dalam Islam ia bulan kesembilan
bernama pula bulan ramadhan
bulan ramadhan perbanyak ibadah
bukan bermain gawai tiada lelah
berpuasa iman diperkuat
kala pahala dihitung berlipat
lapar-dahaga tiadalah guna
bila berghibah tetaplah suka
di surau-surau orang tadarus terdengar
ataukah itu rekaman yang diputar
tengoklah pula di layar kaca
banyak artis alim tiba-tiba
bila nanti lepas bulan puasa
aurat kembali diumbar kemana-mana
puasa ini demi ilahi
bukan karna malu teman kanan-kiri
gurindam ini kutulis sore jam empat
kala maghrib kian mendekat
terbayang di meja aneka makanan
padahal tak mungkin semua dimasukkan
kala lapar-dahaga usus laksana melintir
kala berbuka (Subhanallah..) betapa nikmat seteguk air *****
Sabtu, 20 Juni 2015
Kamis, 18 Juni 2015
Sholat Tarawih: Pilih Patas atau Bumel?
SAYA bukan bismania. Dalam setahun, rata-rata hanya naik bis,
hanya saat mudik dan balik lebaran saja. Karenanya, pengetahuan saya tentang
bis sangat dangkal sekali,sebatas yang lewat di kampung saya saja.
Nama-nama macam Akas, Tjipto(sebagai pesaing Akas, sekarang saat
saya pulang kampung, tak pernah
lagi ketemu si Tjipto ini. Kenapa ya?) sangat mendominasi sebagai bis
yang sering melintas di jalan raya desa kami. Pada peringkat
berikutnya tersebutlah nama Sabar Indah, Jawa Indah, Kenongo, Ladju,
Kentjono, Yuangga, Jember Indah. Jajaran nama yang saya sebut
belakangan itu sungguhlah jangan percaya begitu saja pada plang trayek
yang dipampang pada kaca. Walau tertulis Jember-Surabaya dan kondektur
dengan mantap bilang, "Langsung, Probolinggo tidak parkir," katakan
Sampeyan turun Wonorejo saja.
Dari terminal Menak Koncar Lumajang itu, jika Sampeyan hendak ke
Surabaya, ada banyak pilihan bis yang lebih nggenah, ya bentuk
'tubuhnya', ya kecepatannya. Bis-bis trayek
Jember/Banyuwangi-Surabaya yang via Tanggul memang lebih banyak
pilhannya.
Sungguh, penumpang bis (bumel) Jember-Lumajang yang lewat Kencong
adalah orang yang harus mempunyai tingkat kesabaran tinggi. Jangankan
truk muat pasir yang jalannya ogah-ogahan karena beban yang
dipikulnya, ibarat kata, cikar (gerobak yang ditarik sapi) juga bisa
menyalip Kentjono, Kenongo dkk itu. Saking pelannya jalan mereka.
Tersebutlah nama kyai Zailani di kampung kami. Oh, bukan. Beliau ini
bukan kyai yang merangkap jabatan sebagai sopir bis. Pekerjaaan utamanya adalah
jualan kitab secara keliling, door to door. Tetapi karena caranya
sebagai imam sholat tarawih pada surau yang 'dipangku'-nya itu yang
membuat beliau juga bergelar sebagai 'sopir' bis Kenongo.
Dengan suara bergetar (karena sepuh), beliau membaca bacaan-bacaan
sholat secara santai, tidak keburu sama sekali. Dan para jamaah,
adalah ibarat penumpang bis Kenongo yang harus punya persediaan waktu
yang longgar.
Bisa ditebak, bila jamaah yang tadinya sholat di sarau kyai Zailani
besoknya berpindah secara permanen ke musholla yang sholat tarawihnya
sudah selesai disaat kyai Zailani baru dapat empat, ia telah
lebih memilih bis Patas sekelas Akas daripada bumel sekaliber Kenongo.
Ada lho ya di kampung saya imam tarawih yang mampu baca Fatihah dalam
sekali tarikan nafas. Nah hitung saja; Fatihah satu tarikan nafas, Al
Kafiruun satu tarikan nafas, bacaan lain anggap saja empat tarikan
nafas. Maksimal sebelas tarikan nafas sudah dapat dua rakaat. Apa
tidak hebat itu? Tetapi, apa tidak rawan kecetit bila terlalu cepat
dalam jentat-jentit?
