SAYA sempat punya kendaraan resmi untuk segala aktifitas. Ia adalah seekor bebek dari spesies Honda. Dalam dokumen resmi, tertera di aktenya, ia lahir tahun 1997. Dengan nama lengkap Astrea Grand Impressa. Ini data resmi. Walau segala keresmian itu tidak saya dukung dengan membawanya secara berkala ke bengkel resmi. Tetapi mengajaknya selalu berkunjung ke sebuah bengkel di seberang Taman Flora Surabaya yang tempo hari saya tamasyai (Klik disini). Bengkel Libra namanya. Alasan utama saya adalah; karena saya punya teman yang bekerja sebagai salah satu mekanik di situ. Tentu ia adalah karyawan resmi.
Agak pagi saya ke sana. Tujuannya agar si Astrea saya segala ditangani. Saya tidak ingin didahulukan hanya karena sebagai teman. Tapi memang karena saya datang lebih awal. Maklum, hari Sabtu begitu biasanya bengkel selalu ramai. Benarlah adanya. Sekalipun saya datang pagi, tetap ada yang lebih pagi. Dan tetap saja saya dapat antri nomor kesekian.
Suara ngang-ngeng akibat gas ditarik kencang berbaur dengan asap kenalpot yang berkeliaran menari telanjang ke segala penjuru ruang. Bising. Tapi mau bagaimana lagi, si Astrea sudah waktunya 'pijat refleksi.' Sekalian sudah waktunya ganti oli.
Memandang beberapa teknisi dengan baju dan tangan berlumur oli, adalah sebuah kesegaran ketika datang seorang gadis berbaju merah membawa brosur promosi oli. Tubuh sintal langsing berbalut baju merah agak ketat, membuat saya tersanjung ketika ia mengambil duduk di dekat saya.
“Servis, pak?”
“Iya.”
“Ganti oli juga?”
“Iya.” jawaban saya tetep pendek, sependek roknya.
“Kebetulan, Pak. Kita lagi ada promosi oli. Ini oli bagus, Pak. Lagian kalau bapak pakai ini, dan bapak mengisi lembar undian, bapak berpeluang memenangi berbagai hadiah menarik.”
Sungguh saya telah tertarik. Tetapi pada tutur katanya yang lancar jaya. (Maklum SPG). Belum pada olinya. Karena saya termasuk orang yang susah pindah ke lain hati. Dan tetap lebih memilih yang ber-tagline 'kita untung bangsa untung'.
“Motor bapak yang mana sih?”
“Itu masih di luar, nunggu antrean,” saya menunjuk si bebek yang sedang duduk manis di depan bengkel.
“Oh, nggak apa-apa, pak. Sekalipun tua, pakai oli ini tenaga bisa seperti motor muda. Wusss,wuuss,wuss....Dan satu hal lagi, kemungkinan dapat hadiah sangat besar, Pak. Karena promo ini hanya untuk Surabaya dan Bandung. Beli ya, pak?” suara itu nyaris sebagai rengekan manja.
Dari yang tadinya seneng, akhirnya luntur. Karena setiap mata tertuju ke arah duduk kami. Pelan tapi pasti, saya jadi gak enak juga. Takut dikira tua-tua keladi.
“Bagaimana, Pak? Beli ya?” rayunya tanpa putus asa.
“Produk ini laris, mbak?” saya mengeluarkan jurus 'tolak bala.'
“Laris, Pak.”
“Wah, saya gak jadi beli kalau gitu.”
“Kenapa?!”
“Kalau produk ini gak laris, kemungkinan saya menang undian lebih besar. Lha kalau laris, saingan saya kan banyak. Peluang jadi kecil.” *****
.
Selasa, 31 Mei 2011
Senin, 30 Mei 2011
Teka-teki Suket Teki
INI tentang klan. Tentang garis keturunan. Istilahnya; silsilah.
Dan inilah susahnya jadi orang Jawa. Minimal,Jawa-nya keluarga saya. Karena tidak seperti saudara kita yang di Batak, misalnya, yang punya nama marga. Sementara saya, sekalipun di Facebook saya ada beberapa nama teman saya yang pakai nama Winarno, mereka itu bukan saudara asli saya. Hanya kebetulan saja ada Winarno-nya. Lha kalau yang ada Winarno-nya itu beneran saudara, wah masih saudara juga dong saya sama pak Bondan yang 'mak nyuuss' itu. Tetapi tidak. Sekalipun siapa tahu, nantinya, ada organisasi semacam PWI; Persatuan Winarno Indonesia. He, he...
Syahdan, keponakan saya punya penyakit kulit yang bandel sekali. Sudah dibawa ke dokter spesialis Kulit dan Kelamin, dikasih salep yang lumayan mahal, juga gak sembuh-sembuh. Tadi malam, untuk entah keberapa kalinya, karena penyakitnya kambuh, dibawa lagi ke dokter. Dan dengan entah sungguhan atau tidak, karena bermacam obat telah diresepkan dan tak kunjung sembuh juga, sang dokter malah kasih advis yang agak aneh; "Ganti saja namanya agar sakitnya sembuh". Ha?!
Nama. Ya kembali lagi ke soal nama. Padahal, apalah arti sebuah nama, tulis William Shakespeare. Tapi tunggu sebentar. Ada cerita lain dari ibunya keponakan saya itu, yang tentu saja adalah adik saya. Begini; suatu malam ia bermimpi ketemu kakek yang sudah almarhum. Bilangnya, supaya sakit gatal anaknya sembuh, disuruh kasih ramuan suket teki. Sejenis rumput liar yang banyak tumbuh di sembarang tempat.
"Aha, suket teki," ujar saya ketika paginya adik saya menceritakan tentang mimpinya semalam. Ada apa dengan sulet teki?
