HARI
Minggu
pagi yang
gerimis dipadu dengan menunggu yang bikin jemu, membuat Murni
berkali-kali mondar-mandir keluar masuk rumah. Teras yang tak
seberapa luas, dengan beberapa bunga berjajar dipot-pot mungil.
Daun-daun bunga itu, kalau kau tahu, mendesis ia. Kedinginan. Karena
ujung genting teras rumah yang dihalaman depan rimbun daun pohon
manggga dan pohon kelapa gading kuning, meneteskan air yang sesekali
nakal mencolek bahunya. Lampu gantung mungil yang telah ia padamkan
tiga jam lalu, kadang bergoyang ditiup angin. Menggeleng. Sementara
Murni belum juga mampu menggulung rasa yang hinggap di dada. Ia
memang belum lupa akan kalimat ‘merpati tak pernah ingkar janji’.
Tetapi ia memang hanya berharap bukan akan terhadap janji. Hei,
bukankah seorang tukang koran mengantar koran pagi di pagi hari tak
perlu mengucap janji? Karena itu sebuah keniscayaan. Tempo hari mbak
Pipit, redaktur kenalannya di koran itu, mengabarinya lewat SMS kalau
tulisannya dimuat hari ini. Bagi Murni, membaca tulisannya dimuat
merupakan kenikmatan tersendiri. Dan Anton, nama tukang koran itu,
tentu tak tahu. Namun, tahukah ia bila sesekali Murni menatapnya
melebihi tatapan pelanggan kepada lopernya?
Setahun
yang lalu, gerimis-gerimis begini seorang lelaki datang pagi-pagi
kerumahnya. Lelaki itu membawa koran yang ditumpuk disela antara jok
dan kemudi motornya. Lelaki yang tak biasa. Agak kurus, dengan rambut
lurus. Mata yang dilapisi kacamata. Bermantel biru bergambar burung
pinguin di punggungnya. Murni, waktu itu, berdiri diiteras seperti
pagi sebelumnya ia menunggu pak Joko, tukang koran langganannya.
“Saya
Anton. Bapak sakit,” lelaki itu menyodorkan koran. Itu pertama kali
Murni mengenal sang loper korannya.
Sejak
itu, seringkali ia menggantikan bapaknya mengantar koran. Semakin
lama- semakin sering saja. Sampai kemudian pak Joko menyerahkan
semuanya kepada Anton. Lelaki berkacamata itu begitu dingin. Paling
tidak, tak seramah bapaknya. Bahkan, jarang sekali Murni melihatnya
tersenyum. Jangankan berbicara basa-basa tentang ini-itu. Tak pula
pernah bercerita tentang kesehatan bapaknya. Pak Joko memang sudah
terlalu tua menjadi pengantar koran. Tapi Murni tahu, tubuh tua itu
takkan berhenti bila tidak benar-benar tidak kuat. Murni jadi ingat
bapaknya. Sudah mendiang beliau. Tiga tahun sebelum ibunya. Bapak,
lelaki pensiunan guru Agama itu, tak pernah mau berhenti. Selalu saja
ada yang dikerjakannya. Pohon mangga dan gading kuning itu, yang
rimbun daunnya tampak mengigil digoda gerimis pagi itu, adalah selalu
mengingatkan sebaris kalimat ketika bapak menamannya dulu,” Mungkin
aku tak akan sempat meikmati buahnya, tetapi aku ingin cucuku,
anak-anakmu, kau ceritakan bahwa pohon ini kakeknya yang menanam...”
Ingatan
itu masih sering merambat dalam hati Murni. Seperti binatang melata
yang sekalipun tidak berbisa, membuat Murni merasakan sesuatu yang
aneh bila dihinggapinya.
“Maaf,
agak kesiangan. Motor saya sedang ngambek, gampang mogok.”
Lima
bulan lalu Anton berkata. Murni, tak tahu kenapa, seperti telah
ketularan sikap Anton. Tentu kalau menghadapi Anton. Karena semua
orang kampung sini tahu, Murni mewarisi sikap grapayak-semanak
ibunya. Tetapi, pikir Murni, ia tak bisa menerapkan keramahan itu
kepada Anton. Si lelaki berkacamata yang dingin itu. Sekadar mengucap
terima kasih tanpa ekspresi yang lebih berarti adalah ritual rutin
bila ia menerima koran dari Anton. Dan seperti ritual yang
membosankan pula Anton langsung menuju motornya yang diletakkan
dibawah pohon mangga, lalu melanjutkan mengantar koran ke pelanggan
lainnya. Tetapi hari itu Murni melihat tubuh motor Anton berlumur
lumpur. Ingat ia, dimulut gang sana ada pekerjaan perbaikan pipa PDAM
yang bocor. Tanah bekas galiannya, dikanan-kiri seperti adonan bubur.
