu akan yang dihadapinya. Jangan-jangan, selai yang seharusnya dilibatkan dengan roti, dimakan bersama salad. Kesimpulannya, pengetahuan tentang apapun sebaiknya dikuasai seorang penyair, agar hidupnya tidak dihabiskan untuk membangun reputasi dalam sastra tetapi kemudian dihancurkan di meja makan (hal. 37). 

Selain nasi, yang juga sulit (dan jauh) ditemukan adalah masjid. Sekalipun sangat jarang, masjid masih ada. Sejauh-jauh jarak, toh ada teman yang mengajaknya, tetapi lupa adalah penyebab kegagalan sholat  Jumat. Sesuatu yang sangat disesalinya. Maka, dengan perasaan malu, ia membatin, “Jumat kali ini saya tidak hadir, Tuhan,” (hal. 90).

Sebagai sebuah catatan tentang perjalanan seni, buku ini tentu saja memuat hal-ikhwal festival yang diikutinya. Tentang teman-teman seniman seperjalannya, Joni Ariadinata (redaktur majalah sastra Horison), Sosiawan Leak (sastrawan dan seniman teater), juga seniman yang lain, Jamal D. Rahman. (Empat sekawan seniman yang sempat 'mati gaya' kala nyaris ketinggalan pesawat di bandara Soekarno-Hatta). Tentang penampilan band Krakatau yang memukau, dengan Ubiet sebagai vokalis dengan suara magis-magis genit diiringi Dwiki Darmawan yang bermain piano seperti kesurupan. Sebagai penyair, penulis buku ini tampilnya ‘hanya’ duduk-duduk saja, berdiskusi sastra. Tetapi, saya kira, porsi terbesar yang disorot adalah jalan-jalannya. (Termasuk ketika ‘kabur’ dari arena festival di Berlin untuk nyempal ke Leipzeig. Selain untuk ziarah kubur ke makam Johann Sebastian Bach, meluncur ke kota itu juga untuk sebuah ‘misi khusus’; mengantarkan kerupuk! (hal. 61-62). Mafhum saja, namanya juga catatan perjalanan.

Yang tak luput dari bidikannya adalah betapa disiplin ditegakkan sampai sebegitunya. Sopir bis yang tak segera menjalankan kendaraannya walau tiada penumpang yang ditunggunya. Satu-satunya yang ditunggu adalah jam keberangkatannya. Dan itu hanya kurang enam puluh detik! Tidak hanya waktu keberangkatan yang sangat ditaati, traffict light pun demikian. Jadi, sesibuk apa pun lalu-lintas,  penyeberang jalan tetap merasa selalu aman. Bahkan bagi tuna netra sekalipun. Untuk tuna netra ini, ada kode tersendiri. Pada tiang lampu-lampu penyeberangan, ada speaker yang berbunyi ‘tok, tok’. Orang yang tuna netra akanmencari sumber suara itu kalau hendak menyeberang, jika lampu berwarna hijau, ketukan ‘tok, tok’ tersebut akan semakin kerap. Itulah pertanda saat menyeberang yang aman. (hal. 90) Ini mungkin salah tulis yang lolos dari pelototon editor. Kalau tidak, berarti di Jerman, kalau lampu sedang berwarna hijau, memang saatnya untuk menyeberang. Kalau di sini kan kalau merah.

Penulis yang baik adalah pencatat yang baik, begitu kata sebuah ungkapan.
Terlepas dari kesalahan (tulis/cetak atau tafsir saya) yang ada, buku ini tetaplah menarik bagi saya. Maka, ketika sesaat setelah mengkhatamkannya, saya langsung menulis di dinding Facebook-nya. Dan itu langsung dikomentarinya, “Untuk khatam butuh berapa lap?” Saya langsung membalas, “Saya hanya perlu sekali berhenti di pit stop beberapa saat untuk kemudian ngebut membaca lagi sampai kisah membuat kopi di depan dapur.”

Membaca buku bagus selalu membuat hati senang. Dan sebuah sensasi kesenangan, bisa membuat seseorang lupa akan rasa capek (hal. 28).

 Sekian lama berteman secara maya, membaca buku ini serasa saya diceritai secara langsung oleh seorang teman sejati  yang baik hati. Dari yang kemarin-kemarin belum mengenalkan begitu dekat, lewat kata-kata Martin Jankowski (paragraf pertama pengantar yang berjudul Puisi Dua Belas Ribu Kilometer, hal. 9) saya menjadi semakin hormat.

Wa ba’du, tentang buku ini, tidak ada alasan bagi saya untuk tidak sependapat dengan kesaksian mendiang Lan Fang, “Tulisan bagus dari laki-laki bagus,” begitu ia bilang.*****

Minggu, 25 November 2012

Pengamen

PENGAMEN tak selalu bermodal suara bagus dan alat musik nggenah. Gitar, dalam hal ini, lebih mendominasi. Tetapi, tentu saja, ada alat lain yang tak kalah lazim. Ia tanpa senar namun sudah tenar; ecek-ecek. Beberapa buah tutup botol bekas yang dipipihkan, lalu dipaku pada sepotong kayu. Kemudian, dengan nada yang tentu saja tak ada jenis A minor atau C, ia hanyalah dikepyek-kepyekkan. Mengiringi lagu Iwak Peyek atau sungguh terpaksa-nya Rhoma. Kalau sudah begitu, terpaksalah saya memberinya beberapa butir koin. Lalu pengamen itu pergi. Pindah ke rumah sebelah, dengan modus yang sama; berlalu begitu dikasih uang sebelum sebuah lagu rampung betulan. Jadi, di sini, agak tidak berbeda ya antara pengamen dan pengemis?

Teman saya yang satu ini lebih menghargai kelompok pengamen. Lebih-lebih yang serius; membawa alat musik komplit, dan bisa menyanyi dengan normal. Tetapi harus bisa memenuhi dua syarat; bisa bernyanyi dangdut, dan bisa menyanyikan lagu Ani-nya Rhoma. Kalau dua hal itu bia dipenuhi, ia akan nanggap lima lagu dan dibayar 10 ribu! (info tambahan; ia menggemari lagu Ani karena nama istrinya Ani).

Sore kemarin, ada kelompok pengamen masuk ke gang kampung saya. Pengamen yang bukan sembarang pengamen. Bukan grup atau kelompok, namun keluarga. Ada bapak, ibu dan anak. Tidak membawa ecek-ecek atau gitar. Tetapi si ibu yang menggendong seperangkat speaker. Bukan untuk berkaraoke dangdut, tapi menyuarakan tabuhan jaranan. Rancak sekali iramanya, cemplang sekali terlontar dari pengeras suaranya.

Sungguh, pengamen jenis ini tidak memerlukan modal suara dari pita suaranya sendiri, hanya aki dan CD serta pemutarnya. Tetapi, tentu saja, harus bisa menari jaranan. Hal ini sudah serng saya dapati di perempatan jalan Jagir, Surabaya. Tetapi yang sampai door to door sekeluarga begini, baru kali ini saya dapati. Pertama, saya nilai sebagai upaya jemput bola yang 'cerdas'. Tetapi, dengan mengajak si anak (taksiran saya, usianya baru tiga tahun) sebagai yang harus mendekati pintu rumah untuk menerima koin pemberian, tentulah ini termasuk eksploitasi terhadap anak.

Agaknya ini diamini oleh banyak orang. Tetapi jeratan ekonomi sepertinya agak tak mengenal yang namanya eksploitasi anak. Yang malah telah akrab menjadi semboyan yang sering kita dengar diucapkan pengamen yang beroperasi di bis-bis adalah sebaris kalimat, “Ikhlas bagi Anda, halal bagi kami...” *****

Selasa, 20 November 2012

Rhoma Irama

SESUATU yang monoton, yang itu-itu saja, bisa jadi akan terasa membosankan. Maka untuk agar tidak sampai ke situasi itu, diperlukan kejutan-kejutan, selingan-selingan.

Prabowo selalu muncul di apa pun momen yang dipandang layak ia muncul, adalah sudah sama-sama kita tahu. Ia, dengan baju yang khas, beberapa hari yang lalu tampil pada sebuah tayangan (iklan) mengucap selamat tahun baru Hijriyah. Pada momen lain, ia pun muncul menyampaikan ucapan yang lain. Tetapi khayalak tentu sudah tahu kenapa ia begitu; demi sebuah cita-cita yang akan ia raih; RI-1.

Tahun 2014 masih dua tahun lagi, tetapi langkah semacam itu tentu diperlukan setiap waktu. Agar khalayak tahu, agar menancap di benak setiap calon pemilih, agar ketika berada di bilik suara saat pemilu nanti, suara dijatuhkan kepadanya.