Kata suket teki telah mampu mengingatkan saya akan dialog almarhum kakek saya dengan mbah Nurkolis yang juga telah almarhum sekitar dua dasawarsa lampau. Bahwa kami, anak cucu mbah Shodiq, nama kakek saya dari garis ibu , adalah keturunan Ki Ageng x... (maaf nama saya samarakan, takut ada keturunan sang Ki Ageng betulan yang ikut baca tulisan ini), seorang ulama dari sebuah kesultanan. Dalam hati saya berkata; masak sih saya yang 'mbelgedhes' begini ini keturunan orang hebat?
Dalam dialog yang diam-diam saya curi dengar itu, saya juga menyimak semacam kata kunci untuk mencari saudara se-silsilah. Key word-nya; 'mengko suket teki bakal ndudohke dhewe' (yang berarti; nanti suket teki bakal menunjukkan sendiri)
Saya diam saja. Tidak mencari tahu lebih banyak tentang suket teki itu. Toh, pikir saya, nanti si suket teki itu yang akan menunjukkannya sendiri. Bertahun-tahun saya tidak mengingatnya sebagai sesuatu yang berharga. Dan cenderung melupakan. Sampai suatu waktu paman saya, anak bungsu dari kakek saya, yang bekerja di Dinas Pendidikan Kabupaten Asmat, Papua, mengungkit lagi si suket teki itu lewat telepon.
Dengan suara yang masih sangat saya kenal, walau sudah belasan tahun tidak ketemu langsung, paman menceritakan pencariannya tentang suket teki itu. Sungguh ulet betul dia mencari kesejatian makna suket teki itu. Sementara saya lebih asyik bikin soal Teka-teki Silang untuk edisi Minggu di sebuah harian yang terbit di kota ini.
"Suket teki", kata paman yang masa kecil dulu pernah momong saya, "Setelah saya mencari kemana-mana, adalah berasal dari kosa kata bahasa Arab. Ittaqillah, yang artinya mendekatkan diri kepada Allah. Atau bisa juga dari bahasa Jawa 'ngeteki', yang artinya kurang lebih sama dengan ittaqillah tadi."
Oalaah, suket teki, suket teki....
Menurut saya yang bodoh ini, kesimpulanya adalah; saya dan sampeyan semua memang saudara. Yang juga tidak pakai nama Winarno di belakangnya sekalipun. Siapapun, dimanapun, kapanpun. Seperti tumbuhnya si suket teki itu. Juga asalnya. Suket teki tumbuh di tanah, yang kemungkinan juga, menurut saya, juga berasal dari tanah. Manusia juga dicipta-Nya dari tanah. Nah, klop sudah.
Salam suket teki!*****
Dan inilah susahnya jadi orang Jawa. Minimal,Jawa-nya keluarga saya. Karena tidak seperti saudara kita yang di Batak, misalnya, yang punya nama marga. Sementara saya, sekalipun di Facebook saya ada beberapa nama teman saya yang pakai nama Winarno, mereka itu bukan saudara asli saya. Hanya kebetulan saja ada Winarno-nya. Lha kalau yang ada Winarno-nya itu beneran saudara, wah masih saudara juga dong saya sama pak Bondan yang 'mak nyuuss' itu. Tetapi tidak. Sekalipun siapa tahu, nantinya, ada organisasi semacam PWI; Persatuan Winarno Indonesia. He, he...
Pencari suket teki. Foto: Dok. Pribadi. |
Syahdan, keponakan saya punya penyakit kulit yang bandel sekali. Sudah dibawa ke dokter spesialis Kulit dan Kelamin, dikasih salep yang lumayan mahal, juga gak sembuh-sembuh. Tadi malam, untuk entah keberapa kalinya, karena penyakitnya kambuh, dibawa lagi ke dokter. Dan dengan entah sungguhan atau tidak, karena bermacam obat telah diresepkan dan tak kunjung sembuh juga, sang dokter malah kasih advis yang agak aneh; "Ganti saja namanya agar sakitnya sembuh". Ha?!
Nama. Ya kembali lagi ke soal nama. Padahal, apalah arti sebuah nama, tulis William Shakespeare. Tapi tunggu sebentar. Ada cerita lain dari ibunya keponakan saya itu, yang tentu saja adalah adik saya. Begini; suatu malam ia bermimpi ketemu kakek yang sudah almarhum. Bilangnya, supaya sakit gatal anaknya sembuh, disuruh kasih ramuan suket teki. Sejenis rumput liar yang banyak tumbuh di sembarang tempat.
"Aha, suket teki," ujar saya ketika paginya adik saya menceritakan tentang mimpinya semalam. Ada apa dengan sulet teki?
Kata suket teki telah mampu mengingatkan saya akan dialog almarhum kakek saya dengan mbah Nurkolis yang juga telah almarhum sekitar dua dasawarsa lampau. Bahwa kami, anak cucu mbah Shodiq, nama kakek saya dari garis ibu , adalah keturunan Ki Ageng x... (maaf nama saya samarakan, takut ada keturunan sang Ki Ageng betulan yang ikut baca tulisan ini), seorang ulama dari sebuah kesultanan. Dalam hati saya berkata; masak sih saya yang 'mbelgedhes' begini ini keturunan orang hebat?
Dalam dialog yang diam-diam saya curi dengar itu, saya juga menyimak semacam kata kunci untuk mencari saudara se-silsilah. Key word-nya; 'mengko suket teki bakal ndudohke dhewe' (yang berarti; nanti suket teki bakal menunjukkan sendiri)
Saya diam saja. Tidak mencari tahu lebih banyak tentang suket teki itu. Toh, pikir saya, nanti si suket teki itu yang akan menunjukkannya sendiri. Bertahun-tahun saya tidak mengingatnya sebagai sesuatu yang berharga. Dan cenderung melupakan. Sampai suatu waktu paman saya, anak bungsu dari kakek saya, yang bekerja di Dinas Pendidikan Kabupaten Asmat, Papua, mengungkit lagi si suket teki itu lewat telepon.