Kemarin sore Murni sempat hampir terpeleset ketika bermotor disitu.
Beberapa saat Anton masih dibawah pohon mangga. Setelah gagal
beberapa kali menghidupkan motor pakai electric
starter,
ia pakai kick
starter.
Gagal juga. Motornya mogok lagi, rupanya. Padahal, Murni lihat, ada
setumpuk koran yang masih harus dia antarkan.
“Pakailah
motor saya saja dulu. Kasihan pelanggan kalau harus menunggu,”
menyesal juga Murni megucapkan kata-kata itu. Takut ditanggapi tidak
semestinya oleh Anton.
Anton
melihat jam tangannya. Lalu beralih melihat langit pagi yang mungkin
saja sedang disalahkan; pagi-pagi mengucurkan gerimis. Lalu matanya
beralih memelotoyi motornya, yang –lagi-lagi-- mendapat umpatan
dalam hati, barangkali. Ya, itu semua dugaan Murni. Dugaan yang
muncul melihat sikap Anton. Hei, dengar tidak? Ingin sekali Murni
meneriaki lelaki itu dengan kalimat itu. Tetapi tidak jadi. Karena
lelaki itu, dengan mata yang sukar diterjemahkan dengan kata-kata,
menoleh kearah Murni.
“Bu
Guru nanti berangkat mengajar naik apa?”
Murti
tertawa kecil. Bukan pada pertanyaan Anton barusan, tetapi cara dia
memanggil. Bu Guru?
“Seratus
meter jarak rumah ini ke madrasah tentu saja saya hanya butuh payung
digerimis begini. Bukan motor,” kata Murni.
“Tapi
saya akan agak siang menyeselaikan mengirim koran-koran ini.”
Beberapa
hari ini angin memang sedikit tidak seperti biasanya. Ia berhembus
lebih kencang. Di televisi sering dikabarkan sampai merobohkan rumah
atau sekolah. Tetapi angin pagi itu, hanya semilir saja. Itupun aneh.
Pagi-pagi ada angin? Atau angin itu hanya ingin mengibarkan ujung
coklat muda jilbab Murni. Entahlah.
Ya
sejak itu, sejak Anton meminjam motor matiknya, mereka tidak hanya
bertegur sapa sekaku dulu. Setidaknya ada senyum yang menyertainya.
Tetapi, seperti kepada setiap senyum laki-laki, Murni sudah
kehilangan keberanian untuk berharap lebih. Lebih-lebih, si Anton itu
secara usia masih dibawahnya. Ia, dengan usia nyaris tigapuluh tujuh,
bukan lagi pantas berharap tentang sesuatu yang indah dibalik senyum
Anton.
Senyum
itu, menjadikan sebuah hubungan terasa lebih dekat. Tetapi, ketika ia
sedikit dekat saja dengan seorang laki-laki, hatinya kembali teringat
ancaman Seno. Anak juragan sapi yang dulu pernah menaksirnya. Anak
orang terkaya dikampung. Ketika itu keluarga Murni belum pindah
kesini. Tetapi dengan tabiat yang seurakan itu, tentu Murni tak kuasa
menerimanya. Berkali-kali Seno mengucap cinta, berulang kali pula
Murni meminta waktu untuk mempertimbangkannya. Ini sebagai siasat
semata, tentu saja. Karena untuk langsung menolaknya, Murni merasa
terlalu akan menyakitkan. Padahal hatinya tidak ingin menyakiti hati
siapapun. Termasuk hati Seno. Itu memang masa lalu. Dan masa lalu itu
membuat kadang-kadang Murni mengakui kesalahannya. Gara-gara, karena
terus didesak untuk memberi kepastian, ia berterus terang tidak bisa
menerima cintanya, membuat Seno berang. Dan tersinggung.
Ketersinggungan itu diucapkannya lewat sebuah kalimat, “sampai
kapanpun, kalau ada laki-laki yang akan jatuh cinta kepadamu, jangan
sebut aku Seno.” Ingin menangis rasanya Murni mendengar kata-kata
itu. Ketika itu bukan takut yang ia rasa. Tetapi, ia merasa telah
menyakiti seseorang. Sesuatu yang tak ia inginkan, dengan alasan
apapun. Tentang ancaman itu, Murni yakin, Seno bukan penentu nasib
seseorang.
Untunglah,
kemudian Bapak dipindah tugaskan mengajar ke lain tempat yang lumayan
jauh. Mereka pun pindah rumah ke yang ditempatinya sekarang ini.
Dengan begitu Murni bisa tidak selalu ketemu Seno. Dengan begitu pula
ia berharap bisa sedikit demi sedikit mengubur masa lalu.
Tetapi
ketika setahun, dua tahun, lima tahun, sepuluh tahun, lima belas
tahun... tidak juga ada seorang lekaki yang dekat dengannya, ia jadi
ragu akan keyakinannya. Keragauan itu tercermin dari desah yang tanpa
diketahui oleh siapapun. Termasuk oleh bapaknya, atau kemudian
ibunya. Sampai keduanya meninggal pun tak pernah ia bercerita tentang
Seno. Namun sekuat-kuatnya kuda berlari, pada saat tertentu ia akan
berhenti juga. Murni sedang menunggu saat berhenti itu. Saat ketika
perkataan Seno yang diucapkan dulu menemui ketidakbenarannya. Saat
itu, Murni yakin ada langkah baru yang akan ditempuhnya. Sekalipun
itu mendaki. Seperti menaiki anak tangga. Tapi kapan? Padahal seperti
menaiki anak tangga, usianya pun selalu merambat naik.
Itulah
kenapa ia berusaha memandang Anton tidak lebih dari sebuah
pertemanan. Kalaulah itu memang harus ke jenjang lebih dekat, Murni
membatasinya pada tingkat persahabatan saja. Dengan begitu, ia merasa
main aman. Bukan seperti menebak permainan dadu. Dan sebulan, dua
bulan, lima bulan, Murni melihat Anton lebih menyenangkan, lebih
memperhatikan. “Cerpen Anda yang dimuat kemarin di
tabloid, saya curigai sebagai kisah nyata,” katanya suatu
ketika. Dan senyum Murni, walau tak semanis gula adalah semacam
pengiyaan atas tanya itu. “Cerita cinta memang tak ada habisnya,”
lanjut Anton dengan senyum penuh arti dalam balutan semanis madu
dimata Murni. Ya, cerita cinta memang tidak apa habisnya. Murni
meyakini itu sambil merajut keyakinan lama, bahwa ancaman Seno suatu
hari tidak terbukti.
USIA
yang terbilang sudah tidak lagi muda, hidup dirumah sendiri.
Aktifitas sehari-hari dijalani Murni sebagai seorang pengajar
disebuah madrasah. Darah ayahnya sebagai guru rupanya menitis dalam
aliran hidupnya. Kalau malam tiba, --ketika murid lesnya sudah
pulang--, Murni membunuh rasa sepi dengan menulis. Dengan menulis
cerpen-cerpen itu, Murni merasa tidak sendiri. Tidak kesepian. Dan
ketika tulisannya dimuat media, ia merasakan hal yang hanya
terkalahkan oleh rasa bahagia seorang ibu yang baru melahirkan
anaknya. Ya, melahirkan cerita cinta dalam kemasan kata indah,
melahirkan pula kembarannya; kepuasan yang tiada tara. Dan pagi ini,
ia sedang bersiap , membaca tulisannya sendiri. Tetapi kenapa Anton,
laki-laki berkacamata itu belum juga muncul. Mana gerimis masih belum
bosan membasahi pagi lagi. Dan tetes air yang jatuh berantai pada
daun-daun mangga didepan rumahnya, kalau didengar lebih seksama,
serupa mantera yang asing. Atau itu hanya suara gigil daun yang tak
kuasa menghindari guyuran gerimis.
HARI
Minggu
pagi yang
gerimis dipadu dengan menunggu yang bikin jemu, jam dinding
berdenting delapan kali ketika Murni menyalakan laptopnya didalam
kamar dengan jendela yang menghadap ke halaman depan dari sisi
samping. Dari situ Murni bisa melihat rintik gerimis, bisa melihat
pagar depan rumah, karenanya --seperti yang sudah-sudah--, ia bisa
melihat Anton datang mengantar koran. Baru saja ia akan membuka edisi
online koran itu, sebuah deru mesin motor yang sudah sangat ia kenal
makin mendekat. Dan benar saja, Anton muncul. Dilihatnya, tumpukan
koran yang biasanya diletakkan disela jok dan setang kemudinya telah
habis terantar kerumah pelanggan. Disitu, ditempat yang
biasanya ditempati tumpukan koran, ada terselip sebungkus kado
berlapis tas plastik. Bukan takut terkena debu tentu saja, karena
debu di pagi yang gerimis ini telah menjelma menjadi benda lain.
