BEBERAPA hari terakhir ini saya tidak terlalu intens bersosial media, sampai ketinggalan berita tentang Dayana. Beberapa hari ini saya sedang dirundung kesedihan mendalam. Oleh kematian. Bukan sekadar nyawa yang dicabut dari raga semata, tapi oleh kematian empati terhadap sebuah kematian itu sendiri.
Entah sejak kapan ada orang yang menggembirai kematian bukan hanya disimpan namun diungkapkan lewat tulisan.
Tempo hari ada seorang pemikir terkenal yang meninggal. Sebuah kanal berita daring memberitakan dengan kalimat pertama yang mengenalkan bahwa si mendiang adalah juga aktifis sebuah partai. Penonjolan almarhum sebagai tokoh partai ketimbang sebagai pemikir yang rekam jejaknya sungguh tak bisa dianggap remeh, tentulah angle yang dipilih oleh pembuat berita. Kalaulah tidak begitu, alangkah dangkalnya si pembuat berita dalam menggali latar belakang tentang siapa si tokoh ini. Itu pertama.
Kedua, ada benang merah antara beberapa media (online utamanya) yang suka membuat judul 'provokatif' dengan komentar pembaca yang nge-gas atas berita tersebut. Tentu bukan hal salah. Demi dibaca, berita diberi judul yang genit dan memancing. Namun, dengan tabiat pembaca kita yang kadang (atau sering?) hanya membaca judul berita tanpa membaca dengan seksama dan utuh, tentu bikin ngelus dada karena komentarnya sungguh gaduh.
Sedih karena bertubi-tubi mendengar wafatnya orang-orang cemerlang, lebih menyedihkan lagi membaca komentar yang secara vulgar nyukurin tentang kematian itu. Dan astaghfirullah, ungkapan nyukurin itu dibalut dengan kalimat hamdalah.
Politik memang kejam. Tapi kalau hanya karena fanatisme dan perbedaan pilihan politik lantas kemudian menjadikan manusia hilang kemanusiaannya, politik buat apa? ****