Dengan suara yang masih sangat saya kenal, walau sudah belasan tahun tidak ketemu langsung, paman menceritakan pencariannya tentang suket teki itu. Sungguh ulet betul dia mencari kesejatian makna suket teki itu. Sementara saya lebih asyik bikin soal Teka-teki Silang untuk edisi Minggu di sebuah harian yang terbit di kota ini.
"Suket teki", kata paman yang masa kecil dulu pernah momong saya, "Setelah saya mencari kemana-mana, adalah berasal dari kosa kata bahasa Arab. Ittaqillah, yang artinya mendekatkan diri kepada Allah. Atau bisa juga dari bahasa Jawa 'ngeteki', yang artinya kurang lebih sama dengan ittaqillah tadi."
Oalaah, suket teki, suket teki....
Menurut saya yang bodoh ini, kesimpulanya adalah; saya dan sampeyan semua memang saudara. Yang juga tidak pakai nama Winarno di belakangnya sekalipun. Siapapun, dimanapun, kapanpun. Seperti tumbuhnya si suket teki itu. Juga asalnya. Suket teki tumbuh di tanah, yang kemungkinan juga, menurut saya, juga berasal dari tanah. Manusia juga dicipta-Nya dari tanah. Nah, klop sudah.
Salam suket teki!*****
Minggu, 29 Mei 2011
Kecele Gule
BUNYI mesin printer tua Epson FX-2170 penghuni control room berderit-derit. Menjulurkan kertas Maintenance Service Request Report. Tertera disitu dari unit 1606. Frank Moniaga. Demi tenant, permintaan harus disegerakan. Tenant adalah raja. Terlebih bagi kami yang termasuk jualan service.
Penyegeraan itu, salah satunya,adalah karena nyonya Frank saya nilai sebagai tenant yang baik. Yang tidak cerewet. Mungkin penilaian ini subyektif semata. Tapi kalau saya bilang beliau adalah cantik, tentu ini sangat obyektif.
“Ya jelas cantik. Lhawong mantan pramugari,” kata mbak Yus si resepcionist suatu ketika.
Pada pertemuan pertama saya dengan beliau saat check in dulu, ”Mas, mau tanya channel radio El Shinta disini berapa ya?”
Sebuah pertanyaan yang gampang saja. Karena saya termasuk salah satu pendengar aktifnya. Yang juga sempat beberapa kali terlibat dalam live report untuk program 'info dari anda'.
“87,6,”jawab saya. ”Tapi kalau siaran lokal Surabaya News and Talk hanya sampai jam sembilan. Selebihnya relay langsung dari El Shinta pusat. Kalau ibu pingin seharian dengar info tentang Surabaya dan seputarnya, dengan format radio yang kurang lebih sama dengan El Shinta, ibu bisa tune in di FM 100.”
Waduh, kok saya jadi ngomong panjang begini.
Tapi si nyonya cantik itu ternyata nyambung juga. Jadilah kami, sambil saya bekerja menyelesaikan permintannya, bicara macam-macam tentang peradioan. Dunia yang sudah lama saya geluti (sebagai pendengar hehehe...).
Hari ini saya datang lagi ke unit beliau. Senyum maut menyambut.
“Ada yang bisa kami bantu,” tanya saya yang datang berdua dengan seorang teman.
“Iya, itu lho,mas. Top hunk di kamar master susah dibuka.” kata nyonya Frank yang cantik.
Segera kami ke master bed room menuju. Membuka tool box dan menyiapkan tangga.
“Maaf, mas suka makan gule?” tanya si nyonya saat saya sudah naik ke tangga mungil sambil membawa WD40.
Saya melirik teman saya. Sorot matanya segembira saya. Kalau sudah rejeki, pagi-pagi begini sudah ada yang nawari sarapan. Padahal ini baru jam sembilan. Padahal satu jam yang lalu saya baru sarapan. Yang barangkali, sebongkah nasi berkombinasi sayur eseng-eseng turi bikinan istri masih belum hancur-lebur sempurna di lambung saya.
Saya masih saja saling pandang dengan teman saya. Pada kedipannya ,saya mengira teman saya setuju menunjuk saya sebagai juru bicara. Tugasnya; menerima tawaran sarapan bermenu gule si nyonya selepas tugas selesai nanti. Tetapi,
“Saya cuma nanya aja. Karena saya cari-cari kemana-mana di Surabaya ini masih belum ada yang cocok dengan lidah saya. Soto pak Sadi juga, menurut saya, masih enakan yang di Jakarta,” kata beliau panjaaannnngggg sekali tentang kuliner.
Huft, padahal lidah kami tadi, begitu mendengar kata gule sudah langsung kemecer. Eh, ternyata kecele.
Penyegeraan itu, salah satunya,adalah karena nyonya Frank saya nilai sebagai tenant yang baik. Yang tidak cerewet. Mungkin penilaian ini subyektif semata. Tapi kalau saya bilang beliau adalah cantik, tentu ini sangat obyektif.
“Ya jelas cantik. Lhawong mantan pramugari,” kata mbak Yus si resepcionist suatu ketika.
Pada pertemuan pertama saya dengan beliau saat check in dulu, ”Mas, mau tanya channel radio El Shinta disini berapa ya?”
Sebuah pertanyaan yang gampang saja. Karena saya termasuk salah satu pendengar aktifnya. Yang juga sempat beberapa kali terlibat dalam live report untuk program 'info dari anda'.
“87,6,”jawab saya. ”Tapi kalau siaran lokal Surabaya News and Talk hanya sampai jam sembilan. Selebihnya relay langsung dari El Shinta pusat. Kalau ibu pingin seharian dengar info tentang Surabaya dan seputarnya, dengan format radio yang kurang lebih sama dengan El Shinta, ibu bisa tune in di FM 100.”
Waduh, kok saya jadi ngomong panjang begini.
Tapi si nyonya cantik itu ternyata nyambung juga. Jadilah kami, sambil saya bekerja menyelesaikan permintannya, bicara macam-macam tentang peradioan. Dunia yang sudah lama saya geluti (sebagai pendengar hehehe...).
Hari ini saya datang lagi ke unit beliau. Senyum maut menyambut.
“Ada yang bisa kami bantu,” tanya saya yang datang berdua dengan seorang teman.
“Iya, itu lho,mas. Top hunk di kamar master susah dibuka.” kata nyonya Frank yang cantik.
Segera kami ke master bed room menuju. Membuka tool box dan menyiapkan tangga.
“Maaf, mas suka makan gule?” tanya si nyonya saat saya sudah naik ke tangga mungil sambil membawa WD40.
Saya melirik teman saya. Sorot matanya segembira saya. Kalau sudah rejeki, pagi-pagi begini sudah ada yang nawari sarapan. Padahal ini baru jam sembilan. Padahal satu jam yang lalu saya baru sarapan. Yang barangkali, sebongkah nasi berkombinasi sayur eseng-eseng turi bikinan istri masih belum hancur-lebur sempurna di lambung saya.
Saya masih saja saling pandang dengan teman saya. Pada kedipannya ,saya mengira teman saya setuju menunjuk saya sebagai juru bicara. Tugasnya; menerima tawaran sarapan bermenu gule si nyonya selepas tugas selesai nanti. Tetapi,
“Saya cuma nanya aja. Karena saya cari-cari kemana-mana di Surabaya ini masih belum ada yang cocok dengan lidah saya. Soto pak Sadi juga, menurut saya, masih enakan yang di Jakarta,” kata beliau panjaaannnngggg sekali tentang kuliner.
Huft, padahal lidah kami tadi, begitu mendengar kata gule sudah langsung kemecer. Eh, ternyata kecele.
Sabtu, 28 Mei 2011
Menunggu Minggu.
"CAK, mbak Tatik hari Minggu kesini. Sampeyan diminta menjemput di Bungurasih," kata Yunan Widayat, saudara serumah kost, yang baru tiba dari sambang desa.
"Berangkat dari Mloko jam berapa?" tanya saya.
"Jam delapan pagi,"jawabnya.
Karena tidak ingin mbak Tatik yang lebih dulu tiba di Bungurasih, jam sepuluh pagi di hari Minggu itu saya sudah meluncur dari Rungkut ke terminal. Perhitungan matematis saya, naik angkot lyn H4J dari Rungkut turun Jemursari, lalu oper bis kota ke Bungurasih tak mungkinlah memakan waktu sampai satu jam. Atau paling lambat, kalau pak sopir memperlambat laju angkotnya untuk cari penumpang, jam sebelas saya pasti sudah sampai ke TKP. Dan kalau mbak Tatik berangkat dari Mloko (sebuah desa yang terletak antara Kasiyan dan Kencong di Jember sana)jam delapan, paling lambat pula jam satu siang sudah nyampai Bungurasih.
Ketika itu waktu tempuh masih bisa dikira, karena luapan lumpur yang tak terkira itu masih belum merongrong wilayah Porong. Bus-bus masih bisa mak wuzzz di jalan tol mulai Gempol.
Artinya, di terminal saya masih bisa nyantai baca-baca koran. Diterminal ini pula saya punya cerita nakal. Karena saya sempat kost di Bungurasih Timur tak jauh dari terminal ini beberapa bulan lamanya. Dan saban malam ngeluyurnya ya ke tempat ini. Tapi lain kali saja saya tulis. Biar tidak saling jegal dengan acara penyambutan kedatangan kakak perempuan saya ini.
Mulai jam sebelas saya menunggu. Dan menunggu memang jemu, tapi saya yang sudah berhenti merokok kala itu, berusaha membunuhnya dengan cara jitu; membaca. Sambil selalu melirik setiap kali bus AKDP dari Jember (yang didominasi kelompok Akas)datang. Satu jam, mbak Tatik tak jua datang. Dua jam, juga belum. Saya mulai bimbang. Jangan-jangan?
Ya, -jangan kakak saya itu tak melihat saya dan malah mencari-cari saya. Semakin mencari semakin menjauh. Ya, jangan-jangan? Saya berhenti membaca koran. Bukan kerena apa, tapi karena sudah khatam, sampai sak iklan-iklannya.
Kok gak di HP saja? Wah,waktu itu si HP masih belum usum.
Jam tiga sore, hati saya makin tidak lega. Jangan-jangan ada apa-apa dijalan. Saat itu pokoknya tidak ada yang bisa melarang saya untuk jangan ber-jangan-jangan. Tapi mau bagaimana lagi. Akhirnya, ketika maghrib datang menjelang, saya memutuskan balik kanan. Pulang dengan kusut ke Rungkut.
"Darimana, cak?" sapa Yunan Widayat begitu saya dengan lesu masuk rumah kost.
"Tak tunggu sampai pikun mbak Tatik tak datang," jawab saya.
"Lho, sampeyan dari Bungurasih to?!"
"Iya."
"Waduh, cak. Mbak Tatik itu kesininya hari Minggu depan lagi, bukan hari Minggu ini..."
Glodakkk!!!!*****
"Berangkat dari Mloko jam berapa?" tanya saya.
"Jam delapan pagi,"jawabnya.
Karena tidak ingin mbak Tatik yang lebih dulu tiba di Bungurasih, jam sepuluh pagi di hari Minggu itu saya sudah meluncur dari Rungkut ke terminal. Perhitungan matematis saya, naik angkot lyn H4J dari Rungkut turun Jemursari, lalu oper bis kota ke Bungurasih tak mungkinlah memakan waktu sampai satu jam. Atau paling lambat, kalau pak sopir memperlambat laju angkotnya untuk cari penumpang, jam sebelas saya pasti sudah sampai ke TKP. Dan kalau mbak Tatik berangkat dari Mloko (sebuah desa yang terletak antara Kasiyan dan Kencong di Jember sana)jam delapan, paling lambat pula jam satu siang sudah nyampai Bungurasih.
Ketika itu waktu tempuh masih bisa dikira, karena luapan lumpur yang tak terkira itu masih belum merongrong wilayah Porong. Bus-bus masih bisa mak wuzzz di jalan tol mulai Gempol.
Artinya, di terminal saya masih bisa nyantai baca-baca koran. Diterminal ini pula saya punya cerita nakal. Karena saya sempat kost di Bungurasih Timur tak jauh dari terminal ini beberapa bulan lamanya. Dan saban malam ngeluyurnya ya ke tempat ini. Tapi lain kali saja saya tulis. Biar tidak saling jegal dengan acara penyambutan kedatangan kakak perempuan saya ini.
Mulai jam sebelas saya menunggu. Dan menunggu memang jemu, tapi saya yang sudah berhenti merokok kala itu, berusaha membunuhnya dengan cara jitu; membaca. Sambil selalu melirik setiap kali bus AKDP dari Jember (yang didominasi kelompok Akas)datang. Satu jam, mbak Tatik tak jua datang. Dua jam, juga belum. Saya mulai bimbang. Jangan-jangan?
Ya, -jangan kakak saya itu tak melihat saya dan malah mencari-cari saya. Semakin mencari semakin menjauh. Ya, jangan-jangan? Saya berhenti membaca koran. Bukan kerena apa, tapi karena sudah khatam, sampai sak iklan-iklannya.
Kok gak di HP saja? Wah,waktu itu si HP masih belum usum.
Jam tiga sore, hati saya makin tidak lega. Jangan-jangan ada apa-apa dijalan. Saat itu pokoknya tidak ada yang bisa melarang saya untuk jangan ber-jangan-jangan. Tapi mau bagaimana lagi. Akhirnya, ketika maghrib datang menjelang, saya memutuskan balik kanan. Pulang dengan kusut ke Rungkut.
"Darimana, cak?" sapa Yunan Widayat begitu saya dengan lesu masuk rumah kost.
"Tak tunggu sampai pikun mbak Tatik tak datang," jawab saya.
"Lho, sampeyan dari Bungurasih to?!"
"Iya."
"Waduh, cak. Mbak Tatik itu kesininya hari Minggu depan lagi, bukan hari Minggu ini..."
Glodakkk!!!!*****
Trik Cantik
PERTIGAAN Sukodadi Lamongan; tukang ojek saling berebut penumpang. Setiap orang yang baru turun dari bus adalah obyek yang jadi sasaran pengojek. Salah satunya saya. Tapi saya cuek saja. Terus berjalan, seakan telah ada yang menjemput. Padahal itu hanya trik. Agar saya dapat memilih ojek dengan motor paling anyar. Rugi kan, kalau tawar menawar di pinggir jalan dengan tukang ojek yang kita tidak tahu dia pakai motor dari spesies apa dengan usia motor kelahiran tahun berapa.
Di bawah pohon kersen di sebelah toko buah saya menuju. Disitu ada tukang ojek yang pasif saja. Tak ikutan berebut penumpang di pinggir jalan. Mungkin dia berpikir, 'kalau sudah rejeki gak bakal lari'. Saya kira pengojek yang satu ini punya nilai kecerdasan spiritual lebih baik dari yang lain, yang saling rebutan penumpang. Nilai plusnya lagi, ia berdiri sambil menyandarkan pantatnya di jok motor keluaran terbaru yang masih kinyis-kinyis catnya.
Tawar menawar harga pas tancap gas, kata Iwan Fals. Tukang ojek yang saya pilih masih setengah baya.
"Dari mana, pak?," tukang ojek bertanya, mungkin sebagai pengakraban saja, sebelum tancap gas betulan.
"Dari Surabaya," jawab saya.
"Di Surabaya kerja apa?" tanyanya lagi.
Lhadalah...., sejujurnya saya sebenarnya lagi males ngomong. Sekaligus sejujurnya saya juga tak biasa bicara tak jujur. Maka, dengan kadar kejujuran penuh, "Kerja nguli di bangunan...," jawab saya.
Tukang ojek malah tertawa, suara tawa yang nyaris mengalahkan suara deru motor yang sliwar-sliwer di jalan ini.
"Batas antara kuli dan majikan tipis sekali, pak," katanya. "Di Surabaya atau di tempat lain boleh jadi bapak adalah kuli. Tapi sekarang, saat ini, sayalah kuli bapak. Dan bapaklah majikan saya...."
Oh? Tidak salah, ia tukang ojek yang cerdas, batin saya.
"Ayo kita jalan, agar tak kesorean sampai di Mayong," ajak saya sambil menyebut nama desa mertua saya di kecamatan Karangbinangun.
"Mari," katanya sambil mengajak saya berjalan.
"Lho, kok jalan?!"
"Iya. Itu motor saya disana," katanya sambil menunjuk motor tua renta dengan penampilan yang sudah nelangsa.
"Lha motor yang tadi sampeyan sandari itu punya siapa?" tanya saya menunjuk motor anyar di bawah pohon kersen.
"Oh, itu punya orang yang lagi belanja buah di toko sebelah."
Ah, sekali lagi saya tidak salah; ia sungguh tukang ojek yang cerdas. Buktinya, trik saya kalah cantik dibanding punya dia.*****
Di bawah pohon kersen di sebelah toko buah saya menuju. Disitu ada tukang ojek yang pasif saja. Tak ikutan berebut penumpang di pinggir jalan. Mungkin dia berpikir, 'kalau sudah rejeki gak bakal lari'. Saya kira pengojek yang satu ini punya nilai kecerdasan spiritual lebih baik dari yang lain, yang saling rebutan penumpang. Nilai plusnya lagi, ia berdiri sambil menyandarkan pantatnya di jok motor keluaran terbaru yang masih kinyis-kinyis catnya.
Tawar menawar harga pas tancap gas, kata Iwan Fals. Tukang ojek yang saya pilih masih setengah baya.
"Dari mana, pak?," tukang ojek bertanya, mungkin sebagai pengakraban saja, sebelum tancap gas betulan.
"Dari Surabaya," jawab saya.
"Di Surabaya kerja apa?" tanyanya lagi.
Lhadalah...., sejujurnya saya sebenarnya lagi males ngomong. Sekaligus sejujurnya saya juga tak biasa bicara tak jujur. Maka, dengan kadar kejujuran penuh, "Kerja nguli di bangunan...," jawab saya.
Tukang ojek malah tertawa, suara tawa yang nyaris mengalahkan suara deru motor yang sliwar-sliwer di jalan ini.
"Batas antara kuli dan majikan tipis sekali, pak," katanya. "Di Surabaya atau di tempat lain boleh jadi bapak adalah kuli. Tapi sekarang, saat ini, sayalah kuli bapak. Dan bapaklah majikan saya...."
Oh? Tidak salah, ia tukang ojek yang cerdas, batin saya.
"Ayo kita jalan, agar tak kesorean sampai di Mayong," ajak saya sambil menyebut nama desa mertua saya di kecamatan Karangbinangun.
"Mari," katanya sambil mengajak saya berjalan.
"Lho, kok jalan?!"
"Iya. Itu motor saya disana," katanya sambil menunjuk motor tua renta dengan penampilan yang sudah nelangsa.
"Lha motor yang tadi sampeyan sandari itu punya siapa?" tanya saya menunjuk motor anyar di bawah pohon kersen.
"Oh, itu punya orang yang lagi belanja buah di toko sebelah."
Ah, sekali lagi saya tidak salah; ia sungguh tukang ojek yang cerdas. Buktinya, trik saya kalah cantik dibanding punya dia.*****
Jumat, 27 Mei 2011
Tarif Terserah yang Tak Lebih Murah
SUDAH agak terbiasa dengan harga-harga dikota,pulang kedesa menjadi pernah ternganga-nganga.Tarif angkot yang di Surabaya jauh-dekat tigaribu rupiah,didesa masih ada yang bertarif 350 perak,tergantung jarak.Rujak yang dikota limaribu,didesa satu porsi jumbo cuma seribu.
Suatu waktu saya harus pulang kampung menghadiri hajatan famili.Letak rumahnya nun jauh di sana.Rute jalan desa yang membelah kebun tebu.Itupun,didahului naik angkot (angkutan pedeaan ding) oper tiga kali,ditambah naik becak dari Pasar Umbulsari ke Wonoroto.Tarifnya?
"Terserah,"kata abang,eh bapak,becak yang tak seberapa kekar.
Mau bagaimana lagi,tak bisa memilih yang lain.Karena memang sudah gilirannya.Dan,bukan itu masalahnya.Tetapi tarifnya."Bilang dong,pak.Berapa? Kan saya bisa nawar atau apa?"kata saya.
Si bapak becak malah terbahak,"Tak mungkinlah kemahalan,seikhlasnya saja..."
Nah,nah...
Daripada kian lama kian tak jelas,saya naik saja.
Mula-mula lewat jalan desa yang telah beraspal,lalu belok kanan masuk jalan makadam.Terus.terus....nah ini dia!Masuk jalan sawah!Becak tidak digenjot,tapi si bapak turun dan mendorongnya.Jalan susah karena basah habis hujan.Untunglah hujan sudah reda.Karena saya tak tahu,kalau hujan sedang berlangsung,apakah bapak becak ini sudah sedia tudung sebelum hujan apa belum?Kalau tak tersedia,pastilah saya senasib dengan kisah yang dialami M Faizi Guluk-guluk.
Ketegaan saya jatuh berkeping-kepin.Tapi ikutan turun tak boleh.Dengan perasaan yang hancur lebur,saya tetap nangkring diatas becak yang gagal saya nikmati enaknya.
Peluh bercucuran dan nafas yang ngos-ngosan berpacu dalam melodi sore itu, diantara sawah tebu.Duhai,ini bukan keindahan.Ini lebih dari ...entah apa.
Setelah nyaris setengah jam perjuangan itu,sampailah pada tujuan.Tetapi bukankah tarif belum (atau tidak) bersetujuan?Berapa? Oh,bingung saya.Lalu saya sibuk dengan singkat membuat perbandingan. Dari Pasar Pahing Rungkut ke gang 2 tempat tinggal saya,naik becak tarifnya lima ribu.Padahal hanya dekat saja.Padahal jalannya mulus saja.Padahal yang disini lebih kacau-balau jalannya.Lalu berapa?Ohiya,ini desa!Yang seporsi rujaknya cuma seribu.Sebungkus cenil cuma duaratus!
Setelah berterima kasih,seterima kasih terima-kasihnya,saya tegakan menyodorkan ini; lima ribu rupiah plus separo bungkus rokok Saritoga.
Beliaupun,yang belum lepas ngos-ngosannya,mengucap kata yang sama.Terima kasih.Maknanya; saya yang ngasih beliau yang nerima.Tapi sudah pantaskah nilai segitu,dibanding segala derita sepanjang jalan?Ah,sudahlah.Bukankah awalnya sudah ada satu kata: terserah. Tapi saya belum bisa menyerah dengan yang baru saja saya alami.
Maka,lalu saya nanya ke adik dan ibu saya (yang sama-sama gemuknya) yang tadi juga naik satu becak berdua pada kloter pertama dengan rute yang sama.Tapi berhasil menawar hingga tarif 'resmi'-nya.
"Seribu lima ratus,"kata adik saya.
Duh,hidup,hidup....
Suatu waktu saya harus pulang kampung menghadiri hajatan famili.Letak rumahnya nun jauh di sana.Rute jalan desa yang membelah kebun tebu.Itupun,didahului naik angkot (angkutan pedeaan ding) oper tiga kali,ditambah naik becak dari Pasar Umbulsari ke Wonoroto.Tarifnya?
"Terserah,"kata abang,eh bapak,becak yang tak seberapa kekar.
