SEKIRA
tiga bulan yang lalu, siang itu saya lagi libur dari rutinitas kerja dan
sepagian hanya menulis di komputer. Datanglah dua perempuan bertamu ke rumah
saya. Mereka naik semotor berdua. Keringat nampak berhasil menggusur sapuan
bedak di wajah keduanya. Sepertinya mereka datang dari jauh, atau paling tidak,
seharian ini mereka menghabiskan banyak waktu di jalan.
Sekalipun membawa tas dan map, di mata saya, itu
sama sekali tidak membuat mereka terlihat sebagai sedang mencari sumbangan.
Sebagai tamu tentu saja saya menghormatinya. Tetapi ketika
mereka menolak untuk pinarak di ruang
tamu dan malah memilih duduk di teras rumah, saya pikir, itu juga pilihan yang bijaksana.
Karena, di ruang tamu maupun di teras, rumah saya ini belum ada kursinya. Dengan
bicara-bicara di teras secara lesehan begitu, kami malah bisa mendapatkan bonus
semilir angin.
Dua perempuan itu mengenalkan diri sebagai petugas
survei dari sebuah lembaga survei terkenal berkelas internasional. Sebagai muqaddimah, mereka mengajak saya bicara
tentang energi. Khususnya bahan bakar minyak. Dan karena saya suka membaca apa
saja, termasuk analisis yang ditulis pengamat perminyakan Kurtubi, sedikit banyak
saya bisa mengikuti arah pembicaraan mereka siang itu.
Berikutnya mereka menunjukkan kepada saya beberapa
foto logo perusahaan yang bergerak di bidang perminyakan dan energi. Ada Shell,
Petronas juga Total, termasuk Pertamina tentu saja. Namun pokok arah yang
hendak dibidik, menurut saya, adalah yang selain Pertamina. Ada beberapa produk
dari ketiga perusahaan asing itu yang juga ditunjukkan kepada saya. Mulai produk
berjenis minyak pelumas, sampai foto SPBU.
Ketika ditanya apakah saya mengetahui itu, dan saya
jawab ‘tahu’, saya diuber oleh pertanyaan berikutnya, “Bapak tahu dari mana?”
“Saya tahu dari iklan di koran atau televisi,” jawab
saya.
Sudah?
Belum. Pendek kata, saya siang itu seperti sedang diuji pengetahuan tentang produk dan layanan Shell, Petronas, atau Total. Jujur, sekalipun di Surabaya ini telah ada SPBU Shell, saya tetap menggunakan produk dari yang punya tagline iklan ‘Kita Untung Bangsa Untung’. Tetapi, kalau boleh GR, saya rasa pengetahuan saya tentang topik energi yang mereka tanyakan tidaklah jelek-jelek amat. Saya pikir, itu tidak lepas dari manfaat membaca.
Belum. Pendek kata, saya siang itu seperti sedang diuji pengetahuan tentang produk dan layanan Shell, Petronas, atau Total. Jujur, sekalipun di Surabaya ini telah ada SPBU Shell, saya tetap menggunakan produk dari yang punya tagline iklan ‘Kita Untung Bangsa Untung’. Tetapi, kalau boleh GR, saya rasa pengetahuan saya tentang topik energi yang mereka tanyakan tidaklah jelek-jelek amat. Saya pikir, itu tidak lepas dari manfaat membaca.
Sebelum mereka memberikan semacam cindera mata atas
semua itu, salah satu dari mereka mengeluarkan satu lagi formulir yang harus
diisi. “Maaf, hampir lupa,” kata salah satu dari mereka sambil bersiap mengisi
kolom-kolom dalam formulir itu. “Kami ingin tahu data pribadi Bapak. Boleh kan?”
Melihat tanda pengenal resmi yang mereka kenakan,
termasuk tadi saya sempat melihat-lihat semacam surat tugasnya, menjadikan saya
tak ragu untuk menyampaikan data pribadi saya. Mulai nama lengkap, tempat
tanggal lahir, nomor telepon sampai pendidikan terakhir. Semua saya berikan
apa adanya tanpa rekayasa. Termasuk pendidikan terakhir saya yang cuma Madrasah Aliyah.
TIGA
hari berselang, suatu siang saya mendapatkan telepon dari nomor yang tidak saya
kenal. Mendapat telepon dengan cara begitu lebih mungkin saya angkat ketimbang
penelepon yang menyembunyikan identitasnya menjadi ‘nomor pribadi’. Bila ponsel
saya berdering sementara yang tampak di layar adalah tulisan ‘nomor pribadi’,
tindakan yang akan saya lakukan adalah menekan tombol merah di HP.
“Maaf, Pak,” suara perempuan menggetarkan gendang
telinga ketika sebelumnya saya sapa ‘Halo’. “Saya petugas survei yang kemarin lusa ke rumah
Bapak. Begini, Pak, pada formulir data pribadi, pendidikan terakhir Bapak kan
Madrasah Aliyah. Saya ganti tidak apa-apa kan, Pak? Hasil wawancara itu akan
segera saya kirim ke kantor pusat di Jakarta. Jadi nanti kalau ada orang kantor
di Jakarta menelepon Bapak untuk kroscek data, bilang saja pendidikan terakhir
Bapak S-1 ya?”
Saya diam. Saya sedang dilanda telmi (baca: telat
mikir) oleh kalimat yang sama sekali tidak saya duga sebelumnya. Sementara perempuan
surveyor itu, adalah penganut paham ‘diam berarti iya’.
“Terima kasih, Pak,” katanya lalu memutus hubungan
telepon.*****