Barusan, seorang teman Facebook saya update status secara jenaka.
Tulisan yang saya duga dibuat seturun dari sholat tarawih itu secara
lengkap begini, "Masih ingat sosok Lucky Luke: tokoh koboi kocak yang
gerakan menembaknya lebih cepat dari bayangannya? Nah, saat ini ada
sholat tarawih madzhab Lucky Luke: gerakannya lebih cepat dari
bayangannya. Wuz, wuz, wuzz..." *****
hanya saat mudik dan balik lebaran saja. Karenanya, pengetahuan saya tentang
bis sangat dangkal sekali,sebatas yang lewat di kampung saya saja.
Nama-nama macam Akas, Tjipto(sebagai pesaing Akas, sekarang saat
saya pulang kampung, tak pernah
lagi ketemu si Tjipto ini. Kenapa ya?) sangat mendominasi sebagai bis
yang sering melintas di jalan raya desa kami. Pada peringkat
berikutnya tersebutlah nama Sabar Indah, Jawa Indah, Kenongo, Ladju,
Kentjono, Yuangga, Jember Indah. Jajaran nama yang saya sebut
belakangan itu sungguhlah jangan percaya begitu saja pada plang trayek
yang dipampang pada kaca. Walau tertulis Jember-Surabaya dan kondektur
dengan mantap bilang, "Langsung, Probolinggo tidak parkir," katakan
Sampeyan turun Wonorejo saja.
Dari terminal Menak Koncar Lumajang itu, jika Sampeyan hendak ke
Surabaya, ada banyak pilihan bis yang lebih nggenah, ya bentuk
'tubuhnya', ya kecepatannya. Bis-bis trayek
Jember/Banyuwangi-Surabaya yang via Tanggul memang lebih banyak
pilhannya.
Sungguh, penumpang bis (bumel) Jember-Lumajang yang lewat Kencong
adalah orang yang harus mempunyai tingkat kesabaran tinggi. Jangankan
truk muat pasir yang jalannya ogah-ogahan karena beban yang
dipikulnya, ibarat kata, cikar (gerobak yang ditarik sapi) juga bisa
menyalip Kentjono, Kenongo dkk itu. Saking pelannya jalan mereka.
Tersebutlah nama kyai Zailani di kampung kami. Oh, bukan. Beliau ini
bukan kyai yang merangkap jabatan sebagai sopir bis. Pekerjaaan utamanya adalah
jualan kitab secara keliling, door to door. Tetapi karena caranya
sebagai imam sholat tarawih pada surau yang 'dipangku'-nya itu yang
membuat beliau juga bergelar sebagai 'sopir' bis Kenongo.
Dengan suara bergetar (karena sepuh), beliau membaca bacaan-bacaan
sholat secara santai, tidak keburu sama sekali. Dan para jamaah,
adalah ibarat penumpang bis Kenongo yang harus punya persediaan waktu
yang longgar.
Bisa ditebak, bila jamaah yang tadinya sholat di sarau kyai Zailani
besoknya berpindah secara permanen ke musholla yang sholat tarawihnya
sudah selesai disaat kyai Zailani baru dapat empat, ia telah
lebih memilih bis Patas sekelas Akas daripada bumel sekaliber Kenongo.
Ada lho ya di kampung saya imam tarawih yang mampu baca Fatihah dalam
sekali tarikan nafas. Nah hitung saja; Fatihah satu tarikan nafas, Al
Kafiruun satu tarikan nafas, bacaan lain anggap saja empat tarikan
nafas. Maksimal sebelas tarikan nafas sudah dapat dua rakaat. Apa
tidak hebat itu? Tetapi, apa tidak rawan kecetit bila terlalu cepat
dalam jentat-jentit?
Barusan, seorang teman Facebook saya update status secara jenaka.
Tulisan yang saya duga dibuat seturun dari sholat tarawih itu secara
lengkap begini, "Masih ingat sosok Lucky Luke: tokoh koboi kocak yang
gerakan menembaknya lebih cepat dari bayangannya? Nah, saat ini ada
sholat tarawih madzhab Lucky Luke: gerakannya lebih cepat dari
bayangannya. Wuz, wuz, wuzz..." *****
Sabtu, 13 Juni 2015
Unas: Ujian Nasib
MASJIDIL HARAM tiada pernah sepi. Jam berapapun saya menengoknya,
selalu ada orang (tak sedikit jumlahnya) yang asyik dengan ibadahnya. Shalat,
tawaf dan lainnya. Lain waktu, saya menengok Masjid Nabawi. Lagi-lagi
saya dapati tiapa pernah sepi. Orang sholat dan mengaji tiada henti.
Ohya, saya memang belum kesampaian secara nyata bertandang ke tanah
suci dan masjid Nabawi. Tetapi saban hari, 24 jam tiada henti (kalau
mau) saya bisa melihat segala yang terjadi di sana secara real time.
Satelit dengan gratis mengirim gambar itu dari Madinah dan Makkah
langsung ke rumah saya di sudut kelurahan bernama Kalirungkut.
Tak melulu mendapati orang sembahyang atau mengaji, di tempat suci
barangkali ada saja yang datang dengan niat yang tak seratus persen suci.
Oh, saya terlalu subyektif, barangkali. Tetapi beberapa kali saya mendapati
kenyataan bahwa ada saja orang yang berebut mendekat ke Kakbah;
tangan kiri mengelus dinding Baitullah, kemudian tangan kanan mengeluarkan
ponsel demi mengabadikan momen itu secara swalayan dalam sebuah tindakan selfie.
Begitulah, abad informasi --dengan media sosial sebagai keturunannya--
, telah memudahkan orang untuk memamerkan segalanya. Baik memang itu
penting, atau hal-hal yang remeh-temeh belaka.
Ketika orang membutuhkan tempat untuk diakui eksistensinya, medsos
memberinya sarana untuk bernarsis-ria. Malah ada gejala meninggalkan
kebiasan berdoa sebelum makan menjadi; mengunggah foto menu sebelum
makan. Demi apa coba? Seberapa pentingkah yang hendak kita makan
diketahui orang sedunia (maya)?
Pun demikian dengan sekian banyak orang (tua) siswa yang kemarin dengan
bangga mengunggah foto nilai Unas? Untuk apa kalau bukan hanya demi gaya.
Unas hanya secuil upil kehidupan. Dunia belum kiamat saat nilai Unasmu
jelek, nDuk. Dan pintu surga tidak bisa dibuka hanya oleh nilai Unasmu yang
bagus, Le.
Dalam banyak hal, kadang terasa yang lebih menentukan adalah nasib.
Walau, kata orang bijak, orang dengan kesungguhan, yang berusaha lebih keras,
yang lebih berhak memperoleh nasib baik. Dan sebaik-baiknya orang, tentu yang
dimana pun terdampar, ia senantiasa tidak menjadi manusia, kecuali
menjadi insan yang 'migunani' bagi sekitar. Di saat seperti itu,
dalam kehidupan sekian puluh tahun lagi itu, niscaya orang tidak ada
yang menanyai berapa nilai Unasmu dulu. *****
selalu ada orang (tak sedikit jumlahnya) yang asyik dengan ibadahnya. Shalat,
tawaf dan lainnya. Lain waktu, saya menengok Masjid Nabawi. Lagi-lagi
saya dapati tiapa pernah sepi. Orang sholat dan mengaji tiada henti.
Ohya, saya memang belum kesampaian secara nyata bertandang ke tanah
suci dan masjid Nabawi. Tetapi saban hari, 24 jam tiada henti (kalau
mau) saya bisa melihat segala yang terjadi di sana secara real time.
Satelit dengan gratis mengirim gambar itu dari Madinah dan Makkah
langsung ke rumah saya di sudut kelurahan bernama Kalirungkut.
Tak melulu mendapati orang sembahyang atau mengaji, di tempat suci
barangkali ada saja yang datang dengan niat yang tak seratus persen suci.
Oh, saya terlalu subyektif, barangkali. Tetapi beberapa kali saya mendapati
kenyataan bahwa ada saja orang yang berebut mendekat ke Kakbah;
tangan kiri mengelus dinding Baitullah, kemudian tangan kanan mengeluarkan
ponsel demi mengabadikan momen itu secara swalayan dalam sebuah tindakan selfie.
Begitulah, abad informasi --dengan media sosial sebagai keturunannya--
, telah memudahkan orang untuk memamerkan segalanya. Baik memang itu
penting, atau hal-hal yang remeh-temeh belaka.
Ketika orang membutuhkan tempat untuk diakui eksistensinya, medsos
memberinya sarana untuk bernarsis-ria. Malah ada gejala meninggalkan
kebiasan berdoa sebelum makan menjadi; mengunggah foto menu sebelum
makan. Demi apa coba? Seberapa pentingkah yang hendak kita makan
diketahui orang sedunia (maya)?
Pun demikian dengan sekian banyak orang (tua) siswa yang kemarin dengan
bangga mengunggah foto nilai Unas? Untuk apa kalau bukan hanya demi gaya.
Unas hanya secuil upil kehidupan. Dunia belum kiamat saat nilai Unasmu
jelek, nDuk. Dan pintu surga tidak bisa dibuka hanya oleh nilai Unasmu yang
bagus, Le.
Dalam banyak hal, kadang terasa yang lebih menentukan adalah nasib.
Walau, kata orang bijak, orang dengan kesungguhan, yang berusaha lebih keras,
yang lebih berhak memperoleh nasib baik. Dan sebaik-baiknya orang, tentu yang
dimana pun terdampar, ia senantiasa tidak menjadi manusia, kecuali
menjadi insan yang 'migunani' bagi sekitar. Di saat seperti itu,
dalam kehidupan sekian puluh tahun lagi itu, niscaya orang tidak ada
yang menanyai berapa nilai Unasmu dulu. *****
Rindhang
ASALE nalika bada taun kepungkur dheweke nduweni nomer ponselku. "Saka Rini," kandhane mangsuli pitakonku.
Ya, minangka kanca SMP, aku isih ora lali Rini.
Rini kancane Kadarwati, Zahrotun lan Sali. Jeneng sing dak sebut pungkasan iku saiki kabare wis sukses nang Bali. Duwe salon sing rame pelanggane. Lan; Sali sing pancen wiwit biyen kemayu kuwi, saiki operasi dadi wadon lan krungu-krungu jenenge ganti dadi Shally.
"Aku Rindhang," kandhane liwat ponsel.
Dak peksa ngiling-iling, jan ora kelingan blas.
"Pancen aku ora nganti lulus," Rindhang nutukake, " sawuse ngantem Pak Juma'i, aku langsung metu. Ra sekolah ra pathek'en," guyune jan ucul-cul.
Ya tekan kuwi, nganti saiki, terus wae Rindhang hubungi aku. Yen ora nelepon, ya SMS. Ra pandhang wektu; kadhang tengah wengi. Tapi siji; dheweke ora dak wenehi alamat omahku.
"Wedi yen dak parani ya?"
Aku ora mangsuli.
Nanging, kerana penasaran, sawuse meh selawe taun ora ketemu, aku nyempatke janjian ketemu.
ooOoo
Rambute rada brintik, kulitane rada ireng. Wong lanang nang ngarepku iki nganggo jaket kulit, dedeg-piyadege atletis.
"Akhire...." Rindhang mapak aku nang lawang restoran. Dheweke ora mung nyalami, tapi ngrangkul aku kanthi raket. Nanging aku malah krasa aneh; sapa satemene Rindhang iki?
"Piye, wis iling?"
Sajujure aku lali, nanging mesthi ora patut yen aku kanthi blaka-suta kandha mangkono ing ngarepe. "Wah, tambah gagah saiki..."
"Awakmu ya awet enom," walese. "Dak kira biyen kowe tenanan karo Rini. Eh jebul malah ucul tekan dhusun kesasar ing kutha iki..."
"Lha awakmu kok ya nganti tekan kene iki ya kepriye critane?"
Rindhang malah ngguyu kaya mamerke untune sing putih, kosok-baline karo pakulitane.
Ing meja wis pepak isine. Rindhang nyumanggakne, kandhane, "Ayo, ora usah isin. Kabeh wis dak bayar kok. Anggep wae iki aku ngurmat kanca lawas sing seprapat abad ra ketemu.."
Sinambi ngono, Rindhang takon-takon keluargaku; anak bojoku. Dak jawab sa anane. Dak tutupi saperlune. Lha iya ta? Kanca ya kanca. Iku selawe taun kepungkur. Saiki aku ora weruh sapa sejatine dheweke.
"Aku ya ngene iki. Penggaweanku ya uyar-uyur ngene iki," kandhane.
"Mung uyar-uyur kok mobilmu apik", sangkalku. "Ra mungkinlah.."
"Sawuse metu sekolah kae," sawuse nyumet udut, Rindhang kandha, "aku mrana-mrene. Nang Kalimantan rong taun, nang Papua pitung taun. Nalika aku bali nyang ndesa, kowe wis ra ana. Jare kanca-kanca, kowe neruske sekolah nyang kutha."
Aku ngrungokake wae.
"Njur aku kerja melu Pak Gelam."
Pak Gelam? Wah, jaman nang ndesa biyen, sapa sing ora wedi marang wong lanang gedhe-dhuwur kanthi brengos njlaprang, lengene nganggo gelang oyot mbuh wit apa, menyang ngendi wae tansah nganggo klambi ireng lan udheng abang. Rindhang kerja melu Pak Gelam? Padhahal Pak Gelam iku raja begal.
Sabtu, 06 Juni 2015
P a n d a n
WALAU tak seberapa luas, saya punya halaman depan yang disitu ada
beberapa tanaman. Baik yang sengaja ditanam maupun yang tumbuh dengan
sendirinya. Bayam adalah yang tumbuh tanpa saya menanamnya. Sementara
belimbing, sirsak, turi, beluntas, pohon ungu dan pandan adalah yang
sengaja saya tanam.
Semua tertanam dengan ala kadarnya, dalam arti; kalau dipandang oleh orang yang mengerti penataan landscape ia terlihat tiada seninya sama sekali. Tak apalah. Yang penting ada tambahan asupan
oksigen yang bisa saya hirup di halaman untuk mengimbangi taburan
polusi yang dikeluarkan cerobong-cerobong pabrik --maklum, karena rumah saya
hanya berjarak limapuluh atau seratus meter saja dari kawasan industri. Yang
penting lagi adalah fungsinya; daun beluntas untuk mengatasi bau
badan, daun ungu untuk mengusir wasir, daun sirsak untuk mencegah
kanker, kembang turi untuk dipecel dan pandan untuk penambah aroma
pada kolak atau penganan lainnya. Buah belimbing bisa juga sih untuk menyembuhkan sariawan,
tetapi sekarang belum berbuah. Dan saya belum tahu apakah daunnya
mempunyai khasiat yang sama dengan buahnya. Yang saya tak harus
menunggu berbuah adalah pandan. (eh, apakah pandan juga berbuah?)
Dibanding punya tetangga kanan-kiri, tanaman pandan di halaman rumah
saya terbilang paling subur. Daunnya lebat. Padahal istri saya belum
tentu sebulan sekali bikin kolak, dan untuk sepanci kolak, paling
banter cuma membutuhkan lima helai daun pandan sebagai penambah aroma.
Tetapi, daun pandan di depan rumah itu nyaris saban hari berkurang.
Dengan lokasi di bibir pekarangan dan tanpa pagar, siapapun yang lewat
dan sedang ingin mengambil daunnya bisa melakukannya dengan gampang.
Mula-mula jengkel juga; gak ikut nandur (menanam), kok enak saja
mengambil tanpa permisi.
Tetapi, tunggu dulu, berapa sih harga dua-tiga helai daun pandan?
Sudah sepadankah harga itu untuk menumbuhkan rasa dengki? Iya, tetapi
mestinya kan permisi dulu, nembung dulu. Lho, bikin kolaknya kan pagi,
kalau menunggu sampai sore ketika yang punya sudah pulang kerja, apa
harus kolaknya tanpa pandan?
Sepertinya sangat banyak hal kecil dan tak seberapa nilainya yang bisa
sebagai bibit tumbuhnya penyakit hati. Dan ketika saya tidak bisa
mengikhlaskan hal-hal sepele, makin musykil saja rasanya untuk
merelakan hal-hal besar.
Padahal pandan itu tumbuh nyaris tanpa pernah saya rawat kecuali
menyiramnya. Kalau mau, tentu Yang Maha Menumbuhkan bisa saja sejak
awal membuat pandan itu puret, bengkring atau bahkan mati. Karenanya, kenapa
saya tidak menumbuhkan pikiran bahwa sejatinya pandan itu milik
orang-orang yang mengambilnya tanpa permisi itu, dan Tuhan hanya sedang
menitipkannya untuk tumbuh subur di pekarangan saya. *****
beberapa tanaman. Baik yang sengaja ditanam maupun yang tumbuh dengan
sendirinya. Bayam adalah yang tumbuh tanpa saya menanamnya. Sementara
belimbing, sirsak, turi, beluntas, pohon ungu dan pandan adalah yang
sengaja saya tanam.
Semua tertanam dengan ala kadarnya, dalam arti; kalau dipandang oleh orang yang mengerti penataan landscape ia terlihat tiada seninya sama sekali. Tak apalah. Yang penting ada tambahan asupan
oksigen yang bisa saya hirup di halaman untuk mengimbangi taburan
polusi yang dikeluarkan cerobong-cerobong pabrik --maklum, karena rumah saya
hanya berjarak limapuluh atau seratus meter saja dari kawasan industri. Yang
penting lagi adalah fungsinya; daun beluntas untuk mengatasi bau
badan, daun ungu untuk mengusir wasir, daun sirsak untuk mencegah
kanker, kembang turi untuk dipecel dan pandan untuk penambah aroma
pada kolak atau penganan lainnya. Buah belimbing bisa juga sih untuk menyembuhkan sariawan,
tetapi sekarang belum berbuah. Dan saya belum tahu apakah daunnya
mempunyai khasiat yang sama dengan buahnya. Yang saya tak harus
menunggu berbuah adalah pandan. (eh, apakah pandan juga berbuah?)
Dibanding punya tetangga kanan-kiri, tanaman pandan di halaman rumah
saya terbilang paling subur. Daunnya lebat. Padahal istri saya belum
tentu sebulan sekali bikin kolak, dan untuk sepanci kolak, paling
banter cuma membutuhkan lima helai daun pandan sebagai penambah aroma.
Tetapi, daun pandan di depan rumah itu nyaris saban hari berkurang.
Dengan lokasi di bibir pekarangan dan tanpa pagar, siapapun yang lewat
dan sedang ingin mengambil daunnya bisa melakukannya dengan gampang.
Mula-mula jengkel juga; gak ikut nandur (menanam), kok enak saja
mengambil tanpa permisi.
Tetapi, tunggu dulu, berapa sih harga dua-tiga helai daun pandan?
Sudah sepadankah harga itu untuk menumbuhkan rasa dengki? Iya, tetapi
mestinya kan permisi dulu, nembung dulu. Lho, bikin kolaknya kan pagi,
kalau menunggu sampai sore ketika yang punya sudah pulang kerja, apa
harus kolaknya tanpa pandan?
Sepertinya sangat banyak hal kecil dan tak seberapa nilainya yang bisa
sebagai bibit tumbuhnya penyakit hati. Dan ketika saya tidak bisa
mengikhlaskan hal-hal sepele, makin musykil saja rasanya untuk
merelakan hal-hal besar.
Padahal pandan itu tumbuh nyaris tanpa pernah saya rawat kecuali
menyiramnya. Kalau mau, tentu Yang Maha Menumbuhkan bisa saja sejak
awal membuat pandan itu puret, bengkring atau bahkan mati. Karenanya, kenapa
saya tidak menumbuhkan pikiran bahwa sejatinya pandan itu milik
orang-orang yang mengambilnya tanpa permisi itu, dan Tuhan hanya sedang
menitipkannya untuk tumbuh subur di pekarangan saya. *****
EWAS Bikin Klejingan
Melihat-lihat dulu, menawar-nawar kemudian. (Foto: Galuh Setiawan) |
Yang dijual aneka macam, mulai baju, sepeda, tas, sepatu, kacamata renang, mainan anak yang semuanya adalah barang lungsuran atau bekas pakai. Harga dibanderol mulai sepuluh ribu (untuk barang mainan anak-anak) sampai satu juta. Ya, yang satu juta itu harga sebuah tas, dan bekas. Mahal? Relatif. Tetapi, "Ini barang bagus," kata Nyonya Montse yang memajang tas itu. "Lihatlah; bahannya, jahitannya, semua perfect. Ini kalau baru, harganya three million rupiah," katanya.
Suasana bazar. (Foto: Galuh Setiawan) |
"Ini murah, mas," kata seoarng teman yang memegang sepatu anak-anak berbahan kulit berwarna cokelat.
"Berapa sampeyan beli?" tanya saya.
"Seratus," jawabnya mantap. "padahal kalau baru ini tujuh ratus, Mas," tambahnya.
Saya menuju stan lain. Selain busana dan mainan anak, disitu PS Portable merek Sony terselempit pada tas dengan posisi menonjol ke atas. Ya, saya tak tertarik membeli tasnya, tetapi PS-nya. Agar tidak seperti membeli kucing dalam karung, saya buka dus PS itu, dan, "No, no.Ini punya saya, tidak dijual," kata bule cantik itu dalam bahas Inggris yang sukses membuat muka saya merah maroon karena klejingan.
Sepeda impor ini dibanderol lima ratus ribu rupiah. (Foto: Galuh Setiawan) |
"Oke, silakan; harganya sepuluh ribu sebotol," seorang panitia, juga perempuan bule, membuat saya meletakkan lagi sebotol kecil air mineral itu.
Saya kira gratis, lha kok harus bayar. Sepuluh ribu pula harganya, padahal diluar paling cuma duaribu.
"Khusus anggota memang gratis," terangnya.
Saya menjauh, meninggalkan arena. Tak meneruskan mengunjungi stan lain; takut klejingan lagi. *****
Jumat, 05 Juni 2015
Caring; Sebuah Rebranding
CAPING adalah sebutan untuk penutup kepala terbuat dari anyaman bambu
yang dikenakan petani saat ke sawah. Dan 'caping gunung' adalah judul
gending Jawa yang semua sinden pasti bisa menembangkannya. Tetapi ada
'caping' lain yang selalu bisa ditemui pembaca majalah Tempo di
halaman belakang. Ya, 'caping' yang ini bisa bermakna lain sekaligus
tidak. Caping sebagai 'penutup kepala', sekaligus 'caping' lain
sebagai Catatan Pinggir Gunawan Mohammad. Pada tahap itu, bukan
majalah Tempo namanya kalau tanpa ada Caping tulisan Mas Gun di
dalamnya.
Awalnya blog ini saya kasih nama Sudut Edi Winarno. Dan hanya sebentar
label itu muncul. Karena kurang sreg, lalu saya ganti menjadi Kedai
Kang Edi. Nama ini yang bertahan agak lama: enam tahun. Eh, kok
lama-lama saya ingin ganti nama lagi. Toh blogger tidak melarang hal
itu. Toh untuk gonta-ganti nama blog saya tak harus membuat 'jenang
abang' sebagai sesajen terlebih dulu. Tetapi apa nama yang pas?
Jadilah Caring.
Biarlah kalau ada yang menganggap itu agak mirip Caping.
Bukan, Caring saya ini bukan bahasa Inggris. Malah saya lebih sreg
membacanya sebagai bahasa Jawa. Entah apa arti kata itu dalam bahasa
Jawa yang berlaku di daerah Anda, tetapi di daerah saya caring berarti
menghangatkan tubuh dengan berjemur pada matahari pagi saat musim
bedhidhing kembang cilung, musim dingin saat mekarnya bunga pohon
dadap.
Sebagai orang yang 'kemaruk' ngeblog, awalnya ada beberapa akun blog
yang saya punya, bahkan hingga kini. Tetapi yang agak ajeg saya rawat
ya ini, yang sedang Anda kunjungi sekarang ini.
Ya, sekarang ini bukan lagi Kedai Kang Edi dan sudah menjadi Caring. Sampai kapan nama Caring (catatan
ringan) ini bertahan untuk tidak berganti lagi? Saya tidak tahu.
Tetapi kalau ditanya kenapa saya tetap saja menulis walau pengunjung
jarang yang meninggalkan jejak komentar?
Simpel saja jawabnya. Bagi saya, menulis itu mempunyai perbedaan yang
serius dibanding bicara atau tertawa. Umpama saya selalu bicara
sendiri atau tertawa sendiri, orang dengan gampang akan meletakkan
jari telunjuk di jidat dengan posisi miring untuk memberitahu orang
lain tentang saya. Tetapi ketika saya melakukan aktifitas menulis
sendiri, iya sendiri saja dan di sembarang tempat, niscaya tidak akan ada yang mengatai saya sebagai 'begini'. (saya menulis kata terakhir barusan sambil meletakkan jari telunjuk di jidat dengan posisi miring).*****
yang dikenakan petani saat ke sawah. Dan 'caping gunung' adalah judul
gending Jawa yang semua sinden pasti bisa menembangkannya. Tetapi ada
'caping' lain yang selalu bisa ditemui pembaca majalah Tempo di
halaman belakang. Ya, 'caping' yang ini bisa bermakna lain sekaligus
tidak. Caping sebagai 'penutup kepala', sekaligus 'caping' lain
sebagai Catatan Pinggir Gunawan Mohammad. Pada tahap itu, bukan
majalah Tempo namanya kalau tanpa ada Caping tulisan Mas Gun di
dalamnya.
Awalnya blog ini saya kasih nama Sudut Edi Winarno. Dan hanya sebentar
label itu muncul. Karena kurang sreg, lalu saya ganti menjadi Kedai
Kang Edi. Nama ini yang bertahan agak lama: enam tahun. Eh, kok
lama-lama saya ingin ganti nama lagi. Toh blogger tidak melarang hal
itu. Toh untuk gonta-ganti nama blog saya tak harus membuat 'jenang
abang' sebagai sesajen terlebih dulu. Tetapi apa nama yang pas?
Jadilah Caring.
Biarlah kalau ada yang menganggap itu agak mirip Caping.
Bukan, Caring saya ini bukan bahasa Inggris. Malah saya lebih sreg
membacanya sebagai bahasa Jawa. Entah apa arti kata itu dalam bahasa
Jawa yang berlaku di daerah Anda, tetapi di daerah saya caring berarti
menghangatkan tubuh dengan berjemur pada matahari pagi saat musim
bedhidhing kembang cilung, musim dingin saat mekarnya bunga pohon
dadap.
Sebagai orang yang 'kemaruk' ngeblog, awalnya ada beberapa akun blog
yang saya punya, bahkan hingga kini. Tetapi yang agak ajeg saya rawat
ya ini, yang sedang Anda kunjungi sekarang ini.
Ya, sekarang ini bukan lagi Kedai Kang Edi dan sudah menjadi Caring. Sampai kapan nama Caring (catatan
ringan) ini bertahan untuk tidak berganti lagi? Saya tidak tahu.
Tetapi kalau ditanya kenapa saya tetap saja menulis walau pengunjung
jarang yang meninggalkan jejak komentar?
Simpel saja jawabnya. Bagi saya, menulis itu mempunyai perbedaan yang
serius dibanding bicara atau tertawa. Umpama saya selalu bicara
sendiri atau tertawa sendiri, orang dengan gampang akan meletakkan
jari telunjuk di jidat dengan posisi miring untuk memberitahu orang
lain tentang saya. Tetapi ketika saya melakukan aktifitas menulis
sendiri, iya sendiri saja dan di sembarang tempat, niscaya tidak akan ada yang mengatai saya sebagai 'begini'. (saya menulis kata terakhir barusan sambil meletakkan jari telunjuk di jidat dengan posisi miring).*****
Langganan:
Postingan (Atom)