Dalam kancah itu, Prabowo tidak single fighter. Ada Aburizal Bakrie yang digadang-gadang Partai Golkar untuk maju merebut RI-1. Sebagai pemilik media televisi, tak sulit ia memamerkan visi-misinya. Itu tentu telah digarap matang oleh tim suksesnya. Perkara uang, seperti juga Prabowo, sepertinya bukan perkara berat. Urusan fulus itu, rasanya, lebih gampang ketimbang nama atau sebutan. Makanya, sekarang sedang dibangun ARB sebagai pengakrab panggilannya. Bukan lagi Ical seperti yang selama ini telah dikenal orang.

Ical tentu lebih enak diucap daripada ARB, sebenarnya. Tetapi Ical itu, sungguh akan terdengar lucu bila diucap dalam obrolan orang Jawa. Misalnya, ketika dua orang  'jagongan' membahas calon presiden;

“Kang, tiyang ingkang kadosipun saget dados presiden lan saged mulyaaken kawula alit niku sinten”

“Wah, tamtu Ical.”

“Lho, Ical?! Ical dateng pundi?! Lha menawi Ical mangga sareng-sareng kita padosi...”

Tokoh yang akan meramaikan perebutan kursi presiden itu tak melulu mereka berdua. Ada beberapa; baik yang masih menunggu saat tepat untuk mengumumkannya, atau pun yang beberapa hari ini telah ramai dibicarakan; Rhoma Irama.

Kalau benar akan terjadi, ia adalah raja (dangdut) yang ingin juga merangkap jabatan sebagai Presiden. Tentu sebagai warga negara, ini tidak apa-apa dan sah-sah saja. Dan kalau ada pihak yang belum-belum sudah menilai itu tidak pada tempatnya, itu pun sah-sah pula. Secara hak memang sama, karena sama-sama berasal dari setetes air hina. Nah, apa yang membuat Bang Haji menyusun langkah ikut merebut RI-1?

Pertama mungkin penasaran. Bagaimana mungkin negara yang –seperti digambarkan dalam salah satu syair lagunya-- subur serta kaya-raya ini, masih belum ada pemerataan hasil pembangunan, sehingga yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin. Dengan modal penasaran itu, plus kerja keras, bukan tidak mungkin bang Haji mampu membuat pembuktian. Penasaran yang sangat itu akan, sampai mati pun akan diperjuangkan...

Dan, mari sejenak kita lupakan satrio piningit, dan kita sambut satria bergitar. Aneka pendapat yang meragukan kemampuan Rhoma Irama, anggap saja sebagai badai di awal bahagia. Dengan gelimang ketenarannya, langkah besar itu tidak berarti Bang Haji sedang berjudi. Karena bukankah judi meracuni kehidupan. Tetapi tentu saja, move politik yang sarat taktik dan berlumuran intrik ini mau tak mau membuatnya harus sesekali begadang. Kalau sudah begitu, kebugaran harus tetap terjaga. Dengan olah raga di sekitar rumah, misalnya. Dan yang termurah untuk itu tentu lari pagi. Tua muda semua lari pagi....

Kian hari, kian ada saja konflik horizontal di sini. Tawuran antar kampung, setelah lebih dulu kita akrab degan tawuran antarsiswa. Harus ada sarana pemersatu yang bisa dimengerti para penggemar tikai itu. Salah satunya lewat seni. Sebab; seni adalah bahasa, pemersatu antarbangsa...


2014 masih dua tahun lagi.
Sebuah perjalalan masih panjang. Masih membutuhkan pengorbanan, dan tentu saja perjuangan dan doa. Dan inilah euphoria, yang lahir dari rahim reformasi. Ketika segala kejadian yang datang silih berganti, kadang tak perlu disikapi secara membati buta. Agar kita tak terjebak dalam permainan adu domba. Keadaan ini, di mana sebuah wacana kemunculan Rhoma Irama sebagai capres menyeruak, tentulah bukan tanpa rencana. Tentu ada pihak lain yang sedang merancang sebuah skenario. Dan, Rhoma yang telah pernah membintangi banyak judul film, akan dipasang sebagai aktor utama dalam sebuah 'film' besar Indonesia; sebagai presiden. Pihak-pihak itu, tentulah merencanakan (atau telah membuat) janji ini-itu. Sebagai 'hanya' aktor, Rhoma tentu harus tetap waspada. Jangan sampai sebuah janji yang telah diucap, hanyalah semacam pepesan kosong. Kalau sudah begitu, seperti dalam setiap filmnya, tentu akan sangat pas bila ia menyanyikan lagu ini; kau yang berjanji, kau yang mengingkari, kau yang mulai kau yang mengakhiri.....

