“KACAU,
Kang, kacau...” dengan wajah lungset
Mas
Bendo datang.
“Apanya yang kacau, nDo?” sambut Kang Karib
menyongsong Mas Bendo yang seperti tujuh hari tujuh malam tidak
tidur.
“Kita akan kembali ke jaman purbakala, Kang,” belum
separuh rokok dihabiskan, sudah ia lemparkan. “saya sebagai rakyat
sungguh disepelekan oleh si wakil yang tak tahu diri itu...” Mas
Bendo merogoh saku dan mengambil rokok untuk disulutnya lagi.
“Kamu
itu,” nada suara Kang Karib seperti berusaha mendinginkan kepala
Mas Bendo yang mongah-mongah,”tak
usahlah terlalu risau akan keadaan yang sudah terlanjur.”
“Sampeyan
itu, Kang,” sanggah Mas Bendo. “bagaimana aku tidak risau; kok
bisa-bisanya si wakil bilang, rakyat (termasuk aku itu, Kang) belum
siap memilih pemimpinnya secara langsung. Lha,
apa itu tidak melecehkan jutaan rakyat Indonesia, Kang. Mbokya
mikir, apa itu tidak kebalik; mereka yang tidak siap akan kenyataan
bahwa sekarang rakyat sudah pada pinter. Buktinya, walau saat Pilkada
ada calon yang menghambur-hamburkan sembako atau amplop agar dipilih,
rakyat akan menerima itu tetapi tidak memilihnya” Mas Bendo bicara
seperti rangkaian kereta barang.
“Tindakan
itu, dengan menerima tetapi tidak memiihnya itu, apa juga tindakan
bijak?” Kang Karib memandang Mas Bendo. “Apa tidak lebih baik,
misalnya, kalau tidak sreg
memilihnya,
ya jangan diterima sembakonya?”
“Ya,
biar mereka kapok, Kang,” sanggah Mas Bendo. “Lha sekarang,
ketika dalam Pikada, hajat yang biasanya dilakukan rakyat secara
langsung, kembali dilakukan oleh wakil yang pada praktiknya sering
tidak sesuai dengan kehendak rakyat yang diwakilinya, apa juga tidak
malah menyuburkan politik uang, atau barang yang lainnya. Logikanya
kan begini, Kang, bagi para poltisi yang ngebet betul untuk menjadi
Bupati atau Walikota atau Gubernur, kan lebih mudah (dan murah)
'membeli' suara wakil rakyat yang jumlahnya tak seberapa itu
dibanding membeli suara rakyat sak
kabupaten atau sepropinsi yang sudah cerdas-cerdas.”
“Nah,
lalu sekarang piye,
saat RUU itu sudah diketok menjadi UU?”
“Ya
kita harus menggugat, Kang.”
“Menggugat
kemana lha
wong
katanya, dua-duanya itu, Pilkada langsung dan Pilkada lewat DPRD itu
semua konstitusional?”
“Embuhlah,
Kang. Pokoknya saya harus bergerak. Sampai saya mendapatkan kembali
hak saya sebagai rakyat untuk dapat memilih pemimpin saya secara
langsung. Saya sudah terlanjur tidak percaya kepada para wakil saya.
Paling tidak, lima tahun lagi, saat Pemilu Legislatif digelar, saya
akan ajak orang-orang untuk tidak memilih caleg dari partai-partai
yang kemarin itu ngotot mengegolkan RUU itu menjadi UU yang sungguh
sangat melecehkan saya sebagai rakyat.” *****