SUDAH menjadi kebiasaan saya kalau akan tidur, ponsel saya, si tua N1100, selalu saya bisukan dulu. Dengan hidup tetapi tidak bersuara begitu, saya terbebas dari terjaga tengah malam hanya gara-gara sebuah SMS tak penting yang masuk tak tahu waktu. Misalnya SMS pemberitahuan hadiah dari nomor asing, atau pesan dari mama yang kehabisan pulsa. Yang semua itu tentu sebagai SMS tipuan semata. Saya berlaku setega itu karena saya termasuk orang yang susah tidur lagi apabila sempat terjaga beberapa saat saja ditengah malam.
Kalau ada SMS yang sangat penting dan sungguhan bagaimana? Ah, syukurlah. Belum pernah saya dapati yang begitu itu. Dan ketika jam 4 subuh saya 'hidupkan' lagi, yang sering nongol justru SMS main-main saja.
Satu lagi, banyak teman yang salah sangka. Dikiranya si tua N1100 saya ini sudah bisa menerima kiriman gambar. Padahal belum. Sekarang saja, di kotak masuk ada saya dapati lima pesan masuk dari nomor 543 dengan nomor pusat pesan +62816124. Isi pesannya; tidak bisa menampilkan pesan.
Jam empat pagi tadi, seperti biasa saya menormalkan ponsel saya. Saya dapati ada dua pesan masuk. Yang satu dari 543 yang jelas tak bisa tampil di ponsel saya, yang satunya lagi pesan teks yang tentu bisa saya baca. Pengirimnya?
Yang 543 tentu tak saya kenal. Tetapi yang pesan berupa teks, ada nomor pengirimnya; +628151520xxxx. Tetapi ia adalah nomor yang belum masuk dalam memori ponsel saya. Isi pesan yang dikirim tepat tengah malam itu bunyinya begini;
Seorang karyawan datang menghadap atasannya.
"Kali ini bapak harus menaikkan gaji saya," kata karyawan dengan serius.
"Apa alasannya sehingga aku harus menaikkan gajimu?" si atasan bertanya.
"Perlu bapak ketahui, sekarang ini ada beberapa perusahaan besar dan bonafit yang sedang mengejar saya," jawab si karyawan dengan PD.
Si atasan terdiam sejenak. Dalam hati ia berpikir, karyawannya ini selama bekerja disini prestasinya biasa-biasa saja. Kok bisa sampai ada perusahaan lain yang 'kepincut' bagaimana ceritanya. Tetapi, sebagai atasan tentu ia harus menahan diri. Harus menjaga wibawa. Jangan-jangan si karyawan ini sedang 'bersandiwara'. Agar tuntutannya untuk kenaikan gaji bisa segera dipenuhi.
"Baguslah kalau begitu," kata si atasan kemudian. "Tetapi kalau boleh tahu, perusahaan apa saja yang mengejarmu?"
"Ada Citi Bank, ada Adira, WOM, ada bank Mandiri, ada PLN, PDAM, ada..."
"Stop, stop. Sebanyak itu?!" tanya si bos heran. "Kok bisa?!"
"Saya sudah nunggak beberapa bulan, pak..."
(NB: agar enak dibaca, SMS dari entah siapa itu saya edit sedemikian rupa.)
Selasa, 27 September 2011
Senin, 26 September 2011
Doa Bumerang
KETIKA SD dulu, salah satu pelajaran yang saya takuti adalah pelajaran agama. Lebih-lebih pak Fatchullah, sang guru, bagi saya orangnya sungguh sangar. Tinggi besar. Suara Honda CB nya sering bikin saya jantungan, bila tugas hafalan yang beliau berikan belum menempel di otak saya.
Hafalan itu sebenarnya pendek saja. Hanya surat At-Tiin. Tetapi lidah saya selalu keluar jalur ketika memasuki dua pertiga isi surat. Malam itu, celakanya, saya bukan bekerja keras menempelkan hafalan itu ke ingatan saya. Tetapi malah merapal doa agar pak Fat besok pagi tidak datang mengajar.
“Ya Allah ya Tuhanku. Tuhan yang maha pengasih lagi maha penyayang. Ijinkanlah hambaMu yang lemah ini memohon. Agar besok pak Fat berhalangan datang. Agar aku terhindar dari hukumannya karena tidak hafal surat At-Tiin. Ya Allah ya Tuhanku. Segala kesembuhan adalah atas kuasanmu. Pun, segala penyakit adalah juga atas ijinMu. Maka sakitkanlah pak Fat barang sehari saja. Tak perlu Kau sakitkan yang berat. Cukup sakit perut saja. Aku memohon ya Allah, kabulkanlah doaku ini. Amiin.”
Jam tujuh pagi pak Bon memukel bel dari potongan rel KA. Menuju ke halaman sekolah untuk bersenam pagi, saya sempatkan melirik tempat parkir motor guru. Dan, alhamdulillah. Si Honda CB tak terlihat disana. Saya kira Tuhan sungguh baik hati. Mengabulkan doa yang semalam saya panjatkan.
Sampai SKJ usai, belum juga terdengar deru si CB. Aman. Keamanan itu makin nyata, ketika justru pak Damiri yang mengisi pelajaran di jam pertama. Ah, sakit perut betulan rupanya pak Fat.
Pak Damiri mengambil kapur tulis. Dan mulai menulis pelajaran PMP yang harus kami salin ke buku kami. Ketika baru menulis satu alenia, deru CB datang memasuki pintu gerbang. Pak Damiri menyudahi perannya, tepat disaat saya memulai kegelisahan baru. Kegelisahan itu makin menjadi-jadi ketika pak Fat masuk kelas. Keringat dingin mengguyur sekujur tubuh saya.
“Edi, kenapa kamu?” tanya pak Fat.
“Saya sakit perut, pak," jawab saya sambil memegang perut yang tiba-tiba mulas luar biasa.
Hafalan itu sebenarnya pendek saja. Hanya surat At-Tiin. Tetapi lidah saya selalu keluar jalur ketika memasuki dua pertiga isi surat. Malam itu, celakanya, saya bukan bekerja keras menempelkan hafalan itu ke ingatan saya. Tetapi malah merapal doa agar pak Fat besok pagi tidak datang mengajar.
“Ya Allah ya Tuhanku. Tuhan yang maha pengasih lagi maha penyayang. Ijinkanlah hambaMu yang lemah ini memohon. Agar besok pak Fat berhalangan datang. Agar aku terhindar dari hukumannya karena tidak hafal surat At-Tiin. Ya Allah ya Tuhanku. Segala kesembuhan adalah atas kuasanmu. Pun, segala penyakit adalah juga atas ijinMu. Maka sakitkanlah pak Fat barang sehari saja. Tak perlu Kau sakitkan yang berat. Cukup sakit perut saja. Aku memohon ya Allah, kabulkanlah doaku ini. Amiin.”
Jam tujuh pagi pak Bon memukel bel dari potongan rel KA. Menuju ke halaman sekolah untuk bersenam pagi, saya sempatkan melirik tempat parkir motor guru. Dan, alhamdulillah. Si Honda CB tak terlihat disana. Saya kira Tuhan sungguh baik hati. Mengabulkan doa yang semalam saya panjatkan.
Sampai SKJ usai, belum juga terdengar deru si CB. Aman. Keamanan itu makin nyata, ketika justru pak Damiri yang mengisi pelajaran di jam pertama. Ah, sakit perut betulan rupanya pak Fat.
Pak Damiri mengambil kapur tulis. Dan mulai menulis pelajaran PMP yang harus kami salin ke buku kami. Ketika baru menulis satu alenia, deru CB datang memasuki pintu gerbang. Pak Damiri menyudahi perannya, tepat disaat saya memulai kegelisahan baru. Kegelisahan itu makin menjadi-jadi ketika pak Fat masuk kelas. Keringat dingin mengguyur sekujur tubuh saya.
“Edi, kenapa kamu?” tanya pak Fat.
“Saya sakit perut, pak," jawab saya sambil memegang perut yang tiba-tiba mulas luar biasa.
Sabtu, 24 September 2011
Nasi Goreng Spesial
“NASI goreng.”
Itu jawaban yang selalu saya sampaikan bila ditanya apa makanan favorit saya. Walau begitu, belum pernah saya mengeluarkan uang lebih dari sepuluh ribu demi seporsi nasi goreng. Lidah saya sudah sangat kompak dengan dompet saya.
Nasi goreng seharga enam ribuan yang saya beli di gang sebelah, sudah sangat nikmat bagi lidah saya. Kalaulah lidah saya sudah pengalaman dengan aneka nasi goreng, itu bukan perkara harga. Tetapi lebih kepada jenis yang pernah dirasakannya. Mulai nasi goreng berbahan baku beras putih, nasi jagung sampai nasi goreng berbahan gaplek. Ya, nasi tiwul kalau digoreng laziz juga, lho!
Untuk urusan membuat nasi goreng, emak saya ahlinya. Dulu, menu ini sering saya dapati sebagai sarapan menjelang berangkat sekolah. Nasi goreng nyel. Tanpa telur. Tanpa kecap atau saos tomat. Tetapi pedasnya luar biasa. Karena emak selalu menyertakan beberapa lombok impling kedalam bumbunya. Lombok jenis super pedas itu diuleg dalam satu kloter dengan bawang merah, bawang putih, garam, daun jeruk purut di satu cobek. Lombok itu tidak sebagai lalap seperti lazimnya.
Lalu, sreeengg.... semua bumbu itu, plus nasi sisa kemarin, digoreng memakai minyak jlantah bekas menggoreng ikan asin. Aroma yang mengembara keluar dapur, sungguhlah laksana asap dari dapur sorga.
Belakangan saya tahu kenapa emak memasaknya begitu. Karena nasi sebagai bahan bakunya itu, sudah setengah mambu. Sudah agak jemek. Dengan dipedaskan, basi itu menjadi tak terasa. Tidak sakit perut? Mana bisa sakit perut. Wong biang penyakitnya yang bersembunyi didalam nasi basi itu sudah tewas duluan karena kepedesan.
Makanya sampai sekarang, kalau saya lihat ada nasi keleleran tak termakan, sampai nyaris basi, saya nelangsa. Ditangan emak, ia bisa menjelma sebagai nasi goreng 'spesial' lezat nan pedas.
Itu jawaban yang selalu saya sampaikan bila ditanya apa makanan favorit saya. Walau begitu, belum pernah saya mengeluarkan uang lebih dari sepuluh ribu demi seporsi nasi goreng. Lidah saya sudah sangat kompak dengan dompet saya.
Nasi goreng seharga enam ribuan yang saya beli di gang sebelah, sudah sangat nikmat bagi lidah saya. Kalaulah lidah saya sudah pengalaman dengan aneka nasi goreng, itu bukan perkara harga. Tetapi lebih kepada jenis yang pernah dirasakannya. Mulai nasi goreng berbahan baku beras putih, nasi jagung sampai nasi goreng berbahan gaplek. Ya, nasi tiwul kalau digoreng laziz juga, lho!
Untuk urusan membuat nasi goreng, emak saya ahlinya. Dulu, menu ini sering saya dapati sebagai sarapan menjelang berangkat sekolah. Nasi goreng nyel. Tanpa telur. Tanpa kecap atau saos tomat. Tetapi pedasnya luar biasa. Karena emak selalu menyertakan beberapa lombok impling kedalam bumbunya. Lombok jenis super pedas itu diuleg dalam satu kloter dengan bawang merah, bawang putih, garam, daun jeruk purut di satu cobek. Lombok itu tidak sebagai lalap seperti lazimnya.
Lalu, sreeengg.... semua bumbu itu, plus nasi sisa kemarin, digoreng memakai minyak jlantah bekas menggoreng ikan asin. Aroma yang mengembara keluar dapur, sungguhlah laksana asap dari dapur sorga.
Belakangan saya tahu kenapa emak memasaknya begitu. Karena nasi sebagai bahan bakunya itu, sudah setengah mambu. Sudah agak jemek. Dengan dipedaskan, basi itu menjadi tak terasa. Tidak sakit perut? Mana bisa sakit perut. Wong biang penyakitnya yang bersembunyi didalam nasi basi itu sudah tewas duluan karena kepedesan.
Makanya sampai sekarang, kalau saya lihat ada nasi keleleran tak termakan, sampai nyaris basi, saya nelangsa. Ditangan emak, ia bisa menjelma sebagai nasi goreng 'spesial' lezat nan pedas.
Sebentuk Sepanduk
SEBAGAI kota besar, Surabaya memang padat. Jumlah penduduknya, maupun jumlah kendaraan yang memacetkan jalan-jalannya. Ruas-ruas jalan yang sering macet itu, disisi lain adalah juga sebuah tempat yang strategis bagi sebagian kalangan. Misalnya, bagi pengusaha reklame dan sejenisnya.
Banyak saya dapati dipersimpangan jalan, mulai pertigaan, perempatan atau perlimaan (?) berdiri tiang-tiang reklame yang menjulang. Papan reklame aneka ukuran menjamur diseantero kota. Yang setiap musim hujan tiba selalu menimbulkan kekhawatiran. Tiang yang besar itu memang tak roboh. Tetapi papan reklame besar itu yang sering pontang-panting ditiup angin. Kalau sudah begitu, bukan tidak mungkin memakan korban, menjatuhi yang sedang lalu-lalang dibawahnya. Dan yang begini ini pernah terjadi.
Dari segi keamanan, sepanduk memang tidak membahayakan. Ia hanya ringan saja. Ia hanya, sering terjadi, dibentang diantara kaki-kaki tiang reklame raksasa. Tetapi dari segi keindahan ia sering tak tahu tata letak yang mengindahkan. Tumpang tindih. Ruwet.
Lebih ruwet lagi ketika hari ini saya dapati sebentuk sepanduk yang aneh. Walau bertumpang tindih dengan sepanduk lain, kalau diletakkan dipertigaan jalan Ahmad Yani-Margorejo Indah memang itu tempat yang strategis. Tetapi ketika membaca yang dituang disitu, saya jadi kurang ngeh.
Bila bulan puasa kemarin ada sebuah sepanduk ucapan selamat berpuasa dengan dibubuhi suatu gambar atau logo produk sirup disalah satu sisinya, saya maknai itu sebagai si sirup itu sedang mengucapkan selamat berpuasa kepada saya. Tetapi sepanduk yang saya ambil gambarnya ini tidak begitu.
‘Suara Golkar suara rakyat’ begitu bunyi kalimatnya. Disisi kiri ada foto Deddy Mizwar dan Dude Herlino sebagai bintang iklan Hobat. Disisi kanan ada logo TV9 lengkap dengan tagline-nya; santun menyejukkan.Sebentuk sepanduk itu
Apa yang salah?
Maaf, saya tidak hendak mencari letak kesalahannya. Tetapi, hanya ingin mencermatinya.
Begini, Hobat memang sering saya dapati sebagai sponsor program Kiswah (Kajian Islam Ahlussunnah wal Jamaah) salah satu acara unggulan di TV9 yang milik NU ini. Tetapi ketika keduanya bergandeng tangan membentang kalimat diatas, saya gagal mencari maksudnya. Pertama, seingat saya, belum pernah sebelumnya saya dapati suatu produk obat menyeponsori sebuah partai. Kedua, NU (dan seluruh organisasi dibawahnya, termasuk TV9?) tidak berpolitik praktis. Tetapi, ‘ada dimana-mana walau tidak kemana-mana’.
Atau ini hanya sebagai giliran saja. Dan Golkar mendapat kesempatan pertama. Besok Hobat dan TV9 menyeponsori partai lain, besoknya lagi lain lagi. Dan seterusnya.
Eh, tetapi jangan-jangan saya salah duga. Yang di tulis itu bukan nama partai. Karena yang sebenarnya dimaksud adalah nama merek alat elektronik; Goldstar. Cuma salah tulis saja. Lagian kan tidak ada gambar pohon beringinnya.
Entahlah.
Banyak saya dapati dipersimpangan jalan, mulai pertigaan, perempatan atau perlimaan (?) berdiri tiang-tiang reklame yang menjulang. Papan reklame aneka ukuran menjamur diseantero kota. Yang setiap musim hujan tiba selalu menimbulkan kekhawatiran. Tiang yang besar itu memang tak roboh. Tetapi papan reklame besar itu yang sering pontang-panting ditiup angin. Kalau sudah begitu, bukan tidak mungkin memakan korban, menjatuhi yang sedang lalu-lalang dibawahnya. Dan yang begini ini pernah terjadi.
Dari segi keamanan, sepanduk memang tidak membahayakan. Ia hanya ringan saja. Ia hanya, sering terjadi, dibentang diantara kaki-kaki tiang reklame raksasa. Tetapi dari segi keindahan ia sering tak tahu tata letak yang mengindahkan. Tumpang tindih. Ruwet.
Lebih ruwet lagi ketika hari ini saya dapati sebentuk sepanduk yang aneh. Walau bertumpang tindih dengan sepanduk lain, kalau diletakkan dipertigaan jalan Ahmad Yani-Margorejo Indah memang itu tempat yang strategis. Tetapi ketika membaca yang dituang disitu, saya jadi kurang ngeh.
Bila bulan puasa kemarin ada sebuah sepanduk ucapan selamat berpuasa dengan dibubuhi suatu gambar atau logo produk sirup disalah satu sisinya, saya maknai itu sebagai si sirup itu sedang mengucapkan selamat berpuasa kepada saya. Tetapi sepanduk yang saya ambil gambarnya ini tidak begitu.
‘Suara Golkar suara rakyat’ begitu bunyi kalimatnya. Disisi kiri ada foto Deddy Mizwar dan Dude Herlino sebagai bintang iklan Hobat. Disisi kanan ada logo TV9 lengkap dengan tagline-nya; santun menyejukkan.Sebentuk sepanduk itu
Apa yang salah?