'Ojo gumunan', itu nasihat para orang tua.Jangan gampang heran. Sikapilah segala peristiwa dengan wajar-wajar saja. Dan agar jernih dalam menilai setiap keadaan, kita butuh rileks. Butuh santai. Seperti ajakan Bang Haji ini; yuk kita santai agar otot tidak kejang, yuk kita santai agar syaraf tidak tegang.....*****

Ponsel Pikun

NOKIA tua saya ini telah enam tahun setia mendampingi hidup saya. Terhitung ia telah menerima kiriman SMS (mungkin beberapa di antaranya dari sampeyan) sejumlah 15.982 pesan. Dan telah mengirim 7.619 pesan (beberapa di antaranya mungkin untuk sampeyan). Sementara untuk panggilan; ia telah menerima telepon selama 33 jam 26 menit dan 56 detik, dan menelepon (mungkin juga beberapa menit untuk sampeyan) selama 76 jam 43 menit dan 12 detik.

Tidak ada yang aneh tentang itu. Yang agak meleset hitungannya, dan ini saya sadari beberapa hari belakangan ini, adalah tampilan waktunya. Ia, si Nokia tua saya ini, makin pikun saja untuk urusan waktu. Pagi tadi ia meleset 25 menit dari waktu yang semestinya, dan setelah saya cocokkan dengan arloji seorang teman, sore ini ia meleset lagi sejauh 15 menit.

Apakah ponsel juga bisa pikun?

Minggu, 11 November 2012

Menjajal Sinyal Siaran TV Digital


SAYA tidak hapal betul berapa sinyal televisi yang bisa ditangkap pesawat televisi saya. Atau begini saja, kalau sampeyan juga bukan pelanggan televisi berbayar seperti saya, dan hanya mengandalkan antena PF pada umumnya, mari bersama kita hitung berapa stasiun televisi yang ada di kota kita, Surabaya.

Baik, mari kita mulai menghitung; TVRI Nasional (stasiun televisi yang setia bermain di kanal VHF), TVRI-Surabaya (sudah UHF), RCTI, SCTV, ANTV, MNCTV (dulu TPI), GlobalTV, Indosiar, TransTV, Trans|7 (dulu TV7), MetroTV, TVOne (dulu Latifi), SindoTV/ MHTV, KompasTV/bctv, JTV, SBO, BBS, SurabayaTV, ArekTV, MNTV/B-Channel, TV9, Space Toon. Dan harus diakui, dari begitu banyak stasiun televisi yang ada (lokal maupun nasional), yang saban hari kita tonton paling-paling ya stasiun yang itu-itu saja.

Kualitas gambar siaran TV digital begitu cling, bebas 'kepyur'.
(Gambar saya ambil dari tvkuindo.wordpress.com)
Siaran televisi gratisan itu, tentu tak terlalu banyak bila dibanding dengan yang disediakan jaringan televisi berbayar yang gencar sekali menggaet pelanggan baru. Tetapi, konon masih sedikit sekali prosentase orang Indonesia yang berlangganan televisi dibanding negara-negara lain. Ini yang lalu menjadikan beberapa penyedia layanan terus menggenjot jumlah customer. Yang terbaru adalah, kelompok usaha Bakrie tertarik ikut bermain di ladang yang masih dianggap basah ini. Lewat bendera VivaSky, ia akan menantang dominasi Indovision sebagai pemimpin pasar. Dan sepertinya, sebagai pemain baru, VivaSky akan menggunakan momen Piala Dunia 2014 Brasil sebagai salah satu menu andalan jualannya. Karena, sebagaimana kita tahu, Viva (yang membawahi TVOne dan ANTV) adalah juga pemegang hak siar gelaran sepak bola terakbar sejagad itu di Indonesia.

