“WAH, musim hujan
akan segera tiba ini, Kang,” demi melihat langit tak secerah kemarin, dan
matahari tak seterik kemarin, Mas Bendo berkata.
“Hampir bareng ya datangnya dengan musim demo para buruh,”
setelah menyeruput kopi, Kang Karib melanjutkan membaca koran terbitan kemarin.
“Iya, ya, Kang,” mulut Mas Bendo berdwi fungsi; sambil
mengunyah pisang goreng sekaligus sambil mengamini sahutan Kang Karib tadi. “Tetapi,
aku kira buruh menuntut gaji naik demi meningkatkan taraf hidupnya itu hal yang
wajar, Kang. Karena suksesnya pengusaha, tak terlepas dari cucuran keringat
para buruhnya.”
“Betul katamu, nDo. Namun akan menjadi kurang wajar manakala
buruh menuntutnya keterlaluan.”
“Keterlaluan piye to,
Kang?” dari nada bicaranya, sepertinya Mas Bendo ini ada di pihak yang pro
buruh.
“Lha iya, menuntut upah naik sekian puluh persen itu
bagaimana nalarnya?”
“Lho, nalarnya jelas, Kang,” makin semangat Mas Bendo
berargumen. “Jangan sampai buruh hanya dijadikan sapi perah, dijadikan tumbal
demi mengeruk keuntungan setinggi gunung. Tetapi nasib buruh sendiri tetap
sengsara, tetap nelangsa...”
“Pada dasarnya menuntut itu hal yang lumrah, nDo. Tetapi tentu
akan lebih elok kalau dilakukan dengan santun, dengan tata krama.”
“Kalau si pengusaha tetap ndablek dan tutup kuping serta tutup hati, mogok kerja adalah
pilihan yang rasional, Kang.”
“Tapi kalau dengan mogok kerja itu malah merugikan
perusahaan piye, nDo?”
“Ya memang itu tujuannya,” mantap Mas Bendo menjawab. “Pengusaha
biar tahu rasa. Bahwa tanpa buruh yang bekerja mereka bakalan rugi.”
“Dan tanpa adanya pengusaha, makin tak tentu pula nasib si
buruh,” timpal Kang Karib.
Walau masih kurang sependapat dengan Kang Karib, Mas Bendo
seakan kehabisan amunisi mendengar kalimat Kang Karib barusan.
“Pengusaha harus menyadari bagaimana susahnya kehidupan
buruh,” kata Kang Karib kemudian.
“Nah, setuju itu aku, Kang,” semangat Mas Bendo tersulut
lagi.
“Tetapi,” lanjut Kang Karib, “sesekali buruh juga harus
menyadari bagaimana susahnya pengusaha. Bagaimana mereka harus berusaha
bertahan untuk survive di tengah
iklim ekonomi global dan di antara serbuan para kompetitor. Lagian, kalau gaji
buruh dinaikkan, apa menjamin kinerja mereka bakalan naik? Iya sih, tentu
mereka akan semakin giat dalam bekerja. Tetapi itu bertahan dalam berapa lama? Paling-paling
dua-tiga bulan berikutnya sudah ngglembosi,
sudah asal-asalan lagi. Dan tabiat begitu itu di mana-mana sudah umum, nDo. Lalu,
tahun berikutnya mereka-mereka ini menuntut kenaikan gaji lagi. Mengancam mogok
kerja lagi. Kadang sikap mentang-mentang itu memang tidak melulu dimiliki
orang-orang yang sudah mapan, misalnya para pengusaha. Buruh pun sering
memakainya; mentang-mentang buruh, mentang-mentang jumlahnya banyak. Menuntut kenaikan
upah dua kali lipat. Memangnya ini perusahaan nenek moyangmu.....”
“Wah, mbelgedhes Sampeyan
ini, Kang!” sembur Mas Bendo. “aku perhatikan, dari tadi Sampeyan selalu membela pengusaha. Jangan begitu, Kang. Kita harus
kompak. Sampeyan jangan menggembosi
sebuah perjuangan...”
Mendengar kalimat Mas Bendo barusan Kang Karib malah
cekikikan.
“Sampeyan kok
malah tertawa ini bagaimana, to?”
“Lha kamu itu, lucu...”
“Lucu?! Apanya yang lucu?!”
“Lha bagaimana tidak lucu, wong kita ini sama-sama pengangguran,” jawab Kang Karib. “Biarpun upah
buruh naik setinggi langit, ya kita tetap saja nganggur...” *****