Maaf, saya tidak hendak mencari letak kesalahannya. Tetapi, hanya ingin mencermatinya.
Begini, Hobat memang sering saya dapati sebagai sponsor program Kiswah (Kajian Islam Ahlussunnah wal Jamaah) salah satu acara unggulan di TV9 yang milik NU ini. Tetapi ketika keduanya bergandeng tangan membentang kalimat diatas, saya gagal mencari maksudnya. Pertama, seingat saya, belum pernah sebelumnya saya dapati suatu produk obat menyeponsori sebuah partai. Kedua, NU (dan seluruh organisasi dibawahnya, termasuk TV9?) tidak berpolitik praktis. Tetapi, ‘ada dimana-mana walau tidak kemana-mana’.
Atau ini hanya sebagai giliran saja. Dan Golkar mendapat kesempatan pertama. Besok Hobat dan TV9 menyeponsori partai lain, besoknya lagi lain lagi. Dan seterusnya.
Eh, tetapi jangan-jangan saya salah duga. Yang di tulis itu bukan nama partai. Karena yang sebenarnya dimaksud adalah nama merek alat elektronik; Goldstar. Cuma salah tulis saja. Lagian kan tidak ada gambar pohon beringinnya.
Entahlah.
Jumat, 23 September 2011
Abah Oyang sang David 'Bekam'
DI SEBUAH proyek, sekian belas tahun lalu, lelaki dengan suara khas itu sering bercanda dengan saya. Tetapi sering pula diselingi dialog-dialog serius bertopik agama. Dalam bidang itu, saya nilai, beliau termasuk mumpuni.
“Berkat beliau pula saya terentas dari jahiliyah,” begitu komentar seorang teman ketika pagi tadi saya kirimi ia foto si beliau dalam akun Efbi-nya.
Foto itu hasil jepretan saya ketika si lelaki bersuara khas itu tampil dalam program Klinik Islami di sebuah stasiun televisi. Kemarin malam itu, untuk kedua kalinya saya dapati si lelaki itu tampil di televisi yang sama. Tetapi memang itu sebagai tayang ulangnya. Ketika tayang perdana, saya tertegun dan tak kepikiran untuk mengambil gambarnya. Baru kemarin tergerak untuk melakukannya.
Dari tayang pertama yang disiarkan live itu saya tahu nomor HP nya. Tetapi tentu tak pantas saya menghubunginya ketika sedang on air.
“Edi yang dari Jember itu ya?” begitu balasan SMS yang saya terima, tigapuluh menit setelah siaran.
Ketika saya iyakan, meluncurlah guyonan-guyonan yang dulu pernah kami ketawai bersama. Ah, rupanya daya ingat beliau masih kuat. Buktinya, beliau masih ingat segala kebiasaan saya. Termasuk lagu yang sering (waktu itu) saya nyanyikan. Uh, sampai segitunya.
“Kenapa sampeyan tak kuliah?” tanya beliau suatu kali, dulu. “Kuliahlah. Pasti mampu. Itu si Ryan, buktinya bisa.”
Iya, Ryan itu juga seproyek dengan saya. Ia dan juga beliau adalah pekerja harian ikut kontraktor bidang pengecatan.
David, begitulah nama beliau yang saya kenal. Semua temannya, yang sebagian besar dari Indonesia Timur (termasuk si Ryan itu), memanggilnya pak David. Saya juga. Tetapi dalam siaran televisi beliau sekarang sebagai Abah Oyang. Lengkapnya lagi; Abah Oyang si ahli bekam. Sejenis pengobatan alternatif ala Islam.
Saya belum ingin menulis tentang bekam. Tetapi lebih kepada Abah Oyang.
“Ah, saya jadi ingat pemain bola top asal Inggris. Oyang Beckham,” tulis saya pada jawaban seorang teman yang mengomentari foto Abah Oyang di Efbi saya.
“Hahaha... David Bekam?” balasnya.
Tentu guyonan semacam itu tak kan terjadi bila kami tak tahu siapa dulunya si Abah Oyang. Tetapi jaman telah berganti. Saya saja yang tidak berganti. Tidak berubah. Ketika beliau sudah ahli dalam praktik penyembuhan lewat bekam, saya tetaplah begini-begini saja.
Berarti, mungkin untuk menilai seseorang, saya harus tanggalkan segala nilai masa lalu. Apa yang 'ada' saat ini, itulah yang ternilai.
Contoh terbaru ya si Michael Sata yang hari ini memenangkan pilpres di Zambia. Ya, sekarang ia presiden. Itu nilainya. Perkara dulu ia hanyalah tukang sapu di British Rail, London, itu masa lalu.
"Saya tak pernah mengeluh yang saya kerjakan. Saya ingin menyapu negeri saya, membuatnya lebih bersih dari yang saya lakukan di stasiun kereta api Anda," begitu katanya saat diwawancara The Telegraph.
Ia memang tukang sapu, dulu. Tetapi sambil bekerja kasar begitu, ia juga bersekolah di jurusan ilmu politik di sebuah perguruan tinggi di Inggris.
“Di bidang apapun kita bekerja, tidak lain kecuali mengharap kemulyaan hidup. Karena pada prinsipnya kerja adalah ibadah. Seluruh aktifitas adalah ibadah. Hidup adalah ibadah,” begitu SMS balasan yang saya terima setelah saya utarakan saya tetap begini, belum berubah.
"Saya kerja di proyek (bangunan) ya cuma saat itu. Hanya mencari pengalaman," kata beliau menjelaskan. "Dulu saya ini guru fisika. Juga pernah jadi kepala sekolah SMP."
Saya bayangkan itu sebagai dialog langsung. Saya bayangkan saya sedang mendengarkan suara khasnya. Dan saya sedang berpikir untuk menemui beliau secara langsung, suatu hari nanti. Untuk silaturrahim. Juga untuk bertanya kenapa sekarang berganti nama menjadi Abah Oyang. Dan juga bertanya tentang hal-hal lain yang ingin saya tahu lebih dalam tentang beliau.
Masih rencana memang. Tetapi, demi menghargai 'kedudukan' beliau sekarang, tentu saya akan lihat-lihat juga; pantaskan saya masih seguyon dulu? Lebih-lebih ketika sekarang, dengan sudah tampilnya beliau di televisi, (dalam bayangan saya) pastilah banyak pasien yang antre di rumah yang sekaligus tempat praktiknya.
Tunggu kedatangan saya pak David, eh Abah Oyang ding.
Kasak-kusuk Khusyuk
“DEMI kekhusyukan kita bersama, bagi jamaah yang membawa alat komunikasi telepon selular, untuk tidak mengaktifkannya selama khutbah dan juga selama sholat Jumat,” begitu kurang-lebih pengumuman yang diudarakan sesaat sebelum khutbah Jumat disampaikan.
Ini dia. Disaat khutbah mulai disampaikan, biasanya saya serasa kena hipnotis; ngantuk. Atau bahkan kemudian tidur. Tetapi, barusan, tumben saya bisa melek selama khutbah. Khutbah dengan tema yang itu-itu juga. Dengan gaya yang begitu-begitu juga. Tetapi,” Khutbah dengan tema itu-itu dengan gaya yang begitu-begitu saja tidak kamu laksanakan. Kok mau minta yang gaya baru.” sanggah sebuah status di FB seorang teman.
Khusuk, dalam hal apapun kadang menang sulit. Dalam sholat Jumat barusan, sekuat tenaga saya mencoba belajar khusyuk. Sekhusyuk-khusyuknya. Tetapi gagal. Gara-garanya bukan ada jamaah yang nakal lupa tak mematikan ponselnya dan ada panggilan masuk. Bukan. Tetapi beberapa anak yang ikutan khusyuk dalam guyon dibarisan belakang.
Nanti, kalau ada malaikat bertanya,” He Edi, kenapa pada Jumat tanggal sekian bulan sekian kamu sholat tidak khusyuk?”
Telunjuk saya siap menunjuk segerombolan bocah itu sebagai kambing hitam.
Ini dia. Disaat khutbah mulai disampaikan, biasanya saya serasa kena hipnotis; ngantuk. Atau bahkan kemudian tidur. Tetapi, barusan, tumben saya bisa melek selama khutbah. Khutbah dengan tema yang itu-itu juga. Dengan gaya yang begitu-begitu juga. Tetapi,” Khutbah dengan tema itu-itu dengan gaya yang begitu-begitu saja tidak kamu laksanakan. Kok mau minta yang gaya baru.” sanggah sebuah status di FB seorang teman.
Khusuk, dalam hal apapun kadang menang sulit. Dalam sholat Jumat barusan, sekuat tenaga saya mencoba belajar khusyuk. Sekhusyuk-khusyuknya. Tetapi gagal. Gara-garanya bukan ada jamaah yang nakal lupa tak mematikan ponselnya dan ada panggilan masuk. Bukan. Tetapi beberapa anak yang ikutan khusyuk dalam guyon dibarisan belakang.
Nanti, kalau ada malaikat bertanya,” He Edi, kenapa pada Jumat tanggal sekian bulan sekian kamu sholat tidak khusyuk?”
Telunjuk saya siap menunjuk segerombolan bocah itu sebagai kambing hitam.
Rabu, 21 September 2011
Lagu tak Lagi Lugu
SECARA garis besar saya menyukai semua jenis musik dan lagu. Bahkan sampai lagu yang saya tak mengerti arti syairnya sekalipun. Dulu ketika wabah break dance sempat menyusup ke kampung saya, saya ikutan asyik saja menikmati musiknya yang gededak-gedebuk itu. Ketika New Kids On The Block lagi moncer, salah satunya lewat tembang Step by Step, saya ikutan pula menyenanginya.
Dangdut bagaimana?
Oh, apalagi itu. Karena, ibaratnya, sejak lahir procot musik jenis ini telah menempel ke gendang telinga semua orang di kampung kami. Setiap orang hajatan, atau siaran sepak bola di lapangan desa, si TOA selalu saja menyuarakan dangdut itu.
Ingat betul saya ketika para pemain turun minum dalam pertandingan bola, juga ketika si penyiar ikutan turun minum, si TOA mengudarakan si Rita Sugiarto; idaman hati kemanakah kemana engkau pergi...
Lagu, apapun jenisnya, ternyata mengikuti pula perkembangan teknologi informasi. Dulu, dulu sekali, ketika teknologi tak semaju saat ini, dan salah satu komunikasi andalan adalah lewat surat, ia mengilhami beberapa lagu. Sebutlah misalnya, Surat Cinta-nya si Erni Djohan. Tradisi surat-menyurat (cinta) ini rupanya bertahan lama. Buktinya, sampai era 80-an ia masih disuarakan. Dengan suara khas nan centil mari kita nyanyikan ini; surat cintaku yang pertama, membuat hatiku berlomba, seperti melodi yang indaahhh... kata-kata cintanya.
(Ah, suara sampeyan tak kalah bagus dengan Vinna Panduwinata rupanya!)
Sebelum Trio Macan mengaum lewat (teknologi seluler) berupa ponsel dalam tembang bertajuk SMS, ada yang ber- tit,tit,tit pagerku berbunyi, tit,tit,tit, begitu bunyinya.... (dengan irama rap lagu ini populer lewat kelompok Sweet Martabak)
Ya, Pager memang pernah menjadi populer walau tak berumur lama. Ia kalah KO lewat pukulan telak saat ditantang pendatang baru; ponsel. Setiap lewat di jalan Diponegoro sebelum kantor bank PTPN di ujung Ciliwung, ada gedung tak terawat dengan antena menjulang. Menara antena itu, gedung lumayan besar yang tak terawat itu, bukti pager pernah mengenyam masa jaya. Ya, gedung suwung itu adalah bekas markas operator pager besar; Starco.
Dulu, ditempat kerja, saya sempat difasilitasi alat yang hanya dapat menerima pesan tetapi tak mampu membalasnya itu. Di dalam angkot, ketika tiba-tiba si pager berbunyi, mengeluarkannya dari saku adalah sudah sebuah gaya. Seperti ketika orang menggenggam telepon pintar jaman sekarang!
Kembali ke soal lagu. Masa keemasan 'surat' telah lama berlalu, pager juga sudah lama kukut, SMS masih, lalu Facebook. Sampeyan pasti tahu, GIGI yang duluan unjuk gigi menyanyikannya; berawal dari facebook baruku... dst.
Sudah?
Belum. Karena saya masih ingin bicara tentang dangdut. Ada apa dengan dangdut?
Betul memang, sekarang tidak ada yang menyebutkan sebagai yang kampungan. Saya nilai, dangdut adalah musik yang gembira. Tengoklah, lagu sedih pun, dalam pentas-pentas dangdut, selalu diikuti goyang-riang sang penyanyi juga tentu para penonton. Lebih-lebih yang bertema riang betulan. Dan keriangan itu makin menjadi-jadi ketika dangdut di-koplo-kan. Era Ida Laila lewat lagu dengan syair mendayu-dayu nan lugu, berubah sudah. Berganti syair nakal nan binal. Yang kata-katanya terdengar lebih terasa 'bule' ketimbang masa Jefry Bule yang kondang dimasa Merry Andani, Mila Rossa, atau Yeny Eria.
Setelah itu, masa keemasan aneka goyang. Mulai ngebornya Inul, gergajinya Dewi Persik, patah-patahnya Anissa Bahar, dsb, dst.
Sekarang, disadari atau tidak, dangdut (entah untuk keberapa kalinya)dengan tega meng-kampung-kan dirinya sendiri. Selain lewat tampilan para penyanyinya yang seronok, belakangan saya dapati beberapa lagu yang syairnya jorok;. Misalnya, setelah Keong Racun, ada lagi yang lebih baru yang tak kalah 'saru'; kuhamil duluan sudah tiga bulan gara-gara pacaran tidurnya berduaan....
Duh.
Dangdut bagaimana?
Oh, apalagi itu. Karena, ibaratnya, sejak lahir procot musik jenis ini telah menempel ke gendang telinga semua orang di kampung kami. Setiap orang hajatan, atau siaran sepak bola di lapangan desa, si TOA selalu saja menyuarakan dangdut itu.
Ingat betul saya ketika para pemain turun minum dalam pertandingan bola, juga ketika si penyiar ikutan turun minum, si TOA mengudarakan si Rita Sugiarto; idaman hati kemanakah kemana engkau pergi...
Lagu, apapun jenisnya, ternyata mengikuti pula perkembangan teknologi informasi. Dulu, dulu sekali, ketika teknologi tak semaju saat ini, dan salah satu komunikasi andalan adalah lewat surat, ia mengilhami beberapa lagu. Sebutlah misalnya, Surat Cinta-nya si Erni Djohan. Tradisi surat-menyurat (cinta) ini rupanya bertahan lama. Buktinya, sampai era 80-an ia masih disuarakan. Dengan suara khas nan centil mari kita nyanyikan ini; surat cintaku yang pertama, membuat hatiku berlomba, seperti melodi yang indaahhh... kata-kata cintanya.
(Ah, suara sampeyan tak kalah bagus dengan Vinna Panduwinata rupanya!)
Sebelum Trio Macan mengaum lewat (teknologi seluler) berupa ponsel dalam tembang bertajuk SMS, ada yang ber- tit,tit,tit pagerku berbunyi, tit,tit,tit, begitu bunyinya.... (dengan irama rap lagu ini populer lewat kelompok Sweet Martabak)
Ya, Pager memang pernah menjadi populer walau tak berumur lama. Ia kalah KO lewat pukulan telak saat ditantang pendatang baru; ponsel. Setiap lewat di jalan Diponegoro sebelum kantor bank PTPN di ujung Ciliwung, ada gedung tak terawat dengan antena menjulang. Menara antena itu, gedung lumayan besar yang tak terawat itu, bukti pager pernah mengenyam masa jaya. Ya, gedung suwung itu adalah bekas markas operator pager besar; Starco.
Dulu, ditempat kerja, saya sempat difasilitasi alat yang hanya dapat menerima pesan tetapi tak mampu membalasnya itu. Di dalam angkot, ketika tiba-tiba si pager berbunyi, mengeluarkannya dari saku adalah sudah sebuah gaya. Seperti ketika orang menggenggam telepon pintar jaman sekarang!
Kembali ke soal lagu. Masa keemasan 'surat' telah lama berlalu, pager juga sudah lama kukut, SMS masih, lalu Facebook. Sampeyan pasti tahu, GIGI yang duluan unjuk gigi menyanyikannya; berawal dari facebook baruku... dst.
Sudah?
Belum. Karena saya masih ingin bicara tentang dangdut. Ada apa dengan dangdut?
Betul memang, sekarang tidak ada yang menyebutkan sebagai yang kampungan. Saya nilai, dangdut adalah musik yang gembira. Tengoklah, lagu sedih pun, dalam pentas-pentas dangdut, selalu diikuti goyang-riang sang penyanyi juga tentu para penonton. Lebih-lebih yang bertema riang betulan. Dan keriangan itu makin menjadi-jadi ketika dangdut di-koplo-kan. Era Ida Laila lewat lagu dengan syair mendayu-dayu nan lugu, berubah sudah. Berganti syair nakal nan binal. Yang kata-katanya terdengar lebih terasa 'bule' ketimbang masa Jefry Bule yang kondang dimasa Merry Andani, Mila Rossa, atau Yeny Eria.
Setelah itu, masa keemasan aneka goyang. Mulai ngebornya Inul, gergajinya Dewi Persik, patah-patahnya Anissa Bahar, dsb, dst.
Sekarang, disadari atau tidak, dangdut (entah untuk keberapa kalinya)dengan tega meng-kampung-kan dirinya sendiri. Selain lewat tampilan para penyanyinya yang seronok, belakangan saya dapati beberapa lagu yang syairnya jorok;. Misalnya, setelah Keong Racun, ada lagi yang lebih baru yang tak kalah 'saru'; kuhamil duluan sudah tiga bulan gara-gara pacaran tidurnya berduaan....
