SEKITAR tiga tahun yang 
lalu istri saya mengalami gangguan pada penglihatannya. Semakin hari 
semakin dikeluhkannya. Ingin tahu apa yang terjadi demgam matanya, istri
 saya memeriksakan ke dokter perusahaan di tempatnya bekerja. Hasilnya? 
Harus didiagnosa oleh dokter spesialis mata. Maka dirujuklah istri saya 
ke rumah sakit terbesar di Surabaya.
     Pada hari yang ditentukan, saya antar 
istri saya ke RS itu. Setelah antre beberapa waktu, dipanggillah istri 
saya masuk ke ruang pemeriksaan di poli mata. Saya masih ingat, yang 
memeriksa dokter Ferry namanya. Masih muda. Dan ganteng. Tidak tahu 
saya, karena mengalami gangguan pada matanya, apakah istri saya sempat 
memerhatikan kegantengan sang dokter.
     “Harus dioperasi ini,” kata dokter Ferry,
 enteng.
     Operasi?
Wah, melihat jarum suntik saja istri saya hatinya berdesir, kok ini harus operasi. Mata lagi.
Wah, melihat jarum suntik saja istri saya hatinya berdesir, kok ini harus operasi. Mata lagi.
     Dokter ganteng itu tersenyum. “Ini 
operasi kecil saja, kok,” katanya seolah tahu apa yang sedang berkecamuk
 didalam hati kami.
     Saya dan istri saya diam. Operasi kecil? 
‘Tetapi ini mata, dok.’  Tentu kalimat bantahan barusan itu hanya 
berkecamuk dalam batin saya saja.
     Saya dan istri sedang kompak membayangkan
 tentang operasi. Sekalipun itu kecil saja kategorinya. Tetapi karena 
TKPnya adalah mata, ngeri saya membayangkan bila disaat operasi 
tiba-tiba salah satu alatnya mak pluk jatuh ke kornea mata 
istri saya. Itu kekhawatiran pertama saya. Tetapi kekhawatiran lainnya, 
penglihatan istri saya akan makin memburuk bila tidak segera ditangani.
     “Semua keputusan ada di pihak ibu. Tetapi
 kalau menurut medis, ya memang harus dioperasi,” dokter Ferry kembali 
berkata. “Bagaimana?”
     Setelah menghela nafas dan membaca basmalah,
 istri saya mengangguk. Sekalipun saya tahu, ada takut dihatinya. Juga 
dihati saya.
     Tiga hari kemudian, tibalah saatnya 
operasi. Duduk diruang tunggu kamar operasi, saya lihat wajah istri saya
 yang biasanya hitam manis mendadak putih bersih; karena pucat. Sebagai supporter,
 tentu saya harus selalu menyemangatinya. Selalu. Lebih-lebih ketika 
secara bergantian, para pasien yang tadinya ikut antre di ruang ini, 
keluar dari kamar operasi dengan perban tebal dimatanya. Salah satu, 
atau bahkan keduanya.
     Ketika nama istri saya dipanggil, sebelum
 masuk, saya genggam tangannya yang dingin. Mulut saya terkatup rapat, 
hanya mata saya yang bicara. Dan saya tahu, ia tahu apa maknanya.
     Menunggu diluar kamar operasi, hati saya 
tak karuan. Bukan memikirkan biaya, karena itu telah ditanggung oleh 
asuransi. Beberapa waktu dalam perasaan was-was itu, akhirnya timbul 
kepasrahan. Mulut tak henti komat-kamit menyebut nama Tuhan. Selebihnya,
 saya coba menenangkan diri bahwa; istri saya sedang ditangani oleh ahli
 dalam bidangnya. Ditangan sang ahli, sesuatu yang saya anggap hal 
besar, bisa jadi hanyalah hal kecil semata.
     Syukurlah, bayangan tentang alat operasi 
yang jatuh ke kornea tak terbukti.  Bukti lainnya, setelah melalui dua 
kali oprerasi, mata istri saya kembali seperti sedia kala. Yang tentu 
bisa dengan gamblang memandang wajah dokter Ferry yang ganteng itu.
     Duduk didepan komputer ini, saya bisa 
menulis satu topik ringan –macam catatan sepanjang sekitar limaratus 
karakter ini–  dalam beberapa menit saja. Padahal saya belum terlalu 
ahli di bidang ini. Bagi yang sangat ahli, tentu akan lebih cepat, 
sekaligus lebih baik lagi.
     Menangani hal-hal lain mungkin juga bisa 
dianalogikan begitu. Dalam menulis, bisa saja orang –karena keahliannya–
 menganggap bukan hal yang sulit. Ia hanya perlu mekakukan ‘operasi 
kecil’ untuk membuat topik sederhana menjadi sebuah bacaan yang asik. 
Tetapi ketika komputernya mendadak ‘mampus’
 dan tidak bisa booting, bisa jadi ia akan mati kutu 
mengatasinya. Ia perlu ahli komputer. Dan, sekali lagi, karena punya 
kemampuan linuwih, si ahli komputer hanya perlu melakukan 
‘operasi kecil’ pada komputer yang modar itu.
     Kalau mau, tentu contohnya akan bisa 
dibuat berderet panjang. Dari masalah marketing perusahaan sampai cara 
me-manage keuangan keluarga. Dari mengurus anak balita sampai mengurus 
orang tua yang sudah memasuki masa pikun. Hermawan Kartajaya untuk 
bidang marketing, Syafir Senduk untuk bidang keuangan, atau nama lain 
dalam hal keluarga,misalnya.
     Saya sedang berkaca sekarang. Termasuk 
sebagai ahli apakah saya ini? Yang sanggup menyelesaikan suatu hal hanya
 dengan melakukan ‘operasi kecil’ saja.
     Salam.
Tulisan saya yang lain:
 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar