WALAU bukan
penggemar Persebaya, saya ini pernah juga menjadi bonek. Kata apa
yang pantas untuk menggambarkan mengajak putri Lamongan untuk menikah
dengan hanya bermodal uang tak seberapa selain bonek; modal
nekat? Ya tahun 1999 itu, dengan umur yang sudah duapuluh lima, makin
telaten (telat jadi manten) makin menikmati jomblo yang pura-pura
bahagia, makin jauhlah hasrat untuk menikah. Padahal kiamat makin
dekat.
Dengan profesi saya
sebagai pekerja bangunan dan istri sebagai buruh pabrik, kami
benar-benar ingin membangun keluarga kecil yang bahagia dan
sejahtera, sekaligus berusaha mewujudkan keluarga yang sakinah,
mawaddah wa rohmah yang tujuhpuluh kali disebut pembawa acara
pada hajatan walimatul urusy yang diguyur hujan deras di
kampung istri saya waktu itu.
Keluarga kecil memang
iya. Rumah kost kami kecil sekali; hanya muat dipan dan satu lemari
mungil dengan bonus selalu banjir setiap musim hujan. Bahagia? Ya
iyalah. dibanding jomblo mana pun, orang sudah menikah itu niscaya
lebih bahagia lahir batin. Sejahtera? Relatif. Makan kami memang tiga
kali sehari, tetapi kalau menu andalannya hanya mie instant dan telur
dadar yang dicampur tepung biar babar, itu adalah sebentuk
ikhtiar. Agar kami segera punya motor.
Kemana-mana naik angkot
sungguh berat. Apalagi setahun setelah menikah, kami dikaruniai
momongan. Namun, syukurlah, berkat tirakat model mie instan dan telur
dadar itu, akhirnya kami punya motor. Bukan motor sembarang motor.
Tetapi motor Honda. Berjenis bebek. Namanya Astrea Grand 97.
Tahun 2000 itu, masa efek
krisis moneter masih sangat terasa. Televisi tabung empat belas inchi
yang sebelum krisis cuma empatratus ribu, harganya berlipat ganda.
Maka, bebek saya itu, yang sudah empat tahun ditunggangi pemiliknya
sebelumnya itu, saya deal dengan harga delapan juta rupiah!
Sungguh mahal untuk ukuran motor bekas. Tetapi dengan kondisi mesin
masih jos gandhos dan bodi yang masih semulus tubuh
para personel girl band So-Nyuh Shi-Dae alias SNSD Korea yang
sekadar isunya saja disini sudah bikin gaduh itu, saya nekat
membayarnya. Padahal seandainya mau, dengan harga segitu, waktu itu
saya sudah bisa meminang motor baru keluaran Tiongkok semisal
Jialing, Sanex atau Dayang yang sedang membanjiri
Indonesia.