PUNYA
grup whatsapp
dari beberapa almamater tentu ada senangnya. Walau kadang ada jengkelnya pula. Benar memang, teman sekolah, yang dulu
akrab sekali, setelah terpisah sekian puluh tahun, antara
mosang-masing
telah melewati berbagai pengalaman hidup. Dari hal itu tadi, tentu
tidak menutup kemungkinan, telah ada sedikit-banyak pandangan yang
berbeda. Entah itu yang remeh temeh, atau hal yang lebih mendasar.
Salah
satu yang saya langsung kurang respek, adalah ketika ada teman yang
acap kali menyelipkan posting semacam kampanye untuk tidak memilih
capres ini, dan senantiasa mengunggulkan capres itu. Okelah, saya
sepakat warga negara yang baik, salah satunya adalah yang melek
politik, tapi kalau di semua kesempatan ngomongin politik kok ya
mbleneg
juga. Di warung ngobrol politik, di tempat kerja jagongan politik, di
pos kamling bahas politik, lha kok di whatsapp nemu posting politik.
Lebih
eneg
lagi kalau obrolan politik itu serius banget. Membela pendapat para
tokoh nun jauh disana dengan membabi buta. 'Pokoknya jagonya itu
terbaik, dan sang lawannya adalah kurang dan malah tidak ada
baik-baiknya blas'.
Makanya saya sepakat dengan pendapat, untuk bersikap netral adalah
hal yang amat sulit sekali bila kita telah menentukan calon yang
nanti hendak kita pilih. Ini tentang capres lho ya. Karena kalau
tentang caleg, apa sih yang menarik untuk dibicarakan tentang mereka?
Wong kita (eh, saya ding!) sejauh ini kurang mengenal siapa saja
mereka yang mesti dipilih, yang bisa dipercaya seratus persen nanti
bakal betul-betul memperjuangkan aspirasi saya, dan bukan malah
mati-matian memperjuangkan 'aspirasi' mereka dan/atau partainya
sendiri.
Ada
acara debat (kusir) politik yang tayang rutin di layar kaca. Acara
itu ramai sekali. Lebih-lebih nara sumber yang dihadirkan adalah yang
jago omong semua. (Ya iyalah, kalau narasumbernya pendiam semua,
santun semua, gak ramai dong). Jadi, baik yang pro maupun yang
kontra, yang dihadirkan dalam debat adalah yang punya kepiawaian
mumpuni dalam adu mulut. Semakin ada yang ngomongkan suka lepas
kontrol dan emosional, semakin sering ia didatangkan. Malah, ada
narasumber yang apa pun topik debatnya, beliau selalu (di)hadir(kan).
Dan (seolah) selalu tahu secara mendalam apa pun topik bahasannya.
Luar biasa.
Dulu,
jujur saya akui, juga suka nonton acara begituan. Maka, ketika anak
bungsu merebut remote control televisi untuk menonton acara kartun
kesukaannya, tak jarang saya menjadi naik pitam. Sebuah tindakan
konyol bukan? Hanya demi mengikuti debat para politisi (yang periode
lalu sebagai anggota partai A, kini dia bicara atas nama partai B,
dan pada pemilu lima tahun yang akan datang bisa jadi loncat lagi ke partai X),
kok sampai dibela-belain rebutan remote control sama anak kecil.
Kini
saya lebih santai. Semakin jarang (tidak pernah, malah) mengikuti
acara-acara debat politik begituan. Dan asyik saja menemani si bungsu
nonton serial kartun kesukaannya. Iya, film kartun yang ditonton anak
saya memang entah sudah berapa kali ditayang ulang. Dan dia tidak
bosan. Mungkin begitu juga teman-teman saya yang belum juga ada
bosannya nonton acara (dan bicara) politik.
Setiap
orang punya kesukaannya sendiri. Maka, menurut saya, antar anggota
beberapa grup whatsapp
saya yang heterogen ini, tak usahlah ngomong politik. Agar selalu cair.
Ngomong yang ringan-ringan saja. Seringan saya, dengan suara
pas-pasan, menyanyi bareng si bungsu saat serial Tayo,
sebuah film animasi produksi Korea, mulai diputar di layar kaca; ♪♫
hai Tayo, hai Tayo, dia bis kecil ramah...♫♪
melaju, melambat, Tayo selalu senang♪♫...
****