Sudahlah, tak perlu membahas debu, tak perlu pula membahas gerimis.
Lihatlah, Murni menyambut Anton dengan pandang aneh. Belum pernah
Anton mengirim koran pagi sesiang ini.
“Maaf,
agak siang. Sengaja,” katanya sambil melepas mantel dibibir teras.
Sengaja, katanya. Aku ingin segera membaca cerpenku yang dimuat pagi
ini sementara ia bilang sengaja datang mengantar koran agak siang,
ada apa coba? Tetapi Murni buru-buru ingat, bisa saja Anton selepas
subuh tadi tidur lagi. Pasti ia masih capek seharian kemarin sibuk
sebagai remaja masjid yang sedang menggelar acara Mauludan. Dan malam
tadi, Murni lihat Anton juga tampil sebagai MC.
“Boleh
saya duduk,” tanya Anton sambil menyerahkan koran, sebuah suara
yang membuat Murni sadar dari lamunannya.
Murni
terkesiap,” Oh, tentu saja,” sambil memegang koran Murni
menyilakan.
Duduk
diteras, pagi-pagi berhias gerimis, oh ada apa ini.
“Hari
ini saya ulang tahun. Ini ada hadiah untuk Bu Guru.”
“Panggil
saya Murni. Ya, Murni saja. Saya bukan guru Anda, kan?” Murni ingin
menghangatkan pagi yang dingin. “Anda yang ulang tahun saya yang
dapat hadiah, bagaimana ini?”
“Bukan
barang mahal. Tetapi saya lihat mm... Bu guru, eh mbak Murni, suka
warna coklat. Semoga cocok.”
“Boleh
saya buka sekarang?”
“Tentu
saja.”
Oh,
sebuah jilbab terlipat rapi dalam kardus mungil. Murni jadi ingat
ibunya. Ya, ibunya yang pertama kali berhasil membuatnya menutupi
mahkotanya, dari kelas dua SMA sampai sekarang. Dan, “Bercerminlah,
engkau terlihat lebih cantik dengan jilbab coklat itu,” kata ibu
kala itu. Ya jilbab coklat yang dibelikan ibu itu masih Murni simpan
sampai sekarang. Kali ini, pagi ini, ia mendapatkan jilbab dengan
warna nyaris sama. Apakah ini kebetulan?
“Tunggu
dulu, biasanya yang ulang tahun yang dapat kado. Ini kok aneh.”
kata Murni. “Saya jadi malu, seharusnya saya yang ngasih hadiah.
Tetapi mana tahu kalau hari ini Anda ulang tahun.”
“Baiklah
kalau begitu,” kata Anton. “Sampeyan
boleh
memberi saya hadiah, tetapi bentuknya saya yang menentukan.
Bagaimana?”
Murni
tertawa kecil mendengar lanjutan kelucuan ini.” Memangnya Anda mau
hadiah dalam bentuk apa?”
“Hati
yang murni.”
Murni
tak ada alasan tidak untuk diam. Bukan saat yang tepat untuk tertawa.
Lagian, sorot mata Anton mencerminkan ia tidak sedang melucu.
“Bisa
diulangi sekali lagi?” pinta Murni.
“Sebuah
cinta.”
Murni
diam. Gerimis yang menjelma menjadi hujan suaranya kalah riuh
dibanding gejolak hati yang gaduh. Yang kasat mata, beberapa saat
suasana hening. Dua insan sedang membiarkan hujan menari-nari
menghias pagi sesuka hati. Murni mendekap erat jilbab hadiah dari
Anton. Saat berikutnya ia tutupkan kain itu kewajahnya. Hangat
terasa matanya. Kemudian, Murni merasakan air mata itu tak sanggup ia
bendung.
“Kenapa
menangis?” Anton menatap penuh harap. “Jangan salah duga, sebagai
laki-laki saya telah siap mendapat jawaban terburuk hari ini.
Katakanlah, sepahit apapun kenyataan, akan saya telan.”
Murni
mengeleng. Sebuah gelengan sebagai pencegah Anton menelan
kepahitan.*****