Saat saya makan di warung gudeg Jogja jalan Teuku Umar, Denpasar. |
WALAU saya ini sudah puluhan tahun bekerja di sebuah tempat --yang management kami acap menancapkan faham kepada setiap karyawan bahwa--berkelas bintang lima (padahal menurut saya --setuju tidak setuju-- sudah amat sangat pantas naik kasta menjadi bintang tujuh, karena tiap awal bulan telah berjasa membuat saya tidak terlalu sakit kepala, walau di tanggal empat uang gaji saya tinggal seperempat), saya ini tetap saja orang katrok. Ndesit. Dan, belum pernah menginap di hotel berbintang. Kalau makan di hotel berbintang sih pernah. Saat menjadi 'pemain pengganti' (karena kabag yang kudunya hadir, berhalangan) untuk menghadiri sebuah forum membahas suatu program atau semacam pelatihan.
Acara training-nya sih biasa, saat makan ala hotel itu yang luar biasa. Luar biasa canggung, maksud saya. Pernah sih, setelah lirak-lirik kanan-kiri, nyontek menu yang diambil orang-orang, saya ikutan. Namun apa daya, lidah saya ini adalah lidah ndedo-kesakeso, makanan ala hotel yang saya bayangkan semua mak-nyus, malah terasa pating klenyit tak karuan di lidah saya. Tahu gitu, tadi saya memilih nasi goreng atau sate saja. Menu makanan yang menurut lidah saya adalah pemuncak abadi klasemen dari semua jenis makanan di alam fana ini.