Duh.
Copy Paste
DENGAN usianya yang tak lagi muda, Hugh Hefner mengaku bahwa kehidupan seksualnya tak lagi sama dengan masa mudanya. Tapi, bos Playboy ini punya cara jitu untuk mengatasinya!
Pria berusia 85 tahun ini mengaku bahwa dirinya masih berhubungan secara aktif. Hanya saja, staminanya memang tak seprima dulu, yang membuatnya lebih pasif.
"Aku adalah penemu revolusi seksual. Aku sangat bangga atas hal ini," ujar Hefner membenarkan bahwa seks masih menjadi bagian besar dalam hidupnya.
"Tapi aku takkan bilang bahwa hal ini masih sama dengan ketika aku masih 50 tahun. Tapi kau tahu, aku adalah pria yang romantis, dan kurasa seks, atau keintiman dalam seks, adalah sebagian besar darinya," lanjutnya.
Ketika ditanya bagaimana caranya mempertahankan hubungan seksual yang aktif di usia senjanya, Hefner menjawab, "Aku hanya membiarkan gadis-gadisku yang bekerja lebih keras," jawabnya.
Insiden batalnya pernikahan Hefner dan Harris beberapa bulan yang lalu ternyata tak lantas membuatnya kapok dengan pernikahan. Hefner mengaku masih ingin menikah, walau tak menjadi prioritas baginya.
"Apa yang kucari dari hidupku adalah hubungan kasih yang romantis, ini yang paling penting. Jadi aku tak menghapus kemungkinan pernikahan, hanya saja tak menjadi prioritas besar," aku Hefner.
Hmm, kapan nih pensiun? "Aku pensiun kalau aku sudah mati. Kurasa bekerja, mencinta, dan bermain adalah alasan yang membuatku tetap hidup," pungkasnya. (spl/mae)
Serius saya mengakui, artikel diatas saya copy-paste 100% dari suatu situs. Tetapi disaat yang sama saya berdoa, juga secara serius; semoga saya dan anak turun saya terhindar dari meng-copy-paste kelakuannya!
Pria berusia 85 tahun ini mengaku bahwa dirinya masih berhubungan secara aktif. Hanya saja, staminanya memang tak seprima dulu, yang membuatnya lebih pasif.
"Aku adalah penemu revolusi seksual. Aku sangat bangga atas hal ini," ujar Hefner membenarkan bahwa seks masih menjadi bagian besar dalam hidupnya.
"Tapi aku takkan bilang bahwa hal ini masih sama dengan ketika aku masih 50 tahun. Tapi kau tahu, aku adalah pria yang romantis, dan kurasa seks, atau keintiman dalam seks, adalah sebagian besar darinya," lanjutnya.
Ketika ditanya bagaimana caranya mempertahankan hubungan seksual yang aktif di usia senjanya, Hefner menjawab, "Aku hanya membiarkan gadis-gadisku yang bekerja lebih keras," jawabnya.
Insiden batalnya pernikahan Hefner dan Harris beberapa bulan yang lalu ternyata tak lantas membuatnya kapok dengan pernikahan. Hefner mengaku masih ingin menikah, walau tak menjadi prioritas baginya.
"Apa yang kucari dari hidupku adalah hubungan kasih yang romantis, ini yang paling penting. Jadi aku tak menghapus kemungkinan pernikahan, hanya saja tak menjadi prioritas besar," aku Hefner.
Hmm, kapan nih pensiun? "Aku pensiun kalau aku sudah mati. Kurasa bekerja, mencinta, dan bermain adalah alasan yang membuatku tetap hidup," pungkasnya. (spl/mae)
Serius saya mengakui, artikel diatas saya copy-paste 100% dari suatu situs. Tetapi disaat yang sama saya berdoa, juga secara serius; semoga saya dan anak turun saya terhindar dari meng-copy-paste kelakuannya!
Gaya Saya
TAHUN berubah, gaya pun berubah.
Dulu, sekitar pertengahan tahun 80-an;
rambut agak gondrong depan, diuyek-uyek, lalu sreet... ditarik sedikit. Sudah merasa mbois. Kalau sekolah, lengan baju dipilin ketat mengikat lengan.
Sebagai cowok, dengan begitu sudah merasa sekeren Richie Ricardo.
Saya?
Tentu tidak begitu. Saya punya senjata tersendiri; kumis!
Makanya, ”Saya Rano Karno.”
Uh!
Dulu, sekitar pertengahan tahun 80-an;
rambut agak gondrong depan, diuyek-uyek, lalu sreet... ditarik sedikit. Sudah merasa mbois. Kalau sekolah, lengan baju dipilin ketat mengikat lengan.
Sebagai cowok, dengan begitu sudah merasa sekeren Richie Ricardo.
Saya?
Tentu tidak begitu. Saya punya senjata tersendiri; kumis!
Makanya, ”Saya Rano Karno.”
Uh!
Berbagi Sebagian
"BUNGA (bukan nama sebenarnya) janda lagi", begitu --antara lain-- bunyi SMS dari nomor tak saya kenal yang mampir ke HP jadul saya di sebuah sore.
Tapi dari karakter pesan dan bahasanya saya kenal. Setidaknya 99,9% saya tebak dia oknumnya.
Tapi itu menjadi tak penting. Setakpenting isi pesannya. Bukan saya tak peduli teman, bukan. Tapi ketika masuk ke zona pribadi, saya menjadi penakut. Takut salah sangka, takut keliru menilai. Dan ketakutan saya itu harus saya pupuk agar tak ambruk. Agar saya tak salah masuk ke hal-hal yang seharusnya tak saya masuki. Tak peduli sudah janda atau belum (semoga jangan, sejangan saya menjadi duda. Hm?) Sebagai teman kita memang berhak berbagi, tapi tetap sebagian saja. Dan bagian terbesar seyogianya tetaplah milik pribadi. Bukankah begitu?
“Siapa janda lagi?,” tanya teman lain tengah malam tadi.
Siapa?
Atau, siap-A atau siap-B? Tidak ada. Karena bukankah memang telah saya bilang; itu tidak penting. Ia bisa jadi sekadar kabar burung, sekadar kabar kabur. Lalu? Ya lalukan saja!
Tapi dari karakter pesan dan bahasanya saya kenal. Setidaknya 99,9% saya tebak dia oknumnya.
Tapi itu menjadi tak penting. Setakpenting isi pesannya. Bukan saya tak peduli teman, bukan. Tapi ketika masuk ke zona pribadi, saya menjadi penakut. Takut salah sangka, takut keliru menilai. Dan ketakutan saya itu harus saya pupuk agar tak ambruk. Agar saya tak salah masuk ke hal-hal yang seharusnya tak saya masuki. Tak peduli sudah janda atau belum (semoga jangan, sejangan saya menjadi duda. Hm?) Sebagai teman kita memang berhak berbagi, tapi tetap sebagian saja. Dan bagian terbesar seyogianya tetaplah milik pribadi. Bukankah begitu?
“Siapa janda lagi?,” tanya teman lain tengah malam tadi.
Siapa?
Atau, siap-A atau siap-B? Tidak ada. Karena bukankah memang telah saya bilang; itu tidak penting. Ia bisa jadi sekadar kabar burung, sekadar kabar kabur. Lalu? Ya lalukan saja!
Selasa, 20 September 2011
Harga Raga
Ajining dhiri saka lathi, ajining raga saka busana.
Sebaris kalimat tadi adalah peribahasa Jawa yang pertama saya terima di bangku sekolah dasar. Terjemahan bebasnya; berharganya diri seseorang dinilai dari tuturkatanya, berharganya tubuh seseorang dinilai dari busana yang dikenakannya.
Untuk jenis pertama, saya bisa temukan padanan dalam kalimat; mulutmu harimaumu. Untuk kalimat ajining raga saka busana, saya gagal menemukan padanannya. Tetapi bisa menunjukan contoh nyata. Begini, suatu hari saya melintas di jalan Wonokromo ke arah Bonbin. Karena palang pintu KA sedang tertutup di dekat RSI. Bersama sekian banyak pengendara saya berhenti. Suara ting-tung,ting-tung disusul pemberitahuan dari speaker agar pengguna jalan mendahulukan kereta api menjadi suara lain yang terdengar diantara deru mesin sekian banyak mobil dan (mungkin) ribuan motor.
Beberapa saat dalam suasana begitu. Saya melempar pandang kesana-kemari. Dan, didekat pos petugas KA, saya dapati lelaki yang wajahnya saya kenali. Berjalan membawa buntalan di pundaknya. Berbaju rapi, bercelana rapi. Berjalan normal. Normal? Iya, stidaknya ia tidak seperti ketika beraksi didekat lampu merah Jemursari.
Kalau di Jemursari, lelaki itu rela berjemur-jemur ria, ngesot, dengan lutut dibebat perban kotor kumal. Menadahkan tangan ke para pengendara, dengan balutan wajah memelas. Hasilnya, beberapa lembar ribuan dan gemerincing rasa iba dilempar ke arahnya. Ia 'pemain sandiwara' yang fasih. Dengan penjiwaan yang total. Dengan kostum yang mendukung. Kecerdasan lainnya, ia tahu dalam menempatkan diri. Ia 'empan papan', menurut istilah Jawa.
Ketika mengemis berkumal ria, namun dalam keseharian, oh tunggu dulu. Raga harus dihargakan. Karena, ajining raga saka busana.
Suatu kali saya diajak seorang teman yang bagian purchasing untuk membeli barang yang saya butuhkan. Karena barang itu harus sama persis dengan yang akan diganti, si staf purchasing itu sampai perlu mengajak saya agar tidak keliru beli. Untuk membeli barang itu, sasaran yang dituju sudah jelas; jalan Baliwerti.
Setelah surat jalan dan sejumlah uang kami terima, meluncurlah kami keluar kantor. Langsung ke Baliwerti? Tentu tidak. Karena si teman tadi mengajak saya mampir kerumahnya dulu di Dukuh Pakis. Untuk apa? Ganti kostum.
Setelah sekian lama di bagian purchasing, ia tahu betul, para penjual sering menjual barang dengan harga lebih mahal kepada pembeli yang berdandan rapi. Dan akan memberi harga miring kepada yang berdandan compang-camping, sekalipun jenis dan mutu barang sama.
Begitulah. Sekali lagi; ajining dhiri saka lathi, ajining raga saka busana. Kalau ajining fesbuker? Saka status!
Salam.
Sebaris kalimat tadi adalah peribahasa Jawa yang pertama saya terima di bangku sekolah dasar. Terjemahan bebasnya; berharganya diri seseorang dinilai dari tuturkatanya, berharganya tubuh seseorang dinilai dari busana yang dikenakannya.
Untuk jenis pertama, saya bisa temukan padanan dalam kalimat; mulutmu harimaumu. Untuk kalimat ajining raga saka busana, saya gagal menemukan padanannya. Tetapi bisa menunjukan contoh nyata. Begini, suatu hari saya melintas di jalan Wonokromo ke arah Bonbin. Karena palang pintu KA sedang tertutup di dekat RSI. Bersama sekian banyak pengendara saya berhenti. Suara ting-tung,ting-tung disusul pemberitahuan dari speaker agar pengguna jalan mendahulukan kereta api menjadi suara lain yang terdengar diantara deru mesin sekian banyak mobil dan (mungkin) ribuan motor.
Beberapa saat dalam suasana begitu. Saya melempar pandang kesana-kemari. Dan, didekat pos petugas KA, saya dapati lelaki yang wajahnya saya kenali. Berjalan membawa buntalan di pundaknya. Berbaju rapi, bercelana rapi. Berjalan normal. Normal? Iya, stidaknya ia tidak seperti ketika beraksi didekat lampu merah Jemursari.
Kalau di Jemursari, lelaki itu rela berjemur-jemur ria, ngesot, dengan lutut dibebat perban kotor kumal. Menadahkan tangan ke para pengendara, dengan balutan wajah memelas. Hasilnya, beberapa lembar ribuan dan gemerincing rasa iba dilempar ke arahnya. Ia 'pemain sandiwara' yang fasih. Dengan penjiwaan yang total. Dengan kostum yang mendukung. Kecerdasan lainnya, ia tahu dalam menempatkan diri. Ia 'empan papan', menurut istilah Jawa.
Ketika mengemis berkumal ria, namun dalam keseharian, oh tunggu dulu. Raga harus dihargakan. Karena, ajining raga saka busana.
Suatu kali saya diajak seorang teman yang bagian purchasing untuk membeli barang yang saya butuhkan. Karena barang itu harus sama persis dengan yang akan diganti, si staf purchasing itu sampai perlu mengajak saya agar tidak keliru beli. Untuk membeli barang itu, sasaran yang dituju sudah jelas; jalan Baliwerti.
Setelah surat jalan dan sejumlah uang kami terima, meluncurlah kami keluar kantor. Langsung ke Baliwerti? Tentu tidak. Karena si teman tadi mengajak saya mampir kerumahnya dulu di Dukuh Pakis. Untuk apa? Ganti kostum.
Setelah sekian lama di bagian purchasing, ia tahu betul, para penjual sering menjual barang dengan harga lebih mahal kepada pembeli yang berdandan rapi. Dan akan memberi harga miring kepada yang berdandan compang-camping, sekalipun jenis dan mutu barang sama.
Begitulah. Sekali lagi; ajining dhiri saka lathi, ajining raga saka busana. Kalau ajining fesbuker? Saka status!
Salam.
Teknik Luar Duga
"SAYA suka cerpen-cerpen Mohammad Diponegoro. Banyak kejutan muncul di sana. Hebatnya, kejutan-kejutan terbaik muncul di ujung cerita dengan alasan yang terkadang sulit ditebak sejak dari paragraf pertama. Kontrol yang kuat atas jalannya alur cerita menyebabkan pembaca selalu terjebak dalam perkiraan yang salah. Itulah peristiwa penting di akhir cerita yang disebut dengan “akhir-luar-duga.”
Seno Gumira Ajidarma juga menggunakan teknik seperti ini pada beberapa ceritanya. Sebutlah misalnya cerpen “Manuel” dalam buku kumpulan “Saksi Mata”. Saya suka sekali kejutan dalam cerita itu. Ya, kejutan itu tak ubahnya tamparan dalam sedetik setelah dielus-elus selama satu jam. Begitulah kejutan yang digemari dalam cerita rekaan, namun sangat ditakutkan bila terjadi dalam kenyataan,” begitu, (panjang) lebar sahabat (maya) saya mengomentari salah satu tulisan saya di FB.
Sungguh, saya bukan pembaca yang baik. Makanya, kalau sahabat tadi menyebut dua nama cerpenis kondang diatas, saya merasa asing saja. Bukan apa-apa. Tetapi karena saya memang ‘belum akrab’ dengan tulisan-tulisan beliau. Disudut lain, kalau saja beberapa tulisan saya ‘nyaris’ sebagai gaya ‘akhir-luar-duga’ (wah, GR nih!), entahlah kenapa. Saya hanya menulis saja. Suka saja dengan cara mengejutkan begitu.
Tidak ada kebetulan yang benar-benar betul. Pasti ada yang memengaruhi sebuah gaya. Sekali lagi, entahlah.
Yang jelas, saya dulu suka membaca gaya Arswendo Atmowiloto yang saban Selasa (kalau tidak salah ingat) saya temui di (alm) Monitor. Juga, Veven Sp Wardhana yang sesekali juga nongol di tabloid yang sama. Selebihnya, saya suka Markesot Bertutur-nya cak Nun. Yang kala itu rutin nongol di Surabaya Post. Atau sesekali membaca Catatan Pinggir-nya Goenawan Mohamad lewat majalah Tempo edisi bekas. Belakangan ini saya agak sering membaca tulisan-tulisan Prie GS dan AS. Laksana. (Tentang istilah majalah bekas, buku bekas dan sejenisnya, kok saya kurang setuju. Tidak ada yang bekas, saya kira, untuk barang-barang cetakan begitu. Hanya edisi lama, tetapi bukan bekas menurut saya. Buktinya, saya tetap saja menikmati dan bisa mendapatkan ‘sesuatu’ ketika membaca majalah Intisari terbitan belasan tahun lalu, misalnya. Majalah, buku dan sejenisnya itu laksana guru. Tak patut saya menyebut bekas untuk seorang guru SD saya. Beliau tetap guru saya. Bukan bekas guru saya.)
Tentang teknik ‘akhir-luar-duga’ ini rupanya juga digunakan anak sulung saya. Hal ini saya dapati ketika hari Minggu pagi saya bersama dia dan si bungsu jalan-jalan ke kawasan industri Rungkut (SIER) yang memang hanya berjarak tak lebih dari 75 meter dari rumah saya.
Dalam jalan-jalan pagi itu, diantara lalu-lalang orang-orang berolahraga, si sulung bercerita kepada saya,
“Bapak, aku punya cerita,” katanya.
Sambil menuntun si bungsu saya bersiap mendengarkan.
“Cerita ini berisi empat kisah keseharian anak dan bapaknya,” ia melanjutkan. “Pertama; ketika berangkat sekolah si anak diantar oleh bapaknya memakai motor. Sampai di suatu persimpangan, si bapak belok kanan,padahal arah sekolah ke kiri. “Lho, pak. Kok ke kanan, kan sekolahku kekiri,” si anak protes. “Kan terserah bapak. Yang pegang kemudi kan bapak.” Itu kisah pertama. Kisah kedua; keesokan harinya, pada suatu sore si anak diminta bapaknya membelikan kopi di warung dekat rumah. Tetapi lama ditunggu belum datang juga. Begitu datang, ” Beli kopi dimana kamu kok lama sekali?” tanya bapaknya. “Ke minimarket,” jawab si anak. “Kan bapak suruh ke warung sebelah, kenapa ke minimarket yang lebih jauh?” protes bapaknya. “Kan terserah saya. Yang berangkat beli kan saya.” Itu kisah kedua. Sekarang kisah keempat...”
