BERTANYALAH
kepada siapa pun; presiden dan wakil presiden, gubernur dan wakil
gubernur, kepala sekolah dan wakil kepala sekolah itu secara jabatan
tinggi siapa. Jelas tinggi presiden, gubernur, kepala sekolah
ketimbang para wakilnya. Maka tidak mengherankan bila si wakil
menginginkan pula jabatan yang di atasnya. Pak JK yang pernah nyapres
melawan SBY di Pilpres tahun lalu, atau Dede Yusuf yang memilih
'pisah' dari sang Gubernurnya demi merebut jabatan itu pada Pilgub
Jabar beberapa waktu yang lalu.
Beberapa
contoh yang saya sebut di atas secara logika sungguh bisa diterima.
Tetapi ada satu hal yang secara nalar (walau umum, tetapi) agak bisa
didebatkan, yakni; beberapa rakyat yang justru ingin 'turun pangkat'
menjadi wakil. Ya, wakil rakyat. Dan demi untuk menjabat sebagai
wakil itu, si calon (lazim disebut caleg) melakukan aneka cara yang
tentu saja semua mengandung biaya.Cetak poster, sepanduk, iklan
radio/televisi dan atau menyumbang baju seragam ibu-ibu pengajian,
memberangkatkan 'simpatisan' ke tempat-tempat ziarah keagamaan dan
sebagainya. (Yang termasuk dalam 'dan
sebagainya' itu antara lain, ongkos ke 'orang pintar'. Termasuk beli
uba rampe;
kembang tujuh rupa atau kain mori atau perjalanan ke sebuah sendang
untuk mandi kembang tengah malam.)
Tengoklah
di setiap pinggir jalan raya; wajah-wajah yang selama ini tidak
dikenal mengenalkan diri dengan cara (yang kadang) mengenaskan.
Dengan pose foto yang dipilih –menurut diri sendiri-- sebagus
mungkin, dengan slogan yang dibikin semenarik mungkin. Dan, apakah
dengan memasang baliho gambar-gambar mereka itu elektabilitas mereka
lantas menjadi menanjak? Belum tentu. Masyarakat sudah teramat cerdas
(baca: apatis) menyikapi kebaikan instan yang mereka pamerkan.
Ada
istilah; tidak ada makan siang yang gratis. Terlebih untuk menjadi
caleg. Pastilah duit besar disebar demi biaya untuk itu. Kalau lalu
benar-benar jadi anggota legislatif tentu ada kemungkinan untuk
melakukan 'balas dendam' demi baliknya modal. Tetapi bagaimana kalau
sudah keluar uang banyak tetapi tidak terpilih? Kalau semua uang itu
dari kantong sendiri sih agak tidak apa-apa, bagaimana, coba,
kalau duit itu hasil dari pinjam?
Untuk
mengantisipasi hal itu, dalam sebuah running text di televisi, ada
berita; sebuah rumah sakit mempersiapkan 333 tempat untuk merawat
caleg stress. Entah mengapa dipilih angka cantik kembar tiga begitu.
Lagi pula kenapa 333, kok tidak 666 atau 999?
Kalau
begitu, secara iseng saya artikan caleg itu selain berarti calon
legislatif, adalah juga sebagai calon legrek, remuk. Remuk
lahir, remuk batin. *****