DUA buah baterai bekas yang
sudah tak terpakai, saya adu 'pantatnya'. Kemudian bagian ujung lain
yang ada nongolnya kecil itu, saya jepit pakai kawat yang saya bentuk
setengah lingkaran. Di bagian tengah kawat yang melengkung itu, saya
kasih tali penarik. Jadilah baterai itu mainan yang bisa diseret.
Seperti mobil-mobilan. Lebih spesifik lagi; semacam sepur tumbuk.
Dan ketika mainan itu saya kasihkan kepada si kecil, oh, rupanya ia
tidak tertarik sama sekali. Ia tetap asyik dengan aneka mainan
mobil-mobilan yang (entahlah, dari jaman saya kecil dulu sampai
sekarang) selalu saja made in China.
Begitulah.
Anak sekarang tidak sekreatif anak
jaman dulu. Sekarang, semua mainan adalah barang jadi, barang produksi pabrik.
Dulu, jangan tanya. Kalau kulit jeruk sebagai bahan membuat
mobil-mobilan sih itu sudah umum. Lha wong 'cumplung'
saja bisa dijadikan mainan kok. Tahu cumplung? Itu adalah nama
lain dari kelapa yang telah dilubangi tupai untuk dimakan isinya.
Kelapa itu, biasanya, lalu jatuh sendiri tanpa diambil pemilik pohon kelapa. Dan cumplung itu,
bagian yang berlubang itu, ditusuk pakai kayu yang agak kecil. Di
dorong, jadilah ia 'mobil'.
Lain cumplung, lain pula upih. Upih
adalah pangkal pelepah daun pinang yang bentuknya melebar. Benda ini,
bisa kami sulap menjadi sarana permainan yang tak kalah mengasyikkan.
Ia kami jadikan 'geretan'. Satu anak duduk di bagian yang melebar
itu, satu lagi menarik dengan kencang. Permainan itu bisa dilakukan
berdua dengan posisi bergantian, bisa juga dimainkan sebagai balapan,
bila ada beberapa upih yang kami dapatkan.
Sambil trutusan ke kebun
(maklum, desa saya itu jauh dari gunung, jauh pula dari hutan),
sebagai camilan kami biasa mencari buah salam (yang daunnya lazim sebagai
bumbu lodeh itu), atau juwet yang kalau memakan buahnya bisa membuat warna mulut
dan lidah menjadi ungu.
Sebagai anak desa, kami punya
pantangan. Salah satunya, kami tidak berani mengoleskan sabun colek
ke rel kereta api yang melintas di kampung kami. Karena, ada
keyakinan kuat diantara kami anak desa, bila rel kereta api diolesi
sabun, kereta api bisa terpeleset bila melewatinya.
Sebandel-bandelnya kami, tentu tak berani membuat penumpang kereta
api itu celaka; terpeleset gara-gara sabun.
Satu lagi, bila ada pesawat terbang
melintas di atas desa, siapapun kami, sekalipun sedang berada di
dalam rumah, sontak akan meloncat ke luar rumah. Dan seolah ada yang
mengomando, kami langsung menadahkan tangan sambil berteriak dengan
lantang, “Kapal.... minta uaaannggggg.......”
(Kami, sebagai anak kampung, kala itu
memang terbiasa menyebut pesawat terbang sebagai kapal.)
Tentu saja, perilaku katrok itu tidak
saya turunkan ke anak-anak saya. Karena akan repot sekali. Betapa
tidak. Rumah saya yang terbilang tidak terlalu jauh dari bandara ini, saban waktu ada saja pesawat yang melintas di atas rumah.
Kalau setiap ada pesawat lewat selalu menadahkan tangan meminta uang,
selain bisa menyebabkan tangan dan leher pegal, tentu bisa-bisa membuat
tak sempat masuk rumah. *****