SAMPEYAN  punya teman seorang penulis? Dan suatu ketika sampeyan membaca dalam tulisan (fiksi) nya ada tokoh rekaannya yang mirip sekali dengan sifat sampeyan? Atau kisahnya ada yang agak persis dengan yang pernah sampeyan alami?     Maka, curigailah dia sebagai sedang mencuri kisah dan sifat sampeyan. Tetapi karakter itu tidak semuanya mirip dengan sifat sampeyan, atau plot ceritanya (tentu juga termasuk endingnya) tidak sama persis dengan yang sampeyan alami? Tetap saja sampeyan curigai itu sebagai sedang ‘memotret’ sampeyan. Benar, tidak semua mak-plek  sama dengan semua hal tentang sampeyan. Tetapi, sampeyan
 tahu, dalam menulis fiksi, sering sekali penulis tidak menciptakan 
karakter atau kisah. Ia hanya mencuri ‘milik’ orang yang sudah 
dikenalnya. Untuk satu tokoh dalam ceritanya, ia bisa saja menggabungkan
 karakter dari tiga temannya. Jadilah ia tokoh baru, dengan karakter 
baru (gabungan tiga karakter). Tentang cerita pun, setali tiga uang.
    
 Kalau mencuri karakter begitu bisa dengan gampang dilakukan, apalagi 
menulis karakter diri sendiri, tentu lebih mudah lagi, kan. Makanya 
jangan percaya bila tulisan fiksi seorang penulis benar-benar seratus 
persen fiksi. Bisa jadi ia (penulis) adalah termasuk dalam salah satu 
tokohnya, atau hanya sebagai sebatang kalimat dalam satu dialog pendek 
saja. Tetapi tidak menutup kemungkinan penulis menjadi tokoh utama macam
 Ikal di Laskar Pelangi-nya Andrea Hirata.
     Kemarin, (Minggu 6 Mei 2012) setelah membaca cerpen berjudul Sepatu di Jawa Pos,
 saya curiga itu adalah kisah asli. Dengan nama tokoh asli, lokasi asli,
 plot asli. Satu saja yang palsu; nama penulisnya. Dan itu pun adalah 
sah-sah saja. Arswendo Atmowiloto ketika dipenjara karena kasus tabloid Monitor
 dulu, juga memakai nama palsu untuk tulisannya yang ia kirim dari balik
 jeruji penjara. Maka, Khrisna Pabichara sebagai nama ‘pengarang’ cerpen
 Sepatu  itu pun tidak mempunyai kesalahan apapun (seandainya) 
juga melakukannya. Tetapi ketika membaca kata demi kata, paragraf demi 
paragraf cerpen itu, saya menjadi ingat sesuatu. Ingat buku yang pernah 
saya beli di Toga Mas Diponegoro pada 22 November tahun 2007 yang lalu. 
Judul buku itu Ganti Hati. Penulisnya Dahlan Iskan. Jadi Khrisna Pabichara adalah Dahlan Iskan?
    
 Pada bagian ketiga dari tujuh bagian cerpen itu, saya sudah memupuk 
keyakinan bahwa penulisnya adalah Dahlan Iskan. Pada paragraf ketiga 
dibagian itu penulis yang menyebut ‘aku’ sebagai tokoh utamanya, 
menyebut dua nama kakaknya; Atun dan Sofwati. Saya lalu meluncur ke buku
 Ganti Hati, dan mendapati dua nama itu terpampang di halaman 4
 dan 5. Kakak si ‘aku’ itu, yang Sofwati meninggal muda (32 tahun), 
sementara Atun (dalam Ganti Hati disebut lengkap; 
Khosiyatun)masih ‘sugeng’ dan masih aktif mengajar di sebuah SD swasta 
di Samarinda. Lebih-lebih ketika penulis menyebut nama Iskan diawal 
paragraf bagian keempat. Lebih-lebih (lagi) penulis membuat dialog pada 
paragraf keempat bagian kelima, “Dahlan, tolong ambilkan Ibu segelas 
air, Nak.”
     Saya memang tidak mendapatkan cerita tentang 
betapa multi fungsinya sebuah benda bernama sarung di cerpen itu 
sebagaimana saya bisa nikmati di Ganti Hati. Tetapi tentang 
pakaian sekeluarga yang tak seberapa banyak dan cukup hanya dicantolkan 
dipaku yang ditancapkan ke dinding (paragraf ketiga di bagian tiga), ini
 pun saya temui dihalaman 198 buku Ganti Hati yang sekarang sudah naik cetak entah untuk kali keberapa ini.
     Sebagai cerpen berjudul Sepatu 
 ia terasa lebih memotret sakitnya ibu ketimbang tentang sepatu itu 
sendiri. Sepatu pertama yang hanya barang bekas saja. Yang bagian 
ujungnya jebol. Yang hanya dikenakan hari Senin saat upacara bendera 
 saja. Kalaulah sampai sekarang Khrisna Pabichara, eh Dahlan Iskan, 
senang sekali memakai sepatu (kets), alasannya, “Dulu pernah pakai 
sepatu kulit, tapi lecet. Sakit. Pakai kets tidak,” kurang lebih begitu 
kata Dahlan Iskan ketika ditanya Najwa Shihab pada Mata Najwa di Metro TV
 seminggu yang lalu. Apakah sepatu kets adalah sebagai pencitraan bahwa 
itu barang sederhana yang murah? “Oh, sepatu saya ini mahal lho...” 
cetus Dahlan.
     Cerpen memang artinya cerita pendek. Dan terlepas dari Khrisna Pabichara itu Dahlan Iskan atau bukan, sebagai pembaca Ganti Hati, saya merasa cerpen ini 'bahan bakunya' dari buku itu.*****
 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar