Sepatu Dahlan Gambar: Google Images |
Penulis: Khrisna Pabichara
Penerbit: Noura Books
Cetakan Pertama, Mei 2012
390 hlm.; 14 x 21 cm
SETIAP penulis
mempunyai cara
sendiri untuk membuat cerita fiksi. Salah satunya, yang saya tahu,
menggunakan resep para jurnalis. Resep itu cukup manjur. Pertama,
agar sebuah cerita menjadi sedemikian hidup walau itu hanyalah rekaan
semata. Kedua, ini tidak kalah penting, agar semua alur cerita tertata
secara runut dan dapat dengan mudah menjawab keingintahuan pembaca.
Ya, resep itu lazim disebut sebagai 5W+1H.
Pada cerita fiksi
macam itu, penulis
setelah menentukan plot dan tokoh-tokohnya lengkap dengan
masing-masing karakter, membuat pertanyaan kepada masing-masingnya.
Tentu memakai kaidah 5W+1H itu. Tetapi karena semua seratus persen
adalah fiksi semata, pertanyaan dan jawabannya itu hanyalah sebuah
wawancara imajiner belaka. Bagaimana tidak, karena yang bertanya dan
yang menjawab adalah sang penulis sendiri. Dan hal itu dilakukan agar
sebuah penciptaan (cerita fiksi) menjadi lebih gampang dan cepat.
Buku Sepatu
Dahlan ini pun
dibangun dengan cara yang sama. Yang membedakan hanyalah wawancara
yang dilakukan oleh Khrisna Pabichara terjadi secara nyata. Ia,
selain mewawancarai tokoh utama, juga melakukan riset mendalam dengan
menemui orang-orang (baca: saksi mata) kehidupan masa kecil Dahlan
Iskan, menginap di kampungnya dan sampai-sampai menelusuri rute
perjalanan Dahlan Iskan dari rumah ke sekolah yang 6 kilometer sekali
jalan itu. Dengan itu, tentulah tidak berlebihan bila dikatakan novel
ini lebih mempunyai 'nyawa'. Ruh-nya betul-betul terasa. Karena
ditulis dengan totalitas oleh seorang Khrisna yang terbilang mumpuni.
Tetapi, “Buku ini
bukan kisah nyata.
Bukan biografi. Namun isinya terinspirasi oleh perjalanan hidup
saya,” demikian kata Dahlan Iskan pada lounching buku ke 14
(tetapi novel pertama) dari Khrisna Pabichara ini.
Jelas sudah, bagi
yang berharap
menemukan gaya penulisan Dahlan Iskan di buku ini, silakan untuk
bersiap kecewa. Karena buku ini ditulis oleh orang lain. Tetapi,
sekali lagi, karena dikerjakan sepenuh hati oleh seorang yang
mumpuni, kita akan diajak berkelana ke masa lalu Dahlan Iskan dengan
alur yang mengalir, dengan setiap butir kisah dibangun lewat sentuhan
sastrawi, menjadikan (bisa-bisa) pembaca akan seperti kena candu.
Bagi yang sudah
pernah membaca buku
Ganti Hati yang ditulis Dahlan Iskan (diterbitkan pertama oleh
JPBooks, Oktober 2007), Prolog dan Epilog buku ini mungkin akan
menggugah kembali ingatan Anda tentang saat-saat menjelang dan
sesudah Dahlan Iskan melakukan operasi cangkok hati di sebuah Rumah
Sakit di Tiongkok sana. Tetapi sekalipun buku ini diniatkan 'hanya'
sebagai novel fiksi, dengan Prolog dan Epilog itu (masing-masing
berjudul 18 Jam Kematian dan Mimpi Baru) sudah diolah
sedemikian rupa, akan sangat sulit sekali melepaskan diri dari
kenyataan bahwa bagian itu adalah merupakan kisah asli.
Jujur saya akui,
saya tertarik membaca
buku ini karena sebagai anak kampung dengan keadaan yang miskin,
dulu saya juga pergi-pulang sekolah dengan berjalan kaki, juga
bersepatu bekas yang ujungnya sudah jebol. Dengan membaca buku ini,
seolah saya sedang membaca kisah saya sendiri. Tetapi kalau
beranggapan buku ini hanya layak dibaca oleh orang yang berlatar
belakang miskin seperti saya, tentu saja keliru. Bahwa kemiskinan itu
pernah dialami, biarlah saja itu. Namun ketika sebuah keadaan yang
susah itu tidak dihadapi dengan 'cara susah' tentu adalah sebuah
pencerahan. Dan buku ini, nyaris setiap lembarnya adalah bicara
tentang itu. Tentang sebetapa pun miskinnya, harus selalu pantang
menyerah.
