DUA
tetangga berjarak satu rumah di barat rumah saya meninggikan rumahnya
menjadi dua lantai. Syukur alhamdulillah rezeki mereka berlimpah
sehingga mampu membangun rumah lebih megah. Alhamdulilllahnya lagi,
karenanya saya tak mungkin lagi main-main menembak Thaicom-5
untuk
keluyuran menengok 'kebun kates' di satelit itu. Walau saya menjadi
kurang bersyukur juga karena antena UHF saya ikutan terhalang tembok
tinggi mereka.
Beberapa
channel UHF menjadi kurang cling,
tetapi masih bisa beralih ke Palapa-D
atau Tekom-1
demi menyaksikan semua saluran televisi nasional. Kecuali GlobalTV
(yang dua minggu ini sinyalnya pelit sekali) tempat Naruto
beraksi mulai menjelang maghrib sampai hendak Isya'. Begitulah, jam
segitu lazim dibilang jam utama, prime
time. Prime time
pula untuk melakukan hal yang lebih bermakna; menemani anak-anak
belajar atau mengaji. Tetapi televisi menohok siapapun di jam
berapapun dengan tayangan semau mereka dengan tanpa ampun. Pemirsa
tak punya kuasa lebih besar kecuali meraih remote
control
dan mematikannya.
Makanya
sama sekali saya tak menyesal manakala tak berhasil mendapatkan
sinyal GlobalTV
di Palapa-D.
Dengan memakai 4 LNB, toh
saya bisa melanglang angkasa mencari channel
lain di satelit lainnya. Dan konsentrasi saya kini tertuju kepada Al
Jazeera
untuk mengetahui kabar terbaru kawasan Timur Tengah dan wilayah
konflik lainnya di jazirah Arab dan sekitarnya.
Yang
terbaru tentu gesekan tajam antara Turki dan Rusia setelah peristiwa
penembakan Shukoi oleh F16 milik Turki. Saya bisa memantau reaksi
keras Rusia via channel
Russia
Today (yang
beberapa hari belakngan ini selalu menayangkan perkembangan peristiwa
itu dalam Breaking
News-nya
–tentu dengan kacamata Rusia) tetapi tolong kasih tahu saya channel
televisi Turki yang siaran FTA di satelit Asiasat5 atau Asiasat7.
Perang terbuka secara dar-der-dor
di medan sesungguhnya mungkin terjadi belakangan, tetapi biasanya
perang (propaganda) di media (termasuk juga televisi) sebagai bumbu
permulaan akan ditaburkan lebih dulu. Mengikuti berita itu tentu
lebih 'asyik' ketimbang menyimak kasus Papa
Minta Saham
yang menyeret ketua DPR Setya Novanto. Menurut saya yang awam hukum
ini, rasanya kasus itu makin hari makin mbulet
saja dan bisa jadi akhirnya malah hilang ditelan berita banjir
bandang yang acap terjadi di negeri ini pada musim hujan. *****