"Sidoarjonya mana, Mas?" tanya saya kepada lelaki kekar berambut gondrong yang merekrut dua pekerja asli Bali dalam usaha perkleponannya.
"Saya asli Krembung," jawabnya sambil tangannya cekatan membuat bulatan dari adonan tepung ketan yang selalu diwarna hijau itu. Tak lupa, sebelum dimasukkan ke dalam air mendidih, dimasukkan cairan gula merah ke dalam kleponnya. Cairan gula merah itu yang memuncratkan rasa manis di lidah saat klepon diceplus.
Ketika saya cerita tentang Klepon Sidoarjo yang dibuat lelaki asal Krembung itu kepada salah satu penjual klepon di Gempol, "Iya, Pak Wahyu, pelopor penjual klepon disini, juga asal Krembung," papar lelaki bersarung dan berkopyah putih itu.
Selain klepon, biasanya pedagang di Gempol juga menjual krupuk upil. (Foto: ewe) |
"Dulu yang pertama jualan klepon disini ya Pak Wahyu itu", Abah menerangkan. "Kami belum bisa bikin. Nah, dari Pak Wahyu pula kami belajar bikin klepon."
"Tapi," saya bertanya lagi,"Kenapa semua pedagang klepon disini kok sampai sekarang memakai nama Wahyu?"
"Karena kalau pakai nama lain, orang kurang tertarik untuk membeli," jawab Abah. "Lagipula, Pak Wahyu gak apa-apa kok namanya kita pakai. Malah beliau juga masih jualan klepon hingga sekarang."
"Lalu apakah penjual klepon disini pada membayar kepada Pak Wahyu karena menggunakan nama beliau?"
"Tidak".
Nah, kalau dilihat menggunakan logika bisnis kekinian, tentu Pak Wahyu dapat royalti dari punggunaan namanya sebagai merk. Dan beliau bisa ongkang-ongkang momong cucu tanpa perlu jualan klepon lagi. Cukup jual nama saja.
Ingin saya bertemu Pak Wahyu yang baik hati itu untuk ngobrol ringan tentang klepon, semoga suatu hari nanti keturutan. Pelan-pelan saja. Alon-alon, waton klepon.****