SEIKAT bayam yang
dijajakan abang sayur dari pagi hingga siang dan gak laku,
begitulah wajah Mas Bendo. Layu stadium empat.
“Kok loyo begitu, ada
masalah opo to, nDo?” Kang Karib menyambut.
“Aku sedih, Kang,”
lirih Mas Bendo berkata. “bagaimana sedihku tidak menembus ke
sumsum tulang bila rajaku, panutanku, yang petuah-petuahnya telah
meluruskan aku dari jalan keliru, kini justru tertimpa cobaan; darah
dagingnya sendiri terjerumus mirasantika...”.
“Apakah kamu tidak
berniat menaikkan status sedihmu itu menjadi marah?” pancing Kang
Karib. “Karena, bukankah kurang elok bila suka bernasihat ke orang
sekerajaan, eh anak sendiri malah ketangkap...”.
“Marah? Apakah dengan
marah bisa menyelesaikan masalah?” umpan lambung Kang Karib
dipotong oleh Mas Bendo. “Marah tidak, kecewa iya”, lanjutnya.
“Sudahlah, nDo, dibikin
santai saja. ♪♫ yuk kita santai agar otot tidak kejang, yuk
kita santai agar syaraf tidak tegang...♫♪...”.
“Jangan ngejek gitu,
Kang...”
“Ngejek gimana. Kamu
pikir rajamu itu akan stress menghadapi ini. Tidak akan, nDo. Dengar
nasihatnya: ♪♫ streessss... obatnya iman dan takwa...♫♪”.
“Wis, wis, Kang”, Mas
Bendo berniat beranjak. Namun,
“Mau kemana kamu, nDo?”
“Mau mencari teman lain
yang bisa bikin adem, yang bukan malah ngece seperti
Sampeyan”, sungut Mas Bendo.
“Iya, nDo. Tapi ingat:
♪♫ mencari teman memang mudah, pabila untuk teman suka.
Mencari teman tidak mudah, pabila untuk teman duka...♫♪”.
Mak klepat, Mas
Bendo pergi. Hatinya nggondok. ,”Ter-la-lu...”, umpatnya
tertuju untuk Kang Karib. *****