Dibaca sekarang,
saat orang tua sibuk
memilihkan sekolah lanjutan untuk anak-anaknya, buku ini memberi
cerminnya. Bahwa ketika sebagian besar orang tua ingin anaknya
sekolah negeri dan cenderung menjadikan pesantren sebagai alternatif
terakhir disinggung pada bab pertama yang diberi judul Tanah Tebu.
“Bapak tahu, Le,
tapi kamu
harus tahu diri. Harus tahu kemampuan orang tua. Kalau di pesantren
Takeran, biaya lebih ringan,” tegas Bapak. (hal 20)
Sekalipun dengan
biaya murah begitu,
dengan tidak melarang Dahlan sekolah hanya bertelanjang kaki saja
begitu, hari pertama mendaftar sekolah ke Pondok
Pesantren Sabilil Muttaqin
ini sudah disambut tulisan yang ditempelkan didinding. Bukan
sembarang tulisan. Karena tulisan itu kalau bisa meresapkannya ke
dalam jiwa, akan menjadikan setiap kita lebih bermakna.
Ojo kepingin
sugih, lan ojo wedi
mlarat, juga sumber bening ora bakal nggolek timba.
(Jangan ingin kaya, dan jangan takut miskin. Sumur bening tidak akan
mencari timba.)
“Pilih ngendi,
sugih tanpa iman
opo mlarat ananging iman?”
Dengan tegas aku
menjawab, “Sugih
ananging iman, Pak.” (hal. 31)
Begitulah, dialog
dibangun dengan
ringan tetapi sarat makna. Juga ketika Dahlan sepulang sekolah dan
masih ngos-ngosan, karena berjalan tanpa alas kaki sejauh 6 kilometer
dibawah terik matahari, sekalipun Ibu karena kasihan menyilakan agar
tidur sebentar, “Ndak ada waktu, Bu. Harus nyabit (mencari
rumput untuk pakan ternak, pen) lagi.”
Tentang telapak
kakinya yang selalu
kepanasan pergi-pulang sekolah hanya nyeker begitu, impian
terbesar untuk mengurangi penderitaan macam itu adalah ingin memiliki
sepatu.
Setengah sadar aku
bergumam, “Coba
aku punya sepatu.....”
Ibu tertegun,
meletakkan canting (alat
untuk membatik, pen), dan menatapku sedih. “Kita boleh saja
bermimpi sesuka hati, Le. Tak ada salahnya bermimpi punya
sepatu, tapi jangan karena mimpi itu belum tercapai lantas kamu putus
asa. Hidup ini keras, kamu harus berjuang sendiri.” (hal. 40)
Saya sependapat
dengan testimoni
cerpenis dan esais Damhuri Muhammad, bahwa tidak gampang menulis
novel dari riwayat seorang tokoh yang sedang bertabur bintang.
Pengarang bisa terjebak dalam ungkapan-ungkapan prosaik yang
bergelimang puja-puji, atau terancam oleh sinisme lantaran menyingkap
hal-hal tak terlihat yang boleh jadi mencemari keterpujian tokoh
tersebut. Tetapi, Khrisna Pabichara telah selamat dari dua jebakan
itu.
Inspirasi memang
bisa muncul dari siapa
saja dan benda apa saja. Bagi sebagian orang, bisa jadi sosok Dahlan
Iskan adalah seorang inspirator. Yang ceplas-ceplos, yang tegas,
jujur, pekerja keras dan, ini dia, selalu bersepatu kets. Bahwa sekarang ia
dipandang sukses, iya. Tetapi bahwa ia mempunyai 'pengalaman'
mendalam tentang masa lalunya yang miskin sampai-sampai sepatu saja
hanya mampu dimilikinya saat-saat akhir SMA (Aliyah), juga iya. Dan
ini, sekali lagi, juga bisa dijadikan sebuah inspirasi.
Akhirnya, sambil menunggu
dua buku lanjutannya (Surat Dahlan
dan Kursi Dahlan) saya mengamini kalimat
terakhir dari pengantar Dahlan Iskan untuk buku ini yang ditulis
pendek saja; It's a must read.*****