BEBERAPA
tahun yang lalu, di sepanjang jalan Jagir sisi sungai itu berjajar
rapat sekali rumah semi permanen dengan aneka usaha. Mulai bengkel
mobil, bengkel motor, warung makan, pandai besi, sampai tempat
praktik dokter. Ohya, ada mushollanya juga. Padahal, secara hukum,
mereka menempati tanah negara. Dalam arti kata, menempatinya secara
ilegal, walau katanya sih tinggal dan membuka usaha disitu
bukan gratis semata. Bahkan sudah bergonta-ganti 'pemilik' dengan
nilai jual-beli yang tak terbilang murah. Itu pertama. Kedua, dengan
PLN berkenan memberikan layanan listrik di area situ, membuat semua
menjadi baik-baik saja dan seperti tidak melakukan pelanggaran
apa-apa.
Dulu
saya pernah ke salah satu rumah disitu untuk suatu keperluan dan
ketika saya menengok ke belakang rumah, oh bahaya sekali; langsung
menghadap bibir sungai. Kalau lagi apes dan terpeleset, untuk
mencarinya bisa jadi perlu bantuan tim SAR.
PKL
adalah sekelompok orang dengan keuletan berusaha yang gigih sekali.
Dimana ada peluang, disana mereka akan berdagang. Sampai kurang
peduli bahwa lahan yang mereka tempati adalah area terlarang. Di
bibir sungai, di atas saluran, di depan pasar dan sebangsanya.
Sebentar saja tak ditindak, jumlah mereka akan beranak-pinak. Sampai
mampu mematikan usaha lain sejenis yang punya tempat permanen dan
resmi. Bayangkan, PKL tak sungkan menjual sepatu di depan toko
sepatu. Dengan kegigihan berkadar 24 karat, untuk menggusurnya pun
tidak setiap pemimpin daerah mampu menuntaskannya.
Anda
sudah pernah jalan-jalan ke Singapura? Atau ke Paris? Kalau sudah,
berarti Anda telah bisa menyaksikan betapa bersihnya jalanan di sana.
Kalau belum pernah, ah kita sama. Karena belum pernah ke luar negeri,
tentu akan tak afdol kalau saya nggedabrus bercerita tentang
tempat-tempat dimaksud. Baiklah, saya akan bercerita tentang di kota
ini saja, Surabaya.
Lagu
Bis Kota yang dinyanyikan Franky adalah potret Surabaya tahun
bahuela. Yang masih panas. Sekarang, taman ada dimana-mana. Di
sepanjang jalan di seantero kota, selalu ada rindang yang diciptakan.
Pohon-pohon dan bunga-bunga juga air mancur di berbagai sudut kota,
diniatkan agar kota ini menjadi tak panas-panas amat.
Seorang
kawan dari kota sebelah sempat iri dengan pembangunan di kota ini.
Pembuatan saluran/box culvert yang sepanjang tahun tak pernah
berhenti demi bisa mengusir banjir, dan pembanguan infrastruktur
penunjang lainnya. Walau kalau diamati, masih saja terjadi malfungsi
ketika sarana itu jadi. Trotoar, misalnya. Area pejalan kaki yang
dipasang keramik dengan motif apik yang di bangun di atas box culvert
di kanan-kiri jalan, malah acap menjadi 'jalan lain' bagi penunggang
motor yang tak sabar bermacet-macet ria.
Inilah
salah satu problem abadi setiap kota di masa kini; seberapa pun jalan dilebarkan, selalu akan segera
dipenuh-sesaki oleh kendaraan. Dan semua akan menjadi semakin ruwet
tidak karuan bila sama-sama kurang mengedepankan kesadaran. Ya
masyarakatnya, ya pemerintahnya, ya semuanya.
Pagi
tadi saya berangkat kerja dan mendapati dua lokasi PKL telah
diratakan dengan tanah dan, tentu saja, akan difungsikan disitu
sesuai peruntukannya. Satu di jalan Dinoyo, satunya lagi di depan
Gelora Pancasila jalan Indragiri. Kemana para PKL itu setelah ini
mencari nafkah, tentu perlu (mungkin telah) dipikirkan oleh pihak
penggusur. Itu secara moralnya memang demikian, walau mereka adalah
pihak yang salah. Tetapi, para pedagang kaki lima bukanlah makhluk
rapuh yang gampang punah. Tunggulah: disini merena digusur, sekian
waktu berikutnya, di tempat lain, mereka akan tumbuh lagi. Ingat, sesuai
namanya, mereka adalah pedagang kaki lima, bukan sekadar kaki tiga!*****