Itu soal lain.
Hal lain yang  juga kita tahu adalah, rencana pemerintah untuk men-switch-off semua pemancar televisi analog pada tahun 2018. Dan sebagaimana juga telah ditetapkan, Indonesia akan menggunakan sistem digital berjaringan. Artinya, siaran televisi itu masih dipancarkan melalui tower-tower sampai menjangkau antena penerima di area tertentu. Beberapa pihak mengatakan ini lebih mahal ketimbang, misalnya, sinyal digital itu langsung dipancarkan dari satelit. Hitungannya, dengan memanfaatkan satu satelit saja, siaran sudah bisa menjangkau semua wilayah Indonesia. Dengan begitu, tidak diperlukan lagi tower-tower di banyak kota.
Yang jelas, nantinya, kalau semua siaran telah berteknologi digital, bagi pemilik televisi analog seperti saya dan belum mampu membeli pesawat televisi keluaran terbaru yang berteknologi digital, harus membeli satu perangkat tambahan sebagai penerima sinyal, kemudian dimasukkan ke pesawat televisi melalui kabel AV. Dengan begitu, kualitas gambar menjadi lebih cling, menjadi lebih bening.

Artikel terkait: Selamat tinggal siaran televisi digital terrestrial.

Yang pening adalah, para pengusaha televisi lokal yang telah menanamkan modal begitu besar sejak pemerintah mengizinkan tumbuh suburnya stasiun televisi bahkan di kota-kota kecil ini. Sebabnya, dengan regulasi itu, ketika semua stasiun harus bersiaran digital, para pengelola televisi lokal itu keberatan membeli perangkat digital yang terbilang mahal. Jangankan membeli peralatan baru, untuk biaya operasioanl saja, sejak berdiri sampai sekarang modal belum impas.

“Sebagian besar stasiun televisi lokal masih pakai teknologi analog. Terus bagaimana alat-alat itu? Apa mau dijadikan besi tua?” tanya Agung Dharmajaya, perwakilan Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI) dalam seminar Siaran Televisi Digital antara Keinginan dan Kenyataan yang digelar di Aula Gedung C Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unair (3/11/12) sebagaimana diwartakan Radar Surabaya.

Dengan alat DVB-T ini kita bisa
menerima sinyal digital untuk
pesawat tv kita yang masih analog.
(Sumber gambar: tvkuindo.wordpress.com)
Tahun 2018 masih lima tahun lagi. Masih ada waktu untuk menabung dan membeli pesawat televisi baru, atau minimal membeli seperangkat set top box yang harganya masih ratusan ribu itu. Beruntung, kemarin saya mendapat kiriman Digital Video Broadcasting- Terrestrial (DVB-T) dari seorang blogger kenalan saya di dunia maya.

Lewat alat itu, saya sempat menjajal sinyal siaran televisi digital di Surabaya. Karena, dengar-dengar, selain TVRI, Metro TV telah bersiaran digital juga di Surabaya. Tentu saja televisi lain segera menyusul, sebagaimana telah beberapa stasiun televisi besar lakukan di Jakarta dan Bandung.

Pemasangan alat DVB-T itu gampang sekali. Alat tipis mungil dengan berat kurang dari sekilo itu hanya membutuhkan daya listrik sebesar 10 Watt. Cara install-nya; kabel antena saya yang masih UHF itu saya cabut dari pantat televisi dan saya colokin ke pantat DVB-T. Terus, ‘hubungan badan’ antara pesawat televisi dan set top box itu saya tautkan memakai kabel AV.

Lalu saya putar pesawat televisi saya pada posisi AV. DVB-T saya ‘on’ kan, kemudian saya setting pencarian otomatis (karena kalau setting manual saya kurang paham, beda banget dengan cara setting manual pada pesawat televisi analog), dan; jreng, jreng! Ada enam siaran tertangkap sinyalnya.  Dan semuanya milik TVRI! Entah kemana MetroTV yang kabarnya telah bersiaran digital di Surabaya.
Kanal TVRI-4, salurun khusus olahraga.
Dari enam sinyal yang ketangkap itu, hanya tiga yang bergambar. Satu; TVRI Nasional,  dua; TVRI-Surabaya. Sementara, tiga; TVRI-3 hanya muncul gambar ‘pelangi’ sebagaimana siaran uji coba sebuah stasiun televisi. TVRI-1, TVRI-2, dan TVRI-4 hanya muncul nama saja.

Mutu gambar digital terlihat lebih jelas. Tidak ada lagi ‘kepyur’ sedikitpun. Karena dalam teknologi siaran digital, hanya ada dua kemungkinan; gambar tertangkap jelas karena sinyal kuat, atau gambar tidak akan nampak sama sekali kalau sinyal kurang kuat. Tidak seperti sistem analog, yang kalau sinyal kurang sempurna, gambar tertangkap berbonus semut berbaris alias remeng-remeng. (ini saya ingat ketika di kampung dulu, dan di kota saya tower pemancar belum ada. Walau orang telah memasang antena sedemikian tinggi, karena jarak kota saya dan Surabaya --tempat menara pemancar-ulang stasiun televisi swasta kala itu berada-- sedemikian jauhnya, maka gambar yang muncul di layar kaca sangatlah kabur. Sekalipun begitu, penonton tidak kabur. Ini dikarenakan, ingin menikmati menu lain setelah sekian puluh tahun hanya menikmati menu olahan TVRI). *****

NB: Anda juga bisa membaca tulisan saya yang khusus bicara tentang dunia televisi di alamat www.sisitelevisi.wordpress.com


Rabu, 07 November 2012

Jumat, 02 November 2012

Spion, Riting dan Klakson


TIADA hari tanpa kejadian kecelakaan lalu-lintas. Dan, seperti selalu saya dengar dari radio Suara Surabaya (sebuah radio yang nyaris semua konsentrasi siarannya memantau kedaan lalu lintas –lewat program andalan Kelana Kota). Yang paling sering terlibat dalam lakalantas itu adalah R-2, dan yang paling besar kemungkinan cedera --atau bahkan lebih dari itu-- adalah pengendara motor. Ini membuktikan, sepeda motor adalah  moda transportasi yang paling tidak aman. Helm pun, kalau tidak dibuatkan UU-nya, ada saja yang tidak mengindahkan untuk mengenakannya. Seolah batok kepalanya sebagai barang tahan benturan!

Semakin hari, semakin banyak saja motor memenuhi setiap ruas jalanan. Sebagai yang gampang sekali mendapatkan kreditnya, plus aneka merek berlomba memproduksi sebanyak-banyaknya, dengan promosi yang sedemikian gencar, dan selain mengaku sebagai yang paling irit tetapi bisa sebagai yang paling kencang larinya. Kemudahan dalam memiliki R-2 ini, sepertinya, tidak berbanding lurus dengan kesadaran pengemudinya dalam mengikuti aturan yang ada.

Asal sudah bisa menjalankannya, nekat saja ia memacu seenak hati di jalanan yang padat. Salip kiri, salip kanan. Terobos sini, terobos sana. Zig kiri, zag kanan. Padahal, sesuai aturan, R-2 telah dibuatkan lajur khusus, lajur terkiri.

Sebagai yang sadar betapa riskannya risiko yang harus ditanggung bila terjadi lakalantas, sebisa mungkin saya mematuhi segala yang dianjurkan. Termasuk menyalakan lampu utama di siang hari, dan tentu saja dengan memakai helm sampai pengaitnya berbunyi ‘klik’. Untuk akan berbelok pun, sejak jarak yang saya rasa cukup, saya juga selalu menyalakan riting.

Misalnya, kalau saya berkendara dari arah Kalirungkut, dan akan belok kanan lewat gang 7 yang menuju rumah saya, sejak sebelum toko Pangestu (berjarak lebih dari lima puluh meter dari mulut gang 7), saya sudah ambil lajur kanan sambil mengedipkan lampu sein. Setiap hari saya mengecek keadaan lampu kendaraan R-2 saya, dan selalu mendapati semua berfungsi normal. Tetapi, sekali pun saya sudah menyalakan lampu tanda akan berbelok kanan, saya tidak percaya begitu saja.

Saya juga harus melirik spion. Ini penting, sangat penting. Karena tidak jarang, sekali pun saya sudah menyalakan lampu sein, ada saja yang ‘menyalip’ saya lewat sisi kanan. Dengan begitu, kalau saya hanya percaya pala lampu riting, bukan tidak mungkin akan terjadi senggolan. Karena si penyalip itu tiba-tiba wuzzz... dengan kecepatan tinggi.

Ada juga sih yang agak sopan. Sekalipun saya sudah kasih tanda akan belok kanan, dan saya lirik lajur sebelah kiri saya dalam kondisi aman, tetap saja ada yang menyalakkan klakson seolah minta izin kepada saya untuk menyalip dari sisi kanan.*****