rek ayo, rek
mlaku-mlaku nang mBlauran
rek ayo rek
ayo tuku buku lungsuran....
SELAIN di kawasan Kampung Ilmu yang terletak di jalan Semarang, di Surabaya ini juga terdapat tempat lain yang menyediakan buku bekas atau
lungsuran. Tempatnya di Pasar Blauran, namanya
Bursa Buku Bekas.
Untuk menuju ke tempat ini sangatlah tidak sulit. Terletak di segi empat emas Praban-Bubutan-Kranggan-Blauran, ia secara gampang dijangkau angkutan kota. Kalau Anda dari arah terminal Bungurasih, Anda bisa naik bis kota jurusan Tanjung Perak yang via Tunjungan Plaza/Embong Malang dan Anda bisa turun persis di kawasan Blauran.
Betul, di sepanjang Blauran memang banyak sekali berjejer toko-toko emas. Berjalanlah terus ke arah stopan/lampu merah. Beloklah ke kiri; disitu ada gerbang depan Pasar Blauran. Letaknya persis berhadapan dengan pusat perbelajaan
BG Junction.
Begitu masuk langsung disambut berderet pedagang jajanan tradisonal. Ada lemper dan aneka kue basah lainnya. Begitulah memang, selain di Pasar Kembang, disinilah dengan gampang kita mendapatkan aneka kue tradisonal.
Baiklah, Anda ingin menuju ke Bursa Buku Bekas, gampang, saya tunjukkan arahnya. Lewatilah saja para pedagang kue-kue itu. Nanti, setelah Anda mendapatkan buku-buku yang Anda cari, bolehlah melepas penat sambil menikmati aneka kuliner di situ. Berjalanlah lurus, lalu belok kiri sedikit. Nah, disitulah lapak-lapak penjual buku bekas berada.
Anda mau mencari buku apa? Buku pelajaran SD? Ada. SMP dan SMA? Juga ada. Buku anak kuliahan, pengetahuan umum, tema agama, novel dewasa,
teenleet sampai majalah sastra
Horison? Dijamin ada. Dan lazimnya sebuah pasar, bandrol harga secara pasti tidak ada. Yang terjadi adalah hukum tawar-menawar; semakin Anda pintar menawar, semakin murahlah harga buku yang Anda dapatkan. Dan bersiaplah untuk membayar sedikit mahal bila Anda kurang piawai menawar.
Sekalipun bernama Bursa Buku Bekas, bukan berarti tidak tersedia buku-buku baru. Namun, kalau boleh saya menyarankan, untuk membeli buku baru, belilah saja di toko-toko buku. Kenapa? Saya duga, yang dinamakan buku baru disini adalah buku-buku bajakan. Dan bukankah kalau kita membeli buku bajakan itu sama saja dengan kita tidak menghargai jerih payah para penulis dan penerbit resmi. Buku bajakan itu, yang isinya
jan mak-plek sama dengan buku asli itu, sama sekali tidak mengalirkan
royalty kepada sang penulis. Padahal, para penulis itu (lewat buku-bukunya) juga butuh profit (rupiah) disamping benefit (faedah).
"Liburan kemarin lumayan ramai, Mas?" saya bertanya kepada Mus (35) salah seorang pedagang buku yang baru saya kenal.
"Sepi, Mas," jawab ayah dua anak asal Talun, Blitar, yang beristrikan perempuan asal Tanggul, Jember ini.
Perkiraan saya, karena anak-anak sekolah pada libur dua minggu kemarin, mereka pada mencari buku untuk menemani libur mereka. Ternyata, "Mereka kan pada tamasya, Mas, jadinya penjualan sepi sekali. Malah pernah sehari kita cuma dapat tujuhpuluh ribu." papar Mus yang saban hari bertiga dengan Ari (25) asal Wonogiri dan Eko (26) asal Solo.
Mendapati omzet penjualan yang cuma segitu, aku Mus, sering kurang enak sama majikan. Ya, mereka bertiga memang hanya sebagai penunggu, dagangan itu milik majikan orang Sidoarjo yang juga memiliki stan di Kampung Ilmu jalan Semarang. Masa ramai penjualan buku, papar Mus, adalah saat akan masuk tahun ajaran baru. "Dalam sehari kita bisa mendapatkan tujuhratus ribu atau lebih," imbuh Mus yang sudah sepuluh tahun menjadi penunggu stan dan mengaku dibayar limapuluh ribu rupiah sehari.
Saya mengedarkan padang dan berjalan mengelilingi stan satu dan lainnya. Betul kata Mus, lumayan sepi memang. Ada
sih satu-dua (saya kira mahasiswa) yang mencari buku yang diperlukan. Atau seorang ibu yang datang ke stan Mus saat saya kembali asyik
jagongan, "Saya cari buku terjemahan kitab
Riyadush Sholihin," kata perempuan berjilbab berusia sekitar 45-an. "Untuk nambah pengetahuan," katanya ketika saya tanya.
Eko, teman Mus dengan ramah bilang, "Oh, ada. Tunggu sebentar," lalu
priyantun Solo itu bergegas menuju ke stan lain untuk mencarikan buku yang dimaksud si Ibu. Begitulah, sudah lazim terjadi pedagang menjualkan dagangan pedagang-pedagang lain. Dengan begitu, jarang mereka bilang 'tidak punya' kala ada orang mencari buku tertentu.
Tawar menawar harga pas tancap gas, kata Iwan Fals. Di Bursa Buku Bekas Blauran ini pun begitu; tawar menawar harga pas masuk tas.
Oke, beli buku sudah. Sekarang saatnya menikmati aneka kuliner di situ. Saran saya, cobalah rujak cingur. Atau soto, atau rawon atau lontong balap. Minumnya? Ada dawet dan aneka minuman lainnya. Terserah selera, pokoknya. Tetapi jangan lupa, karena saya telah menjadi
guide Anda dalam jalan-jalan ke Blauran kali ini, untuk yang saya makan ini (sepiring rujak cingur dan semangkok es campur), saya minta Anda yang bayar. Bagaimana,
deal?...*****