WALAU belum tentu setiap khotib sholat 
Jumat memiliki ilmu hipnotis, seringkali saya tertidur ditengah-tengahnya. Dan 
tidur itu, jujur saja, terlaksana antara tertidur atau memang sudah saya nawaitu terlebih dulu. Tetapi Jumat kemarin (24 Pebruari), saya 
benar-benar tidak tertidur atau menidurkan diri. Karena, belum sempat saya 
disentuh rasa kantuk, khutbah telah selesai. Benar-benar khutbah kategori Patas. 
Dan, jam duabelas lebih sepuluh menit, saya sudah tiba lagi di tempat kerja yang berjarak sekitar dua ratus meter dari masjid.
Jam kerja masih lama. Intinya, masih ada waktu 
lebih dari tiga puluh lima menit untuk istirahat. Dan saya menuju driver 
lounge untuk melampiaskan hasrat tidur. Kipas angin besar yang berputar di 
langit-langit menghembuskan kesejukan yang sepertinya akan bisa mempercepat 
proses tidur siang saya. Tetapi Wiratno, teman kerja saya yang juga ikut 
istirahat ditempat itu, malah dengan lancang memindah saluran televisi dari HBO 
ke TVRI. Ia yang memang aktif dikegiatan masjid dikampungnya, rupanya hapal 
betul kalau hari Jumat di jam segitu sedang ada siaran live dari masjid 
Istiqlal.
Benar saja; dan acara khutnah Jumat sedang baru 
saja dimulai. Mata saya yang terpejam (mungkin ditiup-tiup setan) malas sekali 
untuk sedikit saja melihat layar televisi. Tetapi rupanya si setan belum 
berhasil menyumpal lobang telinga saya. Makanya, saya masih saja mendengar isi 
khutbahnya. Ini dia, di masjid tadi khutbah hanya sejenis Kultum, di driver 
lounge ini khutbahnya bermenit-menit.
Karena mata saya terpejam, saya tidak tahu nama 
sang khotib yang tentu saja beberapa menit sekali tertulis dibagian bawah layar 
televisi. Yang saya ingat adalah, kali itu khotib membahas tentang perkembangan 
Islam dari zaman ke zaman ditinjau dari segi  local wisdom.
Diantaranya dipaparkan, untuk menyebarkan agama 
Islam di tanah Jawa Sunan Kalijaga memakai media pewayangan. Tentu saja setelah 
dipermak sedemikian rupa. Karena dalam cerita pewayangan made in India, 
menurut khotib, Si Pendawa Lima itu ternyata memiliki satu istri bernama 
Drupadi. Si Dewi ini melakukan praktik poliandri, sesuatu yang tidak Islam sama 
sekali. Makanya Sunan Kalijaga memodifikasi menjadi si Pendawa Lima itu adalah 
anak-anak dari Dewi Kunti.
Masih menurut sang khotib, laku penyebaran Islam 
dengan model begitu, belakangan masih saja terjadi. Salah satunya adalah yang 
dipakai beberapa 'orang pintar' di beberapa daerah yang masih sangat kental 
dengan kepercayaan terhadap hal-hal mistis. Tentang Nyai Roro Kidul, misalnya. 
Disebutkan sang khotib, ada 'orang pintar' yang dengan berani bilang kepada 
orang yang sering meminta jasanya bahwa Nyai Roro Kidul itu adalah seorang 
muslimah. Dan sekarang sudah bergelar hajjah!
Dalam kemampuan supranaturalnya, 'orang pintar' 
tadi melihat sang penguasa laut selatan itu sekarang sudah tampil tertutup, 
berbusana muslimah. (Tidak lagi menggunakan busana yang dulu sering kita tonton 
lewat film-film Suzana atau yang akan diteruskan oleh si Jupe yang sepertinya 
hobby sekali menonjolkan bagian tubuh yang sebenarnya sudah menonjol itu.) 
Makanya, kepada setiap pasien-nya, si 'orang pintar' ini menganjurkan agar 
setiap wanita yang datang meminta tolong kepadanya agar berbusana muslimah.
Saya tentu tidak serta merta menuduh para wanita 
yang sekarang sedang menjadi sorotan publik karena berbagai kasus hukum, selalu 
saja mengubah penampilan kesehariannya , paling tidak, dengan berkerudung, 
adalah para pasien si 'orang pintar' yang dalam setiap lakunya selalu meminta 
tolong kepada Nyai Roro Kidul tadi. Tetapi kalau memang begitu kecenderungannya, 
jangan salahkan para penjual kerudung bila dalam doanya sesekali meminta agar 
lebih banyak lagi wanita yang terkena kasus agar barang dagangannya semakin 
laku.
Salam.*****
 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar