Saat itu, di Tabanan-Bali, saya kos di tempat yang sangat biasa. Malah terkesan murahan dengan rentetan fasilitas yang... ya gitu deh. Kamar berderat, ada tujuh, semua menghadap selatan. Kamar terbesar hanya berukuran tiga kali tiga setengah meter termasuk kamar mandi dan WC (yang sering mampet) di dalam dan tanpa tambahan lainnya.
Tiada kipas angin apalagi AC, saya terbantu oleh hawa Tabanan yang relatif sejuk ketimbang asal rumah saya, Surabaya.
Tetangga kanan-kiri kamar saya berprofesi sebagai macam-macam. Ada pegawai minimarket, ada sopir toko bangunan, juga ada para perempuan yang suka berdandan menor berbusana ekhm, ekhm... yang kalau siang di rumah, tapi kalau malam entah kemana. Juga, ada sepasang kakek-nenek tua yang selepas subuh selalu telah berangkat kerja berdua. Berboncengan Honda Prima yang telah uzur usianya.
Kepada para tetangga itu, sebisa mungkin saya baiki semua. Setengah tahun lebih kos disitu, alhamdulillah, kami baik-baik saja. Dan sejauh itu pula saya tak pernah bercerita apa sejatinya pekerjaan saya di Bali. 😉
Baiklah, saya fokus saja. Bukan tentang para perempuan aduhai tetangga saya itu. Yang cara merokoknya terlihat mahir betul. Dan sebagainya, dan sebagainya. Namun tentang kakek-nenek itu.