Mau bagaimana lagi,tak bisa memilih yang lain.Karena memang sudah gilirannya.Dan,bukan itu masalahnya.Tetapi tarifnya."Bilang dong,pak.Berapa? Kan saya bisa nawar atau apa?"kata saya.
Si bapak becak malah terbahak,"Tak mungkinlah kemahalan,seikhlasnya saja..."
Nah,nah...
Daripada kian lama kian tak jelas,saya naik saja.
Mula-mula lewat jalan desa yang telah beraspal,lalu belok kanan masuk jalan makadam.Terus.terus....nah ini dia!Masuk jalan sawah!Becak tidak digenjot,tapi si bapak turun dan mendorongnya.Jalan susah karena basah habis hujan.Untunglah hujan sudah reda.Karena saya tak tahu,kalau hujan sedang berlangsung,apakah bapak becak ini sudah sedia tudung sebelum hujan apa belum?Kalau tak tersedia,pastilah saya senasib dengan kisah yang dialami M Faizi Guluk-guluk.
Ketegaan saya jatuh berkeping-kepin.Tapi ikutan turun tak boleh.Dengan perasaan yang hancur lebur,saya tetap nangkring diatas becak yang gagal saya nikmati enaknya.
Peluh bercucuran dan nafas yang ngos-ngosan berpacu dalam melodi sore itu, diantara sawah tebu.Duhai,ini bukan keindahan.Ini lebih dari ...entah apa.
Setelah nyaris setengah jam perjuangan itu,sampailah pada tujuan.Tetapi bukankah tarif belum (atau tidak) bersetujuan?Berapa? Oh,bingung saya.Lalu saya sibuk dengan singkat membuat perbandingan. Dari Pasar Pahing Rungkut ke gang 2 tempat tinggal saya,naik becak tarifnya lima ribu.Padahal hanya dekat saja.Padahal jalannya mulus saja.Padahal yang disini lebih kacau-balau jalannya.Lalu berapa?Ohiya,ini desa!Yang seporsi rujaknya cuma seribu.Sebungkus cenil cuma duaratus!
Setelah berterima kasih,seterima kasih terima-kasihnya,saya tegakan menyodorkan ini; lima ribu rupiah plus separo bungkus rokok Saritoga.
Beliaupun,yang belum lepas ngos-ngosannya,mengucap kata yang sama.Terima kasih.Maknanya; saya yang ngasih beliau yang nerima.Tapi sudah pantaskah nilai segitu,dibanding segala derita sepanjang jalan?Ah,sudahlah.Bukankah awalnya sudah ada satu kata: terserah. Tapi saya belum bisa menyerah dengan yang baru saja saya alami.
Maka,lalu saya nanya ke adik dan ibu saya (yang sama-sama gemuknya) yang tadi juga naik satu becak berdua pada kloter pertama dengan rute yang sama.Tapi berhasil menawar hingga tarif 'resmi'-nya.
"Seribu lima ratus,"kata adik saya.
Duh,hidup,hidup....
Kamis, 26 Mei 2011
Mbah Kung (Fu)
RAMBUTNYA sudah berseragam putih.Tak sehelaipun yang mbalela ngeyel pakai hitam.Kompak.Sekompak giginya yang mulai undur diri satu per satu.Walau begitu,ingatannya tak kendur mundur."Tahun selikur,"begitu beliau mengingat kelahirannya.Tak terlulis di akte,mungkin.Tapi saya memercainya saja.Sepercaya saya atas segala cerita di masa mudanya dulu.
Tentang keahliannya berpencak silat.Tentang peperangannya di masa Belanda sampai bergabung sebagai tentara sukarela (begitu selalu disebutnya) di jaman Jepang.Beliau,yang sekalipun sudah sepuh,tak bersemangat rapuh.Ada saja yang harus menjadi kesibukannya.Apapun itu.
Anak-anakku dan anak-anak kakak-adikku memanggilnya mbah Kung.
Suaranya khas.Logatnya khas.Bahkan bunyi sendal jepitnya ketika berjalan,juga khas.Sangat hapal betul telinga ini mengenalnya.Semengenal kami atas suara dehemnya.
"Jangan tidur dulu,tunggu brekat datang,"pesannya selalu setiap berangkat kondangan.
Kami,anak-anaknya,taat setaat-taatnya.Karena,kapan lagi bisa makan enak kalau gak ada kondangan begini.Nasi gurih,sesuwir daging ayam.Sejumput mihun,sepotong tahu atau tempe.Duh,sungguh itu sebagai hidangan agung,disaat saban hari bernasi jagung.
Itulah mengapa rasa memang tidak pernah bohong.Maksudnya,sekalipun suatu pagi ibu menyulut kayu di tungku agar dapur terlihat berasap,agar sama seperti dapur-dapur para tetangga,tetaplah perut ini berkonser keroncong.Karena ibu sedang berbohong.Lebih tepatnya lagi,ibu sedang bersandiwara.
Sudahlah,itu masa lalu.Lalu sekali.Tapi selalu saja,kalau sampeyan perhatikan,saya sering menuliskan cerita lalu.Sekarang ingin saya sudahi.Stop.Sekarang saya hendak menulis tentang simbah Kakungnya anak-anakku.
Mbah Kung selalu suka memakai baju batik lengan panjang bersaku tiga.Dua dibawah (kanan-kiri) satu lagi di dada.Isinya;saku atas adalah kamar 'pak-lopak';Tempat tembakau lengkap dengan semua pemain pendukungnya.Ada cengkeh cap Keris atau cap Dokar,ada kertas rokok cap Pagupon.Satu lagi alat berbahan bakar bensin;korek api.Rokok khas itu,orang kampung kami menyebutnya tingwe.Tentu itu bukan bahasa Mandarin.Ia hanyalah berarti ngelinting dhewe.
Untuk saku bawah,isinya juga amat penting bagi mbah Kung.Satu minyak angin,satunya lagi obat tetes mata.Dan perjalanan kemanapun,kalau ketiga perbekalan itu tak komplit kalau satu saja yang tak terbawa.
