GAK ada hujan gak ada longsor, tiba-tiba 'mak-bedunduk' Karib, sahabat terkarib mas Bendo nongol. Ada apa?
"Aku rindu."
Ah, mbelgedhes!
"Sumpah" tandasnya.
Mas Bendo mecucu. Rindu?! Kata apa itu. Adalah satu hil yang mustahal (maap, pinjem punyane wong Jombang; Asmuni) bila Karib punya sebentuk kerinduan. Tapi kali ini ada yang tampak sungguh-sungguh. Bukan mencerminkan kerinduan, tapi lebih pada penampakan kesedihan.
"Berapa hari kamu gak ngrokok?" goda mas Bendo.
"Aku sedang marah, marah dan benci" sanggahnya.
"Pada siapa?"
"Mas Ebiet G. Ade"
"Lhadalah, kenapa?"
"Berita Kepada Kawan itu"
"Oooo, lagunya?"
"Sering diputer, artinya ada tsunami, gempa, dan segala macam bencana."
Karib, Karib....
Lalu diam. Dan asyik pada angannya masing-masing. Tentang Ambacang. Tentang gunung Tigo. Tentang yang terkubur itu. Tentang TV One dan Metro yang jor-joran. Tidak hanya 'perang' paling awal liputan linang air mata di ranah Minang. Tapi juga sampai Riau. Bos mereka berebut puncak pohon rindang; beringin. "Sampai terkesan menomorduakan nilai berita, menomorsekiankan objektifitas demi segenggam rivalitas," gumam Karib.
"Wih, kamu kok makin cerdas," kata mas Bendo. "Tapi kok makin sering hilang. Gak pernah SMS aku."
"SMS?! Kuno, nDo."
"Gayamu, Rib"
"Sekarang jamannya Facebook, FB, FB...."
"Wih,...."
" Kamu masak masih tenggelam dalam nostalgia Vinna Panduwinata 'pak pos membawa berita dari yang kudamba', iya kan, nDo? Atau dit, dit, dit pager-ku berbunyi dit, dit, dit begitu bunyinya...Itu juga kuno, nDo. Bahkan Trio Macan 'bang sms sipa ini bang...' juga sudah lewat. Sekarang jamannya Saykoji; 'online,online....'," yang terakhir Karib bergaya kayak si tambun Igor.
"Edaaannn," puji mas Bendo.
Karib nyengir kayak kuda. Seakan pamer giginya yang jajaran tengahnya agak menguning. Agak bermotif batik .Mirip parang rusak. Ah, atau parang kusumo. Senyumnya ikhlas betul. Tak ada yang disembunyikan. Termasuk sepotong kecil kangkung yang nyelempit di sela giginya sisa sarapan kemarin pagi. Ah, Karib...
Hilang sudah benci yang diusungnya pas datang tadi. Ada sorot rindu yang memancar di bola matanya yang bulat. Bulat dan sedikit keruh. Sekeruh rautnya yang abstrak. Sulit dideskripsikan. Kecuali gigi batik dan mata keruhnya. Tapi sorot rindu itu. Begitu kentaranya. Nyata. Tampak nyata. Kuat. Rindu yang aneh. Rindu yang teramat kuat. Mengguncang. Menggetarkan. Tulus. Mencari kesejatian. Mereposisi diri pada sunnatullah, kata cak Nun.
Dua sisi yang saling merindu. Bertemu. Berangkulan, dalam-dalam. Kerinduan yang sungguh-sungguh me-lindukan. Disana, di ranah Minang.*****