“Lho kok langsung keempat, yang ketiga bagaimana?” saya protes.
“Lho, kan terserah aku. Yang cerita kan aku,” jawab anak saya sambil cekikikan. “Kena, deh,” imbuhnya.
Uh, semprul!
Seno Gumira Ajidarma juga menggunakan teknik seperti ini pada beberapa ceritanya. Sebutlah misalnya cerpen “Manuel” dalam buku kumpulan “Saksi Mata”. Saya suka sekali kejutan dalam cerita itu. Ya, kejutan itu tak ubahnya tamparan dalam sedetik setelah dielus-elus selama satu jam. Begitulah kejutan yang digemari dalam cerita rekaan, namun sangat ditakutkan bila terjadi dalam kenyataan,” begitu, (panjang) lebar sahabat (maya) saya mengomentari salah satu tulisan saya di FB.
Sungguh, saya bukan pembaca yang baik. Makanya, kalau sahabat tadi menyebut dua nama cerpenis kondang diatas, saya merasa asing saja. Bukan apa-apa. Tetapi karena saya memang ‘belum akrab’ dengan tulisan-tulisan beliau. Disudut lain, kalau saja beberapa tulisan saya ‘nyaris’ sebagai gaya ‘akhir-luar-duga’ (wah, GR nih!), entahlah kenapa. Saya hanya menulis saja. Suka saja dengan cara mengejutkan begitu.
Tidak ada kebetulan yang benar-benar betul. Pasti ada yang memengaruhi sebuah gaya. Sekali lagi, entahlah.
Yang jelas, saya dulu suka membaca gaya Arswendo Atmowiloto yang saban Selasa (kalau tidak salah ingat) saya temui di (alm) Monitor. Juga, Veven Sp Wardhana yang sesekali juga nongol di tabloid yang sama. Selebihnya, saya suka Markesot Bertutur-nya cak Nun. Yang kala itu rutin nongol di Surabaya Post. Atau sesekali membaca Catatan Pinggir-nya Goenawan Mohamad lewat majalah Tempo edisi bekas. Belakangan ini saya agak sering membaca tulisan-tulisan Prie GS dan AS. Laksana. (Tentang istilah majalah bekas, buku bekas dan sejenisnya, kok saya kurang setuju. Tidak ada yang bekas, saya kira, untuk barang-barang cetakan begitu. Hanya edisi lama, tetapi bukan bekas menurut saya. Buktinya, saya tetap saja menikmati dan bisa mendapatkan ‘sesuatu’ ketika membaca majalah Intisari terbitan belasan tahun lalu, misalnya. Majalah, buku dan sejenisnya itu laksana guru. Tak patut saya menyebut bekas untuk seorang guru SD saya. Beliau tetap guru saya. Bukan bekas guru saya.)
Tentang teknik ‘akhir-luar-duga’ ini rupanya juga digunakan anak sulung saya. Hal ini saya dapati ketika hari Minggu pagi saya bersama dia dan si bungsu jalan-jalan ke kawasan industri Rungkut (SIER) yang memang hanya berjarak tak lebih dari 75 meter dari rumah saya.
Dalam jalan-jalan pagi itu, diantara lalu-lalang orang-orang berolahraga, si sulung bercerita kepada saya,
“Bapak, aku punya cerita,” katanya.
Sambil menuntun si bungsu saya bersiap mendengarkan.
“Cerita ini berisi empat kisah keseharian anak dan bapaknya,” ia melanjutkan. “Pertama; ketika berangkat sekolah si anak diantar oleh bapaknya memakai motor. Sampai di suatu persimpangan, si bapak belok kanan,padahal arah sekolah ke kiri. “Lho, pak. Kok ke kanan, kan sekolahku kekiri,” si anak protes. “Kan terserah bapak. Yang pegang kemudi kan bapak.” Itu kisah pertama. Kisah kedua; keesokan harinya, pada suatu sore si anak diminta bapaknya membelikan kopi di warung dekat rumah. Tetapi lama ditunggu belum datang juga. Begitu datang, ” Beli kopi dimana kamu kok lama sekali?” tanya bapaknya. “Ke minimarket,” jawab si anak. “Kan bapak suruh ke warung sebelah, kenapa ke minimarket yang lebih jauh?” protes bapaknya. “Kan terserah saya. Yang berangkat beli kan saya.” Itu kisah kedua. Sekarang kisah keempat...”
“Lho kok langsung keempat, yang ketiga bagaimana?” saya protes.
“Lho, kan terserah aku. Yang cerita kan aku,” jawab anak saya sambil cekikikan. “Kena, deh,” imbuhnya.
Uh, semprul!
Senin, 19 September 2011
Menjaga Harga
KALAU sedang ingin makan mi pangsit, saya punya trik. Begitu datang, saya langsung menuju tempat cuci mangkok. Mulailah saya korah-korah. Mencuci mangkok, sendok-garpu juga gelas-gelas bekas tempat makan-minum para pelanggan. Selepasnya, si penjual langsung menawari saya makan mi secara cuma-cuma. Gampang, bukan?
Iya,karena si penjual itu adalah adik ipar saya. Yang sudah sekian lama menekuni usaha berjualan mi pangsit disebuah gang disudut Rungkut. Dulu, menurut ceritanya, ia tak jualan menetap begini. Tetapi berkeliling. Masuk gang keluar gang. Itupun jualannya sistem setoran, bukan usaha sendiri.
Tetapi, jiwa wirausahanya muncul ketika kesetiaan pelanggan sudah terbentuk. Menurutnya, para pelanggan tentu tidak mengenal juragannya. Sang pembeli setia lebih mengenalnya ketimbang si bos. Maka, ia mengundurkan diri dari sistem setoran itu, dan membuka usaha mi pangsit secara mandiri. Hasilnya? Alhamdulillah, setiap harinya mi buatan sendiri berbahan lima belas kilogram tepung terigu habis terjual. Hanya sesekali keuntungan berkurang seharga semangkok mi saat si kakak ipar pura-pura mencuci mangkok!
Kemarin, saya besandiwara begitu lagi demi semangkok pangsit. Tetapi,ketika saya melihat dinding tempat jualannya, ada yang tak biasa. Ketika tempo hari saya kesitu, tulisan itu belum ada. Masih dalam angka lama; 4000. Kemarin itu, angka kedua dari depan di-urek-urek sebagai angka lima. Maknanya, harga seporsi mi pangsit naik lima ratus rupiah. Hal yang lumrah terjadi sekitar setiap dua tahun sekali. Dan itu diputuskan secara berjamaah antar sesama pedagang mi. Seperti para pedagang nasi goreng yang semua menempelkan stiker tarif baru; 7000 dari harga semula yang 6000.
Kenaikan harga itu hal biasa. Yang tak biasa adalah ketika pendapatan si pembeli tak berbanding lurus dengan harga baru itu. Dampaknya, urusan makan mi bisa tidak masuk dalam anggaran pendapatan dan belanja keluarga. Beberapa saat si pembeli akan menjaga jarak. Walau kemudian akan pulih lagi. Inilah uniknya bisnis makanan. Ketika lidah sudah kadung jatuh cinta pada mi pangsit dan atau nasi goreng buatan cak anu, pastilah ia akan mendatanginya lagi walau tak sesering dulu.
Sebenarnya saya hanya ingin menulis begini; ketika harga-harga naik, naikkan pula harga kita. Caranya, kita harus memantaskan diri dihargai lebih. Naikkan skill, naikkan kapasitas dan kapabelitas. Kalau di tempat kita ini belum mampu menaikkan sesuai kenaikan barang-barang kebutuhan kita (sekalipun itu hanya semangkok mi pangsit) carilah tempat lain yang lebih memberi harga lebih kepada kita. (Jujur,kalimat yang saya tulis barusan itu bukan orisinil bikinan saya. Ia hanya sebagai terjemah bebas dari ucapan pak Mario Teguh yang pernah saya tonton pada program Golden Ways di sebuah stasiun televisi)
Semudah itukah meloncat ketempat baru mencari 'rumput yang lebih hijau'? Entahlah. Tetapi, untuk sekedar makan semangkok mi pangsit secara gratis, bagi saya tentulah mudah. Saya sudah punya rumusnya. Cukup dengan mau korah-korah.
Salam.
Iya,karena si penjual itu adalah adik ipar saya. Yang sudah sekian lama menekuni usaha berjualan mi pangsit disebuah gang disudut Rungkut. Dulu, menurut ceritanya, ia tak jualan menetap begini. Tetapi berkeliling. Masuk gang keluar gang. Itupun jualannya sistem setoran, bukan usaha sendiri.
Tetapi, jiwa wirausahanya muncul ketika kesetiaan pelanggan sudah terbentuk. Menurutnya, para pelanggan tentu tidak mengenal juragannya. Sang pembeli setia lebih mengenalnya ketimbang si bos. Maka, ia mengundurkan diri dari sistem setoran itu, dan membuka usaha mi pangsit secara mandiri. Hasilnya? Alhamdulillah, setiap harinya mi buatan sendiri berbahan lima belas kilogram tepung terigu habis terjual. Hanya sesekali keuntungan berkurang seharga semangkok mi saat si kakak ipar pura-pura mencuci mangkok!
Kemarin, saya besandiwara begitu lagi demi semangkok pangsit. Tetapi,ketika saya melihat dinding tempat jualannya, ada yang tak biasa. Ketika tempo hari saya kesitu, tulisan itu belum ada. Masih dalam angka lama; 4000. Kemarin itu, angka kedua dari depan di-urek-urek sebagai angka lima. Maknanya, harga seporsi mi pangsit naik lima ratus rupiah. Hal yang lumrah terjadi sekitar setiap dua tahun sekali. Dan itu diputuskan secara berjamaah antar sesama pedagang mi. Seperti para pedagang nasi goreng yang semua menempelkan stiker tarif baru; 7000 dari harga semula yang 6000.
Kenaikan harga itu hal biasa. Yang tak biasa adalah ketika pendapatan si pembeli tak berbanding lurus dengan harga baru itu. Dampaknya, urusan makan mi bisa tidak masuk dalam anggaran pendapatan dan belanja keluarga. Beberapa saat si pembeli akan menjaga jarak. Walau kemudian akan pulih lagi. Inilah uniknya bisnis makanan. Ketika lidah sudah kadung jatuh cinta pada mi pangsit dan atau nasi goreng buatan cak anu, pastilah ia akan mendatanginya lagi walau tak sesering dulu.
Sebenarnya saya hanya ingin menulis begini; ketika harga-harga naik, naikkan pula harga kita. Caranya, kita harus memantaskan diri dihargai lebih. Naikkan skill, naikkan kapasitas dan kapabelitas. Kalau di tempat kita ini belum mampu menaikkan sesuai kenaikan barang-barang kebutuhan kita (sekalipun itu hanya semangkok mi pangsit) carilah tempat lain yang lebih memberi harga lebih kepada kita. (Jujur,kalimat yang saya tulis barusan itu bukan orisinil bikinan saya. Ia hanya sebagai terjemah bebas dari ucapan pak Mario Teguh yang pernah saya tonton pada program Golden Ways di sebuah stasiun televisi)
Semudah itukah meloncat ketempat baru mencari 'rumput yang lebih hijau'? Entahlah. Tetapi, untuk sekedar makan semangkok mi pangsit secara gratis, bagi saya tentulah mudah. Saya sudah punya rumusnya. Cukup dengan mau korah-korah.
Salam.
Geguritan
Kangen
aja nangis, anakku
ibumu isih lunga
pitung sasi maneh teka
aja nangis, anakku
umpama Hongkong kuwi mung lor kali
wis wingi-wingi
dak parani ***
Bali
munggaha mrene
ing sandhuwure pundhak gumuk
delengen
dhampyak-dhampyak manungsa
mabur ngalor
he, aja kesusu mudhun
delengen
dhampyak-dhampyak raja kaya
mabur ngalor
he, ayo mabur
dhampyak-dhampyak mujur ngalor ***
Wengi
wengi...
wangi wingi
nalika
saunting melathi
nginep ing ati
wengi iki
melathi garing
ing ngisore puring ***
Rendheng
sapa kowe
sing lunga-teka
sajerone rong sore
aku ketiga, kandhamu
sapa sing percaya
nalika ing mripatmu
ana mendhung lan gerimis playon
gegojegan ***
Saiki
siji mbaka siji
dina dina lunga teka
siji mbaka siji
manungsa memba-memba
raja kaya
gabah diinteri
manungsa diinteri
teri diinteri ***
(Tulisan ini saya buat tadi siang, pada jam istirahat. Sebagai jawaban atas pesan Bonari Nabonenar yang muncul di inbox FB saya)
aja nangis, anakku
ibumu isih lunga
pitung sasi maneh teka
aja nangis, anakku
umpama Hongkong kuwi mung lor kali
wis wingi-wingi
dak parani ***
Bali
munggaha mrene
ing sandhuwure pundhak gumuk
delengen
dhampyak-dhampyak manungsa
mabur ngalor
he, aja kesusu mudhun
delengen
dhampyak-dhampyak raja kaya
mabur ngalor
he, ayo mabur
dhampyak-dhampyak mujur ngalor ***
Wengi
wengi...
wangi wingi
nalika
saunting melathi
nginep ing ati
wengi iki
melathi garing
ing ngisore puring ***
Rendheng
sapa kowe
sing lunga-teka
sajerone rong sore
aku ketiga, kandhamu
sapa sing percaya
nalika ing mripatmu
ana mendhung lan gerimis playon
gegojegan ***
Saiki
siji mbaka siji
dina dina lunga teka
siji mbaka siji
manungsa memba-memba
raja kaya
gabah diinteri
manungsa diinteri
teri diinteri ***
(Tulisan ini saya buat tadi siang, pada jam istirahat. Sebagai jawaban atas pesan Bonari Nabonenar yang muncul di inbox FB saya)
Minggu, 18 September 2011
(Bukan) Kabar Burung
SEBELUM punya kendaraan sendiri, dulu kemana-mana saya selalu naik angkot. Termasuk untuk berangkat dan pulang kerja. Dan kebiasaan saya, kalau akan bepergian, selalu buang air dulu. Karena, repot kan kalau dalam angkot di jalan tiba-tiba kebelet pipis. Kalau pakai kendaraan sendiri sih, tentu saya bisa belok ke SPBU untuk nunut ke toiletnya sekadar melampiaskannya.
Seperti biasa, sore itu sebelum pulang kerja saya menuju toilet melaksanakan 'ritual' buang air dulu. Lepas itu, saya menuju seberang patung kuda di jalan HR Muhammad menunggu lyn TV jurusan Joyoboyo. Dari terminal Joyoboyo ke Rungkut, nanti, saya masih harus oper ke angkot lain. Pilihannya lumayan banyak. Ada lyn U yang lewat Panjangjiwo, atau H4J yang lewat jalan Ahmad Yani lalu belok kiri melalui jalan Jemursari. Kalau ingin lewat Sidosermo bisa pilih lyn JTK yang type Kijang (butut), tetapi kalau mau yang via Margorejo Indah ada JTK2 dari jenis Suzuki Carry.
Menunggu beberapa lama lyn TV yang berwarna coklat tua belum juga nongol. Kecuali angkot-angkot lain, lyn TV ini saya tahu kenapa dinamakan begitu. Kok tidak seperti angkot JTK yang kependekan dari jurusannya: Joyoboyo-Tambak Klanggri, misalnya. Karena lyn TV ini menjelajah daerah Surabaya Barat (Manukan, Lontar, Darmo Permai, Ngesong, Balongsari) yang disitu menjulang tower stasiun relay nyaris semua saluran televisi lokal maupun nasional, maka angkotnya dinamakan lyn TV!
Hampir jam lima sore saya baru dapat lyn yang saya tunggu. Tanpa tanya ini-itu kepada si sopir langsung saja saya masuk. Karena pasti ini menuju terminal Joyoboyo. Lain halnya kalau ia berangkat dari terminal Joyoboyo. Angkot jenis ini terbagi menjadi beberapa tujuan; Ngesong, Manukan, Lontar atau Darmo Permai.
Di dalam angkot ini tak seberapa penuh. Di depan, di dekat sopir, ada satu penumpang, di belakang hanya ada saya, dan seorang ibu bersama anaknya yang sekitar delapan tahun umurnya. Rupanya si ibu itu punya tempat favorit seperti saya. Yang selalu memilih di bangku belakang, di dekat jendela. Angin yang berhembus ketika angkot berjalan membuat terasa isis. Saya duduk di pojok kiri sementara si ibu beserta anaknya di kanan. Kami berhadap-hadapan.
“Ma, ada burung mau terbang, ma,” si anak berceloteh saat angkot berjalan pelan, karena si sopir sambil tolah-toleh mencari penumpang.
“Hust,” si ibu menyuruhnya diam.
Ah, rupanya selain pilihan tempat duduk yang seselera dengan saya, si ibu itu juga tak suka bicara kalau di dalam angkot. Berbincang-bincang di dalam angkot adalah hal yang juga tidak saya sukai.
Tetapi dasar anak-anak, si bocah laki-laki itu terus saja ngoceh layaknya burung. Dan yang dibahas selalu saja soal burung.
Hampir setengah jam kami tiba di terminal Joyoboyo. Saya dan si ibu itu (juga anaknya, tentu) berpisah. Kami mempunyai tujuan yang berbeda, rupanya. Saya melanjutkan perjalanan ke Rungkut, dan si ibu itu entah mau kemana.
