Kamis, 21 September 2017
1 Muharram di Tabanan
Senin, 07 Agustus 2017
Tak Bisa ke Lain Honda
Selasa, 27 Juni 2017
Bipang; Cemilan Kenangan
Bipang cap Jangkar, eh ternyata penganan ini khas Pasuruan. (Foto: ediwe) |
Sabtu, 03 Juni 2017
Menjual Derita
Minggu, 28 Mei 2017
Silaturahim Dalam Rangka Ninmedia
Suguhan serba hangat, kecuali pisang, satfinder reciever dan kacamata. |
Kamis, 30 Maret 2017
Mirasantika Putra Raja
Rabu, 29 Maret 2017
Ketakutan dan Impian
Baca juga: Mengandung Humor, Menanggung Tumor
Kamis, 12 Januari 2017
Ajal Siaran TV Digital Terrestrial?
'Mendiang' penampakan sinyal Viva grup. |
Senin, 09 Januari 2017
Memahat Sebongkah Batu
LELAKI itu adalah pemahat yang ahli. Batu apapun, bila ditanganinya akan menjadi patung yang indah. Kemasyhurannya menyebar ke seantero negeri. Dan, ketika ada yang bertanya, apa rahasianya sehingga selalu mampu membuat patung yang apik, dengan datar ia mengatakan, "Sebetulnya patung-patung indah itu telah ada pada bongkahan batu. Saya hanya membuang bagian-bagian yang tak perlu saja, yang membuatnya belum kelihatan bentuk aslinya".
Itu kalimat yang bisa jadi telah Anda temukan entah di bacaan mana, tetapi saya juga menemukannya pada salah satu dialog pada film Rambo II, dengan Sylvester Stallone sebagai sang jagoannya.
Saya membayangkan kita, atau saya secara lebih sempit, sedang menjadi sang pemahat. Dan karena kesibukan lain yang tidak bisa ditinggal, untuk memahat sebongkah batu milik saya itu, saya serahkan kepada pemahat lain, yang saya nilai lebih expert ketimbang saya. Tujuannya jelas, hasil pahatannya harus bagus, sebagus keinginan saya. Dengan menyerahkannya secara bongkokan, inginnya saya tahu beres saja, walau untuk itu tentu tentu harus ada biaya yang saya tanggung.
Tetapi, di negeri ini, apakah semua pemahat bagus? Yang selalu memperlakukan pahatannya dengan lemah lembut, dan hanya menyingkirkan bagian-bagian yang tak perlu saja. Bukan saking semangatnya malah sebagian besar pemahat itu memberlakukan si batu sedemikian rupa, dari pagi sampai sore sekali. Walau sistem yang nyaris full day itu belum menampakkan hasil pahatan yang berkualitas tinggi.
Si bungsu saya masih duduk di bangku TK, dan sejak seminggu lalu harus melalui waktu yang lebih panjang di bangku sekolah, dari pagi sampai jamg duabelas siang. TK sama dengan sekolah, apakah memang demikian? Ataukah TK adalah hanya taman kanak-kanak, dimana hanya tempat 'bermain' bagi kanak-kanak? Yang tidak menjejali si kanak-kanak dengan jam belajar yang panjang, yang membebani mereka PR bertumbuk saban harinya, yang harus membuat mereka pandai calistung?
Saya bukah ahli pendidikan, dan hanya mendengar konon sistem pendidikan kita masih kalah tertinggal. Masih konon lagi, negara Finlandia, yang sistem pendidikanya terbilang bagus di kelas dunia, jam pelajarannya tak sebanyak kita. Saya membayangkan, siswa di sana punya banyak waktu untuk dirinya sendiri. Jam sekolah pendek, dan gurunya tak kemalan kasih PR saban hari. Satu lagi, sepertinya disana tidak ada TPA kayak disini.
"Ooii..., kita, kalau begitu, lebih unggul, Cung! Disini kita tidak menjejali sedari dini otak anak-anak dengan Iptek semata, tetapi juga Imtaq".
Tentu saya tak hendak menyangkal pendapat diatas. Yang saya khawatirkan adalah, dengan sistem yang menganut pakem 'ganti menteri ganti kebijakan' ini, jangan-jangan 'sang pemahat' malah bukan hanya membuang bagian tak penting dari sebongkah batu demi mendapati hasil yang indah, namun bagian-bagian yang penting yang sebenarnya terbilang pelengkap keindahannya pun, ikutan terbuang pula. *****