Sepulang dari menengok saya di Surabaya,saya punya tugas mulia.Mengantar mbah Kung pulang kampung.Karena,tak mungkinlah saya tegakan serenta itu balik ke Jember seorang diri.
Dari Rungkut,saya bawa mbah Kung ke terminal Joyoboyo.Dan ketika saya berkonsentrasi mengumpulkan segenap indra ke dompet saya (karena Joyoboyo saya yakini sebagai sarang pencopet),mbah Kung justru telah menangkap tangan copet yang nyelonong merogoh saku atas.
"Jangan begitu kamu,"kata mbah Kung dengan logat Madura yang kental."Seenaknya sendiri merogoh saku orang.Gak sopan tahu!"
Ya,mbah Kung hanya menilai dari segi kesopanan saja.Karena,toh si copet telah salah sasaran.Ia tentu tidak tahu,saku atas hanyalah tempat penginapan perlengkapan rokok tingwe mbah Kung.
Ah,suatu hari mungkin saya perlu belajar kecepatan tangan mbah Kung yang terbukti bisa mengalahkan kecepatan tangan si copet.
Atau itu hanya sekedar beruntung saja.Karena dilain waktu mbah Kung pernah tidak untung.Itu menyangkut isi dua saku bawah baju batik kesayangannya.
Mbah Kung tetaplah suka kemana-mana.Walau sepuh,beliau sangat semangat menyertai salah satu cucunya yang menikah di Kedewan Bojonegoro sana.Jember-Bojonegoro tentu bukanlah jarak tempuh yang pendek.Apalagi untuk usia mbah Kung yang sudah sembilah puluh.Byuh!
Asal ketiga bekal itu lengkap,tak perlu ada yang dikhawatirkan tentang mbah Kung.Ada 'pak-lopak',ada minyak angin,ada obat tetes mata.Sip.Perjalan melambung dari Jawa Timur,ngincipi Cepu Jateng lalu menusuk masuk ke Jawa Timur lagi.Uh,Kedewan.
Setelah menembus hutan di tengah malam,rombongan merapat tepat tengah malam.Sebuah kedatangan besan yang kurang sopan.Tapi tamu adalah raja.Perut perih telah terbayar oleh hidangan di tengah malam sekaligus dikampung tengah hutan.
Penat lutut diperjalanan,saya selonjorkan.Kantuk menusuk.Serombongan sibuk menuju tempat melampiaskan kantuk.Mbah Kung sibuk merogoh saku bawah.Perih mata karena terterpa angin dari jendela bus mini non AC ini,membuat mbah Kung ingin menetesinya dengan obat mata yang beliau bawa.Dan...,"Aduh panas,panas.Perihhh..."erang mbah Kung mengagetkan semua yang nyaris terbang ke alam mimpi.
Rupanya mbah Kung keliru menetesi matanya dengan minyak angin.Ah,jangan-jangan jurus Kung fu tangan mbah kung hanya untuk pencopet,bukan untuk obat mata.
Semalan kami mengkhawatirkan mata mbah Kung.Karena semalaman mbah Kung sambat perih.Pagi menjelang,kata mbah Kung,perih sudah berkurang.Agak siang sudah tersa lebih padang.Kemudian,"Iya,lebih padang sekarang.Mata tersa segar.Minyak angin ternyata bisa bikin mata jadi terang."kata mbah Kung.
Dari nada bicaranya saya tahu itu tidak guyon.Itu sungguh-sungguh.Tapi kami sungguh tidak ingin mencobanya.Tidak pula mengijinkan mbah Kung menetesi matanya dengan minyak angin lagi.
Rabu, 25 Mei 2011
Tin
“Tin
sudah bercerai lima bulan yang lalu. Sam nikah lagi. Sal di Bali. Dia
sukses sekarang. Salonnya ramai. Sekarang dia sudah jadi ‘perempuan’,
baru operasi,” tulis Rin dalam pesan singkatnya.
Nyaris dua puluh tahun
sudah semua berlalu.
Bisa kontak lagi dengan Rin
setelah sekian lama lost contact, membuatku merasa hampir dua
puluh tahun lebih muda. Dan kota yang panas dan angkuh ini, kemudian
menjadi berbaik hati untuk sejenak memberiku waktu berhenti menjadi
sejenis robot. Lalu, kubiarkan langkah hati ini berlari riang menemui
nama-nama.
“Tin, kamu hebat.”
“Diminum,” ia
meletakkan segelas es jeruk di meja di depanku.
“Kamu tegar,” pujiku
lagi.
Mendengar itu ia menatap
tepat bola mataku, membuatku tahu ada bendungan yang nyaris runtuh di
matanya.
“Maaf...”
“Kenapa?”
“Itu, kata-kataku
barusan,” rasa bersalah kupersalahkan sebagai penyebab kegagapanku
ini.
Tin tersenyum. Ah, gingsul
itu...
Kunikmati seteguk es jeruk
melewati tengorokanku. Dinginnya berhenti sejenak tepat di dadaku.
Menimbulkan rasa aneh yang tiba-tiba hadir. Rasa yang juga pernah
kurasakan dulu. Dulu sekali. Ketika suatu sore Rin menemuiku.
Dengan pipi yang kemudian
bersungai-sungai kecil, berbaris kata mengiringinya. Kata yang perlu
diperam semalaman untuk ditetaskan di depanku sore itu.
“Kamu awet muda,” Tin
mengagetkanku.
Sekaligus juga menamparku.
Empat puluh tahun lebih dia bilang aku muda?! Oo, biarlah. Seperti
aku yang tetap membiarkan diriku masih saja sendiri. Dan itu tentu
Tin juga tahu. Walau tak bertanya. Karenanya pula aku tak perlu
bertanya mengapa ia masih memajang potret pernikahannya dengan Sam di
ruang ini.
“Seharusnya dulu kau
nikahi saja Rin.”
Langganan:
Postingan (Atom)