Seperti saya bilang di atas, angkot jurusan Rungkut ada beberapa pilihan. Dan semuanya ada plus-minusnya. Lyn H4J; via jalan Ahmad Yani yang luar biasa macetnya. Tetapi lyn U-pun setali tiga uang. Tiada jalan yang tak padat dan cenderung macet di Surabaya di setiap sore hari. Hanya trayek JTK type Kijang yang sedikit lebih lancar. Tetapi (minusnya) ia lewat perkampungan yang jalannya sempit dan meliuk-liuk. Karena jalan sepi, lajunya juga nggremet. Pelaaan sekali. Karena penumpang juga sepi. Kalau JTK2 yang Carry?
Karena ia sebagian besar adalah mobil agak baru (waktu itu sih...), tentu bila dibanding si TV yang setara JTK Kijang, saya memilih si JTK2 yang Carry. Walau bisa-bisa masih saja ada kemungkinan ketemu macet begitu sampai di pertigaan antara Kantor Pos dan kantor Telkom di Kendangsarin nanti. Tetapi plusnya, si JTK2 yang Carry ini, nyaris semua dilengkapi speaker yang menggelegar. Sebagian selalu tune in di sebuah gelombang radio dangdut. Lagu yang lagi populer waktu itu, Anggur Merah-nya Meggy Z.
Sekitar jam enam sore lebih sedikit, saya sampai rumah. Kebiasaan saya, selalu saja saya langsung menuju toilet; buang air. Dan ketika hendak membuka resleting,...
Lhadalah, ia masih menganga tiada terkunci selepas dibuka di tolilet kantor tadi. Makanya si bocah di lyn TV tadi selalu bicara tentang burung! ****
Seperti biasa, sore itu sebelum pulang kerja saya menuju toilet melaksanakan 'ritual' buang air dulu. Lepas itu, saya menuju seberang patung kuda di jalan HR Muhammad menunggu lyn TV jurusan Joyoboyo. Dari terminal Joyoboyo ke Rungkut, nanti, saya masih harus oper ke angkot lain. Pilihannya lumayan banyak. Ada lyn U yang lewat Panjangjiwo, atau H4J yang lewat jalan Ahmad Yani lalu belok kiri melalui jalan Jemursari. Kalau ingin lewat Sidosermo bisa pilih lyn JTK yang type Kijang (butut), tetapi kalau mau yang via Margorejo Indah ada JTK2 dari jenis Suzuki Carry.
Menunggu beberapa lama lyn TV yang berwarna coklat tua belum juga nongol. Kecuali angkot-angkot lain, lyn TV ini saya tahu kenapa dinamakan begitu. Kok tidak seperti angkot JTK yang kependekan dari jurusannya: Joyoboyo-Tambak Klanggri, misalnya. Karena lyn TV ini menjelajah daerah Surabaya Barat (Manukan, Lontar, Darmo Permai, Ngesong, Balongsari) yang disitu menjulang tower stasiun relay nyaris semua saluran televisi lokal maupun nasional, maka angkotnya dinamakan lyn TV!
Hampir jam lima sore saya baru dapat lyn yang saya tunggu. Tanpa tanya ini-itu kepada si sopir langsung saja saya masuk. Karena pasti ini menuju terminal Joyoboyo. Lain halnya kalau ia berangkat dari terminal Joyoboyo. Angkot jenis ini terbagi menjadi beberapa tujuan; Ngesong, Manukan, Lontar atau Darmo Permai.
Di dalam angkot ini tak seberapa penuh. Di depan, di dekat sopir, ada satu penumpang, di belakang hanya ada saya, dan seorang ibu bersama anaknya yang sekitar delapan tahun umurnya. Rupanya si ibu itu punya tempat favorit seperti saya. Yang selalu memilih di bangku belakang, di dekat jendela. Angin yang berhembus ketika angkot berjalan membuat terasa isis. Saya duduk di pojok kiri sementara si ibu beserta anaknya di kanan. Kami berhadap-hadapan.
“Ma, ada burung mau terbang, ma,” si anak berceloteh saat angkot berjalan pelan, karena si sopir sambil tolah-toleh mencari penumpang.
“Hust,” si ibu menyuruhnya diam.
Ah, rupanya selain pilihan tempat duduk yang seselera dengan saya, si ibu itu juga tak suka bicara kalau di dalam angkot. Berbincang-bincang di dalam angkot adalah hal yang juga tidak saya sukai.
Tetapi dasar anak-anak, si bocah laki-laki itu terus saja ngoceh layaknya burung. Dan yang dibahas selalu saja soal burung.
Hampir setengah jam kami tiba di terminal Joyoboyo. Saya dan si ibu itu (juga anaknya, tentu) berpisah. Kami mempunyai tujuan yang berbeda, rupanya. Saya melanjutkan perjalanan ke Rungkut, dan si ibu itu entah mau kemana.
Seperti saya bilang di atas, angkot jurusan Rungkut ada beberapa pilihan. Dan semuanya ada plus-minusnya. Lyn H4J; via jalan Ahmad Yani yang luar biasa macetnya. Tetapi lyn U-pun setali tiga uang. Tiada jalan yang tak padat dan cenderung macet di Surabaya di setiap sore hari. Hanya trayek JTK type Kijang yang sedikit lebih lancar. Tetapi (minusnya) ia lewat perkampungan yang jalannya sempit dan meliuk-liuk. Karena jalan sepi, lajunya juga nggremet. Pelaaan sekali. Karena penumpang juga sepi. Kalau JTK2 yang Carry?
Karena ia sebagian besar adalah mobil agak baru (waktu itu sih...), tentu bila dibanding si TV yang setara JTK Kijang, saya memilih si JTK2 yang Carry. Walau bisa-bisa masih saja ada kemungkinan ketemu macet begitu sampai di pertigaan antara Kantor Pos dan kantor Telkom di Kendangsarin nanti. Tetapi plusnya, si JTK2 yang Carry ini, nyaris semua dilengkapi speaker yang menggelegar. Sebagian selalu tune in di sebuah gelombang radio dangdut. Lagu yang lagi populer waktu itu, Anggur Merah-nya Meggy Z.
Sekitar jam enam sore lebih sedikit, saya sampai rumah. Kebiasaan saya, selalu saja saya langsung menuju toilet; buang air. Dan ketika hendak membuka resleting,...
Lhadalah, ia masih menganga tiada terkunci selepas dibuka di tolilet kantor tadi. Makanya si bocah di lyn TV tadi selalu bicara tentang burung! ****
L u p a
BERTAHUN-TAHUN saya hanya selalu pulang kampung dalam durasi yang pendek saja. Seingat saya , dalam pulang yang setahun sekali itu, tak pernah lebih dari hanya lima hari saja.
Suatu sore di bulan ramadhan ketika pulang kampung, saya berniat membeli buah untuk buka puasa. Menujulah saya ke pasar Reboan. Sungguh, pasar ini memiliki nilai sejarah yang lumayan dalam bagi saya. Karena, enam tahun saya akrab blusukan di pasar yang saban hari selalu ramai, walau yang teramai tentulah di hari Rabu. Karenanya ia dinamakan Reboan.
Ya, karena sekolah saya hanya beberapa meter dari situ. Kenapa enam tahun? Penjelasannya; tiga tahun ketika SMP dan tiga tahun saat Madrasah Aliyah.
Sore itu saya mencari pedagang yang paling ramai. Karena menurut saya, yang paling ramai tentulah yang paling lengkap dagangannya, sekaligus dengan harga yang lebih murah.
Dalam kerumunan pembeli itu saya bergabung. Memilih beberapa nanas, mangga juga sebutir semangka.
“Berapa harga semua?” tanya saya.
Si pedagang, seorang perempuan gemuk, bersarung, dan berambut keriting memandang saya.
“Hei, kamu Edi, kan? Kapan datang. Wah, lama kita tak bertemu,” kata-kata itu begitu lancar melaju dalam bahasa Jawa logat Madura.
“Iya, aku Edi,” ucapan itu memang harus dikeluarkan. Walau, sumpah, saya tak tahu siapa si penjual buah itu.
“Kamu pangling aku ya?”
Tarikan panjang nafas saya sebagai pembetul ucapannya.
“Aku Romlah. Siti Romlah, teman SMPmu dulu,” riang betul kalimat itu meluncur..
Sore itu begitu menggembirakan. Pertemuan dengan seorang teman yang bertahun-tahun tak jumpa, adalah gembira pertama. Gembira berikutnya, saya membayar buah-buah pilihan saya itu jauh dibawah harga pasaran.
Kali lain saya hendak mengunjungi bibi di desa Grenden, di kecamatan Puger. Begitu turun dari angkutan umum, saya menyeberang jalan menuju rumah adik ibu saya itu. Sebelum jembatan, dikiri-kanan jalan ada beberapa toko berjajar.
“Ed,” ada suara memanggil dari arah kiri saya. Saya kira itu berasal dari dalam salah satu toko.
Saya memperlambat langkah. Tetapi belum menoleh. Takut salah kira. Ini karena saya menyadari nama Edi sungguh sebagai nama pasaran. Iya kalau betul suara itu memanggil saya, kalau Edi yang lain bagaimana?
“Edi,” sekali lagi panggilan itu terdengar.
Saya menoleh. Ke kanan. Jangan-jangan ada orang lain disana. Kosong. Mau tak mau saya menoleh ke kiri. Dan disambut kibas lambaian tangan bertubi-tubi.
“Kamu Edi Winarno, kan?”
Saya jawab tanya itu dengan anggukan kepala, juga bertubi-tubi.
Tetapi, sungguh, saya tak mengenal pemanggil yang sekarang berada persis didepan saya ini.
“Aku Pri,” katanya berusaha menggugah ingatan saya.
“Pri? Pri siapa ya,” saya menautkan sepasang alis.”Apa kita dulu sekelas? Saat SMP atau Aliyah?”
“Ya, kita dulu sering sekelas, di Aliyah."
"Ohya?"
"Iya, aku gurumu.”
Wadduh. *****
*) pangling: lupa.
Suatu sore di bulan ramadhan ketika pulang kampung, saya berniat membeli buah untuk buka puasa. Menujulah saya ke pasar Reboan. Sungguh, pasar ini memiliki nilai sejarah yang lumayan dalam bagi saya. Karena, enam tahun saya akrab blusukan di pasar yang saban hari selalu ramai, walau yang teramai tentulah di hari Rabu. Karenanya ia dinamakan Reboan.
Ya, karena sekolah saya hanya beberapa meter dari situ. Kenapa enam tahun? Penjelasannya; tiga tahun ketika SMP dan tiga tahun saat Madrasah Aliyah.
Sore itu saya mencari pedagang yang paling ramai. Karena menurut saya, yang paling ramai tentulah yang paling lengkap dagangannya, sekaligus dengan harga yang lebih murah.
Dalam kerumunan pembeli itu saya bergabung. Memilih beberapa nanas, mangga juga sebutir semangka.
“Berapa harga semua?” tanya saya.
Si pedagang, seorang perempuan gemuk, bersarung, dan berambut keriting memandang saya.
“Hei, kamu Edi, kan? Kapan datang. Wah, lama kita tak bertemu,” kata-kata itu begitu lancar melaju dalam bahasa Jawa logat Madura.
“Iya, aku Edi,” ucapan itu memang harus dikeluarkan. Walau, sumpah, saya tak tahu siapa si penjual buah itu.
“Kamu pangling aku ya?”
Tarikan panjang nafas saya sebagai pembetul ucapannya.
“Aku Romlah. Siti Romlah, teman SMPmu dulu,” riang betul kalimat itu meluncur..
Sore itu begitu menggembirakan. Pertemuan dengan seorang teman yang bertahun-tahun tak jumpa, adalah gembira pertama. Gembira berikutnya, saya membayar buah-buah pilihan saya itu jauh dibawah harga pasaran.
Kali lain saya hendak mengunjungi bibi di desa Grenden, di kecamatan Puger. Begitu turun dari angkutan umum, saya menyeberang jalan menuju rumah adik ibu saya itu. Sebelum jembatan, dikiri-kanan jalan ada beberapa toko berjajar.
“Ed,” ada suara memanggil dari arah kiri saya. Saya kira itu berasal dari dalam salah satu toko.
Saya memperlambat langkah. Tetapi belum menoleh. Takut salah kira. Ini karena saya menyadari nama Edi sungguh sebagai nama pasaran. Iya kalau betul suara itu memanggil saya, kalau Edi yang lain bagaimana?
“Edi,” sekali lagi panggilan itu terdengar.
Saya menoleh. Ke kanan. Jangan-jangan ada orang lain disana. Kosong. Mau tak mau saya menoleh ke kiri. Dan disambut kibas lambaian tangan bertubi-tubi.
“Kamu Edi Winarno, kan?”
Saya jawab tanya itu dengan anggukan kepala, juga bertubi-tubi.
Tetapi, sungguh, saya tak mengenal pemanggil yang sekarang berada persis didepan saya ini.
“Aku Pri,” katanya berusaha menggugah ingatan saya.
“Pri? Pri siapa ya,” saya menautkan sepasang alis.”Apa kita dulu sekelas? Saat SMP atau Aliyah?”
“Ya, kita dulu sering sekelas, di Aliyah."
"Ohya?"
"Iya, aku gurumu.”
Wadduh. *****
*) pangling: lupa.
Apa Arti Sebuah FB
“STATUS yang dikomentari rakyat biasanya (yang)lucu atau jenius. Ini menyebabkan banyak status bertendensi melucu atau menjenius agar diperhatikan komentator. Makanya kalau status dicuekin komentator, biasanya terjadi kasus me-like atau mengomentari status sendiri. Saya menulis status ngawur saja. Mau lucu, jenius, atau idiot saya tak peduli. Ada komentar atau tidak, biarin. Dipuji atau dihina, cuek. Menulis status sebaiknya egois, ruwet, morat-marit, ugal-ugalan. Sinting aja,” begitu bunyi status Binhad Nurrohmat. Seorang teman FB saya yang lulusan Sekolah Tinggi Ilmu Filsafat Driyarkara Jakarta yang memiliki teman FB 4599 ini memang seorang penyair.
Facebook (FB), selain Twitter, memang suatu yang fenomenal saya kira. Ia bisa mengabarkan tentang apapun kepada dunia. Real time. Tak peduli sebetapa pun tak pentingnya kabar itu. Sering kita dapati status hanya berisi keluh kesah yang remeh temeh. Dan, uniknya, keluh kesah remeh temeh itu dikomentari dengan antusias. Hal sama juga terjadi pada kicauan di Twitter.
Khusus tentang FB ini, saya melakukan ‘wawancara’ dengan beberapa teman FB saya. Baik yang secara langsung memang saya sudah kenal, maupun yang saya kenal lewat FB dan kemudian menjadi akrab tetapi hanya sebatas dalam dunia maya.
Pertama-tama saya tanya apa manfaat ber-FB-ria. Tiga dari lima teman memberikan jawaban manfaat FB bisa menemukan kembali teman yang sudah puluhan tahun tidak pernah kontak. Karenanya FB menjadi sarana penyambung silaturahim yang sekian lama terputus.
Dua teman lain memberikan jawaban agak beda.
“Menyalurkan suara hati, pikiran, dan gagasan saya,” jawab Labih Basar, fesbuker yang artikelnya banyak saya temui di media cetak lokal maupun nasional kelahiran 12 Juli 1965 ini mempunyai 3234 teman.
Mohammmad Faizi, fesbuker yang praktisi pendidikan sekaligus sastrawan, mengungkapkan tujuannya ber-FB, ”Berteman secara serius, seperti di alam nyata, untuk menambah wawasan karena kayaknya lebih dari 80% saya kenal dengan teman-teman FB saya,” jawab lelaki bersahaja yang selalu memakai songkok ini. Bahkan, ketika tampil di sebuah acara sastra di Eropa beberapa bulan lalu, songkok itu nyaris tidak pernah ditanggalkannya.
Ketika saya tanya apa kriteria permintaan pertemanan yang diconfirm, lelaki kelahiran Sumenep 27 Juli 1975 yang mempunyai 2811 teman ini menambahkan, “ Tentu yang memerkenalkan diri, atau yang sudah saya ketahui kesamaan seleranya tentang suatu hal sehingga dia mengajukan alasan pertemanan. “
Jawaban yang senada saya terima dari Tia Wahyu, Marsila Saad dan Swadji. Hanya Labih Basar yang sedikit berbeda. Fesbuker yang menggauli FB sejak tiga tahun lalu ini menjawab, ” Kalau saya kebanyakan wanita. Pertimbanganya, yang banyak aktif ber-FB adalah wanita. Walau kadang soal politik mereka jarang doyan.”
“Saya suka status motivasi atau sesuatu yang boleh membuat saya berfikir dan boleh dihayati,” jawab Marsila Saad teman FB saya asal Malaysia. Perempuan kelahiran 28 Oktober ini juga merasakan manfaat lain dalam FB. Sebagai orang yang menerjuni bisnis online lewat bendera Sheen’s Collection, FB bisa dijadikan sarana promosi sekaligus menjaring customer.
Hal yang sama juga dirasakan oleh Tia Yusuf. Perempuan Sidoarjo kelahiran 17 April yang hobby design ini memang menggeluti bidang yang sama dengan Marsila. Ia mempunyai gerai di sebuah mall di kota udang Sidoarjo dengan mengibarkan Nayakah Fashion sebagai nama.
Seberapa sering main FB?
“Jarang sekali. Mungkin seminggu sekali atau dua kali. Karena saya mengelola 4 blog. Jadi, ketika online, saya tidak hanya mengurus FB,” jawab Mohammad Faizi, yang beberapa bulan lalu meluncurkan buku kumpulan puisi terbarunya berjudul Permaisuri Malam.
“Sering kalau sedang nganggur ,” timpal Tia Yusuf.
“Status yang sering mbak Tia tulis apa?,” tanya saya.
“Status macam-macam. Pengalaman pribadi, tentang anak, tentang perjalanan, tentang alam, syair lagu, ucapan teman, tingkah polah yang tak biasa. Atau sekedar iseng saja, yang tidak ada arti dan efeknya. (Pokoknya) suka suka saja.”
Menjawab pertanyaan yang sama, “Opini politik dan moral,” kata Labih Basar.
Marsila Saad menambahkan,” Saya update status dalam dua kali sehari, atau apabila ada perkara yang menarik yang ingin dikongsi. Saya sering menulis tentang masakan, atau isu semasa,” tuturnya dalam 'cakap' Malaysia.
Yang jelas,” Tergantung suasana batin,” ujar Mohammad Faizi.
Pernahkah terbersit keinginan untuk menonaktifkan akun FB secara permanen?, tanya saya.
“Tidak pernah.Tidak tahu sampai kapan,” jawab Suwaji yang bekerja di Surabaya Town Square ini.
“Tidak berpikir macam-macam. Kalau luang yang FB-an, jika tidak ya tidak,” Mohammad Faizi menjawab santai.
Labih Basar menimpali, “Tidak pernah. Dosa he he...”
Sepertinya, hanya Tia Wahyu yang mempunyai jawaban berbeda. Ia pernah ingin ‘bercerai’ dengan FB. Alasannya? “Kadang (lagi) suntuk aja , karena banyak (pesan di) inbox yang gak jelas jluntrungan nya.”
Begitulah. Ada banyak alasan orang untuk main FB. Apa alasan Anda?*****
Facebook (FB), selain Twitter, memang suatu yang fenomenal saya kira. Ia bisa mengabarkan tentang apapun kepada dunia. Real time. Tak peduli sebetapa pun tak pentingnya kabar itu. Sering kita dapati status hanya berisi keluh kesah yang remeh temeh. Dan, uniknya, keluh kesah remeh temeh itu dikomentari dengan antusias. Hal sama juga terjadi pada kicauan di Twitter.
Khusus tentang FB ini, saya melakukan ‘wawancara’ dengan beberapa teman FB saya. Baik yang secara langsung memang saya sudah kenal, maupun yang saya kenal lewat FB dan kemudian menjadi akrab tetapi hanya sebatas dalam dunia maya.
Pertama-tama saya tanya apa manfaat ber-FB-ria. Tiga dari lima teman memberikan jawaban manfaat FB bisa menemukan kembali teman yang sudah puluhan tahun tidak pernah kontak. Karenanya FB menjadi sarana penyambung silaturahim yang sekian lama terputus.
Dua teman lain memberikan jawaban agak beda.
“Menyalurkan suara hati, pikiran, dan gagasan saya,” jawab Labih Basar, fesbuker yang artikelnya banyak saya temui di media cetak lokal maupun nasional kelahiran 12 Juli 1965 ini mempunyai 3234 teman.
Mohammmad Faizi, fesbuker yang praktisi pendidikan sekaligus sastrawan, mengungkapkan tujuannya ber-FB, ”Berteman secara serius, seperti di alam nyata, untuk menambah wawasan karena kayaknya lebih dari 80% saya kenal dengan teman-teman FB saya,” jawab lelaki bersahaja yang selalu memakai songkok ini. Bahkan, ketika tampil di sebuah acara sastra di Eropa beberapa bulan lalu, songkok itu nyaris tidak pernah ditanggalkannya.
Ketika saya tanya apa kriteria permintaan pertemanan yang diconfirm, lelaki kelahiran Sumenep 27 Juli 1975 yang mempunyai 2811 teman ini menambahkan, “ Tentu yang memerkenalkan diri, atau yang sudah saya ketahui kesamaan seleranya tentang suatu hal sehingga dia mengajukan alasan pertemanan. “
Jawaban yang senada saya terima dari Tia Wahyu, Marsila Saad dan Swadji. Hanya Labih Basar yang sedikit berbeda. Fesbuker yang menggauli FB sejak tiga tahun lalu ini menjawab, ” Kalau saya kebanyakan wanita. Pertimbanganya, yang banyak aktif ber-FB adalah wanita. Walau kadang soal politik mereka jarang doyan.”
“Saya suka status motivasi atau sesuatu yang boleh membuat saya berfikir dan boleh dihayati,” jawab Marsila Saad teman FB saya asal Malaysia. Perempuan kelahiran 28 Oktober ini juga merasakan manfaat lain dalam FB. Sebagai orang yang menerjuni bisnis online lewat bendera Sheen’s Collection, FB bisa dijadikan sarana promosi sekaligus menjaring customer.
Hal yang sama juga dirasakan oleh Tia Yusuf. Perempuan Sidoarjo kelahiran 17 April yang hobby design ini memang menggeluti bidang yang sama dengan Marsila. Ia mempunyai gerai di sebuah mall di kota udang Sidoarjo dengan mengibarkan Nayakah Fashion sebagai nama.
Seberapa sering main FB?
“Jarang sekali. Mungkin seminggu sekali atau dua kali. Karena saya mengelola 4 blog. Jadi, ketika online, saya tidak hanya mengurus FB,” jawab Mohammad Faizi, yang beberapa bulan lalu meluncurkan buku kumpulan puisi terbarunya berjudul Permaisuri Malam.
“Sering kalau sedang nganggur ,” timpal Tia Yusuf.
“Status yang sering mbak Tia tulis apa?,” tanya saya.
“Status macam-macam. Pengalaman pribadi, tentang anak, tentang perjalanan, tentang alam, syair lagu, ucapan teman, tingkah polah yang tak biasa. Atau sekedar iseng saja, yang tidak ada arti dan efeknya. (Pokoknya) suka suka saja.”
Menjawab pertanyaan yang sama, “Opini politik dan moral,” kata Labih Basar.
Marsila Saad menambahkan,” Saya update status dalam dua kali sehari, atau apabila ada perkara yang menarik yang ingin dikongsi. Saya sering menulis tentang masakan, atau isu semasa,” tuturnya dalam 'cakap' Malaysia.
Yang jelas,” Tergantung suasana batin,” ujar Mohammad Faizi.
Pernahkah terbersit keinginan untuk menonaktifkan akun FB secara permanen?, tanya saya.
“Tidak pernah.Tidak tahu sampai kapan,” jawab Suwaji yang bekerja di Surabaya Town Square ini.
“Tidak berpikir macam-macam. Kalau luang yang FB-an, jika tidak ya tidak,” Mohammad Faizi menjawab santai.
Labih Basar menimpali, “Tidak pernah. Dosa he he...”
Sepertinya, hanya Tia Wahyu yang mempunyai jawaban berbeda. Ia pernah ingin ‘bercerai’ dengan FB. Alasannya? “Kadang (lagi) suntuk aja , karena banyak (pesan di) inbox yang gak jelas jluntrungan nya.”
Begitulah. Ada banyak alasan orang untuk main FB. Apa alasan Anda?*****
Rabu, 14 September 2011
K a d o
ADA bulan yang dianggap baik untuk menggelar suatu hajatan. Pada bulan-bulan itu (tentu bulan Jawa maksud,sering harus saya waspadai. Kewaspadaan ini lebih kepada sektor keuangan sebenarnya. Karena, bulan yang dianggap baik untuk mengkhitankan, kawinan dan sejenisnya itu, seringkali berdampak tidak baik bagi kondisi dan stabilitas keuangan saya. Lebih mengganggu pula bila hari H undangan itu waktunya berbarengan. Bukan hanya berbarengan secara jumlah yang harus didatangi, tetapi lebih repotnya lagi bila itu berbarengan dengan kosongnya penghuni dompet.
Tapi itulah tradisi.
Sekalipun dalam selembar undangan yang saya terima selalu tertera kata ‘mohon doa restu’, tetapi tentu adalah hal janggal bila saya datang hanya membawa doa dan restu semata. Harus ada embel-embelnya. Dan kadang, embel-embel itu ditentukan oleh pemberi undangan. Misalnya tertera pada kalimat (yang begitu tega dicantumkan); 'tidak menerima kado'. Lebih tega lagi, pada undangan digambari gentong kecil berlubang; tempat 'nyemplungkan' amplop.
Ini lebih kepada kecerdasan, saya kira. Shohibul hajat tentu tak mau repot menguangkan kado selepas hajatan. Bisa repot kan, kalau harus menjual lagi kado-kado berbungkus bagus yang --bisa jadi-- hanya berisi mangkok atau piring dari hadiah detergent. Dan didalamnya hanya tertera ‘dari sahabatmu’ sebagai penyamar nama pemberi kado. Karena betapa malunya hadir sekalian (suami istri, plus anak dua) dan semua makan, minum berbaju batik mlipis tapi hanya modal dua keping piring.
Beberapa hari setelah lebaran ini, sudah ada undangan masuk. Syawal memang dianggap bulan bagus. Sebulan lagi, prei.Bulan Sela (bulan kesebelas dalam penanggalan Jawa) dianggap kurang bagus untuk menggelar hajatan.
Saya ingat, sekian belas tahun lalu, bulan Syawal pula saya menikah. Dan, tentu saya tidak termasuk yang tega menggambar gentong pada undangan. Intinya, saya terima hadiah model apapun; kado oke, amplopan juga oke. Bahkan yang tanpa isi sekalipun.
Amplop tanpa isi? Ya.
Mula-mula, saya maknai itu sebagai guyonan teman-teman saja. Toh tanpa nama. Tetapi, malam pertama ketika saya sibuk membuka amplop dan kado-kado, ada yang mengetuk pintu. Sungguh tamu tak tahu waktu, pikir saya.
”Maaf mengganggu,” kata seorang teman begitu saya membuka pintu. ”Tadi aku keliru ngasih amplop kosong. Ini yang benar,” katanya sambil memberikan sepucuk amplop berisi sejumlah uang.
Saya tentu berterima kasih atas kebaikannya. Ya hanya berterima kasih saja. Karena sungguh tidak elok saya menyilakan masuk ‘pinarak’ dulu dihampir jam sebelas malam begitu. Bisa mengganggu acara buka 'kado' dong.
Buka kado saya lanjutkan. Macam-macam isinya. Ada kain, baju, piring, mangkok, atau sekadar replika sepasang sendok dan garpu dalam pigura plastik warna merah. Entahlah apa maknanya. Ataukan itu sebagai pesan agar saya dan istri selalu setia seiya sekata laksana sendok dan garpu?
Tetapi selain itu,ada kado yang menyita perhatian saya. Ia lebih gemuk ukurannya dibanding yang lain. Ia saya kira sebagai gong dari sekian banyak kado yang bungkusnya membuat kamar dipenuhi kertas-kertas.
Sebagai gong, kado besar itu saya buka terakhir kali. Dari tampilan luarnya, ia pastilah sesuatu yang istimewa. Dan benarlah adanya. Kado itu dibungkus sedemikian telatennya. Rangkap-rangkap. Bungkus pertama dibuka masih ada berikutnya. Berulang-ulang entah sampai berapa kali. Sambil terus penasaran, saya dan istri juga dengan telaten mengulitinya satu persatu, sampai kemudian; istri saya menutup hidung pada saat bungkusan terakhir terbuka. Isinya; sarung peninggalan jaman saya kost dulu. Yang sekian lama teronggok tak pernah dicuci selepas untuk membendung pintu saat banjir pada musim penghujan lalu. Tetapi pengirim kado masih baik hati. Ia (atau mereka) menyertakan setengah bungkus kecil detergent. Juga secarik kertas berisi tulisan, ”Tolong dicuci ya...”
Masih tentang kado.
Suatu kali kami mendapat undangan pernikahan dari sahabat istri saya. TKP resepsinya di Pucuk. Sekalipun bernama Pucuk, ia tak terletak diatas gunung. Tetapi disekian kilometer kearah barat dari pertigaan Sukodadi Lamongan.
Malam sebelum buwuh ke situ,istri saya sudah belanja untuk kado. Tentu bukan berbentuk gombal mukiyo seperti yang saya terima ketika pernikahan saya dulu. Ia adalah kado yang pantas untuk seorang sahabat. Malam itu pula, kado yang sudah terbungkus rapi itu diletakkan di dekat pintu. Agar besok tak lupa.
Dari Surabaya kami berangkat sekitar jam tujuh pagi. Waktu yang cukup untuk jarak tempuh sejauh itu menurut hitungan saya. Karena pada undangan tertera resepsi dimulai jam sepuluh. Dan ternyata jam sembilan seperempat kami sudah tiba di TKP. Janur melengkung sudah tampak didepan rumah shohibul hajjat.
“Sini kadonya aku yang bawa,” kata istri saya beberapa meter sebelum pintu gerbang.
“Kado?”
“Iya, mosok sampeyan yang menyerahkan. Pengantinnya kan sahabatku.”
“Bukannya kadonya sampeyan yang bawa?”tanya saya.
“Ha?! Jadi tidak sampeyan cangking?”
Saya menggeleng.
Tentu tak ada waktu untuk saling menyalahkan sekaligus tiada pula waktu untuk balik kanan grak mengambil kado ke Surabaya. Maka, sambil cipika-cipiki dengan mempelai putri, istri saya berbisik, ”Kadonya menyusul ya...”*****
Tapi itulah tradisi.
Sekalipun dalam selembar undangan yang saya terima selalu tertera kata ‘mohon doa restu’, tetapi tentu adalah hal janggal bila saya datang hanya membawa doa dan restu semata. Harus ada embel-embelnya. Dan kadang, embel-embel itu ditentukan oleh pemberi undangan. Misalnya tertera pada kalimat (yang begitu tega dicantumkan); 'tidak menerima kado'. Lebih tega lagi, pada undangan digambari gentong kecil berlubang; tempat 'nyemplungkan' amplop.
Ini lebih kepada kecerdasan, saya kira. Shohibul hajat tentu tak mau repot menguangkan kado selepas hajatan. Bisa repot kan, kalau harus menjual lagi kado-kado berbungkus bagus yang --bisa jadi-- hanya berisi mangkok atau piring dari hadiah detergent. Dan didalamnya hanya tertera ‘dari sahabatmu’ sebagai penyamar nama pemberi kado. Karena betapa malunya hadir sekalian (suami istri, plus anak dua) dan semua makan, minum berbaju batik mlipis tapi hanya modal dua keping piring.
Beberapa hari setelah lebaran ini, sudah ada undangan masuk. Syawal memang dianggap bulan bagus. Sebulan lagi, prei.Bulan Sela (bulan kesebelas dalam penanggalan Jawa) dianggap kurang bagus untuk menggelar hajatan.
Saya ingat, sekian belas tahun lalu, bulan Syawal pula saya menikah. Dan, tentu saya tidak termasuk yang tega menggambar gentong pada undangan. Intinya, saya terima hadiah model apapun; kado oke, amplopan juga oke. Bahkan yang tanpa isi sekalipun.
Amplop tanpa isi? Ya.
Mula-mula, saya maknai itu sebagai guyonan teman-teman saja. Toh tanpa nama. Tetapi, malam pertama ketika saya sibuk membuka amplop dan kado-kado, ada yang mengetuk pintu. Sungguh tamu tak tahu waktu, pikir saya.
”Maaf mengganggu,” kata seorang teman begitu saya membuka pintu. ”Tadi aku keliru ngasih amplop kosong. Ini yang benar,” katanya sambil memberikan sepucuk amplop berisi sejumlah uang.
Saya tentu berterima kasih atas kebaikannya. Ya hanya berterima kasih saja. Karena sungguh tidak elok saya menyilakan masuk ‘pinarak’ dulu dihampir jam sebelas malam begitu. Bisa mengganggu acara buka 'kado' dong.
Buka kado saya lanjutkan. Macam-macam isinya. Ada kain, baju, piring, mangkok, atau sekadar replika sepasang sendok dan garpu dalam pigura plastik warna merah. Entahlah apa maknanya. Ataukan itu sebagai pesan agar saya dan istri selalu setia seiya sekata laksana sendok dan garpu?
Tetapi selain itu,ada kado yang menyita perhatian saya. Ia lebih gemuk ukurannya dibanding yang lain. Ia saya kira sebagai gong dari sekian banyak kado yang bungkusnya membuat kamar dipenuhi kertas-kertas.
Sebagai gong, kado besar itu saya buka terakhir kali. Dari tampilan luarnya, ia pastilah sesuatu yang istimewa. Dan benarlah adanya. Kado itu dibungkus sedemikian telatennya. Rangkap-rangkap. Bungkus pertama dibuka masih ada berikutnya. Berulang-ulang entah sampai berapa kali. Sambil terus penasaran, saya dan istri juga dengan telaten mengulitinya satu persatu, sampai kemudian; istri saya menutup hidung pada saat bungkusan terakhir terbuka. Isinya; sarung peninggalan jaman saya kost dulu. Yang sekian lama teronggok tak pernah dicuci selepas untuk membendung pintu saat banjir pada musim penghujan lalu. Tetapi pengirim kado masih baik hati. Ia (atau mereka) menyertakan setengah bungkus kecil detergent. Juga secarik kertas berisi tulisan, ”Tolong dicuci ya...”
Masih tentang kado.
Suatu kali kami mendapat undangan pernikahan dari sahabat istri saya. TKP resepsinya di Pucuk. Sekalipun bernama Pucuk, ia tak terletak diatas gunung. Tetapi disekian kilometer kearah barat dari pertigaan Sukodadi Lamongan.
Malam sebelum buwuh ke situ,istri saya sudah belanja untuk kado. Tentu bukan berbentuk gombal mukiyo seperti yang saya terima ketika pernikahan saya dulu. Ia adalah kado yang pantas untuk seorang sahabat. Malam itu pula, kado yang sudah terbungkus rapi itu diletakkan di dekat pintu. Agar besok tak lupa.
Dari Surabaya kami berangkat sekitar jam tujuh pagi. Waktu yang cukup untuk jarak tempuh sejauh itu menurut hitungan saya. Karena pada undangan tertera resepsi dimulai jam sepuluh. Dan ternyata jam sembilan seperempat kami sudah tiba di TKP. Janur melengkung sudah tampak didepan rumah shohibul hajjat.
“Sini kadonya aku yang bawa,” kata istri saya beberapa meter sebelum pintu gerbang.
“Kado?”
“Iya, mosok sampeyan yang menyerahkan. Pengantinnya kan sahabatku.”
“Bukannya kadonya sampeyan yang bawa?”tanya saya.
“Ha?! Jadi tidak sampeyan cangking?”
Saya menggeleng.
Tentu tak ada waktu untuk saling menyalahkan sekaligus tiada pula waktu untuk balik kanan grak mengambil kado ke Surabaya. Maka, sambil cipika-cipiki dengan mempelai putri, istri saya berbisik, ”Kadonya menyusul ya...”*****
Jumat, 09 September 2011
Atas Nama Paradigma
SEBAGAI salah satu partai peninggalan orde baru,yang dianggap paling bertanggung jawab atas segala yang terjadi selama 32 tahun,Golkar mengalami serangan dahsyat pada awal masa reformasi.Dengan jumlah partai baru yang begitu banyak,saat kampanye nyaris semuanya menunjuk Golkar dengan telunjuk kaku;itu dia sang biang keroknya.
Apa yang dilakukan Golkar?
Dibawah kendali politikus senior Akbar Tandjung,Golkar menerapkan strategi bertahan ketimbang melakukan counter attack.Dan sambil bertahan itu,muncullah slogan baru; paradigma baru.Kata itu diucapkan tidak dengan mengacungkan dua jari layaknya Harmoko.Lagian,sejak itu nomor partai menjadi tidak abadi.Tahun ini nomor urut 33 lima tahun lagi belum tentu.
Saya bukan pemain politik.Dan maaf kalau analisa saya diatas kurang ‘kena’.Tetapi saya sedang ingin bicara (semampu saya) tentang itu.Tentang paradigma.
Okelah,ketika menulis catatan ini tentu saya punya paradigma.Dan sampeyan membacanya pun tentu pula demikian.Jujur saja,tulisan ini ingin saya tuangkan disini karena beberapa saat yang lalu,sambil ‘ke belakang’ saya mendengarkan guru ethos Jhonson Sinamo membahas tentang ‘paradigma’ di acara Morning Ethos di sebuah radio.
Pagi ini ia bercerita,mula-mula,tentang jam tangan:
Dulu,jam tangan asal Jepang merk Seiko begitu mendominasi sebagai alat penunjuk waktu yang populer didunia.Jauh mengalahkan benda serupa buatan Swiss.Dalam konfrontasi bisnis macam itu,tentu Swiss tidak tinggal diam.Harus ada usaha mengalahkan sang kompetitor.Caranya? Nyaris sama dengan yang dilakukan Golkar;menerapkan paradigma baru!
Disaat Seiko melaju sebagai alat penunjuk waktu yang sangat tepat,Swiss (lewat Rollex,misalnya) melawannya tidak hanya bersaing dalam ketepatan waktu sebagai jam tangan paradigma lama.Ia muncul sebagai paradigma baru.Bahwa jam tangan bukan hanya sebagai penunjuk waktu.Lebih dari itu ia sebagai symbol status.Sebagai perhiasan.Dan kita tahu,Rollex mampu memukul KO si Seiko!
Kemudiam saya ingat kalimat seorang teman yang diucapkan pada meeting rutin di tempat kerja.Ia menanggapi ucapan teman lain yang ,mengingatkan bahwa,”Kompetitor terus bermunculan.Disekeliling kita saja ada beberapa yang baru.”
“Biar saja,”sahut teman saya.”Biar saja empat,lima atau tujuh kompetitor muncul.Kita tak mungkin hindari itu.Tetapi kita harus bisa mempertahankan sekaligus meningkatkan paradigma kita sebagai yang terbaik.Dengan defferensiasi yang jelas.”
Sambil menyimak,benak saya usil mengira teman saya itu sedang ‘kerasukan roh’ salah seorang motivator ulung negeri ini.Tetapi yang diucapkannya memang ada benarnya.Dan kalau kita tarik kepada lingkaran yang lebih kecil lagi,paradigma baru itu tentu bukan melulu bisa untuk diterapkan di sebuah institusi besar.Karena ia juga bisa diterapkan ke dalam diri pribadi-pribadi.
Sambil tetap (maaf) buang hajat,pagi ini saya mendapat pencerahan dari sebuah siaran radio.Dan,catatan kecil ini,bisa jadi,juga sedang sampeyan baca lewat ponsel sambil melakukan aktifitas itu.
Salam.
Apa yang dilakukan Golkar?
Dibawah kendali politikus senior Akbar Tandjung,Golkar menerapkan strategi bertahan ketimbang melakukan counter attack.Dan sambil bertahan itu,muncullah slogan baru; paradigma baru.Kata itu diucapkan tidak dengan mengacungkan dua jari layaknya Harmoko.Lagian,sejak itu nomor partai menjadi tidak abadi.Tahun ini nomor urut 33 lima tahun lagi belum tentu.
Saya bukan pemain politik.Dan maaf kalau analisa saya diatas kurang ‘kena’.Tetapi saya sedang ingin bicara (semampu saya) tentang itu.Tentang paradigma.
Okelah,ketika menulis catatan ini tentu saya punya paradigma.Dan sampeyan membacanya pun tentu pula demikian.Jujur saja,tulisan ini ingin saya tuangkan disini karena beberapa saat yang lalu,sambil ‘ke belakang’ saya mendengarkan guru ethos Jhonson Sinamo membahas tentang ‘paradigma’ di acara Morning Ethos di sebuah radio.
Pagi ini ia bercerita,mula-mula,tentang jam tangan:
Dulu,jam tangan asal Jepang merk Seiko begitu mendominasi sebagai alat penunjuk waktu yang populer didunia.Jauh mengalahkan benda serupa buatan Swiss.Dalam konfrontasi bisnis macam itu,tentu Swiss tidak tinggal diam.Harus ada usaha mengalahkan sang kompetitor.Caranya? Nyaris sama dengan yang dilakukan Golkar;menerapkan paradigma baru!
Disaat Seiko melaju sebagai alat penunjuk waktu yang sangat tepat,Swiss (lewat Rollex,misalnya) melawannya tidak hanya bersaing dalam ketepatan waktu sebagai jam tangan paradigma lama.Ia muncul sebagai paradigma baru.Bahwa jam tangan bukan hanya sebagai penunjuk waktu.Lebih dari itu ia sebagai symbol status.Sebagai perhiasan.Dan kita tahu,Rollex mampu memukul KO si Seiko!
Kemudiam saya ingat kalimat seorang teman yang diucapkan pada meeting rutin di tempat kerja.Ia menanggapi ucapan teman lain yang ,mengingatkan bahwa,”Kompetitor terus bermunculan.Disekeliling kita saja ada beberapa yang baru.”
“Biar saja,”sahut teman saya.”Biar saja empat,lima atau tujuh kompetitor muncul.Kita tak mungkin hindari itu.Tetapi kita harus bisa mempertahankan sekaligus meningkatkan paradigma kita sebagai yang terbaik.Dengan defferensiasi yang jelas.”
Sambil menyimak,benak saya usil mengira teman saya itu sedang ‘kerasukan roh’ salah seorang motivator ulung negeri ini.Tetapi yang diucapkannya memang ada benarnya.Dan kalau kita tarik kepada lingkaran yang lebih kecil lagi,paradigma baru itu tentu bukan melulu bisa untuk diterapkan di sebuah institusi besar.Karena ia juga bisa diterapkan ke dalam diri pribadi-pribadi.
Sambil tetap (maaf) buang hajat,pagi ini saya mendapat pencerahan dari sebuah siaran radio.Dan,catatan kecil ini,bisa jadi,juga sedang sampeyan baca lewat ponsel sambil melakukan aktifitas itu.
Salam.
Minggu, 04 September 2011
PD itu Perlu Dong!
SERAMPUNG berlebaran,lengkap dengan dua etape mudik,badan terasa pegel.Itu saya.Apalagi si kecil.
Ya,sepulang dari etape terakhir,balik dari Jember,si Faiz langsung 'kangen' dokter.Ada sepasang yang menyerang;batuk sekaligus pilek.Sungguh dua sejoli yang seiya sekata.Maka,sehabis maghrib,tiga jam setibanya kami di rumah,saya bawa ia ke jalan Manyar Kartika.Lokasi balai pengobatan yang dokter anaknya cocok untuk anak saya.Sekalipun bukan dokter pribadi,ia merupakan dokter langganan.Ya,mumpung belum terlalu parah.
Saya curigai batuk-pileknya si Faiz karena selama di mbah Kakungnya,ia selalu minum air dingin plus ngemil (tepatnya ngemut,karena giginya belum rangah untuk mengunyah) aneka jajan gorengan.Dan,beginilah akibatnya.
Baru lebaran hari ketiga,balai pengobatan Gotong Royong itu sudah seperti biasa.Ramai.Sebagian besar pasien yang datang adalah anak-anak.Walau ia juga menerima pasien dewasa.
Setelah diperiksa dokter,setelah membayar obat,saya masih harus menunggu penyerahan obat.Ini memakan waktu agak lama.Sudah biasa.Memang yang dilayani juga banyak.Sementara si Faiz memaksa melorot dari gendongan ibunya,dan minta jalan-jalan diluar,saya yang lalu kebagian di ruang tunggu.
Jam dinding yang terletak diseberang dinding lain yang tergantung salib disitu,sudah menunjuk angka delapan.Diruang tunggu itu,saya berantri-ria dengan banyak orang.Salah satunya lelaki berkacamata seusia saya,kira-kira.Yang tampil mbois.Duduk di bangku sebelah saya.Berjaket jeans,juga bercelana jeans.Dengan dua anting di dua kupingnya.
Dompet yang terselip disaku celana belakang sepertinya masih belum jinak.Makanya perlu dirantai.Tampilan wajahnya sungguh mencerminkan ia lelaki yang smart.Ia begitu PD.Sambil duduk, kakinya selalu bergetar.Mula-mula saya kira ia sedang mendengar musik lewat earphone.Ternyata tidak.Getaran kaki itu,bisa jadi,memang sudah sebagai kebiasaan.
Dari speaker yang menempel didinding,nama seorang anak disebut.Lelaki itu bangkit dari duduknya.Oh,nama yang barusan dipanggil itu rupanya nama anaknya.Ia berjalan menuju loket penyerahan obat.Dan,ya Tuhan,ternyata ia cacat.Ia ada masalah dengan dua kakinya.
Saya hanya sebatas itu memerhatikan.Karena detik berikutnya saya lebih melihat ke dalam diri sendiri.Lelaki itu,yang cacat itu,sedemikian PD-nya walau secara fisik tidak sempurna,Kok saya –sesekali-- masih sempat minder,walau dikarunia tubuh yang lebih baik dari dia.
Salam.
Ya,sepulang dari etape terakhir,balik dari Jember,si Faiz langsung 'kangen' dokter.Ada sepasang yang menyerang;batuk sekaligus pilek.Sungguh dua sejoli yang seiya sekata.Maka,sehabis maghrib,tiga jam setibanya kami di rumah,saya bawa ia ke jalan Manyar Kartika.Lokasi balai pengobatan yang dokter anaknya cocok untuk anak saya.Sekalipun bukan dokter pribadi,ia merupakan dokter langganan.Ya,mumpung belum terlalu parah.
Saya curigai batuk-pileknya si Faiz karena selama di mbah Kakungnya,ia selalu minum air dingin plus ngemil (tepatnya ngemut,karena giginya belum rangah untuk mengunyah) aneka jajan gorengan.Dan,beginilah akibatnya.
Baru lebaran hari ketiga,balai pengobatan Gotong Royong itu sudah seperti biasa.Ramai.Sebagian besar pasien yang datang adalah anak-anak.Walau ia juga menerima pasien dewasa.
Setelah diperiksa dokter,setelah membayar obat,saya masih harus menunggu penyerahan obat.Ini memakan waktu agak lama.Sudah biasa.Memang yang dilayani juga banyak.Sementara si Faiz memaksa melorot dari gendongan ibunya,dan minta jalan-jalan diluar,saya yang lalu kebagian di ruang tunggu.
Jam dinding yang terletak diseberang dinding lain yang tergantung salib disitu,sudah menunjuk angka delapan.Diruang tunggu itu,saya berantri-ria dengan banyak orang.Salah satunya lelaki berkacamata seusia saya,kira-kira.Yang tampil mbois.Duduk di bangku sebelah saya.Berjaket jeans,juga bercelana jeans.Dengan dua anting di dua kupingnya.
Dompet yang terselip disaku celana belakang sepertinya masih belum jinak.Makanya perlu dirantai.Tampilan wajahnya sungguh mencerminkan ia lelaki yang smart.Ia begitu PD.Sambil duduk, kakinya selalu bergetar.Mula-mula saya kira ia sedang mendengar musik lewat earphone.Ternyata tidak.Getaran kaki itu,bisa jadi,memang sudah sebagai kebiasaan.
Dari speaker yang menempel didinding,nama seorang anak disebut.Lelaki itu bangkit dari duduknya.Oh,nama yang barusan dipanggil itu rupanya nama anaknya.Ia berjalan menuju loket penyerahan obat.Dan,ya Tuhan,ternyata ia cacat.Ia ada masalah dengan dua kakinya.
Saya hanya sebatas itu memerhatikan.Karena detik berikutnya saya lebih melihat ke dalam diri sendiri.Lelaki itu,yang cacat itu,sedemikian PD-nya walau secara fisik tidak sempurna,Kok saya –sesekali-- masih sempat minder,walau dikarunia tubuh yang lebih baik dari dia.
Salam.
Tour d'Mudik (bagian 2)
Etape kedua: Surabaya-Jember (P kedua)
EMPAT hari waktu libur dengan perjalanan panjang,tentu recovery si kecil harus mendapat perhatian ekstra.Tetapi,alhamdulillah si Furqon (1,5) kerasan-kerasan saja di mbah Kakungnya.Sekalipun disini dingin.Tetapi ia baik-baik saja.
Setelah dua hari beranjang sana-beranjang sini,tibalah lagi kami harus balik lagi ke Surabaya.Dan seperti biasa,kami selalu rahasiakan arus balik ini.Karena si sulung Fauqo (12) selalu tak mau sarapan kalau tahu akan naik bis.Entahlah.Ia selalu sulit makan kalau akan bepergian.Padahal kalau begitu,dijalan ia akan lunglai tiada daya.Ia pemabuk yang hebat.
Selama dua hari itu,saya temui anak-anak yang dulu ketika saya di kampung masih kecil-kecil,sekarang sudah pada bening.Yang cowok juga sudah ganteng-ganteng.Tentu hal begitu membuat saya sering 'pangling' dengan seseorang yang selalu menyapa saya dengat sebutan paklik,pakde atau bahkan ada yang mbah.(?!)
Oh,sudah tua rupanya saya.Makanya belakangan ini saya menjadi pelupa.
Sebelum saya balik ke Surabaya,jam dua malam istri saya ngedumel tentang lupa saya ini.”Air di termos dingin tuh.Pasti sampeyan lupa nutup ya?Kan sampeyan yang terakhir bikin susu untuk si Furqon.”
Dengan malas saya bangun untuk menjerang air.Sekalian memanggang telapak tangan yang terasa mati rasa karena digigit hawa dingin.Hawa yang sedekian dingin inilah penyebab air setermos menjadi cepat dingin akibat saya lupa menutupnya.
Jam sembilan pagi kami ke jalan raya yang hanya tak lebih dari 70 meter dari rumah.Di seberang gang Walet kami menunggu bis.Dalam hati saya selalu berdoa,semoga ketemu bis yang nggenah.Bukan apa-apa.Saya terlanjur tidak percaya dengan setiap kata kondektur bis trayek Jember-Lumajang yang selalu saja bilang,”Surabaya langsung,”padahal selalu dioper di sekian ratus meter menjelang terminal Menak Koncar Lumajang.
Juga saya temui pemandangan baru;bis-bis mini serupa bis trayek Surabaya-Krian lewat jalan ini.Sungguh ia ancaman serius untuk 'taksi' (kelas Colt-T120),karena si bis mini ini juga menelan penumpang berjarak pendek.Misal,Kasiyan-Kencong atau sekedar Gumukmas.
Tak berapa lama menunggu,muncul dari timur sebuah bis bercat putih tulang.Tampilan luarnya lumayan.Pada tubuhnya tertera nama Sumber Agung.Oh,sungguh nama baru bagi telinga saya.Karena biasaya trayek ini dikuasai Akas,Kenongo,Yuangga, atau Mila.
“Wonorejo,”jawab saya ketika sang kondektur bertanya.Ini sebagai antisipasi.
“Ini langsung Surabaya,pak.”
Itu dia kata-kata yang tak saya percaya.”Saya bawa anak kecil.Gampang,nanti kalau anak saya tak mabuk saya akan nambah ongkos saja,”ujar saya.
Ternyata si Sumber Agung ini banter juga.Tidak ngremet seperti bis lain pada umumnya.Sempat berhenti ngetem di Kencong memang.Tapi hanya sebentar.Selanjutnya wuzzz langsung.Kecurigaan saya tak terbukti.Maka,sesuai rencana,saya nambah ongkos untuk turun di Bayuangga-Probolinggo.
Transit di Probolinggo.Seuai makan siang di depot Bayuangga,istri saya akan membuatkan susu untuk si kecil.Disinilah timbul masalah.”Susunya mana?”tanya istri saya.
“Lho,tadi bukan sampeyan to yang ngringkesi?”saya balik nanya.
Ini dia.Setelah saya membuat dua botol susu untuk bekal perjalanan tadi pagi,saya ingat;saya sudah tutup termosnya.Tetapi susu bubuknya?Itu yang saya lupa.Kebawa apa nggak?
Setengah panik,karena si kecil sudah minta mimik,saya cari bungkusan di tas tak ketemu.Maka,mau tak mau saya harus beli.Tetapi kios seterminal tak ada yang jual.Beginilah repotnya kalau bayi di kasih susu formula.Tentu si susu tak akan tertinggal kalau ia minum ASI. (Iya,ASI.Karena kalau si anak memanggil Umi untuk ibunya,bila disingkat bukan lagi ASI,tetapi ASU. Maaf,hanya meminjam istilahnya Sudjiwo Tedjo)
Saya harus keluar terminal.Tengah hari,panas-panas begini,dari toko ke toko saya mencari.Belum juga ketemu.”Itu disana,pak.Di dekat Puskesmas ada Indomaret,”kata perempuan penjaga sebuah toko.
Saya kira ia dekat saja.Makanya saya jalan kaki.Eh,ternyata lumayan jauh.Tetapi alhamdulillah. Akhirnya sebungkus susu kemasan terkecil saya dapatkan disitu.Walau untuk balik ke terminal saya tak mau lagi jalan kaki.Harus naik angkot.
Dari terminal Bayuangga, ke Surabaya saya naik Restu seperti berangkatnya tempo hari.Dan lancar.Bayangan terjebak kepadatan di depan rumah makan Rawon Nguling tak terjadi.Raya Porong juga sedang bersahabat.Lancar jaya.
Pendek kata,jam empat sore saya tiba di Surabaya.
Dan ketika istri saya membongkar barang bawaan dan juga baju-baju kotor,”Dasar pelupa.Ini susunya ternyata kebawa,”katanya sambil menunjukkan bungkusan yang diambil dari salah satu tas bawaan.
Duh,tiwas....
EMPAT hari waktu libur dengan perjalanan panjang,tentu recovery si kecil harus mendapat perhatian ekstra.Tetapi,alhamdulillah si Furqon (1,5) kerasan-kerasan saja di mbah Kakungnya.Sekalipun disini dingin.Tetapi ia baik-baik saja.
Setelah dua hari beranjang sana-beranjang sini,tibalah lagi kami harus balik lagi ke Surabaya.Dan seperti biasa,kami selalu rahasiakan arus balik ini.Karena si sulung Fauqo (12) selalu tak mau sarapan kalau tahu akan naik bis.Entahlah.Ia selalu sulit makan kalau akan bepergian.Padahal kalau begitu,dijalan ia akan lunglai tiada daya.Ia pemabuk yang hebat.
Selama dua hari itu,saya temui anak-anak yang dulu ketika saya di kampung masih kecil-kecil,sekarang sudah pada bening.Yang cowok juga sudah ganteng-ganteng.Tentu hal begitu membuat saya sering 'pangling' dengan seseorang yang selalu menyapa saya dengat sebutan paklik,pakde atau bahkan ada yang mbah.(?!)
Oh,sudah tua rupanya saya.Makanya belakangan ini saya menjadi pelupa.
Sebelum saya balik ke Surabaya,jam dua malam istri saya ngedumel tentang lupa saya ini.”Air di termos dingin tuh.Pasti sampeyan lupa nutup ya?Kan sampeyan yang terakhir bikin susu untuk si Furqon.”
Dengan malas saya bangun untuk menjerang air.Sekalian memanggang telapak tangan yang terasa mati rasa karena digigit hawa dingin.Hawa yang sedekian dingin inilah penyebab air setermos menjadi cepat dingin akibat saya lupa menutupnya.
Jam sembilan pagi kami ke jalan raya yang hanya tak lebih dari 70 meter dari rumah.Di seberang gang Walet kami menunggu bis.Dalam hati saya selalu berdoa,semoga ketemu bis yang nggenah.Bukan apa-apa.Saya terlanjur tidak percaya dengan setiap kata kondektur bis trayek Jember-Lumajang yang selalu saja bilang,”Surabaya langsung,”padahal selalu dioper di sekian ratus meter menjelang terminal Menak Koncar Lumajang.
Juga saya temui pemandangan baru;bis-bis mini serupa bis trayek Surabaya-Krian lewat jalan ini.Sungguh ia ancaman serius untuk 'taksi' (kelas Colt-T120),karena si bis mini ini juga menelan penumpang berjarak pendek.Misal,Kasiyan-Kencong atau sekedar Gumukmas.
Tak berapa lama menunggu,muncul dari timur sebuah bis bercat putih tulang.Tampilan luarnya lumayan.Pada tubuhnya tertera nama Sumber Agung.Oh,sungguh nama baru bagi telinga saya.Karena biasaya trayek ini dikuasai Akas,Kenongo,Yuangga, atau Mila.
“Wonorejo,”jawab saya ketika sang kondektur bertanya.Ini sebagai antisipasi.
“Ini langsung Surabaya,pak.”
Itu dia kata-kata yang tak saya percaya.”Saya bawa anak kecil.Gampang,nanti kalau anak saya tak mabuk saya akan nambah ongkos saja,”ujar saya.
Ternyata si Sumber Agung ini banter juga.Tidak ngremet seperti bis lain pada umumnya.Sempat berhenti ngetem di Kencong memang.Tapi hanya sebentar.Selanjutnya wuzzz langsung.Kecurigaan saya tak terbukti.Maka,sesuai rencana,saya nambah ongkos untuk turun di Bayuangga-Probolinggo.
Transit di Probolinggo.Seuai makan siang di depot Bayuangga,istri saya akan membuatkan susu untuk si kecil.Disinilah timbul masalah.”Susunya mana?”tanya istri saya.
“Lho,tadi bukan sampeyan to yang ngringkesi?”saya balik nanya.
Ini dia.Setelah saya membuat dua botol susu untuk bekal perjalanan tadi pagi,saya ingat;saya sudah tutup termosnya.Tetapi susu bubuknya?Itu yang saya lupa.Kebawa apa nggak?
Setengah panik,karena si kecil sudah minta mimik,saya cari bungkusan di tas tak ketemu.Maka,mau tak mau saya harus beli.Tetapi kios seterminal tak ada yang jual.Beginilah repotnya kalau bayi di kasih susu formula.Tentu si susu tak akan tertinggal kalau ia minum ASI. (Iya,ASI.Karena kalau si anak memanggil Umi untuk ibunya,bila disingkat bukan lagi ASI,tetapi ASU. Maaf,hanya meminjam istilahnya Sudjiwo Tedjo)
Saya harus keluar terminal.Tengah hari,panas-panas begini,dari toko ke toko saya mencari.Belum juga ketemu.”Itu disana,pak.Di dekat Puskesmas ada Indomaret,”kata perempuan penjaga sebuah toko.
Saya kira ia dekat saja.Makanya saya jalan kaki.Eh,ternyata lumayan jauh.Tetapi alhamdulillah. Akhirnya sebungkus susu kemasan terkecil saya dapatkan disitu.Walau untuk balik ke terminal saya tak mau lagi jalan kaki.Harus naik angkot.
Dari terminal Bayuangga, ke Surabaya saya naik Restu seperti berangkatnya tempo hari.Dan lancar.Bayangan terjebak kepadatan di depan rumah makan Rawon Nguling tak terjadi.Raya Porong juga sedang bersahabat.Lancar jaya.
Pendek kata,jam empat sore saya tiba di Surabaya.
Dan ketika istri saya membongkar barang bawaan dan juga baju-baju kotor,”Dasar pelupa.Ini susunya ternyata kebawa,”katanya sambil menunjukkan bungkusan yang diambil dari salah satu tas bawaan.
Duh,tiwas....
Sabtu, 03 September 2011
Ketika Kanker Payudara Mendera
KALAU sampeyan sudah pernah membaca tulisan (fiksi) saya berjudul Pulang disini, tentu sampeyan menemukan sebuah tugu gemuk, pasar Senin dan rumah mungil di timurnya. Dalam pulang (baca: mudik) saya yang sesungguhnya tempo hari, tugu itu tetap ada, pasar Senin juga (walau sekarang menyempit, karena sebagian telah beralih fungsi sebagai permukiman) dan rumah di timur pasar itupun tetap ada. Nyata. Dan dari situlah tulisan ini saya mulai.
Kalau dalam fiksi si penghuni rumah mungil itu seorang ibu yang 'gila' memikirkan anaknya yang teroris, dalam alam nyata rumah itu dihuni perempuan 54 tahun. Tak gila. Waras. Walau salah satu anaknya kurang dari itu. Pernah beberapa kali masuk-keluar RSJ. Anak satunya lagi, waras tetapi nakal. Baru tamat SMP dan tak mau melanjutkan. Kerjaannya hanya ubyak-ubyuk kesana-kemari.
“Tiap hari hanya minta uang saja. Nggerus ati pokok'e. Jangankan mau bantu-bantu”, suara perempuan itu pelan. Nyaris disertai desis. Menahan sakit.
”Iya, di bawah ketiak kiri ini sesekali masih terasa ketarik”. Ia menyangka rasa sakit itu akibat operasi setahun yang lalu. Operasi?
Iya, perempuan itu sekitar setahun yang lalu menjalani operasi pengangkatan kanker payudara.
Tour d'Mudik (bagian 1)
DUA etape mudik saya tahun ini,sungguh saya syukuri sebagai yang lancar-lancar saja.Nyaris tiada yang pantas dituangkan sebagai tulisan.Tetapi karena saya kadung bertekad selalu harus menulis seremeh temeh apapun topiknya,maka saya tulis saja.
Etape pertama: Surabaya-LA (PP)
Etape ini pendek saja.Tak lebih dari 75 km.Tapi,sependek apapun jaraknya,dengan semotor berempat plus satu tas besar dan masih ditambah satu ransel,tentukah tetap berisiko tinggi.Tak perlulah saya upload foto saya tentang ini.Sudah sangat banyak terpampang di berbagai media gambar serupa; Si sulung didepan,duduk diatas tas besar diantara kemudi dan sang ayah sebagai 'pilot'.Dibelakang si ibu menggendong si kecil.Menggendong ganda,lengkapnya.Di depan anak,dipunggung ransel.Pula,jangan bayangkan repotnya.
Tetapi,syukurlah.Semua baik-baik saja.Walau sebuah rencana menjadi agak meleset sedikit.Yang tadinya,kami ingin sholat id di LA,karena setelah mendengar pemberitahuan di televisi hari raya baru tiba hari Rabu,maka rencana itu berubah.Mengingat waktu libur saya cuma 4 hari,sementara masih ada satu etape mudik lagi ke tanah air saya di Jember,maka Selasa pagi kami 'berakrobat' lagi;semotor berempat lagi balik ke Surabaya.Transit saja.Karena malam selepas buka puasa kami harus 'terbang' ke Jember.
Etape kedua: Surabaya-Jember (hanya P)
Suara takbir mengiringi perjalanan.Semotor berempat kali ini pendek saja.Saya,seperti biasa,menginapkan si Supra di Purabaya saja.
“Menginap,pak?”sapa penjaga 'penginapan' motor.
“Iya,empat hari.”
“Kena tarif lebaran,pak,”kata petugas itu mengajak mata saya memandang kelender yang ditandai.Juga tertera disitu kalimat pemberitahuan: Tarif Lebaran 5000/hari.
Untuk yang begini ini,tentu tak diatur pemerintah seperti mengatur tarif bus.Maka,ya saya harus mengeluarkan selembar dua puluh ribuan untuk si Supra saya yang selama lebaran ini memang bekerja lebih berat ketimbang biasanya.
Masuk ke Purabaya,saya menemui wajah baru.Bus ekonomi menempati lokasi baru.Jam delapan malam dari situ saya take off.Dibawa bus Restu yang saya tak sempat mencatat nomor punggungnya.Perjalanan yang landa-landai saja.Nyaris tiada yang laik ditulis.Benar-benar cerita tanpa kejutan.Kecuali,laju Restu sempat tersendat di alun-alun Bangil karena ribuan orang bermotor tumplek-blek disitu.Untuk takbiran? Entahlah.tetapi saya malah mengira sedang ada kontes adu suara kenalpot.
Sekitar jam sebelas malam,si Restu landing di Probolinggo.Sesuai rencana,kami hanya transit sejenak disini.Sekadar buang air.Dan yang lebih penting,membeli air panas untuk bikin dua botol susu untuk si kecil.Persiapan yang penting tentu.Karena masih dua jam perjalanan lagi baru sampai sasaran.
Transit yang singkat saja.Ketika kru Akas Asri yang tak parkir di terminal Bayuanga ini teriak-teriak,”Kencong,Kencong...”,dengan agak berlari kami masuk.Saya tak mau berspekulasi.Tengah malam begini bus yang lewat Kencong memang sudah jarang.Saya tak tega melihat si kecil terlalu lama kena hawa terminal yang penuh asap kenalpot,kalau menunggu bus berikutnya.
Dibanding si Restu,terasa Akas Asri ini lebih nyaman.Suspensinya lembut.AC yang berhembus dan badan yang capek membuat saya ingin sejenak terlelap.Tapi sekuat tenaga keinginan itu saya hindari.Karena,kalau sudah tidur,'sejenak' itu bisa lama.Dan itu bisa fatal akibatnya;kelewatan dari sasaran tujuan.
Tengah malam,sekitar jam satu,kami mendarat dengan selamat di kampuang nun jauh dimato; Mlokorejo,disambut hawa dingin yang menggigit.
(Bersambung besok)
Etape pertama: Surabaya-LA (PP)
Etape ini pendek saja.Tak lebih dari 75 km.Tapi,sependek apapun jaraknya,dengan semotor berempat plus satu tas besar dan masih ditambah satu ransel,tentukah tetap berisiko tinggi.Tak perlulah saya upload foto saya tentang ini.Sudah sangat banyak terpampang di berbagai media gambar serupa; Si sulung didepan,duduk diatas tas besar diantara kemudi dan sang ayah sebagai 'pilot'.Dibelakang si ibu menggendong si kecil.Menggendong ganda,lengkapnya.Di depan anak,dipunggung ransel.Pula,jangan bayangkan repotnya.
Tetapi,syukurlah.Semua baik-baik saja.Walau sebuah rencana menjadi agak meleset sedikit.Yang tadinya,kami ingin sholat id di LA,karena setelah mendengar pemberitahuan di televisi hari raya baru tiba hari Rabu,maka rencana itu berubah.Mengingat waktu libur saya cuma 4 hari,sementara masih ada satu etape mudik lagi ke tanah air saya di Jember,maka Selasa pagi kami 'berakrobat' lagi;semotor berempat lagi balik ke Surabaya.Transit saja.Karena malam selepas buka puasa kami harus 'terbang' ke Jember.
Etape kedua: Surabaya-Jember (hanya P)
Suara takbir mengiringi perjalanan.Semotor berempat kali ini pendek saja.Saya,seperti biasa,menginapkan si Supra di Purabaya saja.
“Menginap,pak?”sapa penjaga 'penginapan' motor.
“Iya,empat hari.”
“Kena tarif lebaran,pak,”kata petugas itu mengajak mata saya memandang kelender yang ditandai.Juga tertera disitu kalimat pemberitahuan: Tarif Lebaran 5000/hari.
Untuk yang begini ini,tentu tak diatur pemerintah seperti mengatur tarif bus.Maka,ya saya harus mengeluarkan selembar dua puluh ribuan untuk si Supra saya yang selama lebaran ini memang bekerja lebih berat ketimbang biasanya.
Masuk ke Purabaya,saya menemui wajah baru.Bus ekonomi menempati lokasi baru.Jam delapan malam dari situ saya take off.Dibawa bus Restu yang saya tak sempat mencatat nomor punggungnya.Perjalanan yang landa-landai saja.Nyaris tiada yang laik ditulis.Benar-benar cerita tanpa kejutan.Kecuali,laju Restu sempat tersendat di alun-alun Bangil karena ribuan orang bermotor tumplek-blek disitu.Untuk takbiran? Entahlah.tetapi saya malah mengira sedang ada kontes adu suara kenalpot.
Sekitar jam sebelas malam,si Restu landing di Probolinggo.Sesuai rencana,kami hanya transit sejenak disini.Sekadar buang air.Dan yang lebih penting,membeli air panas untuk bikin dua botol susu untuk si kecil.Persiapan yang penting tentu.Karena masih dua jam perjalanan lagi baru sampai sasaran.
Transit yang singkat saja.Ketika kru Akas Asri yang tak parkir di terminal Bayuanga ini teriak-teriak,”Kencong,Kencong...”,dengan agak berlari kami masuk.Saya tak mau berspekulasi.Tengah malam begini bus yang lewat Kencong memang sudah jarang.Saya tak tega melihat si kecil terlalu lama kena hawa terminal yang penuh asap kenalpot,kalau menunggu bus berikutnya.
Dibanding si Restu,terasa Akas Asri ini lebih nyaman.Suspensinya lembut.AC yang berhembus dan badan yang capek membuat saya ingin sejenak terlelap.Tapi sekuat tenaga keinginan itu saya hindari.Karena,kalau sudah tidur,'sejenak' itu bisa lama.Dan itu bisa fatal akibatnya;kelewatan dari sasaran tujuan.
Tengah malam,sekitar jam satu,kami mendarat dengan selamat di kampuang nun jauh dimato; Mlokorejo,disambut hawa dingin yang menggigit.
(Bersambung besok)
Langganan:
Postingan (Atom)