Sabtu, 14 Desember 2013

Berbagi Turi


WALAU sangat tak seberapa luas, di depan rumah kami masih ada lahan. Di sisi timur ditanami pandan, pepaya, pohon katuk, pohon ungu dan ada beberapa pot bunga. Untuk bunga itu, sebenarnya, sebagian besar adalah titipan tetangga, yang entah mengapa sampai sekarang tak diambil ulang. Termasuk satu pohon palem yang di musim hujan ini tumbuh makin subur, makin tinggi. Sekalipun jauh lebih sempit dibanding lahan sisi barat, ia tampak rimbun, atau kasarnya malah lebih layak disebut seperti semak belukar.

Di lahan sisi barat, yang hanya dipisahkan sisi tengah selebar tiga meter yang baru bulan lalu di situ saya pasang sendiri paving stone, hanya saya isi sedikit jenis tanaman; berjajar lidah mertua di dekat pagar, rumput gajah yang gondrong tak terawat, tiga pohon turi, dan beberapa batang beluntas yang baru saya tanam seminggu yang lalu.

Di timur, sebagai pemain andalan adalah daun pandan yang sekalipun sangat jarang, pernah ia dibutuhkan tetangga. Kolak akan kurang mantap bila dimasak tanpa disertai beberapa helai daunnya. Di sisi barat kembang turi sudah sangat mendominasi. Ia, yang saya tanam dari benih yang saya bawa dari kampung halaman, sungguh sebagai pohon turi baik hati. Sejak pohonnya baru setinggi lutut, ia sudah mulai berbunga, saban hari, sampai kini. Seiring makin besar tubuhnya, semakin lebat pula kembangnya. Pagi-pagi baru kuncup, sore sudah layak unduh. Sore kuncup, pagi diunduh.

Karenanya, semua tetangga sudah ikut merasakannya. Ada yang dibikin sayur dalam lakon pecel, ada yang diurap, ada pula yang dimainkan sebagai eseng-eseng. Terserah yang menerima, karena yang kami lakukan hanya berbagi.

Seperti dijadwal, istri saya membagi kembang turi itu secara bergiliran. Rata, dari tetangga sisi barat, sampai ke tetangga sisi timur sana. Berlaku begitu hanya karena hal sederhana semata; Ini yang kami punya, dengan ini pula kami berbagi. Karena (setidaknya menurut perasaan saya), semakin kami berbagi, semakin semangat pula si turi berbunga. Setiap menyaksikan kami memberikan bunganya kepada tetangga, saya lihat wajah pohon turi berbunga-bunga.

Hal itu membuat kami makin tak memiliki niat untuk menikmati bunga turi secara sendiri dengan, misalnya, membawanya ke warung sebelah untuk dijadikan rupiah. Disamping secara harga bisa jadi tidak seberapa, kelakuan itu kami takutkan membuat si turi kecewa untuk kemudian melakukan unjuk rasa; mogok berbunga. *****



2 komentar:

  1. Kembang turi laaaagi.

    Eh, Mas, sekarang, marunggai atau maronggi dalam Bahasa Madura atau kelor dalam istilah yang populer, kabarnya sedang dibudidayakan di daerah saya. Kabarnya, setelah diteliti hampir satu tahun, marunggai ini dapat digunakan jadi minya dan bahan kecantikan.

    Turi mungkin sedang menunggu giliran diteliti.

    BalasHapus
    Balasan
    1. SEBAGAI sayur bening si maronggi ini nikmat sekali diduetkan dengan nasi jagung yang masih angak dan jukok acen plus sam-bel acan. Tetapi, konon, orang yang memakai susuk di tubuhnya, harus berpantang makan si kelor ini. Dan, sementara ini, saya belum menemukan orang yang tidak boleh makan sayur turi dengan suatu alasan. Kecuali sekadar memang tidak menyukainya.

      Ya, saya sering lewat depan pabrik Viva Cosmetics. Semoga nanti ada tim risetnya yang meneliti turi sebagai bahan baku produknya